Background
Masyarakat di Indonesia yang majemuk
terdiri dari berbagai macam usia, golongan, suku dan agama. Salah satu bagian
dari masyarakat adalah anak, anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,
setiap anak yang dilahirkan adalah suci maka orang tua dan lingkunganlah yang membentuk
karakternya baik atau buruk, tergantung akan didikan orang tuanya dan
lingkungan dimana dia tinggal oleh karena itu setiap anak merupakan tunas
potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki
peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang.
Dalam kenyataannya yang kita hadapi di
Tanah Air permasalahan mengenai anak sudah sangat pelik, anak yang seharusnya
di bina, dipelihara dan dilindungi malah dijadikan objek perbuatan yang
tercela, bukan hanya sebagai objek, pada saat sekarang ini sering pula terjadi
di mana anak sebagai pelaku kejahatan sehingga menimbulkan keprihatinan yang
mendalam bagi masyarakat.
Salah satu ciri utama negara hukum terletak
pada kecenderungannya untuk melihat tindakan-tindakan yang dilakukan dalam
masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum, salah satu bidang hukum adalah
hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum, perbuatan mana
yang diancam hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau nestapa. (Moeljatno,
1980:2). Masalah pemidanaan merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian
dalam perjalanan hukumnya, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri
(Maurach). Padahal syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memungkinkan
penjatuhan pidana diatur dalam pemidanaan, maka masalah pemidanaan dan pidana
merupakan hal yang sama sekali tidak boleh dilupakan. Bagian terpenting dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah stelsel pidananya. Stelsel
pidana tersebut dapat dijadikan ukuran sampai seberapa jauh tingkat peradaban
bangsa yang bersangkutan. Stelsel pidana tersebut memuat aturan-aturan
tentang jenis pidana dan juga memuat aturan tentang ukuran dan pelaksanaan
pidana itu. Dari jenis, ukuran dan cara pelaksanaanya itu dapat dinilai
bagaimana sikap bangsa itu melalui pembentukan Undang-undangnya dan
pemerintahannya terhadap masyarakat yang telah melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan Pidana.
Berkaitan dengan hal tersebut, Moeljatno
merumuskan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum
pidana dilarang dan diancam dengan pidana. (Moeljatno, 1980:54). Syarat
dipidananya seseorang harus memenuhi syarat bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, hal ini juga berlaku
terhadap anak, demikian pula halnya dalam penerapan pidana terhadap seorang
anak yang telah melakukan tindak pidana kepadanya wajib diberi pidana tetapi
pidana yang dijatuhkan pengadilan tidak boleh berat sebelah dalam arti
membeda-bedakan seorang anak.
Di lihat dari sejarahnya di Belanda
terdapat dua tahap perkembangan pemidanaan anak, yaitu dimulai dengan
dibentuknya Wetboek van Strafrecht Belanda tahun 1981, di mana di dalam
Undang-undang tersebut dapat kita jumpai pasal-pasal yang mencerminkan
seolah-olah anak yang belum berumur 10 (sepuluh) tahun tidak dapat dituntut
menurut hukum pidana apabila ia terbukti melakukan tindak pidana kejahatan,
maka pelakunya diperintahkan masuk ke dalam rijksopvoedinghsgesticht
(Lembaga Pendidikan Kerajaan) oleh Hakim Perdata.
Apabila pelaku berusia 10 (sepuluh) sampai
16 (enam belas) tahun, maka Hakim Pidana harus menyelidiki apakah pelakunya
dapat membuat ordeal des onderscheid (dapat membuat penilaian atas
tindakannya serta menyadari tentang sifatnya yang terlarang dari tindakan
tersebut) atau tidak. Apabila jawabannya dapat, maka pelaku dapat dijatuhkan
pidana bagi orang dewasa dengan dikurangi sepertiganya, jika diancam pidana
seumur hidup dapat diganti dengan pidana penjara selama-lamanya 15 tahun.
