Senin, 22 April 2013

Menuju Mekanisme Check And Balance Eksekutif, Legislatif, Dan Yudikatif Yang Fair Pasca Amandemen UUD 1945 Ke-4


Paham separation of power[1] atau pemisahan kekuasaan berasal dari pemikiran Baron de Montesquieu, seorang filsuf politik dari masa pencerahan (reinnasance), diambil dari model pemerintahan demokratis.

Model yang dikemukakan oleh Montesquieu berupa negara dengan pemerintahan bercabang-cabang, dimana setiap cabang akan memiliki kekuasaan terpisah dan independen terutama dalam kewenangan. Pemisahan kekuasaan dari konsep Trias Politica ini berpandangan bahwa cabang pemerintahan yang utama berdasarkan pada tiga bagian: eksekutif, legislatif, dan judicial.

Tujuan dari pemisahan kekuasaan adalah untuk melindungi kepentingan demokrasi dan menghindarkan terjadinya pemusatan kekuasaan yang berakibat pada tirani.  Tirani sangat tidak diharapkan dalam pemisahan kekuasaan.  Sejauh ini, Profesor Charles M. Hardin berpendapat bahwa apapun tujuan akhir dari pemisahan kekuasaaan telah terbukti melambatkan proses terjadinya pemerintahan dictator yang sewenang-wenang, cenderung mengabaikan keberadaan lembaga legislatif sebagai perwakilan rakyat.

Pemerintahan demokratis sangat anti pemusatan kekuasaan yang bersifat absolut.  Dan tidak ada satupun pemerintahan yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan secara kaku.  Walaupun begitu, beberapa negara cenderung mengaplikasikan pemisahan kekuasaan sebagai dasar merancang sistem pemerintahan mereka.

Berbeda dengan pemisahan kekuasaan yang cenderung dimiliki oleh sistem pemerintahaan presidensiil, peleburan kekuasaan atau difussion of power cenderung dianut oleh sistem pemerintahan parlementer.  Salah satu negara yang mengadopsi sistem peleburan kekuasaan adalah republik kelima perancis. Selain itu, Walter Bahegot memberikan contoh di Inggris, dimana rakyat memilih anggota legislatif dan untuk selanjutnya anggota legislatif memilih eksekutif.

Beberapa contoh negara yang Contoh negara dengan 3 cabang pemerintahan:

1.                                       PRC (Cina)
2.                                       Costa Rica
3.                                       Amerika Serikat

Negara dengan 4 Cabang pemerintahan:

1. Uni Eropa
·  European Commission - eksekutif
·  European Parliament & Council of the European Union - legislatif
·  European Court of Justice - Judicial
·  European Court of Auditors – Auditory

2. Perancis

Negara dengan 5 cabang pemerintahan:

1. Taiwan
·        Eksekutif yuan
·        Legislatif yuan
·        Judicial yuan
·        control yuan - auditory
·        Examination yuan

2. Inggris
·     United Nations
·     General assembly - legislatif
·     Security council
·     economic and social council
·     International court of justice - judicial
·     Secretariat - executive

Negara dengan 6 Cabang pemerintahan:

1. Jerman
·     Federal President
·     Federal cabinet - eksekutif
·     Federal diet - legislatif
·     Federal assembly - presidential electoral college
·     Federal constitutional court

2. Jepang


Mekanisme Checks dan Balances

Demi menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu cabang diterapkanlah mekanisme checks and balances.  Terminologi ini mengacu pada konsep separatio of power Montesquieu, dimana peraturan akan membatasi kewenangan satu cabang pemerintahan untuk campur tangan dalam urusan cabang pemerintahan yang lain.  Contoh di Amerika Serikat, kewenangan presiden untuk memveto legislasi yang dikeluarkan kongres dan kekuasaan kongres untuk mengganti komposisi dan kewenangan dari federal courts (pengadilan federal).
untuk menghindari satu cabang pemerintah menjadi terlalu berkuasa, maka sistem pemerintahan

