Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
a). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang serta disertai ancaman/ sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
b). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu, dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan itu.[1]
Menurut isinya, hukum yang berlaku dapat dibagi ke
dalam dua macam hukum, yaitu[2]
:
(1) Hukum Publik. Hukum Publik adalah hukum
yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan negara, antara badan atau
lembaga negara yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan masyarakat atau negara. Termasuk dalam Hukum Publik antara lain :
Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara.
(2) Hukum Sipil. Hukum Sipil adalah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain sebagai
anggota masyarakat, dan menitikberatkan pada kepentingan perorangan yang
bersifat pribadi. Termasuk dalam Hukum Sipil antara lain : Hukum Perdata, Hukum
Dagang.
Melihat
pembagian hukum di atas, jelaslah bahwa hukum pidana termasuk dalam hukum
publik, yang berarti hukum pidana lebih condong mengatur kepada kepentingan
masyarakat atau negara. Rumusan tentang hukum pidana di kalangan para sarjana
hukum masih terlihat beraneka ragam, belum ada satu pun rumusan yang dianggap
sebagai rumusan yang sempurna dan dapat diberlakukan secara umum.
Menurut Mezger yang kemudian dikutip oleh Sudarto
dalam buku Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Hukum Pidana dapat didefinisikan
sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana[3].
W.L.G Lemare memberikan pengertian mengenai hukum pidana
sebagai berikut:
”Het strafrecht is samengesteld uit die
normen welke geboden en verboden bevatten en waaraan (door de wetgever) als
sanctie straf, d.i. een bijzonder leed, is gekoppeld. Men kan dus ook zeggen
dat het starfrecht het normen stelsel is, dat bepaalt op welke gedragingen
(doen of niet-doen waar handelen verplicht is) en onder welke omstandigheden
het recht met straft reageert en waaruit deze straf bestaat”[4].
Yang artinya : ”Hukum Pidana itu terdiri
dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang
(oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa
hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat
juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan
sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan,
serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan
tersebut”.
Pompe telah membuat rumusan singkat mengenai hukum pidana dengan mengatakan :
”Het straftrecht
wordt, evenals het staatsrecht, het burgerlijk recht en andere delen van het
recht, gewoonlijk opgevalt als een geheel van min of meer algemene, van de
concrete omstandigheden abstraherende, regels[5]”
Yang
artinya : ”Hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata
dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan
dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstrahir
dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret”.
Menurut Simons, hukum pidana itu dapat
dibagi menjadi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in
objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in
subjectieve zin[6].
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang
juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Simons merumuskan
pengertian hukum pidana dalam arti objektif sebagai berikut :
”het geheel van
verboden en geboden, aan welker overtreding door de Straat of eenige andere
openbare rechtsgemeenschap voor den overtreder een bijzonder leed ”straf” verbonden
is, van de voorschiften, door welke de voorwarden voor dit rechtsgevolg worden
aangewezen, en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgeled en
toegepast”.
Yang
artinya : ”keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang
atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya
telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu
hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat
mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari
hukumannya itu sendiri”.
Hukum pidana dalam arti subjektif itu mempunyai
dua pengertian, yaitu:
a.
Hak
dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum, yakni hak yang telah
mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana
dalam arti objektif;
b.
Hak
dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan
hukuman.
Hukum pidana dalam arti subjektif di dalam
pengertian seperti yang disebut terakhir di atas, juga disebut sebagai ius
puniendi. Dikatakan bahwa salah satu pengertian dari hukum pidana dalam
arti subjektif itu adalah hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk
menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang
telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif. Peraturan-peraturan ini
membatasai kekuasaan dari negara untuk menghukum. Orang baru dapat berbicara
mengenai hukum pidana dalam arti subjektif menurut pengertian ini, apabila
negara telah menggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan
peraturan-peraturan yang telah ditentukan terlebih dahulu.[7]
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum
pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh Undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada
pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana dalam pengertian hukum pidana
materiil. Menurut Satochid Kartanegara bahwa hukum pidana materiil
berisikan peraturan-peraturan tentang[8]
:
1)
Perbuatan
yang dapat diancam dengan hukuman, seperti mengambil barang milik orang lain
atau dengan sengaja merampas nyawa orang lain.
2)
Siapa-siapa
yang dapat dihukum atau mengatur pertanggungan jawab terhadap hukum pidana.
3)
Hukuman
apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-undang.
Moeljatno memberikan pengertian luas terhadap hukum pidana[9],
yaitu:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan
mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
[1] Nagendra Kr Singh, Etika Kekerasan
Dalam Islam, Jogjakarta: Pustaka Alif, 2003, hlm. 21.
[2] Iswanto, 1995, Diktat Kuliah Pengantar
Ilmu Hukum, Purwokerto, Fakultas Hukum UNSOED, hlm. 7
[3]
Sudarto, Op. Cit, hlm 5
[4] Lemare dalam P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 1.
[5] Ibid.,
hlm 3.
[6] Ibid.
[7] Ibid.,
hlm 4.
[8] Sebagaimana dikutip Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan
Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 5.
[9] Ibid.,
hlm. 7.
No comments:
Post a Comment