Sunday, June 23, 2013

Ziarah Kubur dalam Islam


Islam adalah agama yang paling mulia di sisi Allah , karena Islam dibangun diatas agama yang wasath (adil) diseluruh sisi ajarannya, tidak tafrith (bermudah-mudahan dalam beramal) dan tidak pula ifrath (melampaui batas dari ketentuan syari’at). Allah berfirman (artinya): “Dan demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ….” (Al Baqarah: 142)

Ziarah kubur termasuk ibadah yang mulia di sisi Allah bila dilandasi dengan prinsip wasath (tidak ifrath dan tidak pula tafrith). Tentunya prinsip ini tidak akan terwujud kecuali harus diatas bimbingan sunnah Rasulullah . Barangsiapa yang menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan satu-satunya, sungguh ia telah berjalan diatas hidayah Allah. Allah berfirman (artinya): “Dan jika kalian mentaati (nabi Muhammad), pasti kalian akan mendapatkan hidayah (dari Allah ).” (An-Nuur: 54)

Hikmah Dilarangnya Ziarah Kubur Sebelum Diizinkannya

Dahulu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam melarang para sahabatnya untuk berziarah kubur sebelum disyari’atkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا ( وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim),

dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”

Al Imam An Nawawi berkata: “Sebab (hikmah) dilarangnya ziarah kubur sebelum disyari’atkannya, yaitu karena para sahabat di masa itu masih dekat dengan masa jahiliyah, yang ketika berziarah diiringi dengan ucapan-ucapan batil. Setelah kokoh pondasi-pondasi Islam dan hukum-hukumnya serta telah tegak simbol-simbol Islam pada diri-diri mereka, barulah disyari’atkan ziarah kubur. (Al Majmu’: 5/310)

Tidak ada keraguan lagi, bahwa amalan mereka di zaman jahiliyah yaitu berucap dengan sebatil-batilnya ucapan, seperti berdo’a, beristighotsah, dan bernadzar kepada berhala-berhala/patung-patung di sekitar Makkah ataupun di atas kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh mereka.

Berziarah ke kubur dengan tujuan beribadah kepada Allah di sisi kubur atau bertujuan untuk mendapatkan berkah (tabarruk/ngalap berkah). Tata cara seperti ini adalah ziarah kubur yang menyelisihi tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengandung berbagai pelanggaran yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan dapat menghantarkan pada kesyirikan.

Tidak terdapat dalil shahih yang menyatakan keutamaan beribadah di samping kubur bahkan terdapat dalil shahih yang secara tegas melarang peribadatan di  kuburan.

Abul ‘Abbas al Harrani rahimahullah mengatakan,

الزِّيَارَةُ الْبِدْعِيَّةُ : فَمِنْ جِنْسِ زِيَارَةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَأَهْلِ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ مَسَاجِدَ وَقَدْ اسْتَفَاضَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْكُتُبِ الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا أَنَّهُ قَالَ عِنْدَ مَوْتِهِ :{لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا} قَالَتْ عَائِشَةُرَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – : وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ وَلَكِنْ كُرِهَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا ،

“Ziarah Bid’iyyah semodel dengan ziarah kubur yang dilakukan oleh Yahudi, Nasrani dan pelaku bid’ah yang menjadikan kubur para nabi, orang shalih sebagai tempat peribadatan. Padahal telah tersebar luas dalam berbagai kitab Shahih dan lainnya bahwa beliau bersabda, menjelang beliau wafat, “Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat peribadatan”, beliau memperingatkan umat dari perbuatan mereka. ‘Aisyah berkata, “Seandainya bukan karena hal tersebut, tentulah beliau akan dimakamkan di pemakaman umum. Akan tetapi karena dikhawatirkan kubur beliau dijadikan sebagai tempat peribadatan (maka beliau di makamkan di dalam rumah, ed).”

