Sunday, September 30, 2012

Materi Kuliah Kepemimpinan - Administrasi Perpajakan


Link Materi Kuliah - Administrasi Perpajakan - Ilmu Administrasi Negara bisa di download sebagai berikut :

Materi Kuliah Administrasi Perpajakan

Pedoman Penulisan-Penyusunan Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal, Artikel Ilmiah, dsb.

Pedoman Penulisan-Penyusunan Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal, Artikel Ilmiah, dsb.

Pada link berikut saudara dapat mencari pedoman yang dibutuhkan baik itu untuk Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal Ilmiah dan sebagainya yang saudara butuhkan :
Pedoman Penulisan-Penyusunan

semoga berguna dan bermanfaat bagi saudara sekalian.
mohon umpan baliknya bila ada kekurangan.
Regards

Monday, April 23, 2012

Keberatan Dan Banding dalam Pajak


Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
a.       Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT);
b.      Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing-masing dalam satu tahun Surat Keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP dalam hal:
a.       Wajib pajak menganggap luas objek bumi dan/atau bangunan, klasifikasi atau Nilai Jual Objek bumi dan/atau bangunan yang tercantum dalam SPPT atau SKP tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
b.      Terdapat perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang-undangan antara wajib pajak dengan fiscus.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan menyatakan alasan secara jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3(tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaanya. Apabila ternyata batas waktu 3(tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaanya              (force major), maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan meminta wajib pajak untuk melengkapi persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu.
Tanda terima Surat Keberatan yang diberikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau sejenisnya merupakan tanda bukti penerimaan Surat  Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak, apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama       12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat pula berupa:
a.       Tidak dapat menerima;
b.      Menolak;
c.       Menerima seluruhnya atau sebagian;
d.      Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.[1]
Kondisi akan terbalik menjadi tambah besar pajaknya apabila bukti-bukti yang diajukan oleh wajib pajak ternyata ketika diadakan peninjauan terhadap objek pajak di lapangan dan dibandingkan dengan data atau bukti pembanding yang diperoleh dari instansi/pihak lain yang terkait ternyata menunjukkan adanya peningkatan data objek pajak/nilai objek pajak, oleh karena itu data  atau bukti yang dipakai sebagai bahan untuk membetulkan data SPPT atau SKP adalah data setelah adanya peningkatan tersebut, sehingga wajib pajak yang mengajukan keberatan seperti ini besarnya pajak yang terhutang akan bertambah.
Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam surat ketetapan pajak, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan  Direktur Jenderal Pajak tidak meberi suatu keputusan, maka keberatan tersebut diterima. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi wajib pajak yaitu bila dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan sudah diterima.
Pasal 15 dan 16 UU Nomor 12 Tahun 1994 disebutkan adanya hak yang diberikan kepada wajib pajak berupa keberatan atas besarnya pajak, dan atas keberatan putusan pajak tersebut  yang diberikan oleh Dirjen Pajak kepada Wajib Pajak dan Wajib Pajak merasa tidak puas, maka Wajib Pajak diberi kesempatan untuk mengajukan banding.
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk Surat Keberatan yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan dan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Diajukan tertulis dalam Bahasa Indonesia;
2.      Mengemukakan jumlah pihak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3.      1 (satu) Surat Keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4.      Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
5.      Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur);dan
6.      Surat Keberatan ditanda tangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan ditanda tangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.[2]

Wajib Pajak ketika mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan hasil akhir pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. 
Surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum memenuhi persyaratan, Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan. Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan. Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada pada pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan.
Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan.
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
1.      Mengabulkan seluruhnya;
2.      Mengabulkan sebagian;
3.      Menolak;
4.      Menambah besarnya jumlah bpajak yang masih harus dibayar.[3]
Jika dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan Keberatan Wajib Pajak.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima, dengan cara:
1.      Tertulis dalam bahasa Indonesia;
2.      Mengemukakan alasan-alasan yang jelas;
3.      Melampirkan salinan Surat Keputusan Keberatan.[4]
Jumlah pajak yang yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan, apabila permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurang dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.


[1] Mardiasmo,Op,Cit, hal 328.
[2] Ibid. hal.45.
[3] Ibid. hal.46.
[4] Ibid. hal.47.

Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan


Setiap orang atau badan yang memiliki atau menguasai tanah dan bangunan diwajibkan mendaftarkan objek dan memasukkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Objek didaftarkan dalam waktu 30 hari setelah mengambil SPOP. SPOP harus diberitahukan secara jelas mengenai konstruksi bangunan, bahan yang digunakan, kerangka atap, langit-langit, bahan yang digunakan untuk lantai, kosen, daun pintu, interior dan eksterior rumah, adanya kolam renang, taman dan sebagainya. Data yang akurat diperlukan guna menetapkan kelas bangunan yang pada akhirnya untuk menentukkan besarnya jumlah pajak yang harus dibayar.
SPOP akan dipelajari oleh pejabat Kantor PBB yang kemudian menetapkan jumlah pajak yang terhutang dan ini dimasukkan dalam Surat Ketetapan Pajak (dalam PBB diberi nama khusus Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang disingkat SPPT). SPPT ini harus dibayar dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak saat dikeluarkannya SPPT.
Selanjutnya terhadap wajib pajak yang tidak memasukkan SPOP dalam jangka waktu yang ditentukan (Pasal 9 ayat (2) UU No.12 Tahun 1994) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran, dan apabila pemeriksaan yang dilakukan pada objek pajak, menunjukkan bahwa jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari pada jumlah yang dihitung berdasar SPOP wajib pajak. Dirjen Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP PBB) ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah pokok pajak (Pasal 10 ayat (2) dan (3) UU No.12 Tahun 1994).
Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan atas objek pajak berdasarkan Pasal 5 UU No.12 Tahun 1994 adalah sebesar 0,5%.
Selanjutnya dengan mendasarkan pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dalam rangka pendataan Subjek Pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sendiri. SPOP yang dikirim Dirjen Pajak ke Wajib Pajak harus diisi dengan jelas,benar, dan lengkap serta ditanda tangani dan disampaikan ke Dirjen Pajak.
Berkenaan dengan tujuan pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). SPOP diberikan kepada wajib pajak untuk diisi dan kemudian dikembalikan kepada Dirjen Pajak. Sedangkan wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau menerima SPOP, oleh karena itu wajib pajak wajib mengisi dan mengembalikkannya kepada Dirjen Pajak.
Dalam hal-hal sebagai berikut, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), yaitu:
1.    Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
2.    Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Selanjutnya wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP tepat waktu, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran itu, Dirjen Pajak kemudian mengeluarkan SKPKB. SKPKB dikeluarkan oleh Kantor Pelayan Pajak apabila dari hasil pemeriksaan atau keterangan-keterangan yang ada di Dirjen Pajak menunjukkan bahwa pajak yang dihitung sendiri oleh wajib pajak ternyata kurang.
Wajib Pajak PBB selain mempunyai kewajiban untuk membayar PBB juga mempunyai hak untuk mengajukan keberatan dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan/atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterima tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya misalnya kesalahan luas, kelas/klasifikasi tanah, dan penetapan adanya perbedaan penafsiran undang-undangfantaraswajibspajaksdancfiscus. Apabila telah dikeluarkan Surat Keputusan Keberatan oleh Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak dapat menerima/menolak jika tidak puas dengan keputusan, maka wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).
Wajib pajak dapat diberikan Pengurangan PBB oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak dalam hal karena kondisi tertentu objek  pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena bencana alam dan sebab-sebab lain yang luar biasa. Pengurangan dapat diberikan secara keseluruhan atau sebagian.
 Pajak merupakan sumber pemasukan bagi pemerintah yang cukup penting. Pajak tidak hanya dirasakan urgensinya bagi kepentingan nasional oleh pemerintah pusat, melainkan juga begitu besar dirasakan manfaatnya bagi daerah. Salah satu diantaranya yang cukup banyak dirasakan oleh daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan. 
Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan menjangkau semua lapisan masyarakat dengan stratifikasi sosial yang beragam. Berbagai ketentuan di dalam Pajak Bumi dan Bangunan harus diciptakan dengan mempertimbangkan kepentingan dan kondisi masyarakat selaku wajib pajak.

