Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, secara tradisional
teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu[1]:
a. Teori
absolut atau teori pembalasan
Menurut
teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana (quita peccatum test).
Pidana
merupakan suatu akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenar dari pidana terletak
pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut
Johannes Andenaes tujuan utama dari pidana menurut teori absolut adalah
untuk memuaskan tuntutan keadilan.
b. Teori
relatif
Menurut
teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan dari keadilan. Pembalasan
itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat.
Oleh
karena itu menurut Johannes Andenaes, teori ini hanya dapat disebut
sebagai “teori perlindungan masyarakat”. Selanjutnya berdasarkan teori ini,
pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi memiliki tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering disebut teori tujuan
(utillitarian theory).
Selain dua teori tersebut di atas, beberapa
sarjana seperti Utrecht mengemukakan bahwa teori pemidanaan itu ada
tiga, yaitu :
a.
Teori Pembalasan atau absolute (vergeldinngstheorien)
Diantara
pengarang-pengarang yang menganut teori ini yang terkenal adalah Immanuel
Kant, Hegel, dan Neo Polak. Sebagai dasar teori pembalasan pada
umumnya diterima pendapat bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir
yang menuntut hukuman dan yang membenarkan hukuman dijatuhkan (de misdaad
zelf bevat dia straf eisen en strafrechtvaat digen).
Dalam
teori pembalasan, pidana bertujuan tidak lain adalah untuk balas dendam. Tujuan
pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; pembalasan adalah tujuan utama dan
di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat; kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya
pidana; pidana harus di sesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; pidana melihat
ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk
mempebaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar[2].
b.
Teori Tujuan/ Relativ (Teori Prevensi)
Teori
ini memberikan asar pemikiran bahwa dasar hukum pidana adalah terletak pada
tujuan hukum pidana sendiri, tujuan pidana dapat di ambil, yang pada prinsipnya
untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Ciri-ciri pokok atau karakteristik
dari aliran ini adalah sebagai berikut[3] :
1) Tujuan
pidana adalah pencegahan (prevention);
2) Pencegahan
bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
3) Hanya
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat di persalahkan kepada si pelaku saja
(misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4)
Pidana
harus di tetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan;
5)
Pidana
melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan,
tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima
apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
c. Teori
Gabungan
Teori
ini menyatakan bahwa pidana hendaknya dilaksanakan atas tujuan pembalasan dan
mempertahankan ketertiban masyarakat yang di terapkan secara kombinasi. Rancangan
KUHP tahun 1963 di jumpai gagasan tentang maksud pemidanaan, yaitu[4] :
1)
Untuk
mencegah di lakukannya perbuatan pidana demi mengayomi negara, masyarakat, dan
penduduk;
2)
Untuk
membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang baik dan
berguna;
3)
Untuk
menghilangkan noda-noda yang di akibatkan oleh perbuatan pidana;
4)
Pemidanaan
tidak di maksudkan untuk menderitakan dan tidak di perkenankan merendahkan
martabat manusia.
No comments:
Post a Comment