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Maka yang dimaksud dengan tata cara ziarah bid’iyyah adalah seperti bersengaja untuk shalat atau berdo’a di samping kubur para nabi atau orang shalih, menjadikan penghuni kubur tersebut sebagai perantara dalam doa, meminta kepada penghuni kubur untuk menunaikan hajatnya, meminta pertolongan padanya, atau bersumpah kepada Allah dengan perantaraan penghuni kubur atau yang semisalnya. Semua hal tersebut merupakan bid’ah yang tidak pernah dilakukan seorang sahabat, tabi’in dan tidak juga dituntunkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dicontohkan oleh Khulafur Rasyidin, bahkan para imam kaum muslimin yang masyhur melarang seluruh hal tersebut.” (Majmu’ul Fataawa 24/334-335).

Begitupula mencari berkah di kuburan dengan mengusap atau menciumnya. Ini termasuk perbuatan aneh dan tidak pernah dituntunkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi dipraktekkan para sahabat beliau radliallahu ta’ala ajma’in.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang terbersit di benaknya bahwa mengusap tangan (di kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau semisalnya) lebih mampu untuk mendatangkan berkah, maka hal tersebut berasal dari kebodohan dan kelalaiannya karena berkah hanya dapat diperoleh dengan amal yang sesuai dengan syari’at. Bagaimana bisa karunia Alloh diperoleh dengan melakukan amal yang menyelisihi kebenaran.” (Al Majmu’ 8/275).

Tujuan Disyari’atkannya Ziarah Kubur

Para pembaca, marilah kita perhatikan hadits-hadits dibawah ini:
1. Hadits Buraidah bin Hushaib , Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim)

dari sahabat Buraidah juga, beliau berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada para sahabatnya, bilamana berziarah kubur agar mengatakan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.”(HR. Muslim 3/65)

2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri dan Anas bin Malik :

فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا عِبْرَةً (وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ)
“sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar… . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik : … karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” (H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228).

3. Hadits ‘Aisyah : “Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar menuju kuburan Baqi’ lalu beliau mendo’akan kebaikan untuk mereka. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang perkara itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku (diperintahkan oleh Allah) untuk mendo’akan mereka. (HR. Ahmad 6/252 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani , lihat Ahkamul Janaiz hal. 239)

Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya: “Apa yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah berkata: “Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْن
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)

dalam riwayat lain

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوُمِ مُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kampong kediaman kaum mukminin. Kami insya Allah akan segera menyusul kalian.”(HR. Muslim no. 249).

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وِالْمُسْلِمِيْنَ وِإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ . نَسْأَلُ اللهِ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, penghuni kampong kediaman, dari kalangan muslimin dan mukminin. Ssungguhnya kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar keselamatan diberikan kepada kami serta kalian.”(HR. Ibnu Majah no.1547 dengan sanad yang shahih).

Dari hadits-hadits di atas, kita dapat mengetahui kesimpulan-kesimpulan penting tentang tujuan sebenarnya dari ziarah kubur:

a. Memberikan manfaat bagi penziarah kubur yaitu untuk mengambil ibrah (pelajaran), melembutkan hati, mengingatkan kematian dan mengingatkan tentang akan adanya hari akhirat.

b. Memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu ucapan salam (do’a) dari penziarah kubur dengan lafadz-lafadz yang terdapat pada hadits-hadits di atas, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi , seperti hadits Aisyah dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong dari maksud dan tujuan tersebut, maka itu bukanlah ziarah kubur yang diridhoi oleh Allah .

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya yaitu agar dapat mengambil ibrah (pelajaran). Apabila kosong dari ini (maksud dan tujuannya) maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)

Catatan Penting Bagi Peziarah Kubur

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan bagi penziarah kubur, yaitu:

1. Menjauhkan hujr yaitu ucapan-ucapan batil
Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “…maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim)

dalam riwayat (HR. Ahmad): “…dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”

Berbicara realita sekarang, maka sering kita jumpai para penziarah kubur yang terjatuh dalam perbuatan ini. Mereka mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a kepada penghuni kubur (merasa belum puas /khusyu’) mereka sertai dengan sujud, linangan air mata (menangis), mengusap-usap dan mencium kuburannya. Tidak sampai disini, tanah kuburannya dibawa pulang sebagai oleh-oleh keluarganya untuk mendapatkan barakah atau sebagai penolak bala’. Adakah perbuatan yang lebih besar kebatilannya di hadapan Allah dari perbuatan ini? Padahal tujuan diizinkannya ziarah kubur -sebagaimana yang telah disebutkan- adalah untuk mendo’akan penghuni kubur, dan bukan berdo’a kepada penghuni kubur.

