Islam
adalah agama yang paling mulia di sisi Allah , karena Islam dibangun diatas
agama yang wasath (adil) diseluruh sisi ajarannya, tidak tafrith
(bermudah-mudahan dalam beramal) dan tidak pula ifrath (melampaui batas dari
ketentuan syari’at). Allah berfirman
(artinya): “Dan demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat
yang adil dan pilihan ….” (Al Baqarah: 142)
Ziarah kubur termasuk ibadah yang mulia di
sisi Allah bila dilandasi dengan prinsip wasath (tidak ifrath dan tidak pula
tafrith). Tentunya prinsip ini tidak akan terwujud kecuali harus diatas
bimbingan sunnah Rasulullah . Barangsiapa yang menjadikan Rasulullah sebagai
suri tauladan satu-satunya, sungguh ia telah berjalan diatas hidayah Allah.
Allah berfirman (artinya): “Dan jika kalian mentaati (nabi Muhammad), pasti
kalian akan mendapatkan hidayah (dari Allah ).” (An-Nuur: 54)
Hikmah Dilarangnya Ziarah Kubur
Sebelum Diizinkannya
Dahulu Rasulullah shallallahu'alaihi wa
sallam melarang para sahabatnya untuk berziarah kubur sebelum disyari’atkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا ( وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim),
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim),
dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”
Al Imam An Nawawi berkata: “Sebab (hikmah)
dilarangnya ziarah kubur sebelum disyari’atkannya, yaitu karena para sahabat di
masa itu masih dekat dengan masa jahiliyah, yang ketika berziarah diiringi
dengan ucapan-ucapan batil. Setelah kokoh pondasi-pondasi Islam dan
hukum-hukumnya serta telah tegak simbol-simbol Islam pada diri-diri mereka,
barulah disyari’atkan ziarah kubur. (Al Majmu’: 5/310)
Tidak
ada keraguan lagi, bahwa amalan mereka di zaman jahiliyah yaitu berucap dengan
sebatil-batilnya ucapan, seperti berdo’a, beristighotsah, dan bernadzar kepada
berhala-berhala/patung-patung di sekitar Makkah ataupun di atas kuburan-kuburan
yang dikeramatkan oleh mereka.
Berziarah ke kubur dengan tujuan beribadah
kepada Allah di sisi kubur atau bertujuan untuk mendapatkan berkah (tabarruk/ngalap
berkah). Tata cara seperti ini adalah ziarah kubur yang menyelisihi tuntunan
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengandung berbagai pelanggaran yang
dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan dapat menghantarkan pada kesyirikan.
Tidak terdapat dalil shahih yang
menyatakan keutamaan beribadah di samping kubur bahkan terdapat dalil shahih
yang secara tegas melarang peribadatan di kuburan.
Abul ‘Abbas al Harrani rahimahullah
mengatakan,
الزِّيَارَةُ الْبِدْعِيَّةُ : فَمِنْ جِنْسِ زِيَارَةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَأَهْلِ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ مَسَاجِدَ وَقَدْ اسْتَفَاضَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْكُتُبِ الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا أَنَّهُ قَالَ عِنْدَ مَوْتِهِ :{لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا} قَالَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – : وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ وَلَكِنْ كُرِهَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا ،
“Ziarah Bid’iyyah semodel dengan ziarah kubur yang dilakukan oleh Yahudi, Nasrani dan pelaku bid’ah yang menjadikan kubur para nabi, orang shalih sebagai tempat peribadatan. Padahal telah tersebar luas dalam berbagai kitab Shahih dan lainnya bahwa beliau bersabda, menjelang beliau wafat, “Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat peribadatan”, beliau memperingatkan umat dari perbuatan mereka. ‘Aisyah berkata, “Seandainya bukan karena hal tersebut, tentulah beliau akan dimakamkan di pemakaman umum. Akan tetapi karena dikhawatirkan kubur beliau dijadikan sebagai tempat peribadatan (maka beliau di makamkan di dalam rumah, ed).”
