PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konflik yang berlangsung di
berbagai daerah di Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan betapa
konflik dapat menjadi penghambat yang serius dalam pembangunan. Karena konflik,
pembangunan berhenti, mengalami krisis dan kemandegan. Kejadian ini bukan hanya
dialami Indonesia, tetapi juga di negara-negara sedang berkembang pada umumnya.
Sebagai akibat dari konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakatnya,
negara-negara sedang berkembang seperti di Afrika, asia Selatan, Asia Tenggara,
dan Amerika Latin, semakin terpuruk dan terbelakang. Masyarakat bukan hanya
dihadapkan pada konflik dan kekerasan yang teerjadi, tetapi juga harus menanggung
beban dampak konflik, seperti kemiskinan, pengangguran, keretakan sosial,
kerusakan fisik dan lingkungan alam, dan semakin memburuknya kualitas hidup
manusia serta mundurnya pembangunan manusia (human development).
Munculnya kesadaran di kalangan
akademisi dan praktisi akan hambatan-hambatan konflik dan kekerasan dalam
pembangunan agar pembangunan efektif mengatasi konflik dan mendorong perdamaian
masyarakat. Selama ini, muncul etos kerja baru di kalangan agen pembangunan dan
perdamaian untuk menjadikan proses dan program-program pembangunan bukan hanya
semata bekerja di sekitar konflik (around
conflict), atau di dalam area konflik (in
conflict), tetapi lebih jauh lagi mengarahkannya untuk mengatasi konflik
dan kekerasan di masyarakat (on conflict).
Hal itumembutuhkan pendekatandan intervensi pembanguna yang tepat. Kebijkan
pembangunan haruslah peka konflik (conflict
sensitive), bukan hanya agar kegiatan pembangunan tidak menimbulkan dampak
negatif terjadinya di massyarakat (do no
harm), tetapi juga agar memberi kontribusi
yang luas pada perdamaian (do some
goods).
Dalam paper ini akan dibahas
sedikit tentang pendekatan pembangunan yang peka konflik (conflict sensitive development) menggunakan anallisi pembangunan
dan perdamaian. Pendekatan ini dirumusskan atas dasar kajian komparatif
berbagai metode pendekatan peka konflik dan praktik pengalaman ketika
merumuskan strategi dan prioritas
pembangunan untuk perdamaian di tiga daerah kawasan Indonesia Timur; provinsi
Maluku, Maluku Utara, dan Poso-Sulawesi Tengah, pada tahun 2004/2005. Seperti
daerah-daerah pascakonflik pada umumnya, masalah utama yang dihadapi masyarakat
Indonesia adalah masih tingginya ketegangan struktural akibat belum teratasinya
akar konflik di masa lalu, dan dampak konflik yang fitimbulkan, serta masih
rentannya perdamaian. Ketegangan struktural di tengah masih rentannya
perdamaian ini menjadikan daerah pascakonlik masih sangat rentan konflik tanpa
ditopang oleh kelembagaan sosial ekonomi politik yang mapan.
Dalam situasi pascakonflik,
analisis dilakukan tidak hanya tertuju pada konflik yang terjadi, tetapi juga
untuk menemukan faktor konflik dan dampak konflik yang ada, dan pada perdamaian
yang sedang berlangsung untuk menemukan akar perdamaian, kerentanan dan
kapasitas perdamaian untuk menuju perdamaian yang berkelanjutan. Analisis ini
dilakukan selain untuk menemukan faktor konflik yang menghambat perdamaian juga
faktor-faktor perdamaian yang berkembang di masyarakat untuk mendorong
perdamaian jangka panjang.
Pembangunan merupakan upaya untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun secara
kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan baik terhadap
kehidupan sosial maupun lingkungan alam. Defenisi pembangunan menurut Johan
Galtung sangat relevan untuk membaca situasi pembangunan Indonesia sekarang.
Sejak pemerintahan Orde Baru, tepatnya kekuasaan Presiden Soeharto jatuh pada
tahun 1998, pembangunan di Indonesia boleh dikatakan sedang mengalami krisis
atau kemandegan. Sebagaimana kita tahu, di masa Orde Baru pembangunan menjadi
motor pnggerak utama modernisasi dan perubahan masyarakat. Namun, menjelang
kejatuhan pemerintahan Soeharto, pembangunan menjadi terpuruk, jatuh,
kehilangan daya kekuatan politiknya, mengalami krisis dari dalam, karena tidak
mampu memenubi aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat.
Krisis yang terjadi tersebut,
kemudian disusul dengan berkembangnya gejolak politik dan konflik sosial di