Sedangkan penerapan balances ditujukan agar tercipta independensi dari eksekutif dan legislatif dengan mekanisme pemilihan umum yang terpisah.  Mekanisme ini akan menjamin cabang pemerintahan eksekutif dan legislatif untuk bertanggung jawab terhadap pemilihnya.  Sedangkan independensi judicial terbentuk dengan pengangkatan hakim agung seumur hidup atau sampai yang bersangkutan menyatakan mundur ataupun pensiun secara suka rela.  Demikian pula dengan keanggotaan lembaga legislatif yang tidak dapat diberhentikan serta merta bila belum memenuhi ambang batas (threshold) yang ditetapkan.

Beberapa bentuk konsep pembatasan kekuasaan:
1. Federalisme, pemisahan kekuasaan secara vertikal
2. Supremasi hukum
3. Demokrasi dan civil society
4. Pemisahan negara dan agama
5. Bank Sentral yang independen
6. Pemisahan tugas dan tanggung jawab dalam organisasi
7. Pegawai negeri yang independen, bebas campur tangan politik

Di Indonesia, konsep pemisahan kekuasaan baru diakui setelah amandemen UUD 1945 ke-4.  Sebelumnya Indonesia tidak menganut pemisahan kekuasaan akan tetapi pembagian kekuasaan.  Pembagian kekuasaan terjadi karena pada masa orde lama terjadi pemusatan dan peleburan kekuasaan dari cabang eksekutif, legislatif, dan judikatif di tangan Soekarno.  Begitu pula pada masa orde baru, kekuasaan eksekutif yang dominan membuat cabang legislatif hanya sebagai rubber stamp atau membebek terhadap keinginan pemerintah Soeharto kala itu.  Legislatif tidak berdaya, ketika kekuasaan eksekutif dapat berjalan selama 7 periode tanpa batasan yang jelas.  Ironisnya, dalam masa orde baru telah ditegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensiil yang semestinya tercermin dari pemisahan kekuasaan ketiga cabang pemerintahan.  Akan tetapi, presiden harus memberikan pertanggungjawabannya terhadap anggota legislatif di MPR.

Oleh karena itu, dapat penulis sampaikan bahwa Indonesia mengalami proses jatuh bangun dalam menerapkan sistem presidensiil murni.  Sampai saat tulisan ini diturunkan, sistem pemerintahan Indonesia sedang mengalami ketidakjelasan, terutama dalam menerapkan mekanisme checks and balances di dalam pemisahan kekuasaan antara ketiga cabang pemerintahan.  Belum jelasnya kewenangan dari ketiga cabang pemerintahan diakibatkan oleh butir-butir amandemen konstitusi yang cenderung ambigu, dibongkar pasang sesuai dengan kepentingan elit politik di lembaga legislatif (MPR).  Lebih konyolnya lagi, sejak amandemen konstitusi ke-4, MPR memiliki letak sejajar dengan DPR dan DPD, membuat pertanyaan selanjutnya mengenai keberadaan kamar ketiga di dalam badan legislatif. 

Tuntutan kejelasan akan sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dapat ditawar-tawar lagi.  Salah satu cara adalah melalui amandemen kembali konstitusi.  Namun, perlu digaris bawahi bahwa perubahan yang terjadi tidak boleh karena kepentingan sesaat, misalnya pemilu yang akan datang.  Akan tetapi, perubahan sepenuhnya dilakukan karena memperhatikan tujuan dari negara dalam pembukaan UUD 1945.


Jatuh Bangun Separation of Power di Indonesia

Indra J. Piliang (2006) mengemukakan tahapan perkembangan Republik Indonesia ke dalam 5 kategori:
1.      Republik Pertama: 18 Agustus 1945 – Masa peralihan status kedaulatan Indonesia ke tangan Mohammad Hatta
2.      Republik Kedua: 27 Desember 1949 masa Republik Indonesia Serikat, dimana RIS membagi Indonesia ke dalam 7 negara bagian dan 9 lainnya negara sendiri
3.      Republik Ketiga: 17 Agustus 1950, masa demokrasi parlementer
4.      Republik Keempat: 5 Juli 1959, dekrit presiden memasuki masa demokrasi terpimpin
5.      Republik Kelima, mulai dari masa orde baru sampai dengan amandemen konstitusi ke-4

Untuk memahami lebih lanjut, bagaimana proses jatuh bangun penerapan konsep pemisahan kekuasaan di Indonesia, akan digambarkan secara runut mengadopsi tahapan perkembangan RI dari Piliang, sebagaimana terdapat pada tabel berikut ini:

Republik Pertama: 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949

Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
Birokrasi
Partai Politik
Kelompok Kepentingan
·      Soekarno  dan M. Hatta sebagai pimpinan eksekutif
·      Pemimpin dengan figure kharismatik tradisional berwawasan barat
·  Lembaga perwakilan baru diperkenalkan pada abad 20 dalam bentuk Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai bagian dari politik etis tahun 1918.
·  Pada awalnya Volksraad hanyalah sekadar memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal.
·  Sesuai dengan amanat UUD yang ditetapkan PPKI, pembentukan lembaga perwakilan yang bersifat sementara
·  Komite Nasional Pusat sebagai Parlemen Pertama di dalam sejarah Negara Republik Indonesia dan dilantik Presiden Soekarno

Belum terbentuk
Konsep Pangreh Praja diplesetkan sekarang menjadi Pangreh Raja seterusnya Pamong Praja menjadi Pamong Raja
Belum terbentuk
Organisasi politik yang mulai tumbuh dan berkembang yang dimotori oleh putra-putri Indonesia, dibekukan
Bumiputera dipecah belah pemerintah kolonil Belanda “devide et impera” clash antara pro-kemerdekaan dan pro-kolonial Belanda.
Muncul sentiment kedaerahan

Republik Kedua: 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950

Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
Birokrasi
Partai Politik
Kelompok Kepentingan
· Pemerintah Federasi: negara bagian (7) dan pemerintah negara berdaulat (9)
· Kepala Pemerintahan: Perdana menteri
· Terdapat kerancuan di lembaga eksekutif karena perdana menteri RIS dijabat oleh wakil presiden M. Hatta
· UU RIS dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah colonial Belanda difasilitasi Inggris
· Ketidakjelasan akan penerapan sistem presidensiil dan parlementer

·  Konflik antara pegawai didikan Belanda (priyayi) dengan pegawai yang tidak ber-skill rendah.
· Lahir budaya rent seeking

·    Sentimen kedaerahan bertambah besar
·    Muncul bibit separatisme
·    Jawa dan luar Jawa
·    Aristokrat Jawa vs. Islam Jawa

Republik Ketiga: 17 Agustus 1950 5 Juli 1959

Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
Birokrasi
Partai Politik
Kelompok Kepentingan
·  Perdana Menteri
·  Demokrasi liberal menempatkan Presiden memiliki kekuasaan kuat
·  Soekarno condong ke haluan kiri (sosialisme).
·  Konflik antara ideology liberalis vs. sosialis
·  Kegagalan kerja dewan konstituante memunculkan demokrasi terpimpin
·   Parlementer: MPRS dan DPRS
·   Demokrasi liberal/konstitusional, anggota legislatif berdebat dengan santun dan intelektual
·   Dewan Konstituante tidak mampu menuntaskan pembahasan konstitusi aspek ideology, HAM tidak bermasalah sama sekali
·  Kekuasan Mahkamah Agung sangat besar
·  Hukum menjadi primadona
·  DPAS
·  Birokrasi warisan feudal – patronage kepada parpol
·  Terjadi perpecahan dalam tubuh birokrasi
·  Intervernsi militer kuat
·  Partai politik menjadi figure kunci politik
·  1955 kontes pemilu pertama yang paling demokratis di Indonesia, diikuti lebih dari 200 partai politik
·  Nasionalis
·  Agama
·  Militer
·  Sosialis Komunis

Republik Keempat: 5 Juli 1959, Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru

Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
Birokrasi
Partai Politik
Kelompok Kepentingan
·  Demokrasi Terpimpin
·  Poros Jakarta-Peking
·  Proyek mercu suar
·  Eksekutif menjadi sentral sistem politik
·  Hegemonisasi kekuasaan otoriter militer
·  Soekarno menyerahkan kekuasaan dengan Supersemar kepada Soeharto
·  Berlakunya sistem presidensiil oleh Presiden Soeharto pasca G30S/PKI
· Sangat lemah terhadap eksekutif. Patron-client eksekutif-legislatif: MPR dan DPR
· Masa orde baru: MPR, DPR, DPRD Tk. I, DPRD Tk. II, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah
· MPR sebagai lembaga tertinggi negara

·        Lembaga peradilan lemah
·        MA berada di bawah kekuasaan eksekutif (dalam kementerian)
·        Masa orde baru, penunjukan ketua MA oleh Presiden
·        Masalah netralitas lembaga yudikatif
· Penetrasi militer dalam tubuh birokrasi
· Perpecahan di tubuh militer, politik dan professional
· Cikal bakal Lahir dwi fungsi ABRI di masa orde baru
· Munculnya cikal bakal birokrasi sebagai alat pemenangan pemilu (Golkar)

·  Marginal (ditekan oleh eksekutif)
·  PKI menjadi patron Soekarno
·  Di masa orde baru militer pro Golkar
·  Floating mass/massa mengambang pada masa orde baru
·  Kebijakan partai tunggal (single party): Golkar
·  PDI dan PPP hanya sebagai hiasan belaka
·     Konflik ideology antara komunis, nasionalis, agama, dan militer
·     Masa orde baru ditandai dengan penekanan terhadap lahirnya kelompok kepentingan yang berseberangan dengan pemerintah
·     Pemberangusan hak kebebasan pers, berserikat, dan hak asasi manusia



Republik Kelima: Amandemen Konstitusi Ke-4

Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
Birokrasi
Partai Politik
Kelompok Kepentingan
·  Posisi Lebih lemah ketimbang legislatif
·  Tidak memiliki hak veto perundangan legislatif
·  Terbentuknya komisi-komisi
·  Sistem pemerintahan presidensiil
·  Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh MPR
·  Presiden tidak bertanggung jawab secara politis kepada MPR, tidak juga kepada DPR karena kedudukannya yang sejajar.
·  Namun, Presiden memiliki pertanggungjawaban hukum apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
·  Mekanismenya melalui sebuah proses impeachment yang diawali oleh peran DPR untuk menilai apakah benar telah terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden RI.

·  Legislatif heavy
·  MPR menjadi lembaga tinggi negara
·  Kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya menurut undang-undang (bukan MPR lagi)
·  MPR, DPR, DPRD, dan DPD sejajar
·  MPR sebagai joint session DPR dan DPD (kontroversi) trikameral dan bicameral)
·  Perundangan legislatif dapat terbit tanpa persetujuan eksekutif
·   Dewan memiliki kewenangan dalam pencalonan Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan Anggota Komisi Yudisial.
·  rakyat (kewenangan terbatas menjadi persoalan kesejajaran dengan DPR)
·  Selain itu, terdapat satu penegasan bahwa DPR adalah lembaga perwakilan yang seluruh anggotanya dipilih langsung oleh rakyat.
·  DPD keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat

·  Pada sisi kekuasaan yudikatif, UUD 1945 dan perubahannya menetapkan (tiga) lembaga yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan yudikatif, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial Yudisial
·  Konflik kelembagaan antara MA, MK, dan KJ.

