Senin, 23 April 2012

Downsizing


Untuk mewujudkan organisasi belajar, harus dilakukan pemelajaran dan pembelajaran organisasi. Pembelajaran organisasi (Organizational Learning) membutuhkan perubahan yang bukan hanya continuous improvement, namun bila perlu dapat dilakukan perubahan dramatik bahkan discruptive. Yang memang telah banyak digunakan dan berisiko minimal adalah dengan mengadakan perbaikan secara terus-menerus dan berkesinambungan (continuous improvement). Namun, ada pihak yang merasa proses perubahan tersebut memakan waktu lama dan membutuhkan kesabaran. Cara lain yang dapat dilakukan dalam mengadakan pembelajaran adalah cara yang dramatik, misalnya dengan downsizing yaitu tipe perubahan organisasi yang paling descruptive dan dramatic, di mana pimpinan harus merupakan yang berpengalaman (dalam T. Hani Handoko 2004: 61). Namun, downsizing merupakan deskripsi yang tidak mencukupi bagi perubahan-perubahan yang merupakan pengalaman organisasi. Ada tiga hal yang tercakup di dalamnya, yaitu reduction, restructuring, dan reorganizing yang masing-masing merupakan kegiatan yang nyata dan sangat jarang dilakukan tanpa bentuk reorientasi organisasi lainnya.
Downsizing didefinisikan sebagai keputusan manajemen yang disengaja untuk mengurangi tenaga kerja yang digunakan untuk memperbaiki kinerja organisasi. Definisi downsizing juga mengacu pada pengurangan organization’s work force size. Downsizing juga merupakan konsep atau metode alternatif untuk mengadakan pengurangan, seperti pengurangan jam kerja, pekerjaan, pemborosan, dan penggambaran ulang. Menurut Cameron et al. (1991), penggunaan strategi pengurangan work force akan mengurangi kinerja organisasi. Namun, penggunaan organization redesign dan atau systemic change strategy berhubungan secara positif pada kinerja organisasi yang berkaitan pada pengurangan biaya dan continuous improvement.
Menurut Palmer  (dalam T. Hani Handoko, 2004) , ada dua fokus downsizing yang harus diperhatikan yaitu adanya asumsi bahwa akibat negatif downsizing dapat dikurangi bila proses dikelola dengan tepat, dan hubungan antara downsizing dan strategi mencakup adanya asumsi bahwa pengurangan biaya melalui penggunaan downsizing merupakan solusi bagi berbagai masalah dalam organisasi yang gemuk dan malas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa downsizing dapat berhasil dengan baik dalam suatu organisasi yang dikelola secara baik dan profesional dengan memperhatikan banyaknya karyawan yang efektif dan efisien. Dengan kata lain, jika program downsizing telah masuk dalam perencanaan strategik dan diterapkan secara baik dan benar, maka manfaat besar akan dicapai organisasi.
Menurut Cameron, ada tiga pendekatan dalam downsizing, yaitu: a Workforce Reduction Strategy yang memfokuskan pada pengurangan hitungan terbesar dalam organisasi, An Organization Redesign Strategy, yang melibatkan elemen-elemen penundaan, pengurangan pekerjaan, dan job redesign, sehingga jumlah pekerjaan berkurang seperti pengurangan benyaknya hitungan terbesar dalam organisasi dan The Systemic Change Strategy, yang memang disengaja untuk mempromosikan perubahan yang lebih mendasar yang berdampak pada budaya organisasi melalui keterlibatan karyawan dan taat pada strategi continuous improvement atau kaizen dalam bahasa jepang. Dari ketiga pendekatan tersebut tampak bahwa downsizing diterapkan semata-mata melalui pengurangan hitungan terbesar organisasi atau kombinasi satu atau lebih strategi lain yang mengurangi banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, downsizing juga dilakukan untuk mendukung perubahan struktur dan budaya organisasi. Karena itulah salah satu dampak dari downsizing adalah berubahnya struktur organisasi, visi misi, tujuan organisasi dimana kesemuanya itu akan berimbas pada kinerja organisasi mewujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar