1. Tujuan
Pemasyarakatan terhadap Anak
Apa yang dewasa ini disebut sebagai
Lembaga Pemasyrakatan sebenarnya ialah suatu lembaga yang dahulunya di kenal
sebagai rumah penjara yakni tempat dimana orang-orang yang telah dijatuhi
dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan pidana mereka.
Gagasan ini bermula dari Saharjo yang pada
waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman, sebutan rumah penjara itu sejak
bulan April 1964 telah dirubah menjadi lembaga pemasyarakatan. Pemberian
sebutan yang baru kepada rumah penjara sebagai lembaga pemasyarakatan itu dapat
diduga erat hubungannya dengan gagasan beliau untuk menjadikan lembaga
pemasyarakatan itu bukan saja tempat untuk semata-mata memidana orang tetapi
juga untuk membina atau mendidik orang-orang agar mereka setelah menjalankan
pidana mereka, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan
diluar lembaga pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada
hukum yang berlaku.
Dalam pidatonya beliau antara lain telah
mengemukakan rumusan tentang tujuan dari pidana penjara yakni disamping
menimbulkan rasa derita dari terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak,
membimbing terpidana agar terpidana bertaubat, mendidik ia menjadi seorang
anggota masyarakat sosial Indonesia yang berguna atau dengan kata lain, tujuan
dari pidana penjara itu adalah pemasyarakatan. Walaupun sudah ada gagasan untuk
menjadikan tujuan dari pidana penjara
sesuai pemasyarakatan, dan walaupun sebutan dari rumah-rumah penjara itu telah
diganti dengan sebutan lembaga-lembaga pemasyarakatan, akan tetapi dalam
praktek gagasan tersebut tidak didukung suatu konsepsi yang jelas dan
sarana-sarana yang memadai bahkan peraturan-peraturan yang dewasa ini
dipergunakan sebagai pedoman untuk melakukan pemasyarakatan itu, masih tetap
peraturan-peraturan yang dahulu kala telah dipakai orang sebagai pedoman untuk
melaksanakan hukuman-hukuman dalam penjara. Walaupun orang belum mampu membuat
peraturan yang baru untuk menggantikan Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatblad 1917 Nomor 708 yang juga dikenal
dengan sebutan Gesticehnt reglement, yaitu peraturan yang hingga kini masih
dipakai sebagai dasar untuk melakukan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan
di Indonesia, tetapi orang patut memberikan penghargaan kepada usaha Direktorat
Jendral Pemasyarakatan Republik Indonesia yang telah berusaha menyesuaikan
perlakuan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan di Indonesia dengan
tujuan pemasyarakatan.(Lamintang, 1991:180 )
Sebagaimana telah diketahui Sistem
Kepenjaraan adalah sistem perlakuan terhadap hukum (narapidana), dimana sistem
ini adalah merupakan tujuan pidana penjara. Bagi mereka yang telah terbukti
melakukan tindak pidana dan kemudian oleh pengadilan telah dijatuhi hukuman
(pidana), maka oleh pengadilan orang dijatuhi hukuman sampai habis masa
pidananya. Di tempat ini orang yang bersalah tersebut diperlakukan sedemikian rupa dengan mempergunakan sistem
perlakuan tertentu (berupa penyiksaan dan hukuman badan lainnya) dengan harapan
agar si terhukum betul-betul merasa bertaubat dan jera sehingga kemudian tidak
akan melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menyebabkan ia masuk penjara.
Dengan sistem perlakuan sebagaimana yang digambarkan di atas tidak lain adalah
merupakan tujuan dari pidana penjara yang pelaksanaanya dilakukan pada suatu
tempat yang berupa bangunan yang khusus dirancang untuk kemudian diberi nama
dengan “bangunan penjara” (tempat orang-orang menjalani hukuman karena bersalah
melakukan tindak pidana).
Diberikannya sanksi yang tegas dalam hukuman pidana ini membedakan dari
lapangan hukum yang lainnya. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam
hukum. Hal ini mengapa hukum pidana harus di anggap sebagai “Ultimum remedium” Yakni sebagai obat
terakhir apabila sanksi atau upaya cabang hukum lainnya tidak mempan atau
dianggap tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi, kalau ada
jalan lain janganlah menggunakan hukum pidana. Dengan masih berlakunya gestichen reglement ini, maka para
ilmuwan dan praktisi selalu berusaha mengadakan pembaharuan di bidang hukum
yang selaras dengan jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya pada upacara
penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum tanggal 5 Juli 1963, Saharjo menetapkan “Pohon Beringin” sebagai lambang untuk
Departeman Kehakiman dengan makna “Pengayoman” dalam pidatonya beliau
mengatakan :
“Dibawah pohon beringin yang telah kami tetapkan untuk menjadi
penyuluh bagi para petugas dalam memperlakukan para narapidana,maka tujuan dari
pidana penjara kami rumuskan disamping menimbulkan rasa derita napi karena
kehilangan kemerdekaan bergerak, kami akan membimbing para narapidana agar
bertobat, mendidik supaya ia dapat menjadi seorang anggota masyarakat sosial
Indonesia yang berguna”.
“Dengan singkat tujuan pidana adalah pemasyarakatan. Dari
kata-kata itu jelas bahwa tidak hanya masyarakat saja yang diayomi terhadap
kemungkinan terulangnya perbuatan jahat oleh narapidana, melainkan juga
memberikan pengayoman kepada orang yang telah sesat melanggar hukum (tidak di
siksa) dengan memberi bekal hidup agar menjadi warga negara yang berguna bagi
masyarakat”. (Saharjo, 1963)
Pemasyarakatan yang
berarti memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan
berguna ("healty reentry into
the community") pada
hakekatnya adalah resosialisasi. (Romli Atmasasmita, 1982:44)
Dalam
proses resosialisasi ini yang menjadi inti persoalannya adalah merubah tingkah
laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat bebas pada umumnya. (Romli Atmasasmita, 1982:50)
Tujuan pemasyarakatan menurut Andi Hamzah yaitu
:
a. Memasukkan bekas narapidana ke dalam
masyarakat sebagai warga negara yang baik jika berdasarkan kemanusiaan.
b. Melindungi masyarakat dari kambuhnya
kejahatan bekas narapidana yang mengulangi perbuatannya setelah mereka kembali
ke masyarakat. (Andi Hamzah, 1986:45)
Tujuan
pemasyarakatan juga diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan dalam pasal 2 yang rumusannya :
“Sistem
pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Oleh
karena itu pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti warga binaan pemasyarakat itu penting
dilaksanakan karena apabila seorang narapidana dianggap belum berkelakuan baik
maka akibatnya tidak adanya kepastian akan waktu bebasnya seseorang narapidana.
Maka sarana-sarana yang diberikan dalam rangka upaya pembinaan tidak akan ada
gunanya.
2. Tata Cara Pembinaan Anak di Lembaga
Pemasyarakatan anak
Dengan
adanya pembinaan diharapkan narapidana setelah keluar nanti tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi dan dapat menjadi masyarakat yang taat hukum.
Pembinaan ini akan menjadi tidak berdaya guna apabila tidak di dukung oleh
peran serta masyarakat, masyarakat diharapkan bisa menerima kembali para eks
narapidana ke dalam lingkungan masyarakat.
Pelaksanaan
pembinaan pemasyarakatan tentunya harus memperhatikan prinsip-prinsip pada
bimbingan atau pembinaan yaitu pengayoman, bimbingan, perawatan, perlindungan
hak asasi manusia, pendidikan dan pengarahan terhadap narapidana. Dan sistem
pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : (Dwidja Priayatno,
1996:103).
a. Pengayoman; adalah perlakuan terhadap Warga
Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan
bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang
berguna dalam masyarakat.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; adalah
pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan
tanpa membeda-bedakan orang.
c. Pendidikan; adalah bahwa penyelengaraan
pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain
penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan
menuaikan ibadah.
d. Penghormatan harkat dan martabat manusia;
adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus
tetap diperlakukan sebagai manusia.
e. Kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan; adalah Warga Binaan harus berada dalam LAPAS untuk
jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk
memperbaikinya. Selama di LAPAS Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh
hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak-hak
perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan,
minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau kreasi.
f.
Terjaminnya
hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu; adalah
bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan
dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam bentuk
kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat bebas, dan kesempatan
berkumpul bersama sahabat dan keluaraga seperti program cuti mengunjungi
keluarga. (Dwidja Priayatno, 1996:103).
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem
pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan. Penjelasan umum undang-undang tersebut merupakan
landasan filosofis tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia yaitu
bahwa :
a. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi
sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem
pembinaan sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan
pemasyarakatan.
b. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai
tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP),
pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP), dan pranata khusus penentuan serta
penghukuman terhadap anak (Pasal 45,46 dan 47 KUHP), namun pada dasarnya sifat
pemidanaan masih bertolak dari azas dan sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan
sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi
yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana
dan rumah pendidikan negara bagi anak-anakyang bersalah.
c. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan
pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai lembaga "rumah
tahanan", secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan
sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial,
agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan
tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi
diri, keluarga, dan lingkungannya.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan
napi anak telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi
sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut sebagai
rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi lembaga
pemasyarakatan, hal ini berdsasarkan kepada Surat Instruksi Kepala Direktorat
Pemasyarakatan Nomor : J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964. (Dwidja Priayatno,
1996:103)
Begitu
juga anak yang bersalah pembinaanya ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan
khusus Anak dan dipisahkan berdasarkan kepada status mereka masing-masing yaitu
Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil. Perbedaan status tersebut menjadi
dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka. (Hery Winarno
2008:17). Sistem pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga
Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak
terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
No comments:
Post a Comment