“Ziarah Bid’iyyah semodel dengan ziarah kubur yang dilakukan oleh Yahudi, Nasrani dan pelaku bid’ah yang menjadikan kubur para nabi, orang shalih sebagai tempat peribadatan. Padahal telah tersebar luas dalam berbagai kitab Shahih dan lainnya bahwa beliau bersabda, menjelang beliau wafat, “Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat peribadatan”, beliau memperingatkan umat dari perbuatan mereka. ‘Aisyah berkata, “Seandainya bukan karena hal tersebut, tentulah beliau akan dimakamkan di pemakaman umum. Akan tetapi karena dikhawatirkan kubur beliau dijadikan sebagai tempat peribadatan (maka beliau di makamkan di dalam rumah, ed).”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Maka
yang dimaksud dengan tata cara ziarah bid’iyyah adalah seperti bersengaja untuk
shalat atau berdo’a di samping kubur para nabi atau orang shalih, menjadikan
penghuni kubur tersebut sebagai perantara dalam doa, meminta kepada penghuni
kubur untuk menunaikan hajatnya, meminta pertolongan padanya, atau bersumpah
kepada Allah dengan perantaraan penghuni kubur atau yang semisalnya. Semua hal
tersebut merupakan bid’ah yang tidak pernah dilakukan seorang sahabat,
tabi’in dan tidak juga dituntunkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak pula dicontohkan oleh Khulafur Rasyidin, bahkan para imam kaum
muslimin yang masyhur melarang seluruh hal tersebut.” (Majmu’ul Fataawa
24/334-335).
Begitupula mencari berkah di kuburan
dengan mengusap atau menciumnya. Ini termasuk perbuatan aneh dan tidak pernah
dituntunkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi dipraktekkan para
sahabat beliau radliallahu ta’ala ajma’in.
An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa yang terbersit di benaknya bahwa mengusap tangan (di kubur nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau semisalnya) lebih mampu untuk mendatangkan
berkah, maka hal tersebut berasal dari kebodohan dan kelalaiannya karena berkah
hanya dapat diperoleh dengan amal yang sesuai dengan syari’at. Bagaimana bisa
karunia Alloh diperoleh dengan melakukan amal yang menyelisihi kebenaran.” (Al
Majmu’ 8/275).
Tujuan Disyari’atkannya Ziarah
Kubur
Para pembaca, marilah kita perhatikan
hadits-hadits dibawah ini:
1. Hadits Buraidah bin Hushaib ,
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim)
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim)
dari sahabat Buraidah juga, beliau
berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada para sahabatnya, bilamana
berziarah kubur agar mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.”(HR. Muslim 3/65)
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.”(HR. Muslim 3/65)
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri dan Anas bin
Malik :
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا عِبْرَةً (وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ)
“sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar… . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik : … karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” (H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228).
“sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar… . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik : … karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” (H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228).
3. Hadits ‘Aisyah : “Dahulu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar menuju kuburan Baqi’ lalu beliau
mendo’akan kebaikan untuk mereka. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah
tentang perkara itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku (diperintahkan oleh
Allah) untuk mendo’akan mereka. (HR. Ahmad 6/252 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al
Albani , lihat Ahkamul Janaiz hal. 239)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya: “Apa
yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah berkata: “Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْن
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)
dalam riwayat lain
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوُمِ مُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kampong kediaman kaum mukminin. Kami insya Allah akan segera menyusul kalian.”(HR. Muslim no. 249).
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kampong kediaman kaum mukminin. Kami insya Allah akan segera menyusul kalian.”(HR. Muslim no. 249).
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وِالْمُسْلِمِيْنَ وِإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ . نَسْأَلُ اللهِ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, penghuni kampong kediaman, dari kalangan muslimin dan mukminin. Ssungguhnya kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar keselamatan diberikan kepada kami serta kalian.”(HR. Ibnu Majah no.1547 dengan sanad yang shahih).
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, penghuni kampong kediaman, dari kalangan muslimin dan mukminin. Ssungguhnya kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar keselamatan diberikan kepada kami serta kalian.”(HR. Ibnu Majah no.1547 dengan sanad yang shahih).
