Model pendekatan implementasi
kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of
the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini
merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan
yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi
kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model
ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari
keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini
menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang
saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
- Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan
tujuan kebijakan
- Sumber daya
- Karakteristik organisasi pelaksana
- Sikap para pelaksana
- Komunikasi antar organisasi terkait dan
kegiatan-kegiatan pelaksanaan
- Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter
dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:
1. Standar dan sasaran
kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan
dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang
bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan.
Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit
direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998)
mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan
standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan,
kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian
standar dan sasaran tersebut.
Pemahaman tentang maksud umum
dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan
yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials),
tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan
tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors).
Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan
tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors
mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka
menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater
dan Van Horn, 1974).
2. Sumber daya
Keberhasilan implementasi
kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang
tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan
keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut
adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang
diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain
sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan
penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New
town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major
contributor to the failure of the program”.
Van Mater dan Van Horn (dalam
Widodo 1974) menegaskan bahwa:
”Sumber daya kebijakan (policy
resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan
ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi
implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif
lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu
kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi
kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi
kebijakan.”
3. Karakteristik
organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada agen
pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat
dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi
kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para
agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan
dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat
dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan
persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting
dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.
Menurut Edward III, 2 (buah)
karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja
standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi.
- Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai
respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana
dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi
yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk
situasi tipikal di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan
karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin
menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan
cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk
mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan
perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar
probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).
- Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).
4. Komunikasi antar organisasi
terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Agar kebijakan publik bisa
dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo
1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors).
Yang bertanggung jawab atas
pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus
dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian
informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan
tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari
berbagai sumber informasi.
Jika tidak ada kejelasan dan
konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka
yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan
kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan
darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik,
pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan
komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari
suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami
ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber
komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent)
terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan
interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada
suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit
untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan demikian, prospek
implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada
para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and
consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu,
koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin
baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.
5. Disposisi atau sikap
para pelaksana
Menurut pendapat Van Metter dan
Van Horn dalam Agustinus (2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari agen
pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan
yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil
keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau
permasalahan yang harus diselesaikan”.
Sikap mereka itu dipengaruhi oleh
pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu
terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan
pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa
implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih
dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana
kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat
mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan,
antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman
dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan,
kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,
neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah
penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa
jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials),
tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah
disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan
kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap
standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”.
Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan
mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn,
1974).
Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan
tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn,
1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors)
dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya
implementasi kebijakan.
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan
kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan
eksternal yang kondusif.
Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn
dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:
Sumber: Agustino, Leo. 2006. Dasar – Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta.
kok ndak bisa di copy
ReplyDeletemenurut saya ini sangat membantu para pembaca untuk sebagai data dukung literatur untuk sebuah penulisan karya ilmiah
ReplyDelete