Sedangkan bila jawabannya tidak maka pelaku tidak dapat dijatuhi hukuman
Pidana. Tetapi jika tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana berat
maka Hakim Pidana dapat memerintahkan pelaku untuk masuk kedalam Lembaga
Pendidikan Kerajaan. ( Wagiati Soetodjo, 2006:2)
Salah satu bentuk pertanggung jawaban
pidana adalah melalui lembaga pemasyarakatan, dengan digantinya sistem
kepenjaraan menjadi sistem kemasyarakatan dimaksudkan bahwa selain untuk
merumuskan dari pidana penjara, pemasyarakatan juga merupakan system pembinaan
atau suatu metodologi dalam bidang treatment of offenders yang multilateral
oriented dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada potensi-potensi
yang ada pada narapidana yang bersangkutan juga pada masyarakat suatu
keseluruhan (masyarakat diikut sertakan dalam membina dan mengintergrasikan
narapidana di dalam masyarakat, sehingga disebut dengan masyarakat Pembina).
(A. Widiada G.S.A., 1998:10)
Bertolak dari pandangan Saharjo, tentang
hukum sebagai pengayoman, hal ini membuka jalan terhadap narapidana dengan cara
pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut
disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas para Pimpinan Kepenjaraan pada
tanggal 27 April 1964 memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di
Indonesia dilakukan dengan sistem
pemasyarakatan, suatu pernyataan disamping sebagai arah dan tujuan, pidana
penjara dapat menjadi cara untuk membimbing dan membina. Penggantian istilah
dari penjara menjadi lembaga pemasyarakatan tentu bukan sekedar istilah saja
yang berubah tetapi melainkan juga konsep, ide, gagasan dan juga luaran yang
nantinya dihasilkan dalam sebuah sarana resosialisasi.
Demikian halnya dengan lembaga pemasyarakatan
anak yang dapat menimbulkan dampak negatif, mengingat kenyataan bahwa sejumlah
narapidana yang ditempatkan terlalu lama di dalam lembaga pemasyarakatan itu
menjadi lebih rusak perilaku mereka di bandingkan dengan keadaan mereka yang
saat mereka dimasukan kedalam lembaga pemasyarakatan, kiranya cukup bijaksana
jika orang berkenan mendengar nasehat mantan menteri kehakiman Belanda yang
mengatakan bahwa : “hendaknya pidana itu merupakan suatu ultimum remedium, yang apabila dipandang sebagai obat, pemberiannya
jangan sampai membuat penyakitnya sendiri menjadi lebih parah” (Lamintang,
1984:17). Hal senada juga dikemukakan oleh Mochtar Lubis yang mengkritik fungsi
lembaga pemasyarakatan sebagaimana dikutip M zakaria.
“Bahwa Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat menyandangkan
para narapidana agar menjadi manusia yang lebih baik hanya selogan saja, malah
yang terjadi lembaga pemasyarakatan semacam perguruan tinggi untuk narapidana.”
(Zakaria, 1981:56)
Oleh karena itu diperlukan adanya
perlindungan bagi anak yang dikenai pidana penjara, karena memberikan
perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban semua pihak, ini merupakan
bagian apresiasi penegakan Hak Asasi Manusia hal ini terkandung dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selain diatur
dalam Undang-undang, perlindungan terhadap anak juga diatur di dalam Konvensi
Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 dimana
dalam Artikel 37 disebutkan :
(a)
Tak seorang anak pun boleh menjalani siksaan atau
kekerasan lain, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan
martabat. Hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan
tidak akan dijatuhi untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
berusia dibawah delapan belas tahun;
(b)
Tidak seorang anak pun akan kehilangan kemerdekaan
secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman
seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya akan diterapkan sebagai upaya
terakhir dan untuk jangka waktu yang singkat dan layak
(c)
Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan
diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya secara khusus , setiap anak
yang dirampas kemerdekaanya akan dipisahkan dan orang-orang dewasa kecuali bila
dianggap bahwa tidak melakukan hal ini merupakan kepentingan terbaik dan anak
yang bersangkutan, dan ia berhak mengadakan surat-menyurat atau
kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan khusus;
(d)
Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak segera
mendapat bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, dan juga berhak untuk
menggugat keabsahan perampasan kemerdekaan itu di depan pengadilan atau
penguasa lain yang berwenang, independen dan tidak memihak, dan berhak atas suatu
keputusan yang cepat mengenai hal tersebut.
Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria
Tanggerang merupakan bentuk dari perlindungan narapidana anak, akan tetapi
sebagai Lembaga Pemasyarakatan khusus anak apakah Lembaga Pemasyarakatan Anak
Pria Tanggerang telah memberikan perlindungan yang sesuai dengan apa yang
diatur dalam Undang-undang dan apakah terdapat dampak negatif di dalam Lapas
Anak Pria Tanggerang.
No comments:
Post a Comment