Dari hadits-hadits di atas, kita dapat
mengetahui kesimpulan-kesimpulan penting tentang tujuan sebenarnya dari ziarah
kubur:
a. Memberikan manfaat bagi penziarah kubur yaitu
untuk mengambil ibrah (pelajaran), melembutkan hati, mengingatkan kematian dan
mengingatkan tentang akan adanya hari akhirat.
b. Memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu
ucapan salam (do’a) dari penziarah kubur dengan lafadz-lafadz yang terdapat
pada hadits-hadits di atas, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi , seperti
hadits Aisyah dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong dari maksud
dan tujuan tersebut, maka itu bukanlah ziarah kubur yang diridhoi oleh Allah .
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah
mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan
penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya yaitu agar dapat mengambil
ibrah (pelajaran). Apabila kosong dari ini (maksud dan tujuannya) maka bukan
ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)
Catatan Penting
Bagi Peziarah Kubur
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan bagi penziarah kubur, yaitu:
1. Menjauhkan hujr yaitu
ucapan-ucapan batil
Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam: “…maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan
jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim)
dalam riwayat (HR. Ahmad): “…dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”
dalam riwayat (HR. Ahmad): “…dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”
Berbicara realita sekarang, maka sering
kita jumpai para penziarah kubur yang terjatuh dalam perbuatan ini. Mereka
mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a kepada penghuni kubur (merasa belum
puas /khusyu’) mereka sertai dengan sujud, linangan air mata (menangis),
mengusap-usap dan mencium kuburannya. Tidak sampai disini, tanah kuburannya
dibawa pulang sebagai oleh-oleh keluarganya untuk mendapatkan barakah atau
sebagai penolak bala’. Adakah perbuatan yang lebih besar kebatilannya di
hadapan Allah dari perbuatan ini? Padahal tujuan diizinkannya ziarah kubur
-sebagaimana yang telah disebutkan- adalah untuk mendo’akan penghuni kubur,
dan bukan berdo’a kepada penghuni kubur.
2. Dilarang Meratapi atau
Menangis dengan Meraung-raung
Boleh bagi peziarah untuk menangis jika
teringat akan kebaikan mayit atau semisalnya berdasarkan hadits Anas bin Malik
radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku turut menghadiri pemakaman anak perempuan
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau duduk di samping kuburnya.
Aku melihat kedua mata beliau mengucurkan air mata.”(HR. Bukhari no.1291, Muslim
no. 933).
Terdapat juga atsar dari Hani, maula
Utsman radliallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Utsman sering menangis apabila
melewati areal pekuburan. (HR. Ibnu Majah nomor 4267 dengan sanad yang hasan).
Namun yang harus dihindari jangan sampai
tangisan tersebut justru membuat dirinya meratap, mengucapkan atau melakukan
perbuatan yang mengundang kemurkaan Allah ta’ala dan menghilangkan kesabaran
sehingga menampakkan bahwa dirinya tidak menerima ketetapan Allah. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ditangisi dan
diiringi dengan ratapan, maka ia akan merasa tersiksa pada hari kiamat kelak
disebabkan ratapan tersebut.”(HR. Muslim no.933).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab disebabkan bercucurnya air
mata atau bersedihnya hati. Namun Allah membuatnya tersiksa dengan sebab
(ratapan) yang diucapkan oleh lisan seseorang. -beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berisyarat dengan menunjuk lisannya.”(HR. Bukhari no.1304).
Imam asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Akan tetapi tidak boleh mengatakan perkataan yang terlarang di samping kubur,
seperti menyumpah serapahi diri sendiri atau meratap. Namun, jika anda
berziarah untuk memintakan ampun bagi mayit, melembutkan hati anda dan mengingat
akirat, maka hal ini tidak aku benci.”(al Umm 1/317).
3. Tidak menjadikan kuburan
sebagai masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad)
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad)
Kalau demikian, bagaimana besarnya
kemurkaan Allah kepada orang yang menjadikan kuburan selain para nabi sebagai
masjid?
Makna menjadikan kuburan sebagai masjid
mencakup mendirikan bangunan masjid di atasnya ataupun beribadah kepada Allah
di sisi kuburan. Maka dari itu, tidak pernah dijumpai para sahabat Nabi
meramaikan kuburan dengan berbagai jenis ibadah seperti shalat, membaca Al
Qur’an, atau jenis ibadah yang lainnya. Karena pada dasarnya perbuatan itu
adalah terlarang, lebih tegas lagi larangan tersebut ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)
Membaca Al-Qur`an dipekuburan adalah suatu
bid’ah dan bukanlah petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Bahkan petunjuk (sunnah) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
adalah berziarah dan mendo’akan mereka, bukan membaca Al-Qur`an.
Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR.Muslim no. 780)
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR.Muslim no. 780)
Pada hadits ini terkandung pengertian
bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memerintahkan ummatnya agar
membaca Al-Qur`an di rumah-rumah mereka (menjadikan rumah-rumah mereka sebagai
salah satu tempat membaca Al-Qur`an), kemudian beliau menjelaskan hikmahnya,
yaitu bahwa syaithan akan lari dari rumah-rumah mereka jika dibacakan surah
Al-Baqarah.
Dan sebelumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai
kuburan yang dihubungkan dengan hikmah (illat tersebut), maka mafhum (dipahami)
dari hadits di atas adalah bahwa kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan
untuk membaca Al-Qur`an, bahkan tidak boleh membaca Al-Qur`an padanya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad tentang makruhnya membaca Al-Qur`an
dikuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para shahabatnya (Ahmad)
yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada seorangpun dari ‘ulama yang
diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`an dikuburan afdhal (lebih
baik). Dan menyimpan mashohif (kitab-kitab Al-Qur`an) dikuburan adalah bid’ah
meskipun untuk dibaca… dan membacakan Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah.”
(Lihat Min Bida’il Qubur hal.59.)
4. Tidak melakukan safar
(perjalanan jauh) dalam rangka ziarah kubur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415)
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415)
Ziarah ke kubur Nabi dan dua sahabatnya
Abu Bakar dan Umar merupakan amalan mustahabbah (dicintai) dalam agama ini,
namun dengan syarat tidak melakukan safar semata-mata dengan niat ziarah.
Sehingga salah kaprah anggapan orang bahwa safar ke masjid An Nabawi atau safar
ke tanah Suci (Masjidil Haram) hanya dalam rangka berziarah ke kubur Nabi dan
tidak dibenarkan pula safar ke tempat-tempat napak tilas para nabi dengan niat
ibadah, sebagaimana penegasan hadits di atas tidak bolehnya mengadakan safar
dalam rangka ibadah kecuali ke tiga masjid saja.
Al Imam Ahmad meriwayatkan tentang
kejadian Abu bashrah Al Ghifari yang bertemu Abu Hurairah. Beliau bertanya
kepada Abu bashrah: “Dari mana kamu datang? Abu bashrash menjawab: “Aku datang
dari Bukit Thur dan aku shalat di sana.” Berkata Abu Hurairah : “Sekiranya aku
menjumpaimu niscaya engkau tidak akan pergi ke sana, karena aku mendengar
Rasulullah bersabda: “Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan
ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid
Al-Aqsha.”
Adapun hadits-hadits yang tersebar di
masyarakat seperti:
مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”
مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”
Semua hadits-hadits di atas ini dho’if
(lemah) bahkan maudhlu’ (palsu), sehingga tidak diriwayatkan oleh Al-Imam
Bukhari, Muslim, tidak pula Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-Nasai’ dan selain
keduanya, tidak pula Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’,
Al-Laitsi dan lainnya dari para imam-imam ahlu hadits. (lihat Majmu’ Fatawa
27/29-30).
5. Tanah kubur Nabi tidaklah
lebih utama dibanding Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al Qur’an,
As Sunnah ataupun perkataan dari salah satu ulama salaf yang menerangkan bahwa
tanah kubur Nabi lebih utama dibanding Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau
Masjidil Aqsha. Hanyalah pernyataan ini berasal dari Al Qadhi Iyadh. Segala
pernyataan yang tidak dilandasi dengan Al Qur’an ataupun As Sunnah sangat perlu
dipertanyakan, apalagi tidak ada seorang pun dari ulama yang menyatakan
demikian. (Lihat Majmu’ Fatawa 27/37)
6. Tidak mengkhususkan waktu
tertentu baik hari ataupun bulan
Karena tidak ada satu nash pun dari
Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun amalan para sahabat nabi yang menjelaskan
keutamaan waktu tertentu untuk ziarah. Kebiasaan sebagian orang mendatangi
kuburan pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk bulan suci Ramadhan,
Lebaran atau masa setelah panen. Mereka berbondong-bondong ke kuburan dengan
membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai di kuburan membentangkan tikar dan
duduk bersama-sama. Dilanjutkan dengan rangkaian acara tahlilan dan do’a
setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika hal tersebut kita timbang dengan
ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka
sungguh sangat bertolak belakang sama sekali.
