PENDAHULUAN
Hukum
adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia
dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang,
India, dan
Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan
dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Keberadaan
hukum adat tidak pernah akan mundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun hukum
nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam hukum
nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi
hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern.
Pada
era Orde Baru pencarian model hukum nasional memenuhi panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama
pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan hukum
adat akan berarti mengukuhi pluralisme hukum dan tidak berpihak
kepada hukum nasional yang diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi), terlihat bahwa hukum adat plastis dan dinamis serta selalu berubah
secara kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai
kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum
adat adalah hukum yang neniliki perasaan keadilan masyarakat local yang pluralistis.
Dimana
hukum kolonial yang bertentangan dengan hukum adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah
Orde Baru untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi
kedalam hukum nasional, dimana badan kehakiman diidealkan menjadi hakim yang bebas serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan adalah
harapan sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk
merintis pembaharuan hukum lewat mengartikulasian hukum
dan moral rakyat, telah melakukan konsolidasi dengan dukungan
politik militer dan topangan birokrasi yang distrukturkan secara monolitik
serta mudah dikontrol secara sentral, mengingat peran hukum adat
dalam pembangunan hukum nasional sangat mendesak yang
secara riil tidak tercatat terlalu besar, terkecuali
klaim akan kebenaran moral, pada saat masalah operasionalisasi dan pengefektifan terhadap faham hukum sebagai perekayasa ditangan
Pemerintah yang lebih efektif. Resultante pada era Orde
Baru telah terlanjur terjadi karena kekuatan dan
kekuasaan riil eksekutif dihadapan badan-badan perwakilan telah menjadi tradisi
di Indonesia sejak jaman kolonial dan pada masa sebelumnya dan juga
adanya alasan- alasan lainnya.
PENGERTIAN HUKUM ADAT
Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan penyusunan kebijakan. Catatan penting yang dapat diberikan berkenaan dengan Law and Development tersebut ialah:
..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah
cukup untuk pembangunan ekonomi; adanya ‘the
rule of law’ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan
pembangunan politik; di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal
penting yang utama. Pusat kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah
negara yang unik, aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan
manusia; dan negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan
variannya sendiri mengenai isi dari ‘the
rule of law’ (Tamanaha 1998).
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali
dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang melakukan penelitian
di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles.
Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yang pertama
kali menggunakan istilah adatrecht
(hukum adat), dan ia sebagai peletak teori Receptie, ia memandang hukum adat identik dengan hukum
kebiasaan. Istilah Hukum Adat atau adatrecht
pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan
istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum.
Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dengan pendekatan
positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus
memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan
keajekannya (regelmaat),
berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19
lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut
Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum
atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap),
hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts),
lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya Teer Haar; ia dengan mendasarkan analisisnya
pada Teori Keputusan yang dikemukakan oleh John Chipman Grey menyatakan, semua
hukum dibuat oleh hakim (Judge made
law), ia mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie).
Mengkaji hukum adat dari berbagai sudut pandang, namun
tetap menunjukkan apa yang disebut hukum adat, akan menentukan bagaimana hukum
adat dalam perkembangannya, dan hukum adat akan mampu menyesuaian dengan
kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat yang akan terus berubah. Oleh karena
itu pemahaman pengertian, pendekatan metodologis menjadi penting sekali untuk
dapat melihat, memahami dan mempelajari perkembangan hukum adat atau hukum adat
dalam perkembangannya.
Hukum adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan
paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak,
sifat, karakter hukum adat.
Kluckhon mengemukakan: nilai merupakan “a conception of desirable” (suatu
konsepsi yang diinginkan). Maka nilai ada beberapa tingkatan, yaitu:
1.
Nilai Primer merupakan nilai pegangan
hidup bagi suatu masyarakat, bersifat abstrak dan tetap seperti: kejujuran,
keadilan, keluhuran budi, kebersamaan dan lain sebagainya.
2.
Nilai subsider berkenaan dengan kegunaan,
karena itu lebih berbicara hal-hal yang bersifat kongkrit. Maka hukum lebih
banyak ditujukan pada nilai-nilai sekunder yaitu nilai-nilai yang berguna untuk
memecahkan persoalan kongkrit yang sedang dihadapi masyarakat, atau
orang-perorang. Timbulnya nilai sekunder tersebut, telah melalui penyaringan (sannering) oleh nilai-nilai primer.
Nilai sekunder bisa berubah menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dan
menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat. Hukum - termasuk hukum adat -
sesungguhnya juga didasarkan pada nilai primer, namun pendasaran pada nilai
sekunder, sifatnya lebih nyata dilihat dan dipahami.
Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang
menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang
tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan.
Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain
sebagai berikut:
1.
Prof.Van Vallenhoven,
yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai :
“ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur
asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada
dalam keadaan tidak dikodifikasikan
(karena adat). Abdulrahman , SH
menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan
apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada
masa kini.
2.
Prof. Soepomo,
merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup
sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan
sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di
dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.
3.
Prof. Soekanto,
merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi
mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat
4.
Prof. Soeripto: Hukum
adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yang
bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh
masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat
hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan
itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya
paksa atau ancaman hukuman (sanksi)http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-dalam-perkembangan.html
- sdfootnote21sym.
5.
Hardjito Notopuro:
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang
merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan
kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.
6.
Suroyo Wignjodipuro:
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum
(sanksi).
7.
Seminar Hukum Adat dan
pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli
yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang
disana sini mengandung unsur agama.
8.
Sudjito Sastrodiharjo
menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus
mengingat das sein. Hukum adat
merupakan species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya
Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam
masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa)
telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati,
maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan
dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di
ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun
akan sia-sia belaka. Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan
secara dinamik, dan selaras antara atas – yang memutuskan – dan bawah yang
menggunakan - agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup
karena ia menjelmakan perasaan hukum
yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian
hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum
yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut
Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional.
Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi
peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan
yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis.
Azas azas Hukum Adat
Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran
masyarakat Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak
azas-azasnya, yaitu:
1.
Azas Gotong royong;
2.
Azas fungsi sosial hak
miliknya;
3.
Azas persetujuan
sebagai dasar kekuasaan umum;
4.
Azas perwakilan dan
musyawaratan dalam sistem pemerintahan
Sifat Corak Hukum Adat.
Sifat
Hukum Adat.
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau
Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme –realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai
fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada hukum adat
sebagai 3 C adalah:
1.
Commun atau komunal atau kekeluargaan
(masyarakat lebih penting daripada individu);
2.
Contant atau Tunai perbuatan hukum
dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya
perbuatan hukum.
3.
Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan
hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan
hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis,
dinamis dan plastis
1.
Statis, hukum adat selalu
ada dalam amsyarakat,
2.
Dinamis, karena hukum
adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang
3.
Plastis/Fleksibel,
kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan : Dengan perspektif
perbandingan, maka ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam
masyarakat agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa
dan Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat
bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain
yang masih bersifat pra industri di luar Indonesia.
Corak Hukum Adat
Soepomo mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di
dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara
berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1.
Mempunyai sifat
kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat, merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan
yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2.
Mempunyai corak
magisch – religius, yang berhubungan
dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3.
Sistem hukum itu
diliputi oleh pikiran serba kongkrit,
artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan
hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang
kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
4.
Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya-
hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu
ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat:
1.
Segala bentuk rumusan
adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan
yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman
agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2.
Masyarakat sebagai
keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat
kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan
yang utuh;
3.
Hukum adat lebih
mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga
hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya
diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam
hidup bersama;
4.
Pemberian kepercayaan
yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum
adat.
Hilman Hadikusuma mengemukakan
corak hukum adat adalah:
1.
Tradisional; artinya
bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.
2.
Keagamaan (Magis-religeius); artinya perilaku
hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag
gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.
Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih
mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi
kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu
sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jw).
4.
Kongkrit/
Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak,
terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum)
5.
Terbuka dan Sederhana;
6.
Dapat berubah dan
Menyesuaikan;
7.
Tidak dikodifikasi;
8.
Musyawarah dan
Mufakat;
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu
dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan
corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat
sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah
memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
Wilayah hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring)
di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1.
Hukum Adat mengenai
tata negara
2.
Hukum Adat mengenai
warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
3.
Hukum Adat mengenai
delik (hukum pidana).
Istilah Hukum
Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck
Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam
bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat
sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada
satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah ini
kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda
(sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain
terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum
tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang
tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum
yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan
(gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.
Menurut hukum adat,
wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa
lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda,
Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini.
Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat
berikut:
1.
Aceh
4.
Minangkabau
5.
Mentawai
7.
Enggano
8.
Melayu
11.
Sangihe-Talaud
12.
Gorontalo
13.
Toraja
15.
Maluku Utara
17.
Maluku Tenggara
18.
Papua
KESIMPULAN
Sejak awal manusia diciptakan telah
dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini mendorong timbulnya
“kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain, maka ia
akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi
adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh
masyarakat yang bersangkutan
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono,
Drs.SH, Pengantar Hukum Indonesia, Melton Putra Jakarta 1991.
Vab
Alpeldoom.Mr L.J.Prof.Dr.Pengantar Ilmu Hukum, Perca, Jakarta 2008.
Kancil
C.S.C, Drs.SH, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta 1973.
No comments:
Post a Comment