·    Reformasi birokrasi belum maksimal
·    Budaya rent-seeking (KKN) masih banyak
·    UU Nomor 43 Tahun 1999 melarang PNS untuk berpolitik (menjadi pengurus partai politik)
·    Konflik antara netralitas PNS dan campur tangan politik dalam jabatan PNS
·  Multi-partai
24 parpol pada tahun 2004, 6 yang lolos electoral threshold pemilu 2009
·  Munculnya wacana calon independen yang tidak diusung oleh parpol memaksa parpol berbenah diri
·  Penetapan electoral threshold lebih rendah (3-5%, tergantung daerah pemilihan) bagi calon independen dipertentangkan partai besar
· Tumbuhnya NGO’s internasional yang beroperasi di daerah konflik
· LSM loka sudah banyak memihak rakyat
· Kontroversi intervensi asing melalui NGO’s internasional untuk mendestabilitasi politik dan keamanan wilayah Indonesia
· Munculnya organisasi-organisasi masyarakat dan profesional

Sumber: Diadaptasi dari Indra J. Piliang (2006) dan Pidato Ketua DPR-Ri, 29 Agustus 2006.[2]




Rancunya Sistem Kelembagaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif Pasca Amandement Konstitusi Ke-4

Menurut Bintan Saragih (1988)[3], pengertian bentuk negara, bangunan negara, dan bentuk pemerintahan perlu diletakan pada tempat semestinya.  I Made Leo Wiratma (2006) mengatakan bahwa bentuk negara ditinjau berdasarkan siapa kepala negara dari negara tertentu.  Kepala negara seorang presiden berarti bentuk negara tersebut republik.  Sedangkan bila kepala negara seorang raja atau ratu, berarti bentuk negara adalah monarki atau kerajaan.

Sedangkan bangunan negara di dunia ada 3 macam berdasarkan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah.  Bangunan negara pertama disebut sebagai kesatuan (unitary), kedua negara serikat (federasi), dan ketiga serikat negara-negara.

Bentuk pemerintahan seringkali disebut sebagai sistem pemerintahan, terbagi dua yaitu: presidensiil dengan kepala negara seorang presiden merangkap kepala negara.  Presiden memiliki periode jabatan dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen.  Parlemen sendiri tidak memiliki kewenangan untuk menurunkan di dalam masa jabatannya.  Sedangkan sistem parlementer, kepala pemerintahan adalah perdana menteri yang penunjukannya bergantung pada parlemen. Parlemen dapat menjatuhkan perdana menteri, akan tetapi perdana menteri dapat pula membubarkan parlemen (kewenangan setara).

Menurut Wiratma (2006) ada 3 ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan suatu negara menganut sistem presidensiil atau parlementer, yaitu:

1.      Sistem parlementer, kepala pemerintahan dijabat perdana menteri (kanselir di jerman termasuk di dalamnya) bergantung pada mosi kepercayaan parlement, dapat turun dari jabatannya melalui mosi tidak percaya.  Sistem presidensiil, kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan tertentu yang tercantum dalam konstitusi.  Dalam keadaan normal, seorang presiden tidak dapat diturunkan oleh badan legislatif.
2.      Kepala pemerintahan sistem presidensiil dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui badan pemilihan, kepala pemerintahan parlementer dipilih oleh parlemen.
3.      Sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial sedangkan sistem presidensiil memiliki eksekutif non-kolegial (satu orang).

Setelah amandemen konstitusi ke-4 muncul masalah baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.  Sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintah presidensiil mengalami distorsi kewenangan terutama pada lembaga eksekutif dan legislatif.  Pertentangan memuncak ketika parlemen memposisikan dirinya sebagai lembaga super power yang berasumsi dapat menjatuhkan presiden di masa jabatannya.  Berbagai intrik politik diluncurkan oleh DPR semisal interpelasi Iran dan Lapindo.  Sayangnya, intrik tersebut dicurigai sebagai manuver para anggota DPR untuk memperjuangkan kepentingan pemenangan pemilu yang akan datang.  Figur presiden dibuat  sebagai pihak bersalah dalam pengambilan keputusan yang sebenarnya saja merupakan hak prerogatif seorang presiden.

Masyarakat sangat tidak diuntungkan dari konflik kelembagaan tersebut.  Pendidikan politik menjadi tidak efektif, karena anggota dewan dan lembaga kepresidenan menginterpretasikan konstitusi menurut selera masing-masing.  Akibatnya, kasus seperti pengangkatan duta besar merupakan hak dari presiden kemudian dipermasalahkan di ruang sidang DPR.  DPR merasa perlu campur tangan dalam fit dan proper tes dalam penempatan wakil negara tersebut.

Kerancuan sistem pemerintahan di dalam lembaga legislatif memunculkan kebingungan politik karena adanya ketidakseragaman istilah antara trikameral dan bicameral.  Sejatinya pasca amandemen konstitusi ke-4, sistem parlemen diarahkan ke dalam bicameral.  Akan tetapi, badan legislatif memiliki 3 cabang yaitu: MPR, DPR, dan DPD.  Belum lagi bila melihat fungsi masing-masing yang sama sekali tidak mencerminkan independensi ketiga lembaga, kewenangan saling tumpang tindih, bahkan DPR disinyalir sengaja menihilkan peran DPD.  Terbukti dari niatan MPR yang notabene keanggotaannya berasal dari DPR dan DPD tidak dapat bertindak tegas dalam pengajuan proses amandemen konstitusi ke-5 yang akan menaikan bargaining power dari DPD.

Berikut ini, ulasan mengenai trikameralisme di dunia.  Bahan ini dapat menjadi pertimbangan mengapa sistem ini lahir dan daya hidupnya (survivalibility) dalam satu negara, mengingat negara kita belum bisa memutuskan apakah bicameral  ataukah trikameral yang paling sesuai dengan semangat sistem pemerintahan Indonesia.  Jangan sampai, parlemen kita terus menerus dicap sebagai lembaga banci.

Trikameralisme[4] di Berbagai Negara: Sebagai Bahan Pertimbangan

Trikameral Afrika Selatan
Pada tahun 1983, rejim pemerintahan apartheid di Afrika Selatan mengajukan konstitusi yang memiliki legislatif tiga kamar (trikameral).  Pada tanggal 2 November 1983, sekitar 70% populasi kulit putih memberikan suara, menyetujui perubahan konstitusi tersebut tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan penduduk kulit hitam Afrika Selatan, dan selanjutnya keberadaan perwakilan suara kulit hitam dalam rancangan konstitusi tersebut diabaikan sama sekali, karena secara teori mereka merupakan warga negara independen Bantustans (penduduk asli Afrika Selatan berbahasa Bantu).

Parlemen trikameral Afrika Selatan terdiri dari kamar-kamar yang terbagi berdasarkan ras warna kulit:
Ø               House of Assembly — 178 anggota, sengaja diperuntukan untuk kulit putih
Ø               House of Representatives — 85 anggota, diperuntukan bagi orang-orang kulit berwarna atau ras campuran
Ø                House of Delegates — 45 anggota, khusus diperuntukan bagi bangsa Asia

Parlemen trikameral tidaklah memiliki landasan kuat.  Konstitusi 1983 secara signifikan melemahkan peran parlemen, dan menghapuskan posisi dari perdana menteri. Hampir keseluruhan kekuasaan kemudian dipindahkan ke tangan presiden sebagai kepala negara, termasuk menunjuk anggota kabinet.  Usaha ini disinyalir banyak pihak sebagai upaya untuk membatasi kekuasaan kulit berwarna dan suku Indian.  Tidak hanya anggota parlemen berkulit berwarna lebih rendah kekuasaannya dibandingan kulit putih, tetapi secara keseluruhan parlemen terletak di bawah kekuasaan presiden berkulit putih.

Trikameral ala Bolivar
Simon Bolivar, pemimpin besar revolusi dari Amerika Selatan, memasukan legislatif trikameral dalam pengajuan rancangan model pemerintahannya. Bolivar menggambarkan trikameral sebagai berikut:
Ø Chamber of Tribunes, memiliki kekuasaan yang berkaitan dengan keuangan pemerintah, luar negeri, dan peperangan.  Tribun tersebut tidak seperti kedua kamar lainnya, dipilih dalam pemilihan umum
Ø Senate, suatu badan apolitis yang memegang kekuasaan untuk mengeluarkan perundangan, melakukan supervisi yuridis, dan menunjuk pimpinan daerah.  Bolivar percaya bahwa keanggotaan senat haruslah berdasarkan garis keturunan, sebagai jalan satu-satunya menjamin kenetralan.  Ada satu garis parallel antara senate ala Bolivar dengan British House of Lords.
Ø Censors, merupakan kelompok yang akan bertindak sebagai penge-cek kedua kamar tersebut.  Bolivar melukiskannya sebagai “jaksa penuntut melawan pemerintah dalam mempertahankan konstitusi dan hak rakyat.”  Ia juga mengatakan bahwa mereka bertugas untuk memastikan bahwa pemerintahan berfungsi memuaskan, melalui kekuasaan untuk meng-impeach.

Bolivar bermaksud memasukan model ini ke dalam sistem presidensial, dan parlemen trikameral bukanlah badan berwenang untuk memerintah.  Legislatif tidak memiliki peran aktif di dalam tugas-tugas administratif hanya membuat hukum dan memberikan saran pada cabang pemerintahan lainnya.
Penerapan model trikameral di Amerika Selatan mengalami kegagalan.  Kepopuleran Bolivar tidak membuat Bolivia, yang mencoba bentuk ini di awal pemerintahan, berhasil mengatasi chaos di negaranya.
Trikameral Perancis
Beberapa sejarawan menggolongkan French States-General sebagai contoh dari legislatif tiga kamar.  State-General berkembang perlahan seiring perubahan waktu, dan memberikan saran untuk aneka permasalahan (termasuk isu mengenai lembaga legislatif) kepada raja.  Ada tiga area yang disebut sebagai pertama (kaum rohaniwan), kedua (kaum bangsawan), dan ketiga (masyarakat awam).
Permasalahan terjadi ketika States-General menjadi legislatif tiga kamar.  Pertama, States-General tidak pernah memiliki kekuasaan resmi untuk menjalankan peran legislatifnya, walaupun, pada masa itu memainkan peran dalam aktifitas legislatif Raja. Kedua, pembagian antara ketiga area tersebut tidak dapat dipertahankan area kekuasaan tersebut secara terang-terangan memisahkan diri, akan tetapi ada juga di lain waktu, mereka menjadi satu badan, sehingga ide mengenai trikameral menjadi rancu.

Dengan demikian, pentingnya amandemen konstitusi ke-5 bukan hanya sekedar omong kosong ataupun intrik politik belaka.  Kita harus berbenah diri, karena rakyat sudah semakin pintar, bisa menilai pengelolaan negara baik atau buruk.  Pengetahuan kognitif mereka tentang politik sudah sampai taraf ‘melek politik’ bahkan sebagian sudah memasuki taraf afektif dan evaluatif.  Mereka tidak segan-segan turun ke jalan melihat ketidakbecusan pengelolaan negara yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah.  Jangan sampai, proses meredefinisikan ketatanegaraan kita hanya berakhir dalam secarik kertas yang teronggok di tong sampah.  Jangan sampai pula, kekuatan people’s power menyemuti jalanan kembali seperti Mei 1998.  Sesungguhnya, parlemen jalanan hanyalah sebagai alternatif terakhir bila parlemen sebenarnya, sebagai kekuatan penyeimbang dan oposisi pemerintah, sudah tidak dapat diharapkan lagi dalam membela kepentingan rakyat.


[1] Diadopsi dari http://en.wikipedia.org/wiki/Separation of powers pada 9 September 2007.
[2] http://www.dpr.go.id/pidato/artikel.php?aid=1507

[3] Lihat di I Made Leo Wiratama, “Purifikasi Sistem Presidensiil,” dalam Desain Baru Sistem Politik Indonesia, diedit oleh Indra J. Piliang dan T.A. Legowo, (Jakarta: CSIS, 2006), hal. 27. Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988), hal. 40-41.
[4] Sumber lihat di wikipedia tricameralism

Tidak ada komentar:

Posting Komentar