7. Tidak diperbolehkan jalan
ataupun duduk diatas kubur
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثيَابَهُ فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. (HR. Muslim 3/62)
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. (HR. Muslim 3/62)
لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya)
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya)
8. Melepas Sandal / alas kaki
Peziarah
diharuskan melepas sandal ketika memasuki areal pekuburan dan tidak berjalan di
atas kubur sebagai bentuk penghormatan kepada saudaranya sesama kaum muslimin
yang telah wafat. Hal ini dinyatakan dalam hadits Basyir bin Ma’bad radhiallahu
‘anhu, “Pada suatu hari saya berjalan bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang berjalan di areal pekuburan
dengan memakai sandal, maka beliau menegurnya, “Yaa shahibas sibtiyyatain
(wahai yang menggunakan dua sandal), celaka engkau, lepaskan sandalmu!”
Orang tersebut melongok kepada yang menegurnya, tatkala dia mengetahui orang tersebut
adalah rasulullah, serta merta dia mencopot kedua sandalnya.”[HR. Abu Dawud
nomor 3230 dengan sanad hasan].
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku berjalan di atas bara api
atau pedang, atau aku ikat sandalku dengan kakiku lebih aku sukai daripada
berjalan di atas kubur seorang muslim. Dalam pandanganku, kejelekannya sama
saja, buang hajat di tengah kubur atau di tengah pasar.”[HR. Ibnu Majah nomor
1567 dengan sanad yang shahih].
Abu
Dawud rahimahullah berkata, “Aku melihat Imam Ahmad, jika beliau mengiringi
jenazah dan telah mendekati areal pekuburan, beliau melepas kedua
sandalnya.”[Al Masaail hal. 158, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 253].
Al
‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah mengatakan,
“Siapapun yang merenungkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
duduk di atas kubur, bersandar dan berjalan di atasnya, tentu dia akan
mengetahui bahwasanya larangan tersebut bertujuan untuk menghormati para
penghuni kubur sehingga manusia tidak menginjakkan kaki pada kepala mereka
dengan sandal. Oleh sebab itu, beliau pun melarang untuk buang air di antara
kuburan dan memberitakan bahwa duduk di atas bara api hingga membakar baju itu
lebih baik ketimbang duduk di atas kubur. Hal ini tentunya lebih ringan
daripada berjalan diantara kuburan dengan menggunakan sandal. Kesimpulannya:
wajib menghormati mayit yang mendiami kuburnya sebagaimana penghormatan
tersebut dilakukan di rumah yang dikediami semasa hidupnya. Sesungguhnya kubur
tersebut telah menjadi kediaman baginya.” [Aunul Ma’bud 7/216].
Namun
dibolehkan jika ada hal yang mambahayakan seperti duri, kerikil tajam atau
pecahan kaca dan sebagainya, atau ketika sangat terik dan kaki tidak tahan
untuk menginjak tanah yang panas.
9. Tidak Bercanda ketika Berziarah Kubur
Ziarah
kubur dilakukan untuk mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat bahwa
dirinya akan mengalami kematian seperti yang dialami penghuni kubur. Tidak
selayaknya jika peziarah malah bercanda, melakukan guyon di areal pekuburan
karena hal tersebut bertentangan dengan tujuan pensyari’atan ziarah kubur,
melalaikan hati dan salah satu bentuk ketidaksopanan terhadap penghuni kubur
dari kalangan kaum muslimin. Ash Shan’ani mengatakan, “Seluruh hadits ini
menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat penjelasan hikmah di balik
hal tersebut, yaitu agar mereka dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah
kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk
pelajaran, mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud
di dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka
ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan
syari’at.”[Subulus Salam 2/162].
