Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang
melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris,
tiap jenjang Majelis Pengawasan (MPD, MPW dan MPP) mempunyai wewenang
masing-masing.
1.
Majelis Pengawas Daerah (MPD)
Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004,
dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.39- PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal
66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan :
(1)
Untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :
a.
Mengambil
fotokopi Minuta Akta dan Surat-Surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris;
b.
Memanggil
Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya
atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2)
Pengambilan
fotokopi Minuta Akta atau Surat-Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dibuat berita acara penyerahan,
Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang
tidak dipunyai oleh MPW maupun MPR.
Subtansi Pasal 66 UUJN imperatif dilakukan oleh pentidik, penuntut umum
atau hakim.
Dalam kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan
pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan
peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim, artinya MPD harus menempatkan
akta Notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan
pars pihak, bukan menempatkan subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan,
sehingga tata cara atau prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam
pemeriksaan tersebut. Dengan demikian diperlukan anggota MPD, baik dari unsur
Notaris, pemerintahan, dan akademis yang memahami akta Notaris, baik dari
prosedur maupun substansinya. Tanpa ada izin dari MPD penyidik, penuntut umum
dan hakim tidak dapat memanggil atau meminta Notaris dalam suatu perkara
pidana.
Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan
dengan :
a.
Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b.
Melakukan
pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c.
Memberikan
izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d.
Menetapkan
Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e.
Menentukan
tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol
Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f.
Menunjuk
Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang
diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g.
Menerima
laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris
atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
h.
Membuat
dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, dan g kepada Majelis Pengawasan Wilayah.
Kemudian Pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang
berkaitan dengan :
a.
Mencatat
pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan
tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah Surat di bawah tangan yang
disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b.
Membuat
berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah
setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris,
dan Majelis Pengawas Pusat;
c.
Merahasiakan
isi akta dan hasil pemeriksaan;
d.
Menerima
salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan
merahasiakannya;
e.
Menerima
laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut
kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan
tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis
Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
f.
Menyampaikan
permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Wewenang MPD yang bersifat administratif yang
memerlukan keputusan rapat MPD diatur dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10Tahun 2004, yang
berkaitan dengan :
a.
Menunjuk
Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang diangkat
sebagai pejabat negara;
b.
Menunjuk
Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang meninggal dunia;
c.
Memberikan
persetujuan atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk proses
peradilan;
d.
Menyerahkan
fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
e.
Memanggil
Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya
atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
2.
Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur
dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN
diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan:
a.
Menyelenggarakan
sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang
disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b.
Memanggil
Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c.
Memberikan
izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d.
Memeriksa
dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang memberikan sanksi
berupa teguran lisan atau tertulis;
e.
Mengusulkan
pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
(1)
Pemberhentian
sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
(2)
Pemberhentian
dengan tidak hormat.
f.
Membuat
berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
huruf e dan huruf f.
Wewenang MPW menurut pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, berkaitan dengan
pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yaitu:
(1)
Majelis
Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil perneriksaan Majelis Pemeriksa
Daerah;
(2)
Majelis
Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan
Majelis Pengawas Daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kalender sejak berkas diterima;
(3)
Majelis
Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk didengar
keterangannya;
(4)
Putusan
diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
berkas diterima.
Dalam angka 2 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, mengenai Tugas
Majelis Pengawas menegaskan bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi yang
tersebut dalam Pasal 73, 85 UUJN, dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Kemudian angka
2 butir 2 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 mengatur
pula mengenai kewenangan MPW, yaitu:
(1)
Mengusulkan
kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat;
(2)
Memeriksa
dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah.
(3)
Mencatat
izin cuti yang cliberikan dalam sertifikat cuti;
(4)
Melaporkan
kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan
oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan
pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis
Pengawas Pusat;
(5)
Menyampaikan
laporan kepada Majelis Pengawas Pusat, yaitu:
a.
Laporan
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Februari;
b.
Laporan
insidentil paling lambat 15 (lima betas) hari setelah putusan Majelis
Pemeriksa.
3.
Majelis Pengawas Pusat (MPP)
Wewenang MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur
dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10
Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai
wewenang MPP yang berkaitan dengan :
a.
Menyelenggarakan
sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap
penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b.
Memanggil
Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.
Menjatuhkan
sanksi pemberhentian sementara;
d.
Mengusulkan
pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat kepada Menteri
Selanjutnya wewenang MPP diatur juga dalam Pasal 29
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yang berkaitan dengan pemeriksaan lebih lanjut yang
diterima dari MPW:
(1)
Majelis
Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa
Wilayah;
(2)
Majelis
Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
(3)
Majelis
Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan guna didengar keterangannya;
(4)
Putusan
diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
berkas diterima;
(5)
Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan dan pertimbangan yang
cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan/ putusan;
(6)
Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Ketua Anggota dan
Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat;
(7)
Putusan
Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinannya disampaikan
kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah,
dan Pengurus Pusat Ikatan Notari Indonesia, dalamjangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.
Mengenai kewenangan Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah,
dan Pusat) ini, ada satu kewenangan Majelis Pengawas yang perlu untuk
diluruskan sesuai aturan hukum yang berlaku, yaitu atas laporan Majelis Pemeri
ksa jika menemukan suatu tindak pidana dalam melakukan pemeriksaan terhadap
Notaris, maka Majelis Pengawas akan melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
(Pasal 32 ayat [1] dan [2] Peraturan Menteri). Subtansi pasal ini telah menempatkan
Majelis Pengawas Notaris sebagai pelapor tindak pidana.
Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh
"seorang" karena "hak atau kewajiban berdasarkan
undang-undang" kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang
atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Berdasarkan isi pasal tersebut,
bahwa syarat untuk menjadi pelapor, yaitu:
(1)
Seorang
(satu orang/perseorangan), dan
(2)
Ada
hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang.
Majelis Pengawas merupakan suatu badan (Pasal 1 ayat
[11 Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.
PR.08.10 Tahun 2004), dengan parameter seperti ini dikaitkan dengan Pasal 1
angka 24 (KUHAP), bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek hukum
berupa orang, bukan majelis atau badan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.
PR.08.10 Tahun 2004), dengan parameter seperti ini dikaitkan dengan Pasal 1
angka 24 (KUHAP), bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek hukum
berupa orang, bukan majelis atau badan.
Thank you for visit my blog.
ReplyDeletesaya membutuhkan ini
ReplyDeleteTerima kasih telah berkunjung, dan sila kan gunakan sesuai kebutuhan.
Deletemohon saya untuk mengcopy tulisan ini
ReplyDeleteBagaimana apabila seorang notaris yg dilaporkan ke MPD atas dugaan pelanggaran etika dan hukum, diundang sidang 2 kali tidak mau hadir dan meremehkan peranan MPD?
ReplyDelete