Thursday, May 16, 2013

Wewenang Majelis Pengawas Notaris


Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, tiap jenjang Majelis Pengawasan (MPD, MPW dan MPP) mempunyai wewenang masing-masing.
1.      Majelis Pengawas Daerah (MPD)
Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39- PW.07.10 Tahun 2004.  Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan :
(1)        Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :
a.       Mengambil fotokopi Minuta Akta dan Surat-Surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris;
b.      Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2)        Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau Surat-Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan,
Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPR.  Subtansi Pasal 66 UUJN imperatif dilakukan oleh pentidik, penuntut umum atau hakim.
Dalam kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim, artinya MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan pars pihak, bukan menempatkan subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga tata cara atau prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut. Dengan demikian diperlukan anggota MPD, baik dari unsur Notaris, pemerintahan, dan akademis yang memahami akta Notaris, baik dari prosedur maupun substansinya. Tanpa ada izin dari MPD penyidik, penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil atau meminta Notaris dalam suatu perkara pidana.
Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :
a.       Menyelenggarakan  sidang untuk memeriksa adanya dugaaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b.      Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c.       Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d.      Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e.       Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f.        Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g.       Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelang­garan Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-­undang ini;
h.       Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan g kepada Majelis Pengawasan Wilayah.
Kemudian Pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :
a.       Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah Surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b.      Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;
c.       Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d.      Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;
e.       Menerima laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu              30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
f.        Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Wewenang MPD yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan rapat MPD diatur dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10Tahun 2004, yang berkaitan dengan :
a.       Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara;
b.      Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang meninggal dunia;
c.       Memberikan persetujuan atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk proses peradilan;
d.      Menyerahkan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
e.       Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2.      Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan:
a.       Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b.      Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.       Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d.      Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
e.       Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
(1)          Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
(2)          Pemberhentian dengan tidak hormat.
f.        Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.

Wewenang MPW menurut pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yaitu:
(1)        Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil perneriksaan Majelis Pemeriksa Daerah;
(2)        Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
(3)        Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk didengar keterangannya;
(4)        Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.

Dalam angka 2 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, mengenai Tugas Majelis Pengawas menegaskan bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi yang tersebut dalam Pasal 73, 85 UUJN, dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Kemudian angka 2 butir 2 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10  Tahun 2004 mengatur pula mengenai kewenangan MPW, yaitu:
(1)        Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat;
(2)        Memeriksa dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah.
(3)        Mencatat izin cuti yang cliberikan dalam sertifikat cuti;
(4)        Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat;
(5)        Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat, yaitu:
a.       Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Februari;
b.      Laporan insidentil paling lambat 15 (lima betas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.

3.      Majelis Pengawas Pusat (MPP)
Wewenang MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan dengan :
a.       Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b.      Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.       Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
d.      Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat kepada Menteri
Selanjutnya wewenang MPP diatur juga dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yang berkaitan dengan pemeriksaan lebih lanjut yang diterima dari MPW:
(1)        Majelis Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah;
(2)        Majelis Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
(3)        Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya;
(4)        Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima;
(5)        Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan/ putusan;
(6)        Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Ketua Anggota dan Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat;
(7)        Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinannya disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, dan Pengurus Pusat Ikatan Notari Indonesia, dalamjangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

Mengenai kewenangan Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah, dan Pusat) ini, ada satu kewenangan Majelis Pengawas yang perlu untuk diluruskan sesuai aturan hukum yang berlaku, yaitu atas laporan Majelis Pemeri ksa jika menemu­kan suatu tindak pidana dalam melakukan pemeriksaan terhadap Notaris, maka Majelis Pengawas akan melaporkannya kepada pihak yang berwenang. (Pasal 32 ayat [1] dan [2] Peraturan Menteri). Subtansi pasal ini telah menem­patkan Majelis Pengawas Notaris sebagai pelapor tindak pidana.
Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh "seorang" karena "hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang" kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi­nya peristiwa pidana. Berdasarkan isi pasal tersebut, bahwa syarat untuk menjadi pelapor, yaitu:
(1)        Seorang (satu orang/perseorangan), dan
(2)        Ada hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang.
Majelis Pengawas merupakan suatu badan (Pasal 1 ayat [11 Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.
PR.08.10 Tahun 2004), dengan parameter seperti ini dikaitkan dengan Pasal 1
angka 24 (KUHAP), bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek hukum
berupa orang, bukan majelis atau badan.

5 comments:

  1. Replies
    1. Terima kasih telah berkunjung, dan sila kan gunakan sesuai kebutuhan.

      Delete
  2. mohon saya untuk mengcopy tulisan ini

    ReplyDelete
  3. Bagaimana apabila seorang notaris yg dilaporkan ke MPD atas dugaan pelanggaran etika dan hukum, diundang sidang 2 kali tidak mau hadir dan meremehkan peranan MPD?

    ReplyDelete