Subjek Pajak Bumi dan Bangunan


Sistem pemungutan pajak pada PBB ini belum diterapkan sistem self assesment mengingat tingkat pendidikan sebagian besar rakyat masih rendah, terutama rakyat yang berdiam di pedesaan, yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas suatu bumi, memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas suatu bangunan. Dalam hal atas suatu objek pajak belum diketahui jelas wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan sebagaimana dimaksud di atas sebagai subjek pajak sebagai wajib pajak. 
Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak langsung karena pajaknya harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dan tidak boleh dibebankan pada pihak lain.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan


Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap objek pajak atas bumi dan/atau bangunan. Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.
Dalam mempermudah pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, maka harus ada karakteristik Objek Pajak Bumi dan Bangunan dalam mempermudah perhitungan yang didasarkan ke dalam pengelompokkan- pengelompokkan yang dibagi dalam beberapa sektor, yaitu pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.     Sektor pedesaan, objek pajak PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri- ciri pedesaan seperti, sawah, ladang, empang tradisonal, dan lain-lain;
b.    Sektor perkotaan, objek pajak PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri daerah perkotaan seperti, pemukiman penduduk yang memiliki fasilistas perkotaan, real estate, komplek pertokoan, industri, perdagangan dan jasa;
c.     Sektor perkebunan, objek pajak PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya perkebunan, baik yang diusahakan oleh BUMN/BUMD maupun pihak swasta;
d.    Sektor perhutanan, objek pajak PBB dibidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil hutan seperti, kayu, rotan, damar, dan lain-lain;
e.     Sektor pertambangan, objek PBB dibidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil tambang seperti, emas, batu bara, minyak bumi, gas dan lain-lain.[1]
 Di sisi lain Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, tidak semua objek dapat dikenakan Pajak, tetapi ada beberapa objek yang dikecualikan dari  pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (pembebasan objek), yaitu:
a.     Objek yang digunakan untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b.    Objek yang digunakan untuk pemakaman, peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
c.     Objek yang digunakan untuk hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani oleh suatu hak;
d.    Objek (tanah dan bangunan) yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat asing berdasarkan syarat timbal balik;
e.      Objek yang digunakan oleh badan/perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.[2]
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak, maka yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subjek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak sehingga pajak ini disebut pajak yang objektif.


[1] Suharno, Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Direktorat PBB dan PBHTP. Jakarta. 2003. hal. 32.
[2] Mardiasmo, Op.Cit. hal.313-314

Pajak Bumi dan Bangunan


Pada tahun 1983 Pemerintah telah mengadakan pembaharuan perpajakan nasional (tax reform). Pembaharuan perpajakan nasional dipicu oleh adanya kesulitan dana pembangunan yang disebabkan turunnya harga minyak bumi di pasar dunia. Sejak pertengahan tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 harga minyak bumi di pasar dunia mengalami penurunan secara terus menerus dan sangat drastis. Adanya penurunan harga minyak bumi itu menyulitkan Indonesia, karena pada saat itu Indonesia masih mengandalkan penerimaan keuangannya dari sektor  minyak dan gas. Dampaknya antara lain pemerintah mengambil kebijakan untuk menyusun kembali skala prioritas dari proyek-proyek pembangunan. Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk mencari sumber-sumber lain selain dari minyak dan gas bumi yang dipandang mampu memberikan pemasukan keuangan Negara dan pilihan tertuju kepada pajak.
Alasan yang mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan antara lain karena landasan hukum Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) kurang jelas. Perundang-Undangan yang disusun pada zaman kolonial tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan tuntutan pembangunan yang terus meningkat.
Menurut Rochmat Soemitro dalam Sri Pudyatmoko, hal-hal yang dijadikan alasan untuk dipungutnya Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
1.    Dasar falsafah yang digunakan dalam berbagai undang-undang yang berasal dari zaman kolonial adalah tidak sesuai dengan Pancasila;
2.    Berbagai undang-undang mengenakan pajak atas harta tak bergerak sehingga membingungkan masyarakat;
3.    Undang-undang yang berasal dari zaman penjajahan masih tertulis dalam bahasa Belanda dan perubahan tertulis dalam Bahasa Indonesia, sehingga merupakan bahasa campuran, sedangkan terjemahan resmi tidak ada;
4.    Undang-undang zaman kolonial tidak lagi sesuai dengan aspirasi dan kepribadian bangsa Indonesia;
5.    Undang-undang yang berasal dari zaman kolonial sukar dimengerti oleh masyarakat;
6.    Undang-undang lama tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia;
7.    Undang-undang yang lama kurang memberi kepastian hukum.[1]

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pusat, akan tetapi hasil terbesar dari pajak ini dikembalikan kepada daerah dan menjadi pemasukan daerah. Pajak ini sangat penting keberdaanya untuk mendukung keuangan daerah. Mengingat Pajak Bumi dan Bangunan menyentuh dan melibatkan masyarakat dari berbagai lapisan maka adanya ketentuan yang mudah dimengerti, sederhana dan jelas menjadi sangat diperlukan.
Tuntutan akan adanya pajak sebagai sumber pemasukan bagi kas Negara mendorong adanya upaya pembaharuan pajak nasional. Hal tersebut tak terkecuali pada Pajak Bumi dan Bangunan, yang merupakan salah satu jenis pajak yang kelahirannya terjadi sebagai hasil dari adanya pembaharuan perpajakan nasional I.


[1] Sri Pudyatmoko,Op,Cit, hal.34.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak


Tujuan hukum salah satunya adalah keadilan. Begitu juga dengan hukum pajak juga memiliki tujuan sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, yaitu tercapainya keadilan. Dalam hukum pajak, keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal pengenaan dan pemungutan pajak. Di dalam hukum pajak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur wajib pajak dengan kewajiban-kewajibannya, hukum pajak selain itu juga mengatur tentang hak-hak yang dapat dimiliki oleh wajib pajak. Berkaitan dengan pengertian kewajiban wajib pajak, Rochmat Soemitro mengatakan:
Kewajiban pajak merupakan kewajiban publik yang pribadi, yang tidak dapat dialihkan kepada orang lain, wajib pajak dapat menunjukkan atau minta bantuan, atau memberi kuasa kepada orang lain, akan tetapi kewajiban publik yang melekat pada dirinya (persoonlijk). Khususnya mengenai pajak-pajak langsung tetap melekat padanya, dan ia tetap bertanggung jawab, walaupun orang lain dapat ikut dipertanggungjawabkan.[1]

Adapun kewajiban wajib pajak adalah sebagai berikut:
a.   Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b.  Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar;
c.  Mengisi dengan benar SPT dan dimasukkan ke kantor pelayanan Pajak dalam batas waktu yang ditentukan;
d.  Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan;
e.   Jika diperiksa wajib:
1)      Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku catatan, dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek  yang terhutang pajak;
2)      Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat dan ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
3)      Memberikan keterangan yang diperlukan.

f.    Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.[2]
Sedangkan hak-hak wajib pajak adalah:

1.  Mengajukan keberatan dan banding;
2.  Menerima tanda bukti pemasukan SPT;
3.  Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan;
4.  Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT;
5.  Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak;
6.  Mengajukan permohonan penghitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak;
7.  Meminta pengembalian kelebihan bayar;
8.  Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi serta pembetulan surat ketetapan pajak yang salah;
9.  Memberi kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.[3]


[1] Ibid,.hal.63.
[2] Mardiasmo.Op,Cit. hal. 40
[3] Mardiasmo.Ibid. hal 40-41.

Objek Pajak


Yang dapat dijadikan objek  pajak banyak sekali macamnya. Menurut Rochmat Soemitro segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek  pajak, baik keadaan, peristiwa, maupun perbuatan. Misalnya:
a.       Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu, memiliki kendaraan bermotor, radio, memiliki tanah atau barang tak bergerak, menempati rumah tertentu;
b.      Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau gedung, mengadakan pertunjukan atau keramaian, memperoleh penghasilan, bepergian ke luar negeri.
c.       Peristiwa; kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak, anugerah yang diperoleh secara tak terduga, yang berkaitan dengan segala sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia.[1]

Menurut Atep Adya Barata, yang dimaksud dengan objek pajak adalah semua penghasilan, nilai kekayaan, penyerahan barang dan jasa, nilai uang dalam transaksi lalu lintas hukum, kenikmatan dan nilai-nilai lainnya yang menurut undang-undang perpajakan yang berlaku (harus) dikenakan pajak.[2]


[1] Rochmat Soemitro, Op,Cit. Hal.101.
[2]Atep Adya Brata, Perpajakan, Armico, Bandung, 1989. hal. 5.

Subjek Pajak


Subjek  pajak adalah pihak-pihak (orang, badan, atau kesatuan lainnya yang memenuhi syarat-syarat) subjek  yaitu yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia.[1]
Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat-syarat objektif sehingga kepadanya diwajibkan pajak. Dengan kata lain setiap wajib pajak adalah Subjek  pajak.[2]
Yang menjadi subjek  pajak adalah:
a)      Orang pribadi dan/atau warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b)      Badan, terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, persekutuan, perkumpulan, firma kongsi, koperasi, yayasan  atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk usaha lain;
c)      Bentuk Usaha Tetap (BUT).[3]

Subjek  pajak dibagi lagi menjadi dua yaitu Subjek  pajak dalam negeri dan Subjek  pajak luar negeri.
Subjek  pajak dalam negeri terdiri dari:
a)      Subjek pajak orang pribadi:
a.1 orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau;
a.2 orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

b)      Subjek pajak badan, yaitu:
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan Pemerintah yang memenuhi kriteria:
b.1 Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.2  Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan
b.3  Penerimaanya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan
b.4 Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.

c)      Subjek pajak warisan, yaitu:
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.[4]

Sedangkan Subjek  pajak luar negeri terdiri dari:

a)       Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan;
b)  Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidal lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.



[1] Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Eresco, Bandung, 1988, hal.1.
[2] Ibid,hal.47.
[3] Mardiasmo,Op.Cit, 129-130.
[4] Ibid,hal.130-131.