2. Dilarang Meratapi atau Menangis dengan Meraung-raung
Boleh bagi peziarah untuk menangis jika teringat akan kebaikan mayit atau semisalnya berdasarkan hadits Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku turut menghadiri pemakaman anak perempuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau duduk di samping kuburnya. Aku melihat kedua mata beliau mengucurkan air mata.”(HR. Bukhari no.1291, Muslim no. 933).

Terdapat juga atsar dari Hani, maula Utsman radliallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Utsman sering menangis apabila melewati areal pekuburan. (HR. Ibnu Majah nomor 4267 dengan sanad yang hasan).

Namun yang harus dihindari jangan sampai tangisan tersebut justru membuat dirinya meratap, mengucapkan atau melakukan perbuatan yang mengundang kemurkaan Allah ta’ala dan menghilangkan kesabaran sehingga menampakkan bahwa dirinya tidak menerima ketetapan Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ditangisi dan diiringi dengan ratapan, maka ia akan merasa tersiksa pada hari kiamat kelak disebabkan ratapan tersebut.”(HR. Muslim no.933).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab disebabkan bercucurnya air mata atau bersedihnya hati. Namun Allah membuatnya tersiksa dengan sebab (ratapan) yang diucapkan oleh lisan seseorang. -beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan menunjuk lisannya.”(HR. Bukhari no.1304).

Imam asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Akan tetapi tidak boleh mengatakan perkataan yang terlarang di samping kubur, seperti menyumpah serapahi diri sendiri atau meratap. Namun, jika anda berziarah untuk memintakan ampun bagi mayit, melembutkan hati anda dan mengingat akirat, maka hal ini tidak aku benci.”(al Umm 1/317).

3. Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad)

Kalau demikian, bagaimana besarnya kemurkaan Allah kepada orang yang menjadikan kuburan selain para nabi sebagai masjid?

Makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup mendirikan bangunan masjid di atasnya ataupun beribadah kepada Allah di sisi kuburan. Maka dari itu, tidak pernah dijumpai para sahabat Nabi meramaikan kuburan dengan berbagai jenis ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, atau jenis ibadah yang lainnya. Karena pada dasarnya perbuatan itu adalah terlarang, lebih tegas lagi larangan tersebut ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)

Membaca Al-Qur`an dipekuburan adalah suatu bid’ah dan bukanlah petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Bahkan petunjuk (sunnah) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam adalah berziarah dan mendo’akan mereka, bukan membaca Al-Qur`an.

Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:

لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah.” (HR.Muslim no. 780)

Pada hadits ini terkandung pengertian bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memerintahkan ummatnya agar membaca Al-Qur`an di rumah-rumah mereka (menjadikan rumah-rumah mereka sebagai salah satu tempat membaca Al-Qur`an), kemudian beliau menjelaskan hikmahnya, yaitu bahwa syaithan akan lari dari rumah-rumah mereka jika dibacakan surah Al-Baqarah.

Dan sebelumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai kuburan yang dihubungkan dengan hikmah (illat tersebut), maka mafhum (dipahami) dari hadits di atas adalah bahwa kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan untuk membaca Al-Qur`an, bahkan tidak boleh membaca Al-Qur`an padanya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad tentang makruhnya membaca Al-Qur`an dikuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para shahabatnya (Ahmad) yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada seorangpun dari ‘ulama yang diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`an dikuburan afdhal (lebih baik). Dan menyimpan mashohif (kitab-kitab Al-Qur`an) dikuburan adalah bid’ah meskipun untuk dibaca… dan membacakan Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah.” (Lihat Min Bida’il Qubur hal.59.)

