Selasa, 30 April 2013

KENDALA DAN HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM FORTIFIKASI


I.            PENDAHULUAN
Di Indonesia, program fortifikasi pangan didasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam hal ini pemerintah menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan dan dikonsumsi masyarakat, terutama yang berekonomi lemah. Program fortifikasi pangan juga tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014. Di banyak negara, fortifikasi merupakan program andalan untuk mencegah gizi mikro, yaitu kekurangan vitamin dan mineral yang banyak diderita penduduk, terutama anak dan ibu hamil. Selama ini pemerintah telah memberlakukan kewajiban fortifikasi bagi garam dengan yodium sejak tahun 1994. Kemudian fortifikasi wajib tepung terigu pada tahun 2001 dan 2008, yaitu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin BI dan B2.
Beberapa negara menetapkan target untuk menghilangkan kekurangan zat gizimikro pada tahun 2000. Tujuan dasar dari semua program-program zat gizi mikro nasional adalah untuk manjamin bahwa zat gizimikro yang dibutuhkan tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk (terutama penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizimikro tersebut). Strategi-strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi.
Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.
II.            ISI
Penduduk dunia dengan proporsi yang signifikan menderita atau beresiko terhadap kekurangan vitamin dan mineral, yang biasa dikenal sebagai zat gizimikro. Asupan yang cukup dan ketersediaan vitamin dan mineral yang esensial secara erat berkaitan dengan kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental, kesehatan yang baik secara umum, dan kesejahteraan menyeluruh dari semua individu dan masyarakat. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi luasnya cakupan kekurangan zat gizimikro di negara-negara berkembang.
Vitamin A, zat besi dan iodium adalah tiga zat gizi mikro utama yang menarik banyak perhatian, terutama pada dekade terakhir. Alasan-alasan dibalik pemfokusan usaha-usaha untuk mengurangi defisiensi ketiga zat gizimikro ini adalah:
¾    Didasarkan pada informasi yang tersedia: kekurangan vitamin A, iodium dan anemi gizi besi memiliki prevalensi yang tinggi di dunia dewasa ini;
¾    Informasi yang tersedia sebagai konsekuensi kekurangan zat gizimikro tersebut terhadap kesehatan fisik dan mental, pendidikan, kapasitas kerja, dan efisiensi ekonomi;
¾    Meskipun beberapa konsekuensi klinis dari kekurangan zat gizimikro telah lama diketahui, dimensi global dan spektrum yang luas dari efek dentrimental dari kekurangan zat gizimikro yang sedang (mild) terhadap perkembangan fisik dan mental, mortalitas, dan morbiditas telah diketahui belakangan ini;
¾    Luasnya spketrum kekurangan zat gizimikro ini pada tingkat populasi dapat diukur secara relatip dengan akurat; dan
¾    Solusi untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro telah diketahui dan mudah diimplementasikan dan biayanya relatif murah.
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan dan untuk meningkatkan status gizi populasi. Namun demikian, fortifikasi pangan juga digunakan untuk mengganti dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya. Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan sebanding.
The Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan  yang dikonsumsi  secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.

1.      Fortifikasi Yodium
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversibel itu sebabnya penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium.
Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air telah dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam  impure salt pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. 
Pada kenyataannya, program yodisasi garam di Indonesia dalam upaya menanggulangi GAKY sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk menunjang program yodisasi garam tersebut. Di antara penyebab hal ini adalah lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah. Permasalahan ini menunjukkan diperlukannya suatu  cara yang dapat mengeliminasi peredaran garam yang tidak beryodium.
Situasi dan kondisi di Indonesia menunjukkan betapa sulitnya mengatur produsen garam kecil untuk mendukung USI. Yodisasi garam di negara Indonesia dimulai sejak penjajahan Belanda  pada  tahun 1927,  kemudian terhenti di tahun 1945 ketika monopoli garam dibubarkan.  Pada  tahun  1976  usaha untuk melenyapkan GAKY dimulai lagi dengan bantuan dari UNICEF, tetapi tidak berhasil karena minimnya tanggung jawab dan koordinasi di antara para menteri dan sektor swasta  di dalamnya.
Beberapa faktor yang dapat menjadi penghambat adalah:
1)      Harga garam beryodium yang lebih mahal dibandingkan dengan garam yang tidak beryodium, membuat masyarakat lebih memilih garam yang tidak beryodium untuk konsumsi sehari-harinya.
2)      Minat dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap garam beryodium,
3)      Kurangnya kesadaran produsen untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan nilai kandungan minimal sehingga banyak garam beryodium yang tidak memenuhi syarat,
4)      Lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah,
5)      Ketersediaan garam beryodium yang memenuhi persyaratan belum memadai.

2.      Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai atau mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatan jangka panjang (Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal diterimanya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisien zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa fortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti  besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain.
Dibandingkan dengan zat gizi mikro lain, zat besi dikatakan sebagai mineral yang paling sulit difortifikasi. Permasalahan utamanya adalah senyawa besi larut air seperti besi sulfat, besi laktat dan sebagainya, yang diketahui paling mudah diserap tubuh, seringkali menyebabkan perubahan warna dan bau yang tidak diinginkan pada pangan pembawanya. Sebagai contoh, penambahan pada garam kualitas rendah dengan cepat akan mengakibatkan perubahan warna dan bau tidak sedap, akibat reaksi antara ion besi dengan udara dan senyawa pengotor seperti magnesium klorida dan magnesium sulfat. Disisi lain senyawa tidak larut air seperti besi elemen tidak menimbulkan perubahan warna dan bau, namun sulit diserap oleh tubuh sehingga nilai gizinya sangat rendah. Selain itu, permasalahan utama lainnya adalah terjadinya reaksi antara iodium dengan besi yang mengakibatkan berkurang atau hilangnya kandungan iodium.
Oleh karenanya, pada pengembangan teknologi fortifikasi garam beriodium dengan zat besi, kedua permasalahan ini harus diatasi agar didapatkan garam fortifikasi yang dapat diterima secara organoleptik dan memiliki nilai gizi yang tinggi.


3.      Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan membandingkan antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersia (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan atau digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan.  Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retinol  atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, teh, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah difortifikasi  oleh vitamin A.
Meskipun vitamin A ada pada buah dan sayuran, tetapi jumlah yang dikonsumsinya harus banyak. Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk penanggulangan kekurangan vitamin A adalah diversifikasi pangan, suplementasi vitamin A dosis tinggi, dan fortifikasi pangan. Pemberian suplemen atau kapsul vitamin A masih tergolong mahal bagi masyarakat, salah satu solusi yang dapat digunakan adalah fortifikasi vitamin A. Permasalahannya adalah mencari vehicle atau kendaraan yang tepat untuk fortifikasi. Kandidat Bahan pangan yang dapat digunakan untuk fortifikasi saat ini adalah minyak goreng. Beberapa alasan yang membuat minyak goreng potensial sebagai kendaraan fortifikasi vitamin A adalah karena minyak goreng merupakan komoditas kedua setelah beras yang dikonsumsi oleh lebih dari 90% penduduk, konsumsi minyak goreng per kapita yang mencapai > 23 gram (lebih dari 10 gram jumlah minimun untuk fortifikasi), rumah tangga rata-rata menggunakan 1-3 kali minyak goreng untuk penggorengan, stabilitas vitamin A selama penyimpanan dan penggorengan juga telah teruji (retensi selama penggorengan tinggi), dan dibuktikan dengan berbagai penelitian bahwa konsumsi minyak goreng berfortifikasi vitamin A terbukti mampu meningkatkan status vitamin A anak usia sekolah.

III.            PENUTUP
Kecukupan gizi terutama yang terkait langsung dengan pertumbuhan, kecerdasan otak dan kesehatan secara universal khususnya iodium dan zat besi serta protein amat penting. Agar supaya Indonesia tidak kehilangan satu generasi sebagai akibat kurangnya asupan gizi dalam diet maka sudah menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama terpadu guna mengatasi kekurangan gizi sehingga diperoleh generasi yang cerdas dan tangguh. Salah satunya adalah dengan dilakukannya program fortifikasi zat gizi pada produk pangan.
Untuk itulah kualitas SDM memerankan peranan yang penting dalam pengembangan bangsa. Pengembangan ilmu dan pengetahuan ( IPTEK ) yang berlangsung cepat dan menjadi barometer kemajuan suatu bangsa membutuhkan SDM berkualiats tinggi. Maka hal ini perlu dan harus didukung status gizi yang baik dan memadai. Begitu kompleksnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh kekurangan gizi. Oleh karena itu untuk memenuhi kecukupan gizi perlu pula di fahami suatu kebijaksanaan yang juga harus ditanggapi dengan sikap yaitu makan dengan menu seimbang dan tidak berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA
Bauernd, JC. 1994. Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M.
Ed. Modern nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition, Chaper Burgi, H.; Supersaxo, Z.; Selz, B. 1990. Iodine deficiency diseases in Switernland one hundred years after Theatre Kocher's survey: A historical review with some new goitre prevalence data. Acta Endocrinologica. Copenhagen.

Harris, RS. 1968. Attitudes and approaches to supplementation offoods with
nutrients. J. Agr. Food Chern. 16(2), 149-152.

INNAG. 1993. Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG.
Wahongton, DC. USA.

WHO. 1995. Global prevalence of vitamin A deficiency. WHO Micronutrient
Deficiency Onformation Systems: Working Paper Number 2. WHO, Geneva, Switzernland.

WHO. 1994. Indicator for assesing iodine deficiency disorders and their controll
through salt iodization. WHO/UNICEF/ICCIDD.Doc. WHO, Geneva, Switzernland.

WHO. 1992. National strategies for overcoming micronutrient malnutrition
EB89/27. 45th World Health Assembly Provisional Agenda Item 21;

WHO, Geneva, Switzernland. World Banka. 1994. Enriching Lives. Overcoming
vitamin A and mineral malnutrition in developing countries. The World Bank. DC, USA.

Anisatusholihah, dkk. 2009. Modifikasi Alat Fortifikasi Yodium Portable Dan
Iodine Test Kit Untuk Menanggulangi Masalah Gangguan AKIBAT Kekurangan Yodium (Gaky) Di Indonesia. http://benbayu.files.wordpress.com/2010/03/4-5-1-anisatusholihah-modifikasi-alat-ortifikasi.pdf. Diakses tanggal 10 April 2011



Sylviana dalam Food Review. 2008. Permasalahan Utama Gizi Indonesia: Defisiensi Zat Gizi Mikro

Yun dalam  Kompas.com. 2010. Fortifikasi Minyak Goreng dengan Vitamin A. http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/02/11244093/Fortifikasi.Minyak.Goreng.dengan.Vitamin.A. diakses tanggal 11 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar