Jumat, 07 Juni 2013

Hukum Pidana


Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
a). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang serta disertai ancaman/ sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
b). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu, dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.[1]
Menurut isinya, hukum yang berlaku dapat dibagi ke dalam dua macam hukum, yaitu[2] :
(1)   Hukum Publik. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan negara, antara badan atau lembaga negara yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan masyarakat atau negara. Termasuk dalam Hukum Publik antara lain : Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara.
(2)   Hukum Sipil. Hukum Sipil adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain sebagai anggota masyarakat, dan menitikberatkan pada kepentingan perorangan yang bersifat pribadi. Termasuk dalam Hukum Sipil antara lain : Hukum Perdata, Hukum Dagang.

Melihat pembagian hukum di atas, jelaslah bahwa hukum pidana termasuk dalam hukum publik, yang berarti hukum pidana lebih condong mengatur kepada kepentingan masyarakat atau negara. Rumusan tentang hukum pidana di kalangan para sarjana hukum masih terlihat beraneka ragam, belum ada satu pun rumusan yang dianggap sebagai rumusan yang sempurna dan dapat diberlakukan secara umum.
Menurut Mezger yang kemudian dikutip oleh Sudarto dalam buku Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Hukum Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana[3].
W.L.G Lemare memberikan pengertian mengenai hukum pidana sebagai berikut:
Het strafrecht is samengesteld uit die normen welke geboden en verboden bevatten en waaraan (door de wetgever) als sanctie straf, d.i. een bijzonder leed, is gekoppeld. Men kan dus ook zeggen dat het starfrecht het normen stelsel is, dat bepaalt op welke gedragingen (doen of niet-doen waar handelen verplicht is) en onder welke omstandigheden het recht met straft reageert en waaruit deze straf bestaat[4].
Yang artinya : ”Hukum Pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut”.
Pompe telah membuat rumusan singkat mengenai hukum pidana dengan mengatakan :
Het straftrecht wordt, evenals het staatsrecht, het burgerlijk recht en andere delen van het recht, gewoonlijk opgevalt als een geheel van min of meer algemene, van de concrete omstandigheden abstraherende, regels[5]

Yang artinya : ”Hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret”.
Menurut Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin[6]. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Simons merumuskan pengertian hukum pidana dalam arti objektif sebagai berikut :
het geheel van verboden en geboden, aan welker overtreding door de Straat of eenige andere openbare rechtsgemeenschap voor den overtreder een bijzonder leed ”straf” verbonden is, van de voorschiften, door welke de voorwarden voor dit rechtsgevolg worden aangewezen, en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgeled en toegepast”.

Yang artinya : ”keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”.
Hukum pidana dalam arti subjektif itu mempunyai dua pengertian, yaitu:
a.       Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif;
b.      Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukuman.
Hukum pidana dalam arti subjektif di dalam pengertian seperti yang disebut terakhir di atas, juga disebut sebagai ius puniendi. Dikatakan bahwa salah satu pengertian dari hukum pidana dalam arti subjektif itu adalah hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif. Peraturan-peraturan ini membatasai kekuasaan dari negara untuk menghukum. Orang baru dapat berbicara mengenai hukum pidana dalam arti subjektif menurut pengertian ini, apabila negara telah menggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditentukan terlebih dahulu.[7]
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana dalam pengertian hukum pidana materiil. Menurut Satochid Kartanegara bahwa hukum pidana materiil berisikan peraturan-peraturan tentang[8] :
1)      Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman, seperti mengambil barang milik orang lain atau dengan sengaja merampas nyawa orang lain.
2)      Siapa-siapa yang dapat dihukum atau mengatur pertanggungan jawab terhadap hukum pidana.
3)      Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang.
Moeljatno memberikan pengertian luas terhadap hukum pidana[9], yaitu:
1)  Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2)      Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3)      Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.


[1] Nagendra Kr Singh, Etika Kekerasan Dalam Islam, Jogjakarta: Pustaka Alif, 2003, hlm. 21.
[2] Iswanto, 1995, Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Purwokerto, Fakultas Hukum UNSOED, hlm. 7
[3]  Sudarto, Op. Cit, hlm 5
[4] Lemare dalam P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 1.
[5] Ibid., hlm 3.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm 4.
[8] Sebagaimana dikutip  Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 5.
[9] Ibid., hlm. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar