1. Jenis-jenis Pidana dan Tindakan bagi
anak
Pada
waktu Wetboek van strafrecht
terbentuk pada tahun 1881, didalamnya orang dapat menjumpai Pasal 38 dan Pasal
39 yang mencerminkan pendapat dari penyusunnya, seolah-olah anak-anak itu tidak
dapat di tuntut menurut hukum pidana, apabila mereka itu sebelum mencapai usia
sepuluh tahun telah melakukan sesuatu tindak pidana.
Apabila
mereka yang telah melakukan suatu tindak pidana dan tindak pidana itu menurut Wetboek van strafrecht ternyata
merupakan suatu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, maka hakim
perdata dapat memerintahkan agar pelakunya dimasukkan ke dalam apa yang disebut
rijksopvoedingsgesticht atau ke dalam
suatu lembaga pendidikan kerajaan. (Lamintang, 1986:156)
Apabila
pelaku dari kejahatan tersebut ternyata merupakan seorang anak yang telah
berusia sepuluh tahun atau lebih akan tetapi belum mencapai usia enam belas
tahun, maka hakim pidana harus menyelidiki apakah dalam melakukan kejahatan
itu, pelakunya dapat membuat suatu oordeel des onderscheids atau tidak,
artinya apakah pelakunya dapat membuat suatu penilaian mengenai perbuatannya,
yaitu apakah perbuatannya itu dapat dibenarkan atau tidak.
Apabila
pelakunya tidak dapat membuat suatu
oordeel des onderscheids seperti dimaksudkan di atas, maka bagi pelakunya
itu tidak dapat dijatuhkan suatu pidana akan tetapi jika tindak pidana yang
telah ia lakukan itu ternyata merupakan suatu tindak pidana yang berat maka
hakim pidana dapat memerintahkan agar pelakunya dimasukkan ke dalam lembaga
pendidikan kerajaan.
Apabila pelakunya ternyata dapat membuat
suatu oordeel des onderscheids, maka
bagi pelakunya itu dapat dijatuhkan pidana-pidana seperti yang dapat dijatuhkan
bagi orang-orang dewasa, dengan catatan bahwa pidana terberat yang telah
diancamkan bagi orang-orang dewasa itu harus dikurangi dengan sepertiganya, dan
pidana penjara selama seumur hidup bagi orang-orang dewasa itu diganti dengan
pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. (Lamintang, 1986:156)
Hal
ini membawa perubahan antara lain dalam memeriksa perkara anak sudah tidak lagi
didasarkan pada oordeel des onderscheids, tetapi lebih mementingkan kepada masalah
pendidikan yang perlu diberikan kepada pelaku tindak pidana, di iringi dengan
dibentuknya sejumlah pidana dan tindakan-tindakan yang lebih tepat bagi
anak-anak pelaku tindak pidana di bawah umur. Dalam menangani perkara pidana
yang pelakunya anak-anak, maka hakim harus sadar yang penting baginya bukanlah
apakah anak-anak tersebut dapat dihukum atau tidak, melainkan tindakan yang
bagaimanakah yang harus diambil untuk mendidik anak itu.
Demikianlah
pemikiran-pemikiran yang terdapat di negeri Belanda dalam menanggulangi dan
melindungi kepentingan anak dihubungkan dengan penanganan perkara pidana yang
pelakunya anak dan pemuda. Lebih lanjut pengadilan Belanda dilengkapi pula
dengan Kinder Stafrecht dan dibentuknya hakim anak (kinder rechter)
dengan Undang-undang 5 Juli 1921 yang berlaku 1 November 1922. Dengan demikian
negeri Belanda sudah mempunyai pengalaman dalam peradilan anak selama lebih
dari setengah abad.
Namun
ternyata hukum Belanda tersebut tidak seluruhnya dimuat dan diberlakukan di Indonesia
sebagai negara jajahannya. KUHP yang berlaku di Indonesia hanya memuat sebagian
saja, antara lain dapat kita lihat dalam pasal 45,46,47 KUHP dan pasal-pasal
lain yaitu Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 serta Pasal 72 ayat (2) KUHP yang
ditujukan guna melindungi kepentingan anak.
(Wagiati Soetodjo, 2006:2-3).
Sedangkan
sejarah terbentuknya pidana anak serta perkembangannya di Indonesia, kurang
lebih sejak tahun 1954 di Indonesia terutama di Jakarta, sudah terbentuk hakim
khusus yang mengadili anak-anak dengan dibantu oleh pegawai prayuwana, tetapi
penahanan pada umumnya masih disatukan dengan orang dewasa. Tahun 1957
perhatian pemerintah tentang kenakalan remaja semakin membaik, terbukti dengan
dikirimkannya bebrapa ahli dari berbagai departemen ke luar negeri untuk
mempelajari hal-hal yang menyangkut Juvenile
Deliquency, terutama sejak penyelidikannya sampai cara penyelesaiannya di
muka pengadilan. Adapun departemen yang dimaksud adalah kejaksaan, kepolisian
dan kehakiman. Sekembalinya dari luar negeri maka dibentuklah agreement secara lisan antara ketiga
instansi diatas untuk mengadakan perlakuan khusus bagi anak-anak yang melakukan
tindak pidana. (Wagiati Soetodjo, 2006:3).
Pembedaan ancaman pidana bagi anak
ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hal ini disebapkan kondisi
fisik dan psikologis seseorang anak berbeda dengan kondisi orang dewasa. Dalam
KUHP diatur dalam Pasal 45 KUHP akan tetapi pasal ini sudah tidak berlaku lagi
dengan adanya Pasal 67 Undang-Undang Pengadilan Anak yang isinya menyatakan
bahwa Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, terhadap seorang anak
yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (2),
tersebut dapat dijatuhi pidana dan tindakan. Pidana dan tindakan tersebut
tertuang dalam Pasal 22 yaitu :
“
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhi pidana dan tindakan yang ditentukan
dalam undang-undang ini ”.
Dalam Pasal 23
disebutkan :
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal
adalah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak
nakal adalah :
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pengawasan
(3) Selain pidana pokok sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat 2 terhadap Anak Nakal juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara
pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pamerintah.
Dalam Pasal 24
dijelaskan sebagai berikut :
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap Anak
Nakal adalah:
a. Mengembalikan kepada orang tua,wali atau
orang tua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan , pembinaan, latihan kerja atau;
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau
Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
Dalam
realitanya hakim ketika menjatuhkan hukuman terhadap Anak Nakal
mempertimbangkan dua aspek yaitu pertimbangan sosiologis berdasarkan faktor
intern yang ada dalam diri anak dan faktor ekstern yang melekat pada perbuatan
yang dilakukan anak. Faktor intern yang ada dalam diri anak seperti kondisi
fisik dan psikis, faktor keluarga serta lingkungan. Sedangkan faktor ekstern
yang melekat pada perbuatan yang dilakukan oleh anak berupa seberapa besar
kerugian yang diderita pihak korban karena perbuatan anak, sifat dari pidananya
apakah tergolong berat atau tidak, secara criminal record dari si anak
apakah anak tersebut telah berkali-kali melakukan pidana. (Muladi, 1985:80)
Pertimbangan
yang bersifat sosial tersebut menjadi sangat relevan bila dikaitkan dengan
tujuan pemidanaan itu sendiri. Menurut Muladi tujuan pemidanaan tersebut
adalah :
a. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan
khusus), salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
adalah mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga
orang-orang lain yang mempunyai maksud sama dan karenanya mencegah kejahatan
lebih lanjut. Pencegahan ini mempunyai aspek ganda, yakni yang individual dan
yang bersifat umum. Dikatakan ada pencegahan individual atau pencegahan khusus,
bilamana seorang penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan dikemudian
hari apabila ia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa
penderitaan baginya, disini dianggap mempunyai daya untuk mendidik dan memperbaiki. Dikatakan ada pencegahan
umum bila penjatuhan pidana yang
dilakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang lain tercegah untuk melakukan kejahatan.
b. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan
masyarakat, perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi
yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua
pemidanaan. Secara sempit hal ini di gambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan
untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya
pengulangan tindak pidana.
c. Tujuan pemidanaan adalah memelihara
solidaritas masyarakat. pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam hal mengandung
beberapa pengertian, bahwa pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat
masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan atau balas dendam yang tidak
resmi (privat revenge or an official retalation). Pengertian kedua
berkaitan dengan pernyataan Durkheim
yang menyatakan bahwa tujuan
pemidanaan adalah untuk memelihara atau mempertahankan kepaduan masyarakat yang
utuh.
d. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau
pengimbangan.Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana dewasa ini maka
menghindari atau mencegah orang main hakim sendiri tetapi merupakan fungsi yang
penting sekali dalam penerapan hukum pidana, yakni memenuhi keinginan akan
pembalasan. Hanya saja penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus dibatasi
dalam batasan-batasan yang paling sempit dan pidana harus menyumbangkan pada
penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan sehari-hari dan disamping itu
beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa, bahkan tidak dengan
alasan-alasan prevensi general apapun. (Muladi, 1985:80-86)
Lebih
khusus tentang tujuan pemidanaan bagi anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan
utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian
integral dari kesejahteraan sosial. Jadi hakim dalam menjatuhkan putusan pada
peradilan anak harus berdasarkan pada tujuan peradilan anak yaitu kesejahteraan
anak dalam menjatuhkan putusan hakim harus dilakukan dengan pertimbangan :
a. Penghormatan terhadap kedudukan hukum si anak
(respect the legal status of juvenile);
b. Memajukan kesejahteraan anak (promote the
wellbeing of the juvenile);
c. Menghindari hal-hal yang merugikan atau
membahayakan kepentingan anak (avoid harm to her or him). (Romli
Atmasasmita, 1992:117)
Pertimbangan-pertimbangan
sosiologis di atas harus menjadi pegangan hakim karena tujuan dari pidana
terhadap anak lebih mengutamakan menjaga kepentingan anak sehingga harus
menghindari penjatuhan pidana yang akan menimbulkan lebelling (pelekatan
indentitas) sebagai penjahat terpidana, karena anak sebagai pelaku kejahatan
harus dilihat sebagai individual yang belum seluruhnya sempurna baik dari segi
kegiatan fisik maupun kegiatan non fisik.
Kaitannya
dengan pertimbangan-pertimbangan di atas maka putusan pidana yang dijatuhkan
dalam peradilan anak, hakim dapat menjatuhkan salah satu putusan di bawah ini :
a. Dikembalikan kepada orang tua, wali atau
orang tua asuh;
b. Menyerahkan pada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan, pelatihan kerja atau;
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau
Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja. (Hery Winarno, 2008:33)
2. Pidana
Penjara Bagi Anak
Sejarah pidana penjara dimulai dengan
lahirnya faham rationalisme yang menumbuhkan dunia seni dan ilmu pengetahuan
yang bebas dari tekanan, faham Humanisme yang menempatkan manusia pada
kedudukannya hidup bebas menurut kodratnya, dan faham Reformisme yang
membangkitkan kehidupan manusia dari belengu yang mementingkan keakhiratan
belaka, kegiatan tersebut dapat berpengaruh terhadap perkembangan pidana dan
pemidanaan.
Gelombang yang meluas dari gerakan
rasionalisme, humanisme dan reformisme tersebut membuka jalan bagi pemikiran
baru tentang eksistensi pidana penjara dan pelaksanaannya untuk semakin menjadi
rasional dan manusiawi, sehingga sudah barang tentu pengenaan pidana
meninggalkan sifat-sifatnya yang berlandaskan naluri atau nafsu belaka seperti
pada zaman terdahulu.
Pertumbuhan pidana penjara yang bersifat
rasional dan manusiawi itu mengalami proses yang memakan waktu hampir tiga
ratus tahun, dihitung sejak mengembusnya angin kebangkitan baru disekitar abad
ke-15 sampai berhasilnya gerakan pembaharuan pidana penjara oleh
pejuang-pejuang kepenjaraan inggris, Amerika dan negara-negara Eropa dalam abad
ke16-18.
Sehubungan dengan pembaharuan pidana dan
pertumbuhan pidana penjara yang dipengaruhi oleh beberapa aliran filsafat
seperti tersebut di atas, maka selama beberapa ratus tahun ini pertumbuhan
pidana dan pidana penjara mengalami pembaharuan yang mengandung nilai-nilai
filsafati sebagaimana tersirat dalam cabang atau aliran filsafat.
Dengan demikian pembaharuan pidana penjara
dan pelaksanaanya tidak hanya didasarkan landasan teori-teori dan konsep-konsep
dari hukum pidana serta penologi yang menjadi fokus penelitian hukum ini, akan
tetapi dapat diteliti lebih lanjut mengenai dasar-dasar filsafatnya.
