Senin, 22 April 2013

Pendidikan Politik Yang Buruk


Oleh Ubedilah Badrun
 BANGSA yang demokratis, sudah cukup lama menjadi harapan rakyat Indonesia. Identifikasi harapan demokrasi tersebut sesungguhnya bisa dilihat pada konstitusi kita yang menuangkan bahasa demokrasi seperti "kedaulatan rakyat", "suara terbanyak", "berseri-kat", dan "kebebasan menyatakan pendapat". Bahasa-bahasa demokrasi tersebut dua bulan lagi berumur lima puluh lima tahun. Berarti sudah berumur lebih dari setengah abad. Namun, kenyataan sesungguhnya sampai hari ini secara kualitatif bangsa ini belum demokratis. Artinya kenyataan masih jauh dari demokrasi.
Jauhnya kenyataan dari demokrasi ini bisa jadi disebabkan karena pendidikan politik yang buruk. Walaupun senyatanya pendidikan politik itu ada, tetapi yang buruk itulah yang berjalan dalam proses sejarah bangsa ini. Kenyataan ini sesungguhnya berlawanan dengan kehendak ideal pendidikan politik. Sebab kehendak ideal pendidikan politik adalah melahirkan demokrasi menjadi kenyataan empiris yang "membumi" pada setiap warga negara. Hingga warga negara terlibat dalam penjagaan demokrasi yang dihasilkan dari pendidikan politik.
Arah pendidikan politik sesungguhnya adalah demokrasi itu sendiri (Kartini Kartono, Pendidikan Politik, 1996). Jika kenyataan menunjukkan arah yang sebaliknya dari arah pendidikan politik maka mungkin pantas diduga bahwa pendidik-an politik bangsa ini adalah pendidikan politik yang buruk. Untuk melihat secara lebih teliti pendidikan politik bangsa ini yang buruk bisa dicermati dari tiga poin penting, yakni (1) peristiwa politik, (2) elite politik, dan (3) partai politik. Ketiga poin tersebut sangat berpengaruh bagi baik buruknya pendidikan politik di negeri ini.
Peristiwa politik
Peristiwa politik sebagai sebuah kenyataan yang berpengaruh bagi pendidikan politik bangsa seharusnya menunjukkan fenomena demokratis. Sehingga demokratisasi di tingkat warga negara berjalan dengan mengambil makna peristiwa politik yang demokratis. Akan tetapi, peristiwa politik Indonesia justru berulang kali mengingkari demokrasi. Pengingkaran demokrasi ini bisa dicatat, misalnya, pada saat kinerja politik Soekarno mulai otoriter (mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan pembubaran Konstituante). Peristiwa ini disebut pengingkaran demokrasi karena menunjukkan, kedaulatan rakyat ada di tangan presiden. Peristiwa ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk.
Peristiwa politik berikutnya adalah naiknya Soeharto menjadi presiden tanpa proses demokratis dan dengan sejarah berda-rah (G30S) yang sampai kini sejarah tersebut masih mengundang banyak tanya. Inilah awal Orde Baru yang kemudian membangun sejarah gelap demokrasi Indonesia. Gelapnya demokrasi ini berjalan hingga 32 tahun. Peristiwa politik ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk.
Runtuhnya rezim Orde Baru dan diserahkan pada BJ Habibie adalah juga peristiwa politik yang mengingkari demokrasi. Soeharto menyerahkan kekuasaannya tanpa sebuah pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban seorang presiden adalah keharusan dalam negara demokrasi. Peristiwa politik ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk. Terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadi presiden pun adalah peristiwa politik yang mengingkari demokrasi. Sebab naiknya Abdurrahman Wahid berarti melukai hati rakyat partai politik pemenang pemilu.
Peristiwa-peristiwa politik yang mengingkari demokrasi tersebut sesungguhnya tanpa disadari telah menanamkan dendam-dendam politik (luka hati sebagian rakyat Indonesia) yang pada akhirnya selalu menimbulkan persoalan dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, pendidikan politik bangsa ini hakikatnya telah dinodai. Warga negara berulang kali menyaksikan peristiwa politik yang mengingkari demokrasi. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Elite politik
Elite politik yang dimaksud di sini adalah salah satu elite yang dikemukakan Pareto, yaitu elite yang memerintah (SP Varma, Modern Political Theory, 1975).
Elite politik ini dalam sejarah sering kali memainkan peran yang amat menentukan. Pernyataan elite politik bisa membius emosi dan pikiran rakyat. Karenanya bagi proses pendidikan politik bangsa, elite politik bisa menjadi lokomotif bagi jalannya demokrasi di sebuah negara. Di Indonesia hal tersebut cukup sulit terjadi.
