Penentuan harga obat, sebagaimana “komoditas” yang
lain, juga sangat dipengaruhi beberapa hal, antara lain :
- Biaya Bahan Baku (bahan baku/zat aktif, bahan/zat tambahan dan bahan pengemas)
- Biaya Operasional (operational cost)
- Biaya Marketing dan Promosi
- Biaya Distribusi
- Biaya Lain-lain (Umum, Penyusutan, Pajak, dan lain-lain).
Berikut adalah gambaran struktur harga obat hingga
sampai di tangan pasien :
- Harga Pokok Produksi (HPP) atau yang sering disebut dengan COGM (Cost Of Goods Manufacture) terdiri dari Biaya Bahan Baku (bahan aktif, bahan tambahan dan bahan pengemas), biaya tenaga kerja langsung (direct labour), dan biaya over-head cost (Biaya telepon, BBM, listrik, spare part, training dll). Untuk industri farmasi, biaya bahan baku bisa mencapai 70 – 80% , direct labour antara 5 – 10% , dan overhead cost antara 15 – 20 % dari HPP. Khusus untuk obat-obat lisensi (under licence) dan obat paten (patented drug) masih dibebani biaya lisensi/paten serta kewajiban untuk membeli bahan baku dari pemberi lisensi/paten. Hal inilah salah satu penyebab mengapa obat-obat yang masuk dalam kategori under licence atau obat-obat paten harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan obat generic maupun branded generic.
- Selanjutnya, HPP + Biaya Marketing + Biaya Lain-lain (General Affairs, termasuk komisi dan bonus komisaris/direksi, baiya CSR, dll) + Bunga & Depresiasi + Laba Operasional (profit) menjadi HJP (Harga Jual Pabrik) atau yang sering disebut dengan COGS (Cost Of Goods Sales).
- HJP + Distribution fee (biaya distribusi) = HNA (Harga Netto Apotek).
- HNA + Laba (apotek dan/atau PBF) + PPN = HJA (Harga Jual Apotek), yang merupakan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang dibayarkan oleh konsumen.
Penggolongan Obat
Industri farmasi membagi produknya menjadi 2 golongan
besar, yaitu obat-obat ethical/resep dan obat-obat OTC (over the counter)/obat
bebas. Obat golongan ethical, adalah obat yang hanya dapat dibeli
dengan resep oleh dokter, sedangkan obat OTC bisa dibeli langsung tanpa
resep. Obat ethical ditandai dengan huruf “K” dalam lingkaran merah, sedangkan
obat OTC biasanya bertanda lingkaran biru (obat bebas terbatas) atau lingkaran
hijau (obat bebas). Termasuk dalam golongan OTC ini adalah produk-produk
kesehatan berupa makanan tambahan (food suplement), seperti
multivitamin, vit. C, energy drink, dan sebagainya. Untuk obat-obat
golongan OTC ini, biasanya berlaku hukum pasar. Artinya, laku-tidaknya produk
sangat tergantung bagaimana strategi marketing (marketing mix) dari si
pemilik produk dan masyarakat bebas untuk memilih produk yang hendak digunakan.
Tentu saja, agar konsumen mengenal produk yang diproduksi dan kemudian tertarik
untuk membeli, maka si pabrik obat harus mengeluarkan biaya untuk mempromosikan
obatnya. Promosi ini bisa melalui ATL (above the line), seperti iklan di
TV, Radio, majalah/surat kabar atau melalui BTL (bellow the line),
seperti penyebaran brosur, penempelan leaflet, sponsor seminar dan sebagainya.
Lain halnya dengan obat-obat golongan ethical.
Untuk obat-obat golongan ini, masyarakat tidak bisa bebas memilih produknya,
namun melalui dokter yang memeriksanya.
Kemudian oleh dokter dituliskan pada selembar resep yang diberikan dokter
kepada si pasien. Selanjutnya, si pasien menebus resep tadi di apotek untuk
bisa mendapatkan obat. Jadi disini konsumen “tidak memiliki kebebasan” dalam
memilih obat yang hendak dikonsumsinya, semuanya sudah ditentukan oleh dokter
yang menanganinya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu masalah
yang muncul karena dokter seolah-olah memiliki kuasa untuk menentukan obat apa
yang harus dikonsumsi oleh pasien dan pasien seolah-olah tidak memiliki hak
untuk memilih. Dalam hubungan antara
industri farmasi sebagai produsen – dokter penulis resep dan pasien seperti
tergambar dalam ilustrasi di atas, kemudian timbul berbagai macam
tudingan bahwa telah terjadi “perselingkuhan” antara dokter dengan industri
farmasi. Industri farmasi dituduh “menghalalkan segala cara” untuk mempengaruhi
dokter agar menuliskan obat yang diproduksinya. Cara-cara mempengaruhi
dokter tersebut dilakukan oleh industri farmasi melalui pasukan detailer (medical representatif), mulai dari
hal-hal yang berbau science dan informatif (seperti khasiat obat,
efek samping, keunggulan produk dibanding pesaing, membiayai ongkos untuk
seminar/pelatihan, biaya langganan jurnal-jurnal ilmiah, sponsor penelitian, hingga
pada hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dunia science/kedokteran.
Yang tentunya biaya-biaya tersebut akan dihitung oleh produsen obat sebagai
salah satu faktor untuk menentukan harga suatu obat.
Faktor-Faktor Lain.
Selain faktor – faktor diatas terdapat aspek-aspek
berikut yang juga menjadi pertimbangan suatu produsen obat dalam menentukan
suatu harga obat dipasaran yaitu:
- Harga produk sejenis yang sudah ada di pasaran
- Tingkat kompetisi pasar
- Besarnya biaya promosi yang diperlukan
- Besarnya modal yang dikeluarkan (apalagi kalau untuk membuat obat tadi harus invest alat/mesin baru)
- Besarnya laba/margin yang diinginkan.
No comments:
Post a Comment