Dasar tiga dimensi teori pidana dan
pemidanaan secara terpadu dari pelaksanaan pidana penjara dengan sistem
pemasyarakatan, kiranya dapat diungkapkan nilai-nilai filsafati melalui hasil
perenungan dari cabang atau aliran filsafat yang dirumuskan secara integratif,
setiap dimensi teori pidana dari pemidanaan tersebut dapat dipahami melalui
pendekatan filsafati, misalnya ajaran hukum pidana klasik yang dipelopori oleh
Beccaria dipengaruhi oleh dasar filsafat yang menganut faham hedonisme yang
berprinsip kesenangan menghindari kesusahan, oleh karena itu perbuatan manusia
adalah kehendak yang bebas.
Kepustakaan penologi mencatat sejarah
pertumbuhan pidana penjara dimulai dari berbagai peristiwa diantaranya :
a. Ketika
gereja membentuk pengadilan tersendiri lepas dari pengadilan negara dengan cara
menetapkan tindakan pengurungan di dalam gereja (menastic prison) yang
terjadi pada abad ke 16
b. Perang
agama yang mengakibatkan emigran dari Inggris dibawah pimpinan William Pen
menetapkan peraturan pidana berupa membatasi kebebasan bergerak seseorang
selama pelariannya ke benua Amerika Utara 1676;
c. Pendidikan
paksa yang dikembangkan oleh pemerintah Inggris memperlakukan narapidana
golongan wanita untuk dipekerjakan sebagai pemintal (spinhuis) tahun
1596 dan golongan laki-laki untuk dipekerjakan sebagai pembuat cat (rasphuis)
tahun 1957. (Bambang Poernomo, 1986:122-124)
Di Amsterdam, Belanda pada tahun 1956
didirikan "rumah penertib" (tuchthuis)yang disebut spinuis
bagi terpidana wanita dan juga rasphuis bagi terpidana laki-laki.
(Sudarto, 1981:90)
Pada saat bentuk pidana penjara mulai
dalam masa peralihan ternyata pelaksanaan pidana penjara masih dipengaruhi oleh
praktek perlakuan terhadap pidana badan dan nafsu membalas yang sudah lama
membekas dalam budaya hukum masyarakat, sehingga memakan waktu yang lama untuk
merubah jalan pikiran yang membedakan antara bentuk pidana penjara dan pidana
badan. Peninggalan cara berpikir masa lalu itu masih nampak bekas-bekasnya dari
sikap masyarakat dan sebagian penegak hukum pada masa sekarang.
Pidana penjara yang diartikan sebagai
pidana perampasan atau pencabutan atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk
menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu selama waktu tertentu yang
diakibatkan oleh putusan hakim. Pengertian ini pada zaman Hindia Belanda belum
dapat dipisahkan dengan tindakan terhadap unsur fisik sehingga praktek
pelaksanaan pidana penjara masih belum dapat berjalan sesuai dengan pengertian
dari cita-cita pembaharuan.
Di samping sebab kurang pemahaman dari
pengertian pidana penjara, juga masih ada sebab lainnya terutama mengenai
keadan-keadan di bidang sarana peraturan atau buku pedoman pelaksanaan pidana
penjara (manual) yang kurang lancar, sikap para petugas yang belum berorientasi
pada pembaharuan pelaksanaan pidana penjara dan perhatian dari pemerintah dalam
pengadaan fasilitas untuk menunjang pembaharuan pidana masih di bawah ukuran
kebutuhan minimal.
Selain di lihat dari sejarahnya pidana
penjara bagi anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak dalam Pasal 26 yang rumusannya :
(1) Pidana
penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dan maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila
Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
(3) Apabila
Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai
umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan
tindakan sebagai mana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila
Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai
umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana
mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal
tersebut dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dalam pemberian pidana penjara bagi anak hakim berpedoman pada ketentuan
pasal diatas.
izin copas
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat, sila kan bisa langsung di copy namun bila tidak bisa mohon maaf untuk copy sudah banyak mulai di larang sepertinya, jadi bila berkenan bisa saya kirim via email saja.
DeleteIzin Copas
ReplyDelete