Kerusuhan
sanggau ledo merupakan salah satu konflik berdarah yang pernah terjadi di Indonesia
sekitar akhir tahun 1996 dan awal tahun 1997. Konflik tersebut terjadi antara
dua kelompok suku kebudayaan yang tinggal di Kalimantan
barat yaitu kelompok suku pendatang Madura dan kelompok suku asli Dayak. Sebuah sumber tidak resmi menyebutkan bahwa
korban jiwa pada kasus kerusuhan tersebut mencapai 1.720 jiwa sedangkan Pemda
Kalimantan Barat menyebut angka 400 orang.
Awal
mula kerusuhan terjadi pada awal-awal bulan September 1996. Bermula dari sebuah
pertunjukan musik dangdut yang sedang digelar di Kecamatan Ledo yaitu 20km dari
Kecamatan Sanggau Ledo. Tindakan iseng seorang pemuda suku Madura menjadi
pemicu konflik tersebut terjadi. Bahari (ada sumber lain menyebut barri’i) dan
kawan-kawannya iseng bermaksud untuk mengajak beberapa orang gadis suku Dayak
dari kecamatan yang sama untuk menonton pertunjukan musik dangdut. Bahari dan kawan-kawannya mencoba memaksa
gadis-gadis tersebut dengan menarik-narik
tangan mereka untuk menaiki kendaraan umum yang sudah harus segera
bertolak menuju Kecamatan Ledo. Ketika peristiwa tarik-menarik itu terjadi,
datanglah seorang pemuda suku Dayak bernama Yakundus Pangau dan beberapa orang
kawannya menyaksikan kejadian tersebut mencoba untuk mencegah tindakan Bahari.
Kebetulan seorang gadis yang diganggu tersebut adalah kemenakan Yakundus Pangau.
Kejadian itu diwarnai dengan adu mulut antara kedua kelompok pemuda tersebut
yang kemudian akhirnya menjadi perkelahian. Kekalahan terjadi di pihak Bahari
dan kawan-kawannya.
Pada
tanggal 29 desember 1996, seusai pertunjukan musik dangdut di kecamatan yang
sama, Yakundus Pangau dan seorang kawannya bernama Akim Epegius dicegat oleh
Bahari dan kawan-kawannya. Saat Yakundus Pangau sedang berbicara dengan Bahari,
tiba-tiba Ia dan Akim roboh bersimbah darah karena ditusuk pisau oleh Bahari dan
kawan-kawannya. Yakundus dan Ekim kemudian
dilarikan ke rumah sakit oleh warga sekitar dan peristiwa tersebut dilaporkan
ke kantor polsek Kecamatan Ledo.
Pada
tanggal 30 desember 1996, Keluarga Yakundus dan sejumlah pemuda dari Kecamatan
Sanggau Ledo mendatangi kantor polsek Kecamatan Ledo untuk menanyakan apakah Bahari
dan kawan-kawannya sudah ditangkap. Merasa tidak puas dengan jawaban polsek,
Keluarga Yakundus memberikan tenggang waktu hingga jam 12.00 siang ini untuk
menahan Bahari dan kawan-kawannya. Kemudian pada pukul 12.00 siang, sekitar 300
orang dari Kecamatan Sanggau Ledo mendatangi kantor polsek untuk memperoleh
kepastian apakah Bahari telah ditahan. Namun ternyata Bahari dan kawan-kawannya
tidak ditemukan di kantor polsek, kemudian mereka meminta polisi untuk
berunding dengan tokoh-tokoh Masyarakat Dayak dan Masyarakat Madura untuk
menemukan penyelesaian. Namun polisi, tidak memenuhi tuntutan mereka dengan
alasan kepolisianlah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun
Masyarakat Kecamatan Sanggau Ledo tidak berhenti begitu saja, akhirnya mereka
pergi ke Dusun Merabu tempat Orang-Orang Madura tinggal yang ternyata dusun
tersebut telah kosong. Orang-orang Dayak mengira mereka telah mendapatkan
perlindungan dari aparat keamanan. Mereka menjadi sangat emosional apalagi
ketika mereka mendengar berita Yakundus Pangau dan Akim Epegius meninggal
dunia. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran masyarakat Madura terhadap apa
yang disebut sebagai Perjanjian Salamantan. Perjanjian itu antara lain
menyebutkan bahwa perdamaian antara Masyarakat Suku Madura dan Suku Dayak
menyusul konflik berdarah yang terjadi di Kecamatan Salamantan tahun 1979 hanya
dapat dijamin dengan dipenuhinya janji Masyarakat Madura untuk tidak pernah lagi
melakukan pembunuhan atas Orang Dayak. Maka
terjadilah pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah Orang Madura.
Itulah
awal dari kerusuhan berdarah antara Masyarakat Suku Madura dan Suku Dayak akhir
tahun 1996 dan awal tahun 1997 yang lalu yang lebih dikenal dengan Kasus
Kerusuhan Sanggau Ledo. Konflik itu terjadi ketika, Propinsi Kalimantan Barat sedang
mengalami pembangunan perekonomian hingga berhasil menyejajarkan dengan
propinsi lain yang sudah berkembang.
Faktor-faktor yang menyebabkan konflik
kerusuhan terjadi tak hanya satu faktor saja yang menyebabkannya. adanya
perekonomian yang kurang merata, suku yang beragam dan agama turut serta dapat mengembangkan
konflik yang semula hanya kecil. Pemerintahan yang
saat itu lebih difokuskan pada satu lembaga atau satu daerah (sentralisasi)
menyebabkan keseimbangan baik dalam bidang pendapatan, maupun kesejahteraan
masyarakatnya kurang merata. Perkembangan pembangunan jaringan dan komunikasi
di Kalimantan Barat hanya berpusat pada kawasan sempit sepanjang pantai barat
Propinsi Kalimantan Barat yaitu daerah Kotamadya Pontianak, Kabupaten Pontianak
dan Kabupaten Sambas. Sehingga daerah pedalaman di Kalimantan Barat seolah-olah
kurang diperhatikan dan dipentingkan. ”Bidang-bidang basah” dalam perekonomian
seperti perdagangan dikuasai oleh etnis pendatang seperti Tionghoa dan Madura,
membuat suku asli Dayak terpinggirkan. Pada bidang politik pun dikuasai oleh orang-orang
luar atau orang-orang kepercayaan pemerintah sentral di Jakarta. Sehingga tak
memberikan peluang kepada mereka Putra Asli, sedangkan mereka Orang Dayak hanya
menggantungkan hidup mereka pada siklus perputaran pertanian ladang berpindah.
Hutan yang sebagai penghidupan mereka sehari-hari dan sebagai lahan utama untuk
melakukan pertanian ladang pun mulai dikuasai para pendatang dari luar
Kalimantan Barat. Akibatnya Orang-Orang Suku Dayak semakin teralienasi dari
peradabannya sendiri.
Selain
itu adanya stereotype antar kedua suku, juga
memperjelas mengapa kasus kerusuhan terus terjadi setelah pengalaman konflik
yang sama sebelumnya. Penelitian Huub De Jonge (1995:
7), (op.cit. : 33), menyatakan
bahwa Orang Madura merupakan kelompok ketiga terbesar di Indonesia yang
memiliki stereotype negatif paling banyak di mata suku-suku lain di Indonesia.
Stereotype tersebut biasanya mengarah pada tingkah laku mereka yang dianggap
kasar, keras, berani, kuat dan suka membunuh dengan cluritnya. Sebaliknya,
Orang Madura juga memiliki pandangan tersendiri mengenai Orang Dayak. Menurut
mereka Orang Dayak memiliki tingkah laku yang cenderung pemalas, suka mabuk,
pendengki, pengiri, dan senang melakukan pengeroyokan dengan membawa kelompok
suku mereka. Persoalan stereotype antar etnis itu tak lebih merupakan sebagai
ilusi kolektif dan konstruksi sosial yang dibangun atas dasar pengalaman
keseharian yang mereka alami. Padahal hal tersebut belum tentu kebenarannya
melainkan hanya sebagai pandangan suatu suku terhadap suku lain. Anggapan yang
telah ada tersebut sangat sulit dihapuskan, yang terkadang ujung-ujungnya
menyebabkan konflik. Banyaknya faktor yang membuat Orang-Orang Dayak
tersingkirkan menyebabkan mudahnya merasa emosional dan tersinggung apalagi
menyangkut hal-hal privasi kesukuan mereka yang menyebabkan konflik yang
semakin parah yaitu konflik kerusuhan Sanggau Ledo.
Mnarik sekali
ReplyDeleteSangat menarik
ReplyDeleteDamai selalu Indonesiaku
ReplyDeleteSaya sendiri sudah berteman dengan orang Madura dan Dayak... Alhamdulillah aman aman saja