Sebelum berlaku UUJN, pengawasan, perneriksaan, dan penjatuhan sanksi
terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu,
sebagaimana pernah diatur dalam Pasal 140 Reglement op de Rechtehjke
Organisatie en Het Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96 Reglement
Buitengewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen – Lembaran
Negara 1946 Nomor 135, dan Pasal 50 PJN. Kemudian Pengawasan terhadap Notaris
dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal
32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan
Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman
Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan
Diri Notaris, dan terakhir dalam Pasa 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.
Tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan amandemen tersebut telah pula merubah
Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari perubahan tersebut dibuat Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 2-nya
ditegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
ditegaskan bahwa Mahkamah Agung sebagai pelaku salah satu kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Sejak pengalihan tersebut, Notaris yang diangkat pemerintah (Menteri)
tidak tepat lagi jika pengawasannya dilakukan oleh instansi lain dalam hal ini
badan peradilan, karena Menteri sudah tidak mempunyai kewenangan apapun terhadap
badan peradilan. Kemudian tentang pengawasan terhadap Notaris yang diatur dalam
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 dicabut oleh Pasal 91 UUJN.
Setelah berlaku UUJN badan peradilan tindak lagi melakukan pengawasannya,
pemeriksaan, dan penjatuhan terhadap sanksi Notaris, tugas tersebut dilakukan
oleh Menteri Hukum dan HAM dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris.
A.
Majelis Pengawas Notaris Sebagai Instansi yang Melakukan Pengawasan,
Pemeriksaan, dan Menjatuhkan Sanksi Terhadap Notaris
Pasal 67 ayat (1) UUJN menentukan bahwa yang melakukan pengawasan
terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut
Menteri membentuk Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat [2] UUJN). Pasal 67 ayat (3)
UUJN menentukan Majelis Pengawas tersebut terdiri dari 9 (sembilan) orang,
terdiri dari unsur:
a.
Pemerintah
sebanyak 3 (tiga) orang;
b.
Organisasi
Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c.
Ahli/akademik
sebanyak 3 (tiga) orang.
Dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Menteri ditentukan pengusulan Anggota Majelis Pengawas. Pasal 3 ayat (1) menentukan
pengusulan Anggota Majelis Pengawas Daerah (MPD) dengan ketentuan:
a.
Unsur
pemerintah oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah;
b.
Unsur
organisasi Notaris oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia;
c.
Unsur
ahli/akademis oleh pemimpin fakultas hukum atau perguruan tinggi setempat.
Pasal 4 ayat (1) menentukan pengusulan Anggota Majelis Pengawas Wilayah
(MPW) dengan ketentuan:
a.
Unsur
pemerintah oleh Kepala Kantor Wilayah;
b.
Unsur
organisasi Notaris oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia;
c.
Unsur
ahli/akademis oleh pemimpin fakultas hukum atau perguruan tinggi setempat.
Pasal 5 ayat (1) menentukan pengusulan Anggota Majelis Pengawas Pusat
(MPP) dengan ketentuan:
a.
Unsur
pemerintah oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum;
b.
Unsur
organisasi Notaris oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia;
c.
Unsur
ahli/akademis oleh dekan fakultas hukum universitas yang menyelenggarakan
program magister kenotariatan.
Menurut Pasal 68 UUJN, bahwa Majelis Pengawas Notaris, terdiri atas:
a.
Majelis
Pengawas Daerah;
b.
Majelis
Pengawas Wilayah; dan
c.
Majelis
Pengawas Pusat.
Majelis Pengawas Daerah (MPD)
dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau kota (Pasal 69 ayat [1]
UUJN), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dibentuk dan berkedudukan di ibukota
propinsi (Pasal 72 ayat [11 UUJN), dan Majelis Pengawas Pusat (MPP) dibentuk dan
berkedudukan di ibukota negara (Pasal 76 ayat [1] UUJN).
Majelis Pengawas Notaris, tidak hanya melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap Notaris, tapi jugs berwenang untuk menjatuhkan sanksi
tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam
menjalankan tugas jabatan Notaris.
No comments:
Post a Comment