Kamis, 16 Mei 2013

Kebijakan Obat Murah Dalam Rangka Meningkatkan Jangkauan Masyarakat Terhadap Konsumsi Obat


I.         LATAR BELAKANG
Salah  satu unsur yang memegang peranan penting terhadap kesehatan masyarakat adalah keterjangkuan obat yang beredar di masyarakat. Obat mungkin tidak di jangkau dengan alasan pendistribusian yang tidak merata, namun kebanyakan obat tidak dapat dijangkau masyarakat karena harganya yang mahal. Daya beli masyarakat Indonesia terhadap obat masih rendah. Hal ini terlihat dari tingkat pengeluaran masyarakat indonesia pada kesehatan yang hanya $5/Kapita/tahun hal ini jauh jka dibandingkan dengan $12 di Malaysia dan $40 di Singapura.
Pada bulan Juni 2007 pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan baru yaitu adanya program obat seribu, diharapkan melalui program ini tingkat jangkauan masyarakat terhadap obat-obatan akan meningkat. Obat murah yang dimaksud merupakan obat-obatan yang sering digunakan masyarakat. Obat Murah pada dasarnya adalah obat obat bebas (OTC) yang tidak bermerek. Meski demikian agak berbeda dengan obat generik karena dalam Obat Murah yang ditonjolkan adalah khasiatnya bukan nama generiknya agar masyarakat awam mudah mengenalinya.
Secara teoritis kualitas dan khasiat Obat Murah tidak berbeda dengan obat yang lain karena cara pembuatan dan bahan bakunya harus sesuai dengan metoda dan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan obat yaitu PT. Indofarma, obat ini dijual dengan harga Rp 1000 per strip, dimana setiap satu strip berisi 5-6 tablet. Dua belas dari dua puluh jenis obat murah tersebut saat ini telah resmi beredar di pasaran. Obat-obat tersebut merupakan obat yang banyak dikonsumsi masyarakat, yaitu obat penurun panas, obat penurun panas anak, obat sakit kepala, obat flu, obat batuk dan flu, obat batuk cair, obat batuk berdahak, obat maag, obat asma, obat tambah darah, obat cacing, dan obat cacing anak. Program obat murah merupakan kerjasama antara Departemen Kesehatan dan perusahaan obat, dan dalam pelaksanaannya obat itu langsung didistribusikan ke apotik atau toko obat
Respon masyarakat terhadap munculnya obat murah ini beragam. Secara umum ada dua pandangan. Pertama, pihak yang menyambut baik dan mendukung pemerintah. Kedua, pihak yang skeptis dan meragukan kualitas obat murah. Adanya dua kelompok yang berbeda pandangan terhadap program pemerintah ini bukan hal yang baru. Ketika peraturan mengenai obat generik pertama kali diberlakukan, reaksi yang timbul di masyarakat hampir serupa.
Kelompok masyarakat yang meragukan obat murah terlanjur menganggap bahwa obat yang berkualitas adalah obat yang harganya mahal. Sedangkan, obat yang murah selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah dan untuk masyarakat miskin. Padahal, tak selamanya obat berkualitas itu mahal, dan tidak pula selalu obat yang harganya murah itu kualitasnya di bawah standar.
Namun pada kenyataannya dilapangan keberadaan obat murah ini belum diimbangi dengan distribusi yang merata. PT. Indofarma selaku distributor tunggal belum bisa menjangkau toko obat kecil dan warung-warung, bahkan yang berada di kota-kota besar. Distribusi yang tidak merata juga disebabkan oleh adanya pembelian dalam jumlah besar oleh distributor nakal yang ingin mengambil keuntungan dari murahnya harga obat ini. Bahkan pembelian ini sudah berlangsung sebelum obat tersebut di jual ke masyarakat luas.
Peran pelayanan kesehatan terhadap keberadaan obat murah juga masih rendah. Kalangan dokter yang turut mempromosikan obat murah masih sangat sedikit. Hal ini ditengarai banyak kalangan dokter yang belum tersentuh sosialisasi obat murah. Akibatnya, dokter belum optimal memberikan edukasi tentang obat murah kepada masyarakat.