10. Larangan bagi wanita yang sering melakukan ziarah
kubur
Berikut
dalil-dalil yang menyatakan bolehnya wanita berziarah kubur.
Hadits
yang berasal dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, dari Abdullah bin Abi Mulaikah,
dia berkata,
أن عائشة
أقبلت ذات
يوم من
المقابر فقلت
لها : يا
أم المؤمنين
من أين
أقبلت ؟
قالت : من
قبر أخي
عبد الرحمن
بن أبي
بكر فقلت
لها : أليس
كان رسول
الله صلى
الله عليه
و سلم
نهى عن
زيارة القبور
قالت نعم
كان نهى
ثم أمر
بزيارتها
“Pada suatu hari ‘Aisyah pulang dari kuburan. Maka aku bertanya padanya, “Wahai Ummul Mukminin, darimanakah engkau?” Maka beliau menjawab, “Dari kubur Abdurrahman bin Abi Bakr.” Maka aku menukas, “Bukankah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur?” Beliau pun menjawab, “Benar, namun kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Hakim nomor 1392, Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra nomor 6999 dengan sanad yang shahih).
“Pada suatu hari ‘Aisyah pulang dari kuburan. Maka aku bertanya padanya, “Wahai Ummul Mukminin, darimanakah engkau?” Maka beliau menjawab, “Dari kubur Abdurrahman bin Abi Bakr.” Maka aku menukas, “Bukankah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur?” Beliau pun menjawab, “Benar, namun kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Hakim nomor 1392, Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra nomor 6999 dengan sanad yang shahih).
Dalam
sebuah hadits yang panjang dan diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais bin
Makhramah ibnil Muththallib dari bibinya, Ummul Mukminin, ‘Aisyah radliallahu
‘anha ketika beliau membuntuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mendatangi pekuburan Baqi’ di suatu malam. Setibanya di rumah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa Allah
memerintahkannya untuk mengunjungi penghuni kuburan Baqi’ dan memintakan
ampunan bagi mereka. Maka ‘Aisyah
kemudian bertanya, “Lalu apa yang akan aku katakan pada mereka?” Kata beliau,
“Ucapkanlah,
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722).
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722).
Persetujuan nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap perbuatan seorang wanita yang beliau tegur di sisi kubur. Dari
Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata,
مر النبي صلى الله عليه وسلم بامرأة تبكي عند قبر فقال ( اتقي الله واصيرري )
“Rasulullah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, kemudian beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!” (HR. Bukhari nomor 1223, 6735).
“Rasulullah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, kemudian beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!” (HR. Bukhari nomor 1223, 6735).
Catatan:
Wanita tidak diperbolehkan untuk sesering
mungkin berziarah kubur, karena hal tersebut akan menghantarkan kepada
perbuatan yang menyelisihi syari’at seperti berteriak, tabarruj (bersolek di
depan non mahram), menjadikan pekuburan sebagai tempat wisata, membuang-buang
waktu, dan berbagai kemungkaran lain sebagaimana dapat kita saksikan hal
tersebut terjadi di sebagian besar negeri kaum muslimin. Perbuatan inilah yang
dimaksud dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang
sering menziarahi kubur.” (HR. Ibnu Majah nomor 1574, 1575, 1576 dengan
sanad yang hasan).
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
“Laknat yang tercantum dalam hadits tersebut hanyalah diperuntukkan bagi wanita
yang sering berziarah kubur, karena lafadz “زوارات” merupakan bentuk mubalaghah (hiperbola). Kemungkinan penyebab laknat
tersebut dijatuhkan pada mereka adalah karena para wanita tersebut
menyia-nyiakan hak suami (dengan sering keluar rumah-ed), bertabarruj, ratapan
dan perbuatan terlarang yang semisal. Terdapat pendapat yang menyatakan apabila
seluruh hal tersebut dapat dihindari, maka boleh memberikan izin kepada wanita
untuk berziarah kubur, karena mengingat kematian merupakan suatu perkara yang
dibutuhkan oleh pria maupun wanita.”
Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul
Authar (4/95) mengatakan,
وهذا الكلام هو الذي ينبغي اعتماده في الجمع بين أحاديث الباب المتعارضة في الظاهر
“Pendapat ini yang lebih tepat untuk dijadikan pegangan dalam mengkompromikan seluruh hadits dalam permasalahan ini yang sekilas nampak bertentangan.”
“Pendapat ini yang lebih tepat untuk dijadikan pegangan dalam mengkompromikan seluruh hadits dalam permasalahan ini yang sekilas nampak bertentangan.”
An Nawawi dalam al Majmu’ (5/309) setelah
menyebutkan dua pendapat yang disebutkan oleh Ar Ruyani dalam permasalahan ini,
beliau memilih pendapat yang membolehkan wanita untuk berziarah kubur dan
berkata, “Pendapat inilah yang tepat menurutku dengan syarat terbebas dari
fitnah. Pengarang al Mustazhhari berkata, “Menurutku apabila ziarah tersebut
dilakukan untuk memperbarui kesedihan serta memicu terjadinya ratapan dan
tangisan sebagaimana kebiasaan kaum wanita, maka hukumnya haram,
sehingga hadits لعن الله زوارات القبور berlaku pada kondisi ini.”
Wallahu a’lam.
_______________
Bagaimana Hukum Shalat di Masjid Nabi Padahal
Ada Kuburannya?
Pertanyaan.
Bagaimana kepastian hukum shalat di Masjid
Nabi yang di dalamnya terdapat kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Boleh atau tidak?
Jawab.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kami
jelaskan beberapa hal menyangkut permasalahan ini.
Bahwasanya Islam melarang kita membangun
masjid di atas kuburan ataupun mengubur seseorang di dalam masjid. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. [Muttafaqun 'alaihi].
“Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. [Muttafaqun 'alaihi].
Demikian juga, dalam sebuah hadits
disebutkan adanya larangan shalat menghadap kuburan, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di atasnya”. [HR Muslim]
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di atasnya”. [HR Muslim]
Oleh sebab itu, para ulama melarang shalat
di masjid yang ada kuburannya, bahkan dianggap tidak sah. Sebagaimana
Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta Saudi Arabia telah menyatakan
dalam fatwanya, bahwasanya terdapat larangan menjadikan kuburan sebagai masjid,
maka tidak diperbolehkan shalat disana dan shalatnya tidak sah.[4]
Adapun kepada pemerintah, dianjurkan untuk menghancurkan masjid yang dibangun di atas kuburan, apabila kuburan tersebut ada sebelum pembangunan masjid. Apabila keberadaan masjid lebih dahulu daripada kuburan, maka hendaknya kuburan tersebut digali, dikeluarkan isinya, dan kemudian dipindahkan ke pekuburan umum yang terdekat. Anjuran ini disebutkan dalam fatwa yang berbunyi:
Adapun kepada pemerintah, dianjurkan untuk menghancurkan masjid yang dibangun di atas kuburan, apabila kuburan tersebut ada sebelum pembangunan masjid. Apabila keberadaan masjid lebih dahulu daripada kuburan, maka hendaknya kuburan tersebut digali, dikeluarkan isinya, dan kemudian dipindahkan ke pekuburan umum yang terdekat. Anjuran ini disebutkan dalam fatwa yang berbunyi:
Tidak diperbolehkan shalat di dalam masjid
yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, berdasarkan pada hadits Jundab bin
‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda (pada) lima hari sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meninggal:
إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَ صَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ, ألآ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya”. [HR Muslim].
“Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya”. [HR Muslim].
Juga hadits A’isyah, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَعْنَ اللَّهُ
عَلَى الْيَهُودِ
وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid”.
“Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid”.
Kewajiban
pemerintah kaum Muslimin agar menghancurkan masjid-masjid yang dibangun di atas
kuburan, disebabkan karena masjid-masjid tersebut dibangun bukan di atas takwa.
Hendaknya juga mengeluarkan semua yang dikubur di dalam masjid setelah masjid
dibangun dan mengeluarkan jenazahnya, walaupun telah menjadi tulang atau debu,
karena kesalahan mereka dikubur disana. Setelah itu diperbolehkan shalat di
masjid tersebut, sebab yang dilarang telah hilang.[5]
Prof.
Dr. Syaikh Shalih al Fauzan, di dalam fatwanya, beliau menyatakan: Apabila
kuburan-kuburan tersebut terpisah dari masjid oleh jalan atau pagar tembok, dan
dibangunnya masjid tersebut bukan karena keberadaan kuburan tersebut, maka
tidak mengapa masjid dekat dari kuburan, apabila tidak ada tempat yang jauh
darinya (kuburan). Adapun bila pembangunan masjid tersebut di tempat yang ada
kuburannya, dengan tujuan dan anggapan di tempat tersebut ada barakahnya, atau
(menganggap) hal itu lebih utama, maka tidak boleh, karena itu merupakan salah
satu sarana perantara perbuatan syirik.[6]
Menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan Masjid Nabawi, yang di dalamnya terdapat
kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka para ulama telah menjelaskan
bahwa hukumnya berbeda dengan kuburan lainnya. Ketika menjawab pertanyaan
seseorang yang menjadikan Masjid Nabawi -yang ada kuburan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam – sebagai dalil bolehnya shalat di dalam masjid yang ada
kuburannya, Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` berfatwa:
Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (beliau) dikuburkan di luar masjid, (yaitu) di rumah ‘Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan Rasulullah (ke dalam masjid), semata-mata disebabkan karena perluasan masjid.[7]
Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (beliau) dikuburkan di luar masjid, (yaitu) di rumah ‘Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan Rasulullah (ke dalam masjid), semata-mata disebabkan karena perluasan masjid.[7]
Syaikh
al Albani rahimahullah, secara jelas juga mengatakan:
Masalah
ini, walaupun saat ini secara nyata kita saksikan, namun pada zaman sahabat,
hal tersebut tidak pernah ada. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, mereka menguburkannya di rumah beliau yang berada di samping masjid, dan
terpisah dengan tembok yang terdapat pintu tempat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Perkara ini terkenal dan dalam masalah
ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
(Maksud)
para sahabat, ketika menguburkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kamar
‘Aisyah, agar tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan kuburan beliau sebagai
masjid. Namun yang terjadi setelah itu, diluar perkiraan mereka. Peristiwa
tersebut terjadi ketika al Walid bin Abdil Malik memerintakan penghancuran
Masjid Nabawi pada tahun 88 H dan memasukkan kamar-kamar para isteri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam masjid, sehingga kamar ‘Aisyah
dimasukkan ke dalamnya. Lalu jadilah kuburan tersebut berada di dalam masjid.
Dan pada waktu itu, sudah tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup di
Madinah.[8]
Kemudian
Syaikh al Albani memberikan kesimpulan hukum, bahwa hukum terdahulu (yaitu
larangan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburannya, Red.) mencakup
seluruh masjid, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru,
karena keumuman dalil-dalilnya. Satu
masjid pun tidak ada pengecualian dari larangan tersebut, kecuali Masjid
Nabawi. Karena Masjid Nabawi ini memiliki kekhususan, yang tidak dimiliki oleh
masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. Seandainya dilarang shalat pada
Masjid Nabawi, tentu larangan itu memberikan pengertian yang menyamakan Masjid
Nabawi dengan masjid-masjid selainnya, dan menghilangkan keutamaan-keutamaan
(yang dimiliki Masjid Nabawi tersebut). Hal seperti ini, jelas tidak boleh.[9]
Demikianlah beberapa penukilan dari
pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Sehingga menjadi jelas bagi, bahwa
shalat di Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi, tidaklah
mengapa. Yakni dibolehkan. Wallahu a’lam.
Sumber: Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. [www.almanhaj.or.id]
________
Footnote
[1]. Lihat Masa-il Ahmad Liibnihi Shalih
(2/205) dan Syarhul-Mumti’ (3/145-146)
[2]. Syarhul Mumti’ (3/146)
[3]. Ibid.
[4]. Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah
wal-Ifta` no. 5316.
[5]. Ibid., no. 4150 dan no. 6261.
[6]. Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih
bin ‘Abdillah bin Fauzan al Fauzan (2/171), fatwa no. 148.
[7]. Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al
Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316 (6/257)
[8].
Tahdzirus-Saajid.
[9].
Ibid.
______________
Sumber:
No comments:
Post a Comment