Puasa pada hakikatnya adalah riyadah dan mujahadah (upaya latihan dan
perjuangan dan terapi penahanan nafs diri atau jiwa) dari
ketidakseimbangan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, kemarahan, dan
syahwat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan
manusia yang sombong dan durhaka, kemarahan yang tidak digunakan dengan
baik akan membawa manusia kesembronoan tindakan, dan syahwat yang tidak
terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan.
Keseimbangan potensi akal, marah, dan syahwat akan membawa manusia pada
keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan,
keberanian, keterjagaan diri dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya
membawa pada keadilan sikap. Manusia yang memiliki keempat sifat ini
dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Mizan al-‘Amal sebagai orang
yang berakhlak baik, dan pada gilirannya akan membawanya pada
kebahagiaan.
Apakah kemudian keutamaan akhlak yang membawa
kebahagiaan ini dengan mudahnya dapat dicapai oleh seorang muslim yang
berpuasa? Jika ia berpuasa dengan baik, dalam pengertian manusia
benar-benar menghayati terapi pembiasaan, pelatihan dan penahanan diri
ini, niscaya jawabannya adalah “iya”, insya Allah.
Kebahagiaan
merupakan tuntutan dan tujuan manusia dari sejak dahulu hingga akhir
zaman. Kebahagiaan dengan demikian adalah capaian yang niscaya. Namun
kenyataannya, sebagian manusia hanya mengejar kebahagiaan atau
kenikmatan jasad yang meliputi kesehatan, kekuatan, keelokan, dan
panjang umur, kebahagiaan eksternal yang meliputi harta, keluarga,
kemuliaan dan kehormatan keturunan, namun melupakan kebahagiaan akhirat,
dan kenikmatan taufik Allah. Disangkanya kesempurnaan, keterpenuhan
hasrat perut, dan seksualitas adalah tujuan dan puncak kebahagiaan.
Padahal, ketika manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka hakikatnya
pada saat itu ia tidak berbeda dengan binatang ternak yang dikuasai
dorongan-dorongan biologisnya.
Puncak kebahagiaan dunia adalah
kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, dan keterlepasan dari kesedihan dan
kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan. Sementara
itu kebahagiaan akhirat sebagai kebahagiaan puncak adalah keterlepasan
dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan
kegembiraan untuk selama-lamanya. Namun untuk mencapai kesemuanya pun
menurut Al-Ghazali harus pula dengan ilmu dan ‘aktifitas’ amal.
Dihubungkan
dengan kebahagiaan puncak, maka empat kebajikan utama yang berasal dari
moderasi diri atau kebahagiaan jiwa merupakan prasyarat utama menuju
kebahagiaan puncak tersebut. Karena subjek utama kebahagiaan itu adalah
jiwa. Sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad sebagai berikut. Dari Nu’man
ibn Basyir berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda yang artinya:
“Ingatlah bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, ketika
ia baik, baik pula seluruh jasad itu, dan ketika rusak, rusak pula
seluruh jasad itu, ingatlah ia adalah hati (H.R. al-Bukhari).
Mencapai
kebahagiaan mutlak menghajatkan penyempurnaan jiwa dan hal itu
meniscayakan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan jiwa. Dinyatakan oleh
Mahmud Zaqzuq bahwa keutamaan itu adalah kesiapan terus menerus untuk
mengerjakan kebaikan.
Menurut al-Ghazali, dalam Mizan al-‘Amal,
kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mensucikan jiwa serta
menyempurnakannya dengan riyadah, mujahadah dan tabattul (beribadah
menghadap penuh pada Allah) dengan cara mencapai keutamaan-keutamaan
jiwa. Keutamaan jiwa ini dalam pandangan Al-Ghazali juga termasuk
pokok-pokok agama atau ushul al-din.
Yang dimaksudkan al-Ghazali
sebagai amal yang membawa kebahagiaan tidak lain adalah latihan atau
riyadah memerangi syahwat diri. Dengan meminimalkan godaan shahwat itu
juga akan meminimalkan sebab-sebab atau faktor kegundahan. Dan memang
tidak ada jalan untuk melenyapkan hal itu, kecuali dengan riyadah atau
mujahadah (latihan dan perjuangan). Kesemuanya ini disebut ‘amal’ yang
mengantarkan pada kebahagiaan. Al-Ghazali menyatakan:
Adapun yang
dimaksud dengan ‘amal’ tidak lain adalah melatih syahwat nafsaniyah,
memperbaiki atau memenjarakan kemarahan dan memotong sifat- sifat ini,
sehingga tunduk pada akal dan tidak dapat menguasai akal itu, juga
menundukkannya untuk memenuhi kehendak. Barangsiapa yang mampu
menundukan syahwat, maka dialah manusia merdeka sejati, bahkan pemilik
atau raja. Meminimalkan shahwat berarti juga meminimalkan sebab- sebab
atau sarana kegelisahan kesedihan dan tidak ada jalan untuk memalingkan
syahwat kecuali dengan riyadah dan mujahadah (inilah yang disebut
‘amal).
Dalam halaman lain al-Ghazali menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan amal itu adalah memecah syahwat dengan cara memalingkan
kekeruhan jiwa menuju dimensi vertikal, agar terhapus dari pengaruh jiwa
kotor, hubungan rendah yang terkait dengan dimensi rendah.
Amal
dapat pula dimaknakan dan dikaitkan atau dikembalikan dengan mujahadat
al-nafs dengan menghilangkan sesuatu yang tidak sepatutnya. Tentang arti
mujahadah dikatakan oleh al-Ghazali bahwa ia adalah mengobati jiwa
dengan cara mensucikannya untuk memperoleh kebahagiaan.
Hal tersebut
sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Syams ayat 9-10 yang mendeskripsikan
keberuntungan manusia yang mensucikan jiwanya, dan kerugian manusia yang
mengotori jiwanya (Qad Aflaha Man Zakkaha wa Qad Khaba Man Dassaha).
Dalam
amatan al-Ghazali ada tiga kategori manusia dalam memerangi hawa nafsu.
Pertama manusia yang dikalahkan dan dikuasai hawa nafsunya. Kedua,
terjadi pertarungan antara jiwa dengan nafsu silih berganti, kadang
nafsu menguasai dan kadang dikuasai. Ketiga, dapat mengalahkan dan
menguasai hawa nafsu laksana raja. Hendaknya manusia jenis pertama dapat
mencapai derajat kedua, dan derajat kedua dapat mencapai derajat
ketiga.
Al-Ghazali kemudian menyangkal dugaan sementara manusia yang
menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat diubah. Al-Ghazali
berargumentasi bahwa seandainya akhlak itu tidak dapat diubah, niscaya
kita tidak akan diperintahkan untuk memperbagus akhlak kita, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad, “Hassinu Akhlaqakum” dan akan sia-sia aneka wasiat
nasehat motivasi berbuat baik dan teguran. Bukankah hewan pun dapat
dididik menjadi lebih baik.
Menurut Al-Ghazali segala yang diciptakan
Allah itu tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, tidak dapat diubah
dengan perbuatan atau usaha manusia, seperti langit, bintang,dan
anggota badan kita. Kedua, ciptaan Allah yang menerima kesempurnaan
setelah ditemukan syarat-syarat pendidikan dengan memaksimalkan ikhtiar.
Proses demikian dapat diamati misalnya dari biji kurma yang berubah
menjadi pohon kurma dengan pemeliharaan. Konteks puasa sebagai upaya
penundukan nafsu ammarah (kemarahan dan syahwat) adalah dalam rangka
perbaikan atau pendidikan akhlak ini.
Memang melepaskan akhlak
tercela yaitu syahwat dan amarah (ghadab) tidak akan tercapai seketika.
Namun jika manusia berkehendak mengendalikan dan memaksa syahwat dan
ghadab itu dengan mujahadah dan riyadah yang tujuannya adalah untuk
menyempurnakan jiwa dan juga membersihkannya, niscaya manusia akan
mampu.
Nah, semoga dengan puasa yang kita jalankan selama sebulan di
tiap tahun ini, kita dapat memaknai pendidikan riyadah dan mujahadah
ini dengan lebih baik, sehingga dapat mengantarkan kita pada kebahagian
jiwa yang pada gilirannya nanti membawa pada kebahagiaan akhirat. Amin.
Source: http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1288:puasa-dan-pendidikan&catid=15:pengajian&Itemid=63
No comments:
Post a Comment