Friday, June 7, 2013

Perlindungan Narapidana Anak terhadap Dampak Negatif dari Pelaksanaan Pidana Penjara


Background
Masyarakat di Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai macam usia, golongan, suku dan agama. Salah satu bagian dari masyarakat adalah anak, anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, setiap anak yang dilahirkan adalah suci maka orang tua dan lingkunganlah yang membentuk karakternya baik atau buruk, tergantung akan didikan orang tuanya dan lingkungan dimana dia tinggal oleh karena itu setiap anak merupakan tunas potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang.
Dalam kenyataannya yang kita hadapi di Tanah Air permasalahan mengenai anak sudah sangat pelik, anak yang seharusnya di bina, dipelihara dan dilindungi malah dijadikan objek perbuatan yang tercela, bukan hanya sebagai objek, pada saat sekarang ini sering pula terjadi di mana anak sebagai pelaku kejahatan sehingga menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi masyarakat.
 Salah satu ciri utama negara hukum terletak pada kecenderungannya untuk melihat tindakan-tindakan yang dilakukan dalam masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum, salah satu bidang hukum adalah hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum, perbuatan mana yang diancam hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau nestapa. (Moeljatno, 1980:2). Masalah pemidanaan merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam perjalanan hukumnya, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri (Maurach). Padahal syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memungkinkan penjatuhan pidana diatur dalam pemidanaan, maka masalah pemidanaan dan pidana merupakan hal yang sama sekali tidak boleh dilupakan. Bagian terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah stelsel pidananya. Stelsel pidana tersebut dapat dijadikan ukuran sampai seberapa jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan. Stelsel pidana tersebut memuat aturan-aturan tentang jenis pidana dan juga memuat aturan tentang ukuran dan pelaksanaan pidana itu. Dari jenis, ukuran dan cara pelaksanaanya itu dapat dinilai bagaimana sikap bangsa itu melalui pembentukan Undang-undangnya dan pemerintahannya terhadap masyarakat yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan Pidana.
Berkaitan dengan hal tersebut, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. (Moeljatno, 1980:54). Syarat dipidananya seseorang harus memenuhi syarat bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, hal ini juga berlaku terhadap anak, demikian pula halnya dalam penerapan pidana terhadap seorang anak yang telah melakukan tindak pidana kepadanya wajib diberi pidana tetapi pidana yang dijatuhkan pengadilan tidak boleh berat sebelah dalam arti membeda-bedakan seorang anak.
Di lihat dari sejarahnya di Belanda terdapat dua tahap perkembangan pemidanaan anak, yaitu dimulai dengan dibentuknya Wetboek van Strafrecht Belanda tahun 1981, di mana di dalam Undang-undang tersebut dapat kita jumpai pasal-pasal yang mencerminkan seolah-olah anak yang belum berumur 10 (sepuluh) tahun tidak dapat dituntut menurut hukum pidana apabila ia terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, maka pelakunya diperintahkan masuk ke dalam rijksopvoedinghsgesticht (Lembaga Pendidikan Kerajaan) oleh Hakim Perdata.
Apabila pelaku berusia 10 (sepuluh) sampai 16 (enam belas) tahun, maka Hakim Pidana harus menyelidiki apakah pelakunya dapat membuat ordeal des onderscheid (dapat membuat penilaian atas tindakannya serta menyadari tentang sifatnya yang terlarang dari tindakan tersebut) atau tidak. Apabila jawabannya dapat, maka pelaku dapat dijatuhkan pidana bagi orang dewasa dengan dikurangi sepertiganya, jika diancam pidana seumur hidup dapat diganti dengan pidana penjara selama-lamanya 15 tahun. Sedangkan bila jawabannya tidak maka pelaku tidak dapat dijatuhi hukuman Pidana. Tetapi jika tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana berat maka Hakim Pidana dapat memerintahkan pelaku untuk masuk kedalam Lembaga Pendidikan Kerajaan. ( Wagiati Soetodjo, 2006:2)
Salah satu bentuk pertanggung jawaban pidana adalah melalui lembaga pemasyarakatan, dengan digantinya sistem kepenjaraan menjadi sistem kemasyarakatan dimaksudkan bahwa selain untuk merumuskan dari pidana penjara, pemasyarakatan juga merupakan system pembinaan atau suatu metodologi dalam bidang treatment of offenders yang multilateral oriented dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada potensi-potensi yang ada pada narapidana yang bersangkutan juga pada masyarakat suatu keseluruhan (masyarakat diikut sertakan dalam membina dan mengintergrasikan narapidana di dalam masyarakat, sehingga disebut dengan masyarakat Pembina). (A. Widiada G.S.A., 1998:10)
Bertolak dari pandangan Saharjo, tentang hukum sebagai pengayoman, hal ini membuka jalan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia  dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan disamping sebagai arah dan tujuan, pidana penjara dapat menjadi cara untuk membimbing dan membina. Penggantian istilah dari penjara menjadi lembaga pemasyarakatan tentu bukan sekedar istilah saja yang berubah tetapi melainkan juga konsep, ide, gagasan dan juga luaran yang nantinya dihasilkan dalam sebuah sarana resosialisasi.
Demikian halnya dengan lembaga pemasyarakatan anak yang dapat menimbulkan dampak negatif, mengingat kenyataan bahwa sejumlah narapidana yang ditempatkan terlalu lama di dalam lembaga pemasyarakatan itu menjadi lebih rusak perilaku mereka di bandingkan dengan keadaan mereka yang saat mereka dimasukan kedalam lembaga pemasyarakatan, kiranya cukup bijaksana jika orang berkenan mendengar nasehat mantan menteri kehakiman Belanda yang mengatakan bahwa : “hendaknya pidana itu merupakan suatu ultimum remedium, yang apabila dipandang sebagai obat, pemberiannya jangan sampai membuat penyakitnya sendiri menjadi lebih parah” (Lamintang, 1984:17). Hal senada juga dikemukakan oleh Mochtar Lubis yang mengkritik fungsi lembaga pemasyarakatan sebagaimana dikutip M zakaria.
“Bahwa Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat menyandangkan para narapidana agar menjadi manusia yang lebih baik hanya selogan saja, malah yang terjadi lembaga pemasyarakatan semacam perguruan tinggi untuk narapidana.” (Zakaria, 1981:56)

Oleh karena itu diperlukan adanya perlindungan bagi anak yang dikenai pidana penjara, karena memberikan perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban semua pihak, ini merupakan bagian apresiasi penegakan Hak Asasi Manusia hal ini terkandung dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selain diatur dalam Undang-undang, perlindungan terhadap anak juga diatur di dalam Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 dimana dalam Artikel 37 disebutkan :
               (a)       Tak seorang anak pun boleh menjalani siksaan atau kekerasan lain, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat. Hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan tidak akan dijatuhi untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia dibawah delapan belas tahun;
               (b)       Tidak seorang anak pun akan kehilangan kemerdekaan secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang singkat dan layak
               (c)       Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya secara khusus , setiap anak yang dirampas kemerdekaanya akan dipisahkan dan orang-orang dewasa kecuali bila dianggap bahwa tidak melakukan hal ini merupakan kepentingan terbaik dan anak yang bersangkutan, dan ia berhak mengadakan surat-menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan khusus;
               (d)       Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak segera mendapat bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, dan juga berhak untuk menggugat keabsahan perampasan kemerdekaan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, independen dan tidak memihak, dan berhak atas suatu keputusan yang cepat mengenai hal tersebut.

Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tanggerang merupakan bentuk dari perlindungan narapidana anak, akan tetapi sebagai Lembaga Pemasyarakatan khusus anak apakah Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tanggerang telah memberikan perlindungan yang sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-undang dan apakah terdapat dampak negatif di dalam Lapas Anak Pria Tanggerang.

No comments:

Post a Comment