Friday, June 7, 2013

Teori-Teori Pemidanaan


Menurut Muladi dan  Barda Nawawi Arief, secara tradisional teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu[1]:
a.    Teori absolut atau teori pembalasan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quita peccatum test).
Pidana merupakan suatu akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenar dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johannes Andenaes tujuan utama dari pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan.
b.    Teori relatif
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu menurut Johannes Andenaes, teori ini hanya dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat”. Selanjutnya berdasarkan teori ini, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi memiliki tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering disebut teori tujuan (utillitarian theory).
Selain dua teori tersebut di atas, beberapa sarjana seperti Utrecht mengemukakan bahwa teori pemidanaan itu ada tiga, yaitu :
a.    Teori Pembalasan atau absolute (vergeldinngstheorien)
Diantara pengarang-pengarang yang menganut teori ini yang terkenal adalah Immanuel Kant, Hegel, dan Neo Polak. Sebagai dasar teori pembalasan pada umumnya diterima pendapat bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut hukuman dan yang membenarkan hukuman dijatuhkan (de misdaad zelf bevat dia straf eisen en strafrechtvaat digen).
Dalam teori pembalasan, pidana bertujuan tidak lain adalah untuk balas dendam. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; pidana harus di sesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk mempebaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar[2].
b.    Teori Tujuan/ Relativ (Teori Prevensi)
Teori ini memberikan asar pemikiran bahwa dasar hukum pidana adalah terletak pada tujuan hukum pidana sendiri, tujuan pidana dapat di ambil, yang pada prinsipnya untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Ciri-ciri pokok atau karakteristik dari aliran ini adalah sebagai berikut[3] :
1)     Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
2)     Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
3)     Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat di persalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4)     Pidana harus di tetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
5)     Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
c.    Teori Gabungan
Teori ini menyatakan bahwa pidana hendaknya dilaksanakan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang di terapkan secara kombinasi. Rancangan KUHP tahun 1963 di jumpai gagasan tentang maksud pemidanaan, yaitu[4] :
1)     Untuk mencegah di lakukannya perbuatan pidana demi mengayomi negara, masyarakat, dan penduduk;
2)     Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna;
3)     Untuk menghilangkan noda-noda yang di akibatkan oleh perbuatan pidana;
4)     Pemidanaan tidak di maksudkan untuk menderitakan dan tidak di perkenankan merendahkan martabat manusia.


[1] Muladi dan Barda Nawawi Arief,1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, hlm. 10
[2] Yazid Effendi dan Kuat Puji Prayitno, Lock. Cit., hlm 21
[3] Ibid., hlm. 24
[4] Ibid., hlm. 27

No comments:

Post a Comment