Asas dan Dasar Pajak


Di dalam pajak, dikenal adanya beberapa asas yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir, dan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “asas” antara lain diberikan pengertian sebagai “sesuatu  kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir”.
Sudikno Mertokusumo dalam Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa asas hukum  atau prinsip hukum  bukanlah merupakan peraturan hukum  konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang dari setiap sistem hukum  yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum  positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan hukum  konkrit tersebut.[1]
a.       Asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara (Rechtfilosofis)
Asas ini mencari dasar pembenar terhadap pengenaan pajak oleh Negara. Terdapat beberapa teori mengenai asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara, yakni:
1)      Teori Asuransi
Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi, di mana pembayar pajak (wajib pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung, sementara  itu, Negara dipersamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi.[2]
2)      Teori Kepentingan (equivalentie)
Teori ini mengatakan bahwa Negara mengenakan pajak terhadap rakyat, karena Negara telah melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenar mengapa  Negara mengenakan pajak adalah karena Negara telah berjasa kepada rakyat selaku wajib pajak, dimana pembayaran pajak itu besarnya equivalent (setara) dengan besarnya jasa yang sudah dapat diberikan oleh Negara kepadanya.[3]
3)      Teori kewajiban pajak mutlak
Teori ini sering juga disebut “Teori Bhakti”. Teori ini didasarkan pada organ theory dari Otto von Gierke, yang menyatakan bahwa Negara itu merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga Negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga individu tidak mungkin dapat hidup.[4]
4)      Teori daya beli
Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat.[5]
5)      Teori pembenaran pajak menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada pengorbanan setiap anggota keluarga (anggota masyarakat) untuk kepentingan keluarga (bersama) tanpa mendapatkan imbalan.[6]
b.      Asas pembagian beban pajak
Asas ini mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana agar beban pajak itu dikenakan kepada rakyat secara adil, di dalam asas ini terdapat:
1)      Teori daya pikul
Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul menurut             W.J de Langen yang dikutip oleh Rochmat Soemitro dalam     Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan  pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarga.[7]
2)      Prinsip benefit (benefit principle)
Menurut asas ini pengenaan pajak seimbang dengan benefit yang diperoleh wajib pajak dari jasa-jasa publik yang di berikan oleh pemerintah. Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan prinsip benefit ini untuk mengukur aspek keadilan dalam perpajakan.[8]
3)      Asas Pengenaan Pajak
Asas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa/pemerintah Negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tertentu.
Dalam hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu Negara, berhadapan dengan Negara lain. Mengenai hal ini dapat diterapkan:
a)       Asas Negara tempat tinggal (domisili)
Asas ini sering juga disebut asas domisili,  yakni Negara di mana seseorang bertempat tinggal tanpa memandang  kewarganegaraannya mempunyai hak yang tak terbatas untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang itu dari semua pendapatan yang diperoleh orang itu dengan tidak menghiraukan dimana pendapatan itu diperoleh.[9]
b)      Asas Negara sumber
 Asas Negara sumber yang  mendasarkan penarikan pajak pada tempat di mana sumber itu berada. Negara dimana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.[10]
c)      Asas kebangsaan
Asas yang mendasarkan pengenaan pajak seseorang  pada status wajib pajak yang dikenakan pajak adalah semua orang yang mempunyai kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.[11]
Dalam kaitannya dengan asas pengenaaan pajak, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan sendiri menentukan bahwa yang menjadi subjek pajak/wajib pajak adalah orang atau badan yang secara nyata memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat dari bangunan. Dari isi ketentuan tersebut maka subjek pajak pada PBB tidak terbatas pada orang yang berkebangsaan Indonesia, atau berdomisili di Indonesia saja melainkan lebih dari itu orang yang memperoleh manfaat dari objek pajak dari Indonesia pun juga dapat dikenai pajak. Pajak Bumi dan Bangunan nampaknya cenderung menggunakan asas sumber, karena yang berwenang mengenakan pajak adalah pemerintah dari Negara di mana sumber itu berada yang berupa kekayaan (bumi dan/atau bangunan) itu berada.
4)      Asas Pelaksanaan Pemungutan Pajak
Dalam asas ini,terkait di dalamnya beberapa asas yakni:
a)      Asas Yuridis
Menurut asas ini hukum  pajak harus dapat memberikan jaminan hukum  yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik untuk Negara maupun warganya. Pajak di Negara hukum segala sesuatunya harus ditetapkan dalam undang-undang. Hukum  pajak harus dapat memberikan jaminan hukum  bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak yakni pihak fiscus dan wajib pajak.[12]
b)      Asas Ekonomis
Pajak selain memiliki fungsi anggaran akan tetapi juga memiliki fungsi mengatur. Oleh karena fungsi yang demikian maka pemungutan pajaknnya:
1.      Harus diusahakan jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan;
2.      Harus diusahakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya mencapai kebahagiaan;
3.      Harus diusahakan jangan sampai merugikan kepentingan umum.[13]

c)      Asas finansial
Asas ini berkaitan dengan fungsi anggaran, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas Negara. Sehubungan dengan hal itu pemungutan pajak agar hasil yang diperoleh besar maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.[14]
Asas-asas pemungutan pajak, Adam Smith dalam bukunya              An Inquiry IntoThe Nature and Cause of The Wealth of Nations dalam     Erly Suandy mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama Four Canons atau Four Maxims yaitu sebagai berikut:
a.      Equality Equity yaitu pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah. Dalam hal Equality tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda.
Asas Equity lebih menunjuk pada rasa keadilannya bahwa pengenaan pajak tersebut harus adil dan merata.
b.      Certainty yaitu pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya.
c.       Convenience of Payment, yaitu pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
Economic of Collections, yaitu pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.[15]


[1] Ibid,.hal 16.

[2] Ibid,.hal 23.
[3] Ibid,.hal 23.
[4] Ibid,.hal 24.
[5] Ibid,.hal 25.
[6] Ibid,.hal 26.
[7] Ibid,.hal 26.
[8] Ibid,.hal 26.
[9] Ibid,.hal 27.
[10] Ibid,.hal 27.
[11] Ibid,.hal 27.
[12] Ibid,.hal 28.
[13] Ibid,.hal 28.
[14] Ibid,.hal 28.
[15] Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hal 27-28.