A. Tidur
Tidur merupakan bagian hidup manusia yang memiliki porsi banyak,
rata-rata hampir seperempat hingga sepertiga waktu dalam sehari digunakan untuk
tidur. Tidur merupakan sebuah kebutuhan bukan hanya untuk mengistirahatkan
tubuh. Tidur juga diperlukan oleh manusia untuk pembentukan sel-sel tubuh yang
baru, memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak (natural healing mechanism),
memberi waktu organ tubuh untuk istirahat, juga untuk menjaga kestabilan
metabolisme dan biokimiawi tubuh. Disamping itu tidur bagi manusia dapat
mengendalikan irama kehidupan sehari-hari. Salah satu fungsi tidur yang paling
utama adalah untuk memungkinkan sistem syaraf pulih setelah digunakan selama
satu hari. Dalam The World Book Encyclopedia, dikatakan tidur memulihkan energi
kepada tubuh, khususnya kepada otak dan sistem syaraf (Mass, 2002) Beberapa
penelitian yang ditulis di situs www.indomedia.com. menyebutkan bahwa orang Indonesia tidur
rata-rata pukul 22.00 dan bangun pukul 05.00 keesokan harinya. Penelitian
terhadap kelompok anak-anak muda di Denpasar menunjukkan 30-40% aktivitas
mereka untuk tidur. Sedang penelitian yang dilakukan oleh Liu et.al (2000) di
Jepang disebutkan 29% responden tidur kurang dari 6 jam, 23% merasa kekurangan
dalam jam tidur 6% menggunakan obat tidur, 21 % kemungkinan mengalami insomnia
dan 15 % mengalami rasa ngantuk yang teramat sangat disiang harinya.
Pada dasarnya setiap orang pernah mengalami gangguan tidur atau
insomnia. Sebuah survey yang dilakukan oleh National Institut of Health di
Amerika menyebutkan bahwa pada tahun 1970, total penduduk Amerika yang
mengalami insomnia 17% dari populasi, pada orang tua presentasi penderita
insomnia lebih tinggi, perbandingannya yaitu 1 diantara 4 orang tua berumur 60
tahun mengalami gangguan tidur. Survey epidemilogi yang dilakukan oleh Melinger
(Morin, 1992. Lacks, 1992) menunjukkan bahwa 35% dari populasi diindikasikan
mengalami insomnia selama satu tahun terakhir dan 10% mengalami gangguan
insomnia 6 bulan terakhir. Dari survey tersebut juga disimpulkan bahwa wanita
dewasa dari sosial ekonomi rendah lebih banyak mengalami gangguan tidur, hal
ini disebabkan banyaknya beban pikiran yang harus ditanggung oleh para wanita
tersebut.
Tidur merupakan kebutuhan manusia yang teratur dan berulang
untuk menghilangkan kelelahan jasmani dan kelelahan mental (Panteri, 1993).
Manusia memakai sepertiga waktunya untuk tidur. Tidur merupakan perilaku normal
ketika individu kehilangan kontak dengan lingkungannya untuk sementara. Pada
waktu tidur individu menutup matanya, pupil mengecil, otot melemas, denyut
jantung melemah, tekanan darah menurun dan metabolisme tubuh melambat (Kedja,
1990).
Bila tidur kurang lelap atau mengalami gangguan tidur, maka kita
akan merasa letih, lemah, dan lesu. Kehilangan jam tidur meskipun sedikit,
mempunyai akibat yang sangat mempengaruhi bagi semangat, kemampuan konsentrasi,
kinerja, produktivitas, ketrampilan komunikasi, dan kesehatan secara umum,
termasuk sistem gastrointestinal, fungsi kardiofaskuler, dan sistem kekebalan
tubuh. Orang yang tidak tidur kehilangan energi dan lekas marah, orang yang dua
hari tidak tidur akan sulit berkonsentrasi untuk waktu yang lama. Banyak
kesalahan akan dibuat, terutama dalam tugas-tugas rutin, dan kadang ia tidak
mampu memusatkan perhatian. Orang yang tidak tidur lebih dari tiga hari akan
sulit berpikir, melihat, dan mendengar dengan jelas. Beberapa orang akan
mengalami periode halusinasi, yaitu mereka melihat sesuatu yang sebenarnya
tidak ada. Hasil tes memperlihatkan setelah seseorang tidak tidur selama empat
hari, ia hanya dapat melakukan sedikit tugas rutin. Tugas-tugas yang menuntut
perhatian atau bahkan kegesitan mental yang minimum sekalipun, akan menjadi
sulit ditangani. Setelah empat setengah hari ada gejala mengigau dan dunia di
sekelilingnya menjadi sangat aneh di matanya.
B. Gangguan Tidur
Insomnia
Tidur adalah fungsi biologis yang sangat dibutuhkan oleh fisik
kita. Sebagian dari kita membutuhkan 7 jam atau lebih untuk tidur dimalam hari
agar kita dapat berfungsi dengan baik.
Pada keadaan normal, dari pemeriksaan kegiatan otak melalui
elektro-ensefalografi (EEG), sepanjang masa tidur terjadi fase-fase yang silih
berganti antara tidur sinkronik dan tidur asinkronik. Pergantian ini kira-kira
setiap dua jam sekali. Fase tidur sinkronik ditandai dengan tidur nyenyak,
dengan tubuh dalam keadaan tenang. Fase tidur asinkronik ditandai dengan
kegelisahan dan reaksi-reaksi jasmaniah lainnya, seperti gerakan-gerakan bola
mata yang merupakan fase mimpi. Orang normal yang tidurnya terganggu pada fase
tidur asinkronik akan merasa tidak nyaman, jengkel, dan bersikap murung setelah
bangun tidur.
Masalah tidur yang disebabkan oleh stress
pribadi yang signifikan, pekerjaan, atau peran lain diklasifikasikan dalam
system DSM sebagai gangguan tidur (sleep disorder) atau yang biasa disebut
sebagai insomnia.
Insomnia berasal dari kata in artinya tidak
dan somnus yang berarti tidur, jadi insomnia berarti tidak tidur atau gangguan
tidur. Orang yang bersangkutan mungkin tidak dapat tidur, sulit untuk tidur,
atau mudah terbangun tapi kemudian tidak dapat tidur lagi. Hal in terjadi bukan
karena kesibukan seseorang sehingga tidak ada kesempatan tidur, tetapi akibat
dari gangguan jiwa terutama gangguan depresi, kelelahan, dan gejala kecemasan
yang memuncak. Kesulitan tidur ini bisa menyangkut lamanya waktu tidur
(kuantitas) atau kelelapan (kualitas) tidur. Penderita insomnia sering mengeluh
tidak bisa tidur, kurang lama tidur, tidur dengan mimpi yang menakutkan, dan
merasa kesehatannya terganggu. Orang yang menderita insomnia tidak akan bisa
tidur pulas walaupun diberikan banyak kesempatan untuk tidur. Di dalam DSM
pengelompokan gangguan tidur dibagi kedalam dua kategori utama:dissomnia dan
parasomnia.
Dissomnia
Dissomnia adalah gangguan tidur yang memilki
karakteristik terganggunya jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang
berhubungan dengan pernapasan dan gangguan irama tidur sirkadia.
Parasomnia
Parasomnia adalah gangguan tidur yang muncul pada
ambang batas antara saat terjaga dan tidur. Diantara berbagai bentuk
parasomnia yang lebih umum adalah gangguan mimpi buruk, gangguan terror
tidur, dan gangguan berjalan sambil tidur.
|
Penderita insomnia mengalami gangguan dalam
masa peralihan dan kualitas dari fase-fase tidur, terutama pada fase
asinkronik. Dari penelitian didapatkan bahwa apa yang dirasakan penderita
sebagai terjaga di malam hari adalah sebuah fase dari mimpi yang dialaminya
saat tidur. Terkadang tidur dengan waktu singkat lebih berkualitas dibandingkan
tidur dengan waktu lama.
Insomnia dikelompokkan dalam tiga tipe. Tipe
pertama adalah sulit tidur (sleep onset insomnia) yaitu penderita yang tidak
dapat atau sulit tidur selama1 sampai 3 jam pertama. Namun, karena kelelahan
akhirnya tertidur juga. Tipe ini biasanya dialami penderita usia muda yang
sedang mengalami kecemasan. Tipe kedua, selalu terbangun ditengah
malam (sleep maintenance insomnia) yaitu dapat tidur dengan mudah dan nyenyak,
namun setelah 2 sampai 3 jam tidur terbangun. Kejadian ini bisa berlangsung
berulang kali. Tipe ketiga, selalu mudah terbangun
ditengah malam (early awakening insomnia) yaitu penderita dapat tidur dengan
mudah dan nyenyak, namun pada pagi buta dia terbangun dan tidak dapat tidur
lagi. Ini biasa dialami orang yang sedang mengalami depresi. Insomnia adalah
suatu gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala-gejala selalu
merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus menerus (lebih dari
sepuluh hari) mengalami kesulitan untuk tidur atau selalu terbangun di tengah
malam dan tidak dapat tidur kembali. Seringkali penderita terbangun lebih cepat
dari yang diinginkannya dan tidak dapat kembali tidur.
Setiap tahunnya 1 dari tiga orang dewasa di Amerika mengalami
insomnia kronis (Gillin, 1991). Insomnia kronis yang bertahan selama sebulan
atau lebih biasanya adalah tanda adanya masalah fisik atau gangguan psikologis
seperti mengalami depresi. Jika penyebab gangguan tidur dapat ditangani dengan
baik maka ada kemungkinan untuk memperbaiki pola tidur menjadi normal kembali.
Insomnia yang tidak disebabkan oleh masalah fisik atau gangguan psikologis ,
atau oleh efek obat atau penggunaan obat atau pengobatan, dikelompokkan dalam
gangguan tidur yang disebut insomnia primer.
Insomnia primer mengakibatkan rasa lelah disiang hari ,
menimbulkan stress, atau kesulitan untuk mnjalankan peran sosialnya, belajar,
pekerjaan, atau peran lainnya dengan baik. Maka dari itu insomnia biasanya
muncul bersamaan dengan masalah psikologis, terutama neurosis (kecemasan) dan
depresi, insomnia primer ini merupakan gangguan tidur yang dipandang insomnia
paling umum diderita.
C. Faktor Penyebab
Insomnia
Factor psikologis memainkan peran terpenting dalam insomnia
primer. Orang-orang yang mengalami insomnia primer biasanya sering membawa
masalah mereka seperti kecemasan dan kekhawatiran ke tempat tidur, hal ini
menyebabkan meningkatnya kesadaran tubuh untuk mencegah proses tidur secara
alami. Kemudian ini akan menambah rasa khawatir mereka karena mereka merasa kekurangan
waktu tidurnya, dan akhirnya ini akan menambah kesulitan mereka untuk tidur.
Tidur tidak bisa dipaksakan, memaksakan diri untuk tidur sama saja dengan
membuat tubuh kita tidak rileks , padahal untuk memulai tidur yang berkualitas
seseorang harus membuat diri baik fisik maupun psikisnya rileks serta
membiarkan rasa kantuk muncul secara alami.
Insomnia bisa disebabkan oleh berbagai factor, diantaranya
adanya pengaruh hormonal, obat-obatan, dan kejiwaan, bisa juga karena factor
luar misalnya tekanan batin, suasana kamar tidur yang tidak nyaman, ribut atau
suasana sekitar tidak tenang, serta perubahan waktu karena harus kerja malam.
Kesukaan seseorang untuk mengkonsumsi kopi dan teh yang mengandung zat
perangsang susunan syaraf pusat, tembakau yang mengandung nikotin, obat penurun
berat badan yang mengandung amfetamin, adalah contoh bahan-bahan yang
mempengaruhi kesulitan tidur. Banyak ahli menyatakan bahwa gangguan tidur tidak
berhubungan langsung dengan penurunan hormone, namun kondisi psikologis dan meningkatnya
kecemasan, gelisah, serta emosi yang sering tidak terkontrol akibat menurunnya
hormone esterogen misalnya pada saat masa menstruasi, bisa menjadi salah satu
penyebab meningkatnya resiko gangguan tidur (insomnia). Morin (Espie, 2002)
menyebutkan bahwa penyebab utama gangguan tidur (insomnia) adalah adanya
permasalahan emosional, kognitif, dan fisiologis. Ketiganya berperan terhadap
terjadinya disfungsi kognitif , kebiasaan yang tidak sehat, dan factor penyebab
insomnia.
D. Penanganan Gangguan Tidur
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
gangguan tidur. Disini kita membagi dua pendekatan untuk menyelesaikan
penanganan gangguan tidur yaitu pendekatan biologis dan pendekatan psikis.
1. Pendekatan Biologis.
Dalam biologis, obat-obatan anti kecemasan sering digunakan
untuk mengatasi insomnia, obat yang secara luas digunakan misalnya
benzodiazepine (contoh: valium, Librium, dan Antivan) dan Zolpidem (merk dagang
ambiven), namun sebenarnya penggunaaan obat0obat tersebut dapat menghasilkan
ketergantungan kimiawi jika digunakan dalam waktu yang lama.
Ketika digunakan dalam jangka waktu singkat, obat-obatan seperti
diatas biasanya efektif mempercepat proses tidur, meningkatkan waktu tidur
total, dan mengurangi keadaan terjaga di malam hari. Proses
kerja obat-obatan tersebut adalah dengan dengan mengurangi tingkat keterjagaan
saat malam hari dan membangkitkan parasaan tenang.