4. Tidak melakukan safar (perjalanan jauh) dalam rangka ziarah kubur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415)

Ziarah ke kubur Nabi dan dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar merupakan amalan mustahabbah (dicintai) dalam agama ini, namun dengan syarat tidak melakukan safar semata-mata dengan niat ziarah. Sehingga salah kaprah anggapan orang bahwa safar ke masjid An Nabawi atau safar ke tanah Suci (Masjidil Haram) hanya dalam rangka berziarah ke kubur Nabi dan tidak dibenarkan pula safar ke tempat-tempat napak tilas para nabi dengan niat ibadah, sebagaimana penegasan hadits di atas tidak bolehnya mengadakan safar dalam rangka ibadah kecuali ke tiga masjid saja.

Al Imam Ahmad meriwayatkan tentang kejadian Abu bashrah Al Ghifari yang bertemu Abu Hurairah. Beliau bertanya kepada Abu bashrah: “Dari mana kamu datang? Abu bashrash menjawab: “Aku datang dari Bukit Thur dan aku shalat di sana.” Berkata Abu Hurairah : “Sekiranya aku menjumpaimu niscaya engkau tidak akan pergi ke sana, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: “Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.”

Adapun hadits-hadits yang tersebar di masyarakat seperti:

مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”

مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”

مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”

Semua hadits-hadits di atas ini dho’if (lemah) bahkan maudhlu’ (palsu), sehingga tidak diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari, Muslim, tidak pula Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-Nasai’ dan selain keduanya, tidak pula Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-Laitsi dan lainnya dari para imam-imam ahlu hadits. (lihat Majmu’ Fatawa 27/29-30).

5. Tanah kubur Nabi tidaklah lebih utama dibanding Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al Qur’an, As Sunnah ataupun perkataan dari salah satu ulama salaf yang menerangkan bahwa tanah kubur Nabi lebih utama dibanding Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Hanyalah pernyataan ini berasal dari Al Qadhi Iyadh. Segala pernyataan yang tidak dilandasi dengan Al Qur’an ataupun As Sunnah sangat perlu dipertanyakan, apalagi tidak ada seorang pun dari ulama yang menyatakan demikian. (Lihat Majmu’ Fatawa 27/37)

6. Tidak mengkhususkan waktu tertentu baik hari ataupun bulan
Karena tidak ada satu nash pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun amalan para sahabat nabi yang menjelaskan keutamaan waktu tertentu untuk ziarah. Kebiasaan sebagian orang mendatangi kuburan pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk bulan suci Ramadhan, Lebaran atau masa setelah panen. Mereka berbondong-bondong ke kuburan dengan membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai di kuburan membentangkan tikar dan duduk bersama-sama. Dilanjutkan dengan rangkaian acara tahlilan dan do’a setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika hal tersebut kita timbang dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sungguh sangat bertolak belakang sama sekali.

7. Tidak diperbolehkan jalan ataupun duduk diatas kubur
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثيَابَهُ فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. (HR. Muslim 3/62)

لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.”
(HR. Ibnu Majah dan selainnya)

8. Melepas Sandal / alas kaki
Peziarah diharuskan melepas sandal ketika memasuki areal pekuburan dan tidak berjalan di atas kubur sebagai bentuk penghormatan kepada saudaranya sesama kaum muslimin yang telah wafat. Hal ini dinyatakan dalam hadits Basyir bin Ma’bad radhiallahu ‘anhu, “Pada suatu hari saya berjalan bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang berjalan di areal pekuburan dengan memakai sandal, maka beliau menegurnya, “Yaa shahibas sibtiyyatain (wahai yang menggunakan dua sandal), celaka engkau, lepaskan sandalmu!” Orang tersebut melongok kepada yang menegurnya, tatkala dia mengetahui orang tersebut adalah rasulullah, serta merta dia mencopot kedua sandalnya.”[HR. Abu Dawud nomor 3230 dengan sanad hasan].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku ikat sandalku dengan kakiku lebih aku sukai daripada berjalan di atas kubur seorang muslim. Dalam pandanganku, kejelekannya sama saja, buang hajat di tengah kubur atau di tengah pasar.”[HR. Ibnu Majah nomor 1567 dengan sanad yang shahih].

Abu Dawud rahimahullah berkata, “Aku melihat Imam Ahmad, jika beliau mengiringi jenazah dan telah mendekati areal pekuburan, beliau melepas kedua sandalnya.”[Al Masaail hal. 158, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 253].

Al ‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah mengatakan, “Siapapun yang merenungkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk duduk di atas kubur, bersandar dan berjalan di atasnya, tentu dia akan mengetahui bahwasanya larangan tersebut bertujuan untuk menghormati para penghuni kubur sehingga manusia tidak menginjakkan kaki pada kepala mereka dengan sandal. Oleh sebab itu, beliau pun melarang untuk buang air di antara kuburan dan memberitakan bahwa duduk di atas bara api hingga membakar baju itu lebih baik ketimbang duduk di atas kubur. Hal ini tentunya lebih ringan daripada berjalan diantara kuburan dengan menggunakan sandal. Kesimpulannya: wajib menghormati mayit yang mendiami kuburnya sebagaimana penghormatan tersebut dilakukan di rumah yang dikediami semasa hidupnya. Sesungguhnya kubur tersebut telah menjadi kediaman baginya.” [Aunul Ma’bud  7/216].

Namun dibolehkan jika ada hal yang mambahayakan seperti duri, kerikil tajam atau pecahan kaca dan sebagainya, atau ketika sangat terik dan kaki tidak tahan untuk menginjak tanah yang panas.

9. Tidak Bercanda ketika Berziarah Kubur
 Ziarah kubur dilakukan untuk mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat bahwa dirinya akan mengalami kematian seperti yang dialami penghuni kubur. Tidak selayaknya jika peziarah malah bercanda, melakukan guyon di areal pekuburan karena hal tersebut bertentangan dengan tujuan pensyari’atan ziarah kubur, melalaikan hati dan salah satu bentuk ketidaksopanan terhadap penghuni kubur dari kalangan kaum muslimin. Ash Shan’ani mengatakan, “Seluruh hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran, mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at.”[Subulus Salam 2/162].

10. Larangan bagi wanita yang sering melakukan ziarah kubur
Berikut  dalil-dalil yang menyatakan bolehnya wanita berziarah kubur.
Hadits yang berasal dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata,

أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر فقلت لها : يا أم المؤمنين من أين أقبلت ؟ قالت : من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر فقلت لها : أليس كان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن زيارة القبور قالت نعم كان نهى ثم أمر بزيارتها
“Pada suatu hari ‘Aisyah pulang dari kuburan. Maka aku bertanya padanya, “Wahai Ummul Mukminin, darimanakah engkau?” Maka beliau menjawab, “Dari kubur Abdurrahman bin Abi Bakr.” Maka aku menukas, “Bukankah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur?” Beliau pun menjawab, “Benar, namun kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Hakim nomor 1392, Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra nomor 6999 dengan sanad yang shahih).

Dalam sebuah hadits yang panjang dan diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais bin Makhramah ibnil Muththallib dari bibinya, Ummul Mukminin, ‘Aisyah radliallahu ‘anha ketika beliau membuntuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendatangi pekuburan Baqi’ di suatu malam. Setibanya di rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa Allah memerintahkannya untuk mengunjungi penghuni kuburan Baqi’ dan memintakan ampunan bagi mereka. Maka ‘Aisyah kemudian bertanya, “Lalu apa yang akan aku katakan pada mereka?” Kata beliau, “Ucapkanlah,

السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722).

Persetujuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan seorang wanita yang beliau tegur di sisi kubur. Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata,

مر النبي صلى الله عليه وسلم بامرأة تبكي عند قبر فقال ( اتقي الله واصيرري )
“Rasulullah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, kemudian beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!” (HR. Bukhari nomor 1223, 6735).

Catatan:
Wanita tidak diperbolehkan untuk sesering mungkin berziarah kubur, karena hal tersebut akan menghantarkan kepada perbuatan yang menyelisihi syari’at seperti berteriak, tabarruj (bersolek di depan non mahram), menjadikan pekuburan sebagai tempat wisata, membuang-buang waktu, dan berbagai kemungkaran lain sebagaimana dapat kita saksikan hal tersebut terjadi di sebagian besar negeri kaum muslimin. Perbuatan inilah yang dimaksud dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, “Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang sering menziarahi kubur.” (HR. Ibnu Majah nomor 1574, 1575, 1576 dengan sanad yang hasan).

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Laknat yang tercantum dalam hadits tersebut hanyalah diperuntukkan bagi wanita yang sering berziarah kubur, karena lafadz “زوارات” merupakan bentuk mubalaghah (hiperbola). Kemungkinan penyebab laknat tersebut dijatuhkan pada mereka adalah karena para wanita tersebut menyia-nyiakan hak suami (dengan sering keluar rumah-ed), bertabarruj, ratapan dan perbuatan terlarang yang semisal. Terdapat pendapat yang menyatakan apabila seluruh hal tersebut dapat dihindari, maka boleh memberikan izin kepada wanita untuk berziarah kubur, karena mengingat kematian merupakan suatu perkara yang dibutuhkan oleh pria maupun wanita.”

Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (4/95) mengatakan,
وهذا الكلام هو الذي ينبغي اعتماده في الجمع بين أحاديث الباب المتعارضة في الظاهر
“Pendapat ini yang lebih tepat untuk dijadikan pegangan dalam mengkompromikan seluruh hadits dalam permasalahan ini yang sekilas nampak bertentangan.”

An Nawawi dalam al Majmu’ (5/309) setelah menyebutkan dua pendapat yang disebutkan oleh Ar Ruyani dalam permasalahan ini, beliau memilih pendapat yang membolehkan wanita untuk berziarah kubur dan berkata, “Pendapat inilah yang tepat menurutku dengan syarat terbebas dari fitnah. Pengarang al Mustazhhari berkata, “Menurutku apabila ziarah tersebut dilakukan untuk memperbarui kesedihan serta memicu terjadinya ratapan dan tangisan sebagaimana kebiasaan kaum wanita, maka hukumnya haram, sehingga hadits لعن الله زوارات القبور berlaku pada kondisi ini.”
Wallahu a’lam.
_______________

Bagaimana Hukum Shalat di Masjid Nabi Padahal Ada Kuburannya?

Pertanyaan.
Bagaimana kepastian hukum shalat di Masjid Nabi yang di dalamnya terdapat kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Boleh atau tidak?

Jawab.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kami jelaskan beberapa hal menyangkut permasalahan ini.
Bahwasanya Islam melarang kita membangun masjid di atas kuburan ataupun mengubur seseorang di dalam masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. [Muttafaqun 'alaihi].

Demikian juga, dalam sebuah hadits disebutkan adanya larangan shalat menghadap kuburan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di atasnya”. [HR Muslim]

Oleh sebab itu, para ulama melarang shalat di masjid yang ada kuburannya, bahkan dianggap tidak sah. Sebagaimana Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta Saudi Arabia telah menyatakan dalam fatwanya, bahwasanya terdapat larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, maka tidak diperbolehkan shalat disana dan shalatnya tidak sah.[4]

Adapun kepada pemerintah, dianjurkan untuk menghancurkan masjid yang dibangun di atas kuburan, apabila kuburan tersebut ada sebelum pembangunan masjid. Apabila keberadaan masjid lebih dahulu daripada kuburan, maka hendaknya kuburan tersebut digali, dikeluarkan isinya, dan kemudian dipindahkan ke pekuburan umum yang terdekat. Anjuran ini disebutkan dalam fatwa yang berbunyi:

Tidak diperbolehkan shalat di dalam masjid yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, berdasarkan pada hadits Jundab bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (pada) lima hari sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal:

إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَ صَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ, ألآ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya”. [HR Muslim].

Juga hadits A’isyah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَعْنَ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid”.

Kewajiban pemerintah kaum Muslimin agar menghancurkan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan, disebabkan karena masjid-masjid tersebut dibangun bukan di atas takwa. Hendaknya juga mengeluarkan semua yang dikubur di dalam masjid setelah masjid dibangun dan mengeluarkan jenazahnya, walaupun telah menjadi tulang atau debu, karena kesalahan mereka dikubur disana. Setelah itu diperbolehkan shalat di masjid tersebut, sebab yang dilarang telah hilang.[5]

Prof. Dr. Syaikh Shalih al Fauzan, di dalam fatwanya, beliau menyatakan: Apabila kuburan-kuburan tersebut terpisah dari masjid oleh jalan atau pagar tembok, dan dibangunnya masjid tersebut bukan karena keberadaan kuburan tersebut, maka tidak mengapa masjid dekat dari kuburan, apabila tidak ada tempat yang jauh darinya (kuburan). Adapun bila pembangunan masjid tersebut di tempat yang ada kuburannya, dengan tujuan dan anggapan di tempat tersebut ada barakahnya, atau (menganggap) hal itu lebih utama, maka tidak boleh, karena itu merupakan salah satu sarana perantara perbuatan syirik.[6]

Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Masjid Nabawi, yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka para ulama telah menjelaskan bahwa hukumnya berbeda dengan kuburan lainnya. Ketika menjawab pertanyaan seseorang yang menjadikan Masjid Nabawi -yang ada kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebagai dalil bolehnya shalat di dalam masjid yang ada kuburannya, Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` berfatwa:

Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (beliau) dikuburkan di luar masjid, (yaitu) di rumah ‘Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan Rasulullah  (ke dalam masjid), semata-mata disebabkan karena perluasan masjid.[7]

Syaikh al Albani rahimahullah, secara jelas juga mengatakan:
Masalah ini, walaupun saat ini secara nyata kita saksikan, namun pada zaman sahabat, hal tersebut tidak pernah ada. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka menguburkannya di rumah beliau yang berada di samping masjid, dan terpisah dengan tembok yang terdapat pintu tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Perkara ini terkenal dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

(Maksud) para sahabat, ketika menguburkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kamar ‘Aisyah, agar tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan kuburan beliau sebagai masjid. Namun yang terjadi setelah itu, diluar perkiraan mereka. Peristiwa tersebut terjadi ketika al Walid bin Abdil Malik memerintakan penghancuran Masjid Nabawi pada tahun 88 H dan memasukkan kamar-kamar para isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam masjid, sehingga kamar ‘Aisyah dimasukkan ke dalamnya. Lalu jadilah kuburan tersebut berada di dalam masjid. Dan pada waktu itu, sudah tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup di Madinah.[8]

Kemudian Syaikh al Albani memberikan kesimpulan hukum, bahwa hukum terdahulu (yaitu larangan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburannya, Red.) mencakup seluruh masjid, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru, karena keumuman dalil-dalilnya. Satu masjid pun tidak ada pengecualian dari larangan tersebut, kecuali Masjid Nabawi. Karena Masjid Nabawi ini memiliki kekhususan, yang tidak dimiliki oleh masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. Seandainya dilarang shalat pada Masjid Nabawi, tentu larangan itu memberikan pengertian yang menyamakan Masjid Nabawi dengan masjid-masjid selainnya, dan menghilangkan keutamaan-keutamaan (yang dimiliki Masjid Nabawi tersebut). Hal seperti ini, jelas tidak boleh.[9]

Demikianlah beberapa penukilan dari pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Sehingga menjadi jelas bagi, bahwa shalat di Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi, tidaklah mengapa. Yakni dibolehkan. Wallahu a’lam.

Sumber: Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. [www.almanhaj.or.id]
________
Footnote
[1]. Lihat Masa-il Ahmad Liibnihi Shalih (2/205) dan Syarhul-Mumti’ (3/145-146)
[2]. Syarhul Mumti’ (3/146)
[3]. Ibid.
[4]. Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316.
[5]. Ibid., no. 4150 dan no. 6261.
[6]. Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin ‘Abdillah bin Fauzan al Fauzan (2/171), fatwa no. 148.
[7]. Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta` no. 5316 (6/257)
[8]. Tahdzirus-Saajid.
[9]. Ibid.
______________

Sumber:

No comments:

Post a Comment