Kesulitan-kesulitan tersebut tampak dari contoh mutakhir perilaku elite politik Indonesia (Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Akbar Tandjung). Emosional dan tidak konsisten adalah perilaku yang ditampilkan mereka dalam mengelola negara ini.
Perilaku yang emosional dan tidak konsisten ini tampak dari trik-trik politik di antara mereka yang tidak konstruktif (cara merespon kasus Ambon, pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, pencopotan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, kasus Banser di Jawa Pos) sampai keengganan mereka melaksanakan angenda reformasi total (KKN Soeharto dan sebagainya) yang digagas mahasiswa. Bahkan tragedi Trisakti dan Semanggi pun sampai kini pengusutannya tidak jelas. Padahal mereka sebelumnya mengaku reformis.
Perilaku elite politik demikian adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara. Warga negara kesulitan memastikan sebuah kebenaran dan memaknai keadilan.
Partai politik
Salah satu fungsi partai politik adalah sosialisasi politik (Gabriel A Almond, Comparative Politics Today, 1974). Sosialisasi politik partai selain memiliki makna sosialisasi kepentingan partai politik juga dimaksudkan dalam kerangka upaya demokratisasi. Sehingga partai politik juga turut memberi kontribusi besar bagi upaya pendidikan politik menuju demokrasi.
Jikalau kita mengamati perkembangan partai politik Indonesia mutakhir maka fungsi sosialisasi politik tersebut berubah menjadi "provokasi politik". Hampir setiap partai politik di Indonesia membuat bulletin atau tabloid yang isinya provokasi. Dendam dan kebencian ditanamkan pada rakyat. Sehingga setelah membaca bulletin atau tabloid yang muncul dibenak pembaca adalah kebencian dan dendam antarsesama. Bukannya semangat untuk menghargai perbedaan. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Selain fungsi sosialisasi politik, partai politik menurut Almond juga memiliki fungsi komunikasi politik. Fungsi komunikasi politik ini dimaksudkan untuk menyampaikan ide atau gagasan-gagasan partai politik melalui media massa maupun media elektronik. Sehingga masyarakat merespon gagasan-gagasan partai politik. Komunikasi politik tersebut penting bagi upaya pendidikan politik menuju demokrasi.
Partai politik Indonesia saat ini memiliki kecenderungan tidak menampilkan gagasan-gagasan partai tetapi menunjukkan dengan gamblang praktik-praktik politik yang tidak demokratis dan konflik elite partai politik yang tidak konstruktif bagi jalannya demokrasi. Sebut saja, misalnya, pada saat Kongres I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Semarang, Kongres I Partai Amanat Nasional di Yogyakarta, dan Muktamar I Partai Bulan Bintang di Jakarta, yang menunjukkan praktik dan konflik elite partai politik yang tidak konstruktif. Bahkan konflik elite partai politik tersebut sampai tulisan ini dibuat masih mewarnai berita di sejumlah media massa. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Selain fungsi partai yang menampilkan pendidikan politik yang buruk. Partai politik di Indonesia secara tidak sadar atau mungkin sadar telah membuka ruang militerisme di tubuh partai (satuan tugas-satuan tugas yang memang dilatih secara militer). Militerisme di tubuh partai ini berlawanan dengan semangat demokrasi. Satgas-satgas partai sering menampilkan militerisme di hadapan publik, misalnya, dengan cara kekerasan mengamankan pemimpin partai. Tampilan militerisme partai di depan publik ini adalah pendidikan politik yang buruk, karena dengan cara seperti itu tampak partai politik melegitimasi militerisme.
Refleksi
Sejumlah peristiwa politik, perilaku elite politik, dan partai politik yang dikemukakan di atas adalah kenyataan politik Indonesia. Ketiga hal tersebut di atas sesungguhnya secara tidak langsung maupun langsung telah mendidik watak politik warga negara. Sungguh hal tersebut sangat disesalkan. Sebab telah mengeluarkan ongkos sosial yang amat besar. Kerugian material maupun nonmaterial (pendidikan politik warga negara) sangat besar.
Akan tetapi, jika hal tersebut dianggap lumrah (Begitu aja kok repot!) berarti tuan-tuan elite politik sepakat untuk terus melanggengkan pendidikan politik yang buruk. Karenanya jangan heran jika mahasiswa dan rakyat yang tertindas akan terus bergerak.
(* Ubedilah Badrun, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan Guru SMU Swasta di Jakarta Timur.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar