- Pengertian Anak
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberikan
batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka
yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Seperti yang dinyatakan dalam
Pasal 330 yang berbunyi “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.
Pengertian tentang anak secara khusus (legal
formal) dapat kita ketemukan dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu anak
adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
Sedangkan menurut pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, pengertian anak adalah :
“Anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) Tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya”.
Sedangkan menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pengertian anak yaitu:
“Anak adalah orang
yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) Tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) Tahun dan belum pernah kawin”.
Jadi, jelaslah bahwa menurut Undang-Undang Pengadilan
Anak, bagi seorang anak yang belum mencapai usia 8 (delapan) tahun itu belum
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun perbuatan tersebut merupakan
tindak pidana. Akan tetapi bila si anak tersebut melakukan tindak pidana dalam
batas umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun maka ia tetap dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak.
Berkaitan dengan permasalahan yang hendak diangkat
oleh penulis, maka pengertian yang dipakai tentang anak adalah pengertian anak
sesuai dengan apa yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Hal tersebut dikaitkan karena dalam penelitian ini terfokus
dalam permasalahan anak yang melakukan tindak pidana.
Selain pengertian tentang anak secara umum, seperti
yang telah dijabarkan di atas maka dirasa perlu juga untuk sedikit menjabarkan
tentang pengertian anak yang melakukan tindak pidana atau dalam hukum biasa
disebut “Anak Nakal” (Juvenile Delinquency). Keputusan Menteri Sosial
(Kepmensos RI No. 23/HUK/1996) menyebutkan anak nakal adalah anak yang
berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial, moral dan agama, merugikan
keselamatan dirinya, mengganggu dan meresahkan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat serta kehidupan keluarga dan atau masyarakat[1].
Psikolog Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari Juvenile
Delinquency sebagai tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan berbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja, sedangkan Fuad
Hasan merumuskan definisi Delinquency sebagai perilaku anti sosial
yang dilakukan oleh anak remaja yang bila mana dilakukan oleh orang dewasa
dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan[2].
Maud A. Merril mengenai Juvenile Delinquency mengemukakan
pendapat yang kemudian dikutip oleh Romli Atmasasmita dalam buku yang
berjudul Problema Kenakalan Anak-Anak/Remaja sebagai berikut:
“A child is classified as a deliquent when his anti social
tendencies appear to be so grave that he become or ought to become the subject
of offcial action”.[3]
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya menjelaskan
tentang pengertian Anak Nakal sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 butir 2
sebagai berikut:
a.
Anak
yang melakukan tindak pidana
Walaupun
Undang-Undang Pengadilan Anak tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, akan
tetapi dapat dipahami bahwa anak yang melakukan tindak pidana, perbuatan yang
tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana saja melainkan juga melanggar diluar KUHP misalnya
ketentuan pidana dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Hak Cipta,
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya.
b.
Anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak
Yang
dimaksud perbuatan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut baik tertulis
maupun tidak tertulis misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan
dalam masyarakat.
- Pengadilan Anak
Masalah dalam hal menangani perkara yang tersangka
atau terdakwanya anak-anak, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
telah membentuk peraturan tentang hal tersebut, yaitu dengan ada Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang disahkan pada tanggal 3 Januari
1997, dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 3 dan Tambahan Lembaran
Negara RI No. 3668, undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1998.
Pengadilan anak sesuai dengan Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 adalah sebuah pengadilan yang diselenggarakan untuk menangani
pidana khususnya bagi perkara anak-anak. Mengenai pengertian ini memang secara
tegas dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak menyatakannya oleh karena
dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya menyatakan bahwa pengadilan
anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan
umum.
Lebih lanjut, dalam undang-undang ini secara tidak
langsung mengenai pengertian Pengadilan Anak, dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 menyebutkan sebagai berikut:
“ Sidang pengadilan anak yang selanjutnya disebut
Sidang Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini”
Berdasarkan
pasal tersebut dapat diketahui bahwa pengadilan anak berfungsi melaksanakan
sidang pengadilan anak atau sidang anak, yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara anak nakal. Undang-undang
No.3 Tahun 1997 sebagai suatu dasar acuan dalam perkara di mana anak-anak
sebagai tersangka atau terdakwa, secara otomatis aturan-aturan yang ada dalam
KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang mengatur hal yang sama
dengan yang ada dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dianggap tidak berlaku.