Apakah obat yang mahal menjamin mutu obat dilihat dari segi penyembuhan? Seorang dokter di Australia pernah ditanya oleh pasien yang berasal dari Indonesia mengapa dia memberikan obat X yang harganya jauh lebih murah dibanding obat Y untuk penyakitnya, si dokter kemudian menjawab karena memang obat X jauh lebih bagus dibanding obat Y.  Pada pasien-pasien Indonesia yang berada di Australia memberikan kenyataan bukti bahwa obat murah justru lebih baik daripada obat mahal. Hal ini dikarenakan produksi obat memang tidak semata-mata untuk pengobatan yang ilmiah, tetapi juga untuk kepentingan komersial. Harga obat ditetapkan setelah dihitung biaya riset, biaya pemasaran, promosi, bentuk sediaan, kemasan, rasa obat agar dapat diterima dan menarik bagi konsumen dan dokter-dokter. Dan karena ilmu marketing sudah sedemikian canggih, obat-obat yang kurang baik pun dapat mengalahkan obat-obatan yang sebenarnya lebih baik.
Perdangan obat agak berbeda dengan perdagangan barang-barang yang lain. Dari segi konsumen pasien sesungguhnya dalam keadaan yang lemah. Tidak seperti proses jual-beli lainnya dimana pembeli adalah raja. Berapa harga obat sesungguhnya pasien tidak tahu persis. Berbeda dengan jual beli baju misalnya, pembeli sadar akan biaya yang akan dibayarnya dan bahkan dapat menawar harga itu apabila dinilainya. Ada semacam ketidaktahuan dari para konsumen obat sehingga mereka menyerah dengan harga yang ditawarkan kepadanya.
Selain itu masih ada faktor lain yang dapat lebih mendorong mahalnya harga obat yaitu rasa aman yang ingin didapat. Tidak saja oleh para pasien yang diobati, tetapi juga rasa aman dokter yang mengobati. Karena yang dipertaruhkan adalah kesehatan atau bahkan jiwa seseorang, maka baik pasien maupun dokter akan cenderung meminta dan memberi hadiah yang berlebih agar rasa aman pada keduanya dapat dicapai. Hubungan pasien –dokter yang alami seperti itu sering mengabaikan aspek – aspek rasional sehingga baik pasien maupun dokter sangat rentan terhadap upaya pemasaran pabrik-pabrik obat, sehingga terjadi praktek-praktek pengobatan yang kurang rasional.
Meletakkan obat semata-mata pada fungsi sosial dengan mengabaikan aspek ekonomi sama sekali belum tentu juga akan membawa kebaikan bagi kemanusiaan. Keadaan seperti ini mungkin kurang mendorong adanya riset sehingga penemuan obat-obat yang baru akan terhambat, sebaliknya meletakkan obat semata-mata pada nilai ekonomisnya tanpa memperhatikan fungsi sosial juga akan meletakkan obat semata-mata sebagai barang dagangan atau komersial semata. Karena ini pengaturan terhadap distribusi dan harga obat sangat penting untuk dilakukan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Di Indonesia sendiri pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan yang berhubungan dengan pengadaan obat terjangkau bagi masyarakat. Salah satunya adalah adanya  kebijakan obat generik yang sudah  ada di pasaran. Obat generik merupakan obat  yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan obat paten.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf kesehatan rakyat melalui program obat murah patut diacungi jempol. Namun jalannya tidak mudah. Jalan mendaki lagi terjal dan berliku masih terbentang untuk membuat program obat murah benar-benar terasa manfaatnya bagi masyarakat miskin. Sosialisasi, distribusi yang merata, pengawasan ketat, dan ketegasan sikap terhadap oknum yang melanggar peraturan menjadi pekerjaan rumah pemerintah demi menyukseskan program ini. Namun apakah benar kebijakan obat murah ini mampu meningkatkan konsumsi obat di masyarakat sehingga berefek pada peningkatan derajat kesehatan di masayarakat.  Begitu banyak macam persoalan yang dapat dikaji dari kebijakan obat murah ini sehingga didapat hasil yang maksimal dari kebijakan ini.

II.      PERMASALAHAN
Masalah – masalah yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan obat adalah sebagai berikut :
1.    Apakah kebijakan pemerintah dalam program obat murah mampu menjawab tantangan dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat?
2.    Faktor-faktor apa sajakah yang menghambat pemerintah dalam kebijakan obat murah tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar