Wednesday, May 1, 2013

Urgensi Penataan Kembali Transportasi Perkotaan



Kejahatan di angkutan kota menjadi tren dalam beberapa waktu belakangan ini. Kejadian demi kejadian tersebut harus menjadi momentum untuk mereformasi usaha angkot di seluruh wilayah Indonesia sesuai amanat UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ).

Masalah kejahatan di angkutan kota (angkot) Jakarta sebetulnya bukan hal baru. Pada waktu Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Soerjadi Soedirdja (1992-1997), persoalan kejahatan di angkot itu sudah muncul. Saat itu, tepatnya pada 1996, Gubernur Soerjadi Soedirdja meminta agar sopir angkot menggunakan seragam dan memakai identitas serta memerintahkan agar pintu angkot dalam kondisi tertutup.

Sayang, perintah tersebut tidak terimplementasikan secara permanen. Setelah tidak ada penegakan hokum dari aparat pemerintah (polisi dan DLLAJ), kondisinya kembali seperti semula, yakni munculnya sopir angkot tanpa identitas, tanpa seragam, dan pintu tidak pernah tertutup.

Apa pun alasan yang bisa dicari, aspek penegakan hukum yang lemah menjadi penyebab utama terbukanya peluang bebas untuk melakukan kejahatan di angkot. Sangat mungkin, bila penegakan hukumnya dilakukan secara konsisten sampai sekarang, kejahatan di angkot tidak akan menyeruak seperti sekarang.

Mengapa Angkot?
Mengapa kejahatan di angkot lebih banyak dan beragam? Pertama, dari segi trayek, angkot melewati jalanjalan kecil, termasuk jalan yang sepi sehingga hal itu memungkinkan untuk bertindak jahat tanpa khawatir diketahui oleh pihak lain. Berbeda dengan bus sedang dan bus besar yang selalu melintas jalan utama sehingga segala aktivitas di dalam kendaraan mudah terpantau dari luar.

Kedua, dari segi waktu, angkot beroperasi 24 jam, termasuk pada jam sepi (antara jam 24.00-03.00) sehingga pelaku kejahatan pun merasa lebih leluasa melakukan tindak kejahatan. Beberapa kasus pemerkosaan di angkot berlangsung malam hari.

Ketiga, bentuk kendaraannya yang kecil memungkinkan sopir angkot melakukan manuver jurusan, terutama pada malam hari tanpa takut kena tilang.

Keempat, status kepemilikan angkot adalah berorangan, sehingga sopir, terutama sopir tembakan mengetahui betul kelemahan dari managemen angkot yang milik perorangan tersebut. Dengan kondisi seperti itu keberadaan angkot kerap sulit dilacak bila dipakai untuk melakukan tindak kejahatan. Apalagi ikatan antara sopir tembak dan pemilik angkot tidak jelas, bahkan tidak jarang pemilik angkot tidak mengenal sama sekali sopir tembaknya.

Bahkan sopir utama itu pun belum tentu mengenal identitas sopir tembakan secara lengkap, karena biasanya sopir tembakan itu dikenal di titik- titik pemberhentian tertentu saja. Rekrutmen sopir tembakan oleh sopir utama itu biasanya hanya berdasarkan rekomendasi dari sopir lain dan dilakukan atas solidaritas antarorang-orang pinggiran saja.

Kelemahan managemen angkot itulah yang dimanfaatkan oleh para sopir tembakan, karena bila mereka melakukan kejahatan dan dirasakan menguntungkan, mereka akan tinggalkan kendaraan tersebut di sembarang tempat dan dia melarikan diri. Berbeda dengan bus besar yang jelas nama dan lokasi perusahaannya, sehingga bila sopir melakukan tindak kejahatan, penumpang mudah melacaknya.

Faktor kepemilikan perorangan itu tampaknya yang paling dominan berpengaruh terhadap perilaku para sopir angkot. Karena rasa memiliki angkot tidak ada, maka begitu ada kesempatan, mereka bertindak kriminal tanpa menghitung risikonya. Ini masuk akal, karena bila ketahuan, maka secara gampang mereka akan tinggalkan angkot itu di sembarang tempat dan kemudian pindah ke jalur lain yang trayeknya berjauhan atau bahkan pulang kampung.

Wajib Berbadan Hukum
Selama ini memang siapa saja dapat bertindak sebagai pengusaha angkot secara individual dan personal, tanpa harus repot-repot mengurus menjadi suatu badan hukum. Yang penting mengajukan surat izin usaha dan izin trayek, maka sang pemilik akan dengan mudah mendapatkan izin untuk menjadi pengusaha angkot. Itulah yang menyebabkan usaha angkot begitu menjamur dan tidak terkontrol.

Namun, keluarnya UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) harus dapat menjadi pijakan untuk melakukan reformasi mengenai usaha angkot di seluruh wilayah Indonesia. Ayat (4) pasal 139 UU itu menyatakan: “Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan”.

Ini artinya, usaha angkutan umum, termasuk angkot tidak bisa laku dilakukan oleh sembarang orang, tapi hanya mereka yang memiliki badan hukum yang sah yang dapat menjadi operator angkot. Pengusahaan angkot oleh perorangan melanggar undang-undang dan itu bisa dipidanakan.

Memang untuk saat ini operator tidak serta merta harus dipidanakan, karena kelahiran mereka lebih dulu daripada UU LLAJ. Tapi, berdasarkan UU LLAJ yang baru tersebut, mereka harus didorong untuk membentuk badan hukum usaha sebagai pengayomnya. Apalagi bunyi pasal 139 tersebut dipertegas pasal 141 yang menyatakan:  “Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimum yang meliputi, (a) keamanan, (b) keselamatan, (c) kenyamanan, (d) keterjangkauan, (e) kesetaraan, dan (f) keteraturan.

Pasal 141 ini mengamanatkan bahwa setiap operator angkutan umum harus memberikan jaminan atas rasa aman, nyaman, dan selamat bagi penumpang. Di sini diperlukan adanya standar pelayanan minimum (SPM) yang harus dapat diberikan oleh para pengusaha angkot kepada konsumen. SPM tersebut hanya mungkin dapat diberikan oleh pengusaha yang berbadan hukum.

Sulit mengharapkan pemilik Angkot perorangan dapat memberikan SPM terhadap para penumpangnya. Konsekuensi dari pengetrapan SPM itu adalah tidak mungkin lagi ada sopir tembak, karena itu bagian yang melekat dalam penentuan SPM. Dengan kata lain, kalau pemerintah konsisten ingin membenahi angkot, maka tinggal tancap gas dalam melaksanakan UU LLAJ yang baru. Pedomannya sudah jelas, yaitu membadanhukumkan pengusahaan angkutan umum.

Oleh Darmaningtyas | Senin, 3 Oktober 2011 | 22:49
 Penulis wakil ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)
http://www.investor.co.id/home

No comments:

Post a Comment