Mengenai ketentuan-ketentuan dalam KUHAP dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang tidak berlaku lagi sebagai konsekuensi dengan
berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
- Pasal
45
- Pasal
46
- Pasal
47
b. KUHAP
Mengenai hubungan Undang-undang No. 3 Tahun
1997 dengan KUHAP, bahwa penggunaan aturan-aturan atau mekanisme Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 didahulukan dalam mengadili perkara anak dan baru dipergunakan
KUHAP jika ada hal tidak tercantum dalamUndang-undang No. 3 Tahun 1997.
Selain hal tentang hubungan antara Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan KUHAP, ada
beberapa kekhususan lain yang dapat kita lihat dalam Undang-undang No. 3 Tahun
1997 yaitu:
a.
Lamanya
waktu penahanan untuk tiap tingkat pemeriksaan tidak sama dengan KUHAP (lihat
Pasal 43 sampai dengan Pasal 50).
b.
Hak-hak
tersangka/terdakwa anak dalam UU No.3 Tahun 1997 lebih dilengkapi dalam Pasal
45 ayat (4), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (3) selain hak-hak yang diatur dalam
Pasal 50 sampai dengan 68 KUHAP (kecuali Pasal 64 KUHAP, tentang persidangan
terbuka untuk umum).
c.
Adanya
suatu syarat yaitu kewajiban memiliki minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak bagi penyidik (Pasal 41 ayat (2)), Penuntut (Pasal 53 ayat (1)),
dan Hakim (Pasal 10 huruf (b)).
d.
Hakim
dalam proses pemeriksaan sidang perkara anak nakal dilakukan dengan hakim
tunggal (Pasal 11 ayat (1)), akan tetapi hal ini dikecualikan jika tindak
pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara diatas lima tahun dan
pembuktiannya sulit (Pasal 11 ayat (2).
e.
Persidangan
dilakukan secara tertutup (Pasal 57 ayat (1)), hal ini mempertegas pemberlakuan
Pasal 153 ayat (3) bagian ketiga KUHAP tentang Acara Pemeriksaan Biasa.
f.
Adanya Petugas Kemasyarakatan (Pasal 33).
g.
Sanksi
hukum terhadap anak nakal berbeda dengan sanksi hukum yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
h.
Penempatan
bagi terpidana anak nakal terpisah dengan terpidana yang merupakan orang dewasa
(Pasal 61 ayat (1)).
Secara pasti berbicara mengenai teknis prosedural
yang ada dalam UU No. 3 Tahun 1997 mempunyai perbedaan yaitu baik dari proses
awal, penyidikan, penyelidikan, pemeriksaan, penjatuhan pidana atau pemidanaan,
dan saat pelaksaanaan sanksi terhadap tersangka/terdakwa anak hingga saat anak
tersebut tealh menjalani sanksinya. KUHAP sebagai suatu aturan yang bersifat Lex
Generali hanya melengkapi UU No.3 Tahun 1997 sebagai Lex Spesialis terhadap
hal-hal yang tidak diatur didalamnya (Lex generali derogat lex spesialis).
- Tujuan Pidana Terhadap Anak
Tujuan pidana dari dahulu sampai sekarang telah
berkembang ke arah yang lebih rasional, dari yang dulu hanya bertujuan untuk
pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik
masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau yang telah menjadi korban
kejahatan. Hingga kemudian mengalami pergeseran mengenai tujuan pidana, yakni
adalah untuk kesejahtaraan masyarakat ataupun perbaikan narapidana tersebut.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana dapat
di kenakan bentuk pidana seperti yang sudah di atur dalam Pasal 23 UU No 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berbagai bentuk pidana yang dapat di
jatuhkan oleh hakim terhadap anak nakal selain bertujuan untuk memberi efek
jera juga harus melindungi hak-hak anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan
terbaik bagi anak (the best interest of child), hal ini di maksudkan
untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang.
Tujuan pemidanaan yang berlaku saat ini adalah variasi dari
bentuk-bentuk penjeraan (deterrant), baik ditujukan kepada pelanggar
hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat;
perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan kepada para
penjahat. Yang terakhir ini yang paling modern dan menjadi popular dewasa ini.
Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi menjadi alternatif
lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.[4]
[1]
Kepmensos RI No. 23/HUK/1996, diakses melalui www. suhadianto.blogspot.com,
tanggal 20 Desember 2008
[2] www.
h2dy.wordpress.com, diakses tanggal 20 Desember 2008
[3] Romli Atmasasmita, 1985, Problema
Kenakalan Anak-Anak/Remaja, Bandung, Armico, hlm. 21
[4] Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan
Pemidanaan Indonesia, Pradya Paramita, Jakarta, hlm. 88
No comments:
Post a Comment