Beberapa masalah dihubungkan dengan
penggunaan obat untuk menyelesaikan gangguan tidur, obat-obatan tersebut dapat
menyebabkan perasaan menggantung pada keesokan harinya dan berlanjut dengan
rasa mengantuk yang sangat pada siang harinya serta penurunan produktivitas
kerja. Pada penggunaan yang sudah terlalu berlebih akan menyebabkan
ketergantungan, yang dapat memunculkan simtom putus zat setelah terjadi
penghentian konsumsi obat termasuk agitasi, menggigit, mual, sakit kepala, dan
pada kasus yang paling parah terjadi delusi dan halusinasi.
Mengandalkan obat tidur tidak dapat mengatasi
penyebab yang mendasari masalah. Jika obat-obatan tersebut ditujukan untuk
mengatasi gangguan tidur, maka obat tersebut hanya oleh digunakan dalam waktu
yang singkat, (palinglama beberapa minggu saja)dan pada dosis yang sangat
rendah. Tujuan penggunaan biasanya hanya untuk membantu klinisi untuk menemukan
cara yang efektif dalam mengatasi sumber stress dan kecemasan yang menyebabkan
insomnia.
Pendekatan biologis yang lain yang bisa
dilakukan adalah dengan pelatihan relaksasi religius, Pelatihan relakasi
religius cukup efektif untuk memperpendek waktu dari mulai merebahkan hingga
tertidur dan mudah memasuki tidur. Hal ini membuktikan bahwa relaksasi religius
yang dilakukan dapat membuat lebih relaks sehingga keadaan kesulitan ketika
mengawali tidur dapat diatasi dengan treatmen ini. Penggunaan kaset relaksasi
religius cukup membantu subjek dalam mengawali tidur. Pada umumnya subjek
melaporkan bahwa dengan mengikuti kaset relaksasi dirinya lebih mudah untuk
tertidur, ada beberapa hal yang menyebabkan mereka mudah tertidur antara lain
instruksi diucapkan dengan pelan dan mudah diikuti.
Pelatihan relaksasi dapat memunculkan
keadaan tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat semakin lambat
akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat dan tertidur. Hal ini sesuai dengan
pendapat Panteri (1993) yang menggambarkan neurofisiologi tidur sebagai
berikut: Pada saat berbaring dalam keadaan masih terjaga seseorang berada pada
gelombang otak beta, hal ini terjadi ketika subjek mulai merebahkan diri tidur
dan mengikuti instruksi relaksasi religius yaitu pada tahap pengendoran otot
dari atas yaitu kepala hingga jari jari kaki. Selanjutnya dalam keadaan yang
lelah dan siap tidur mulai untuk memejamkan mata, pada saat ini gelombang otak
yang muncul mulai melambat frekwensinya, meninggi tegangannya dan menjadi lebih
teratur. Pada tahap ini subjek mulai merasakan relaks dan mengikuti secara
pasif keadaan relaks tersebut hingga muncul rasa kantuk.
2. Pendekatan Psikologis
Secara kseluruhan pendekatan dengan penanganan kognitif
–behavioral telah menghasilkan menfaat yang penting dalam menangani insomnia
kronis, seperti yang diukur baik dalam pengurangan sejumlah besar waktu yang
dibutuhkan untuk dapat tertidur dan jumlah terjaga pada malam hari, maupun
dalam peningkatan kualitas tidur.
Teknik kognitif-behavioral menekankan pada jangka pendek
berfokus pada penurunan langsung kondisi fisiologis yang timbul dan
memodifikasi kebiasaan yang maladaptive.
Salah satu teknik yang dipakai kognitif-behavioral adalah
control stimulus yaitu dengan melibatkan perubahan stimulus lingkungan yang
diasosiasikan yang diasosiasikan dengan tidur. Dibawah kondisi formal, kita
belajar untuk mengasosiasikan stimulus yang menghubungkan berbaring di tempat
tidur dengan tidur, sehingga pemaparan terhadap stimulus terhadap stimulus ini
dapat meningkatkan rasa kantuk. Teknik ini bertujuan untuk memperkuat hubungan
antara tempat tidur dan tidur dengan sebisa mungkin membatasi aktifitas
ditempat tidur hanya untuk tidur.
Biasanya seseorang mengalami insomnia disebabkan oleh kecemasan
dan stress yang dialami orang tersebut. Kecemasan, stress, atau depresi inilah
yang harus diselesaikan jika ingin masalah gangguan tidur teratasi.
Kecemasan dan stress dapat diatasi dengan menggunakan cara
tersenyum dan tertawa, cara ini berdasarkan Facial Feedback Hypotesis. Biasanya
keadaan emosi seseorang direfleksikan melalui ekspresi wajah. Keadaan emosional
yang bahagia tampak pada wajah bahagia, dan keadaan emosional yang sedih tampak
pada wajah sedih.
Ekspresi senyum mengakibatkan masalah yang dialami tidak
berlarut-larut, hidup menjadi lebih ringan, seakan-akan tidak ada beban atau
pikiran yang mengganggu (Nida, 1997). Darwin (Hodginson, 1991) adalah orang
yang pertama kali menyatakan bahwa gerakan otot zygomatis major (otot yang
dapat menarik sudut bibir ke atas sampai tulang pipi) merupakan pusat ekspresi
pengalamna emosi positif. Otot tersebut menurut Waynbaum akan menyebabkan
aliran darah ke otak meningkat, sehingga semua organ tubuh dan jaringan tubuh
menerima oksigen dan hal ini menyebabkan perasaan gembira. Ketika perasaan
gembira telah datang maka secara otomatis perasaan cemas dan stress akan
berkurang. Hal ini juga berhubungan dengan insomnia, yaitu ketika stress berkurang
atau hilang maka kemungkinan seseorang mengalami insomnia akan semakin kecil,
atau jika seseorang sudah mengalami insomnia, maka pola tidurnya akan kembali
normal.
E.
Kesimpulan
Insomnia adalah masalah gangguan tidur berupa kesulitan untuk
tidur yang biasanya disebabkan oleh kecemasan dan stress yang dialami oleh
seseorang. Selain itu banyak factor yang mempengaruhi terjadinya insomnia
diantaranya pengaruh hormonal, obat-obatan, dan kejiwaan, bisa juga karena
factor luar misalnya tekanan batin, suasana kamar tidur yang tidak nyaman,
ribut atau suasana sekitar tidak tenang, serta perubahan waktu karena harus
kerja malam. Kesukaan seseorang untuk mengkonsumsi kopi dan teh yang mengandung
zat perangsang susunan syaraf pusat, tembakau yang mengandung nikotin, obat
penurun berat badan yang mengandung amfetamin, adalah contoh bahan-bahan yang
mempengaruhi kesulitan tidur.
Kemudian beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani
masalah gangguan tidur ini dibagi menjadi dua pendekatan. Pertama adalah dengan
pendekatan biologis, adalah dengan mengkonsumsi obat-obatan anti kecemasan,
namun penggunaan obat-obatan tersebut hanya pada jangka waktu yang singkat dan
dengan dosis yang sangat rendah, karena jika dikonsumsi dengan jangka waktu
lama dan dosis yang relative tinggi akan mengakibatkan ketergantungan. Cara
lain yaitu dengan pelatihan relaksasi religius dengan memberikan instruksi
diucapkan dengan pelan dan mudah diikuti. Pelatihan relaksasi dapat memunculkan
keadaan tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat semakin lambat
akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat dan tertidur.
Kemudian pendekatan psikologis dilakukan dengan cara
kognitif-behavioral yaitu dengan melibatkan perubahan stimulus lingkungan yang
diasosiasikan yang diasosiasikan dengan tidur. Pendekatan psikologis lain yaitu
dengan cara menurunkan kecemasan dan stress melalui tersenyum dan tertawa
disaat merasa sedih, hal ini didasarkan pada Facial Feedback Hypothesis, yaitu
perubahan wajah merupakan penyebab munculnya emosi.
Daftar Pustaka
Hasanat, Ul Nida. 1997. Anda Sedang Bersedih? Cobalah
Tersenyum atau Tertawa…(Suatu Bukti dari Facial Feedback Hypotesis). Jurnal
Psikologi, bulletin Psikologi, Tahun V, Nomor 2, 0854-7108.
Nevid, Jeffrey. S. dkk. 2003. Psikologi Abnormal, Jilid 2.
Jakarta:
Erlangga.
Purwanto, Setiyo. 2007. Jurnal Psikologi: Pengaruh Religius
Untuk Mengurangi Gangguan Insomnia. Surakarta:
Fakultas Muhammadiyah Surakarta.
Zulaeka, Siti. 2007. Jurnal Psikologi: Gangguan Tidur
Insomnia. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas
muhammadiyah Surakarta.
:)
ReplyDeleteTerima kasih telah berkunjung, semoga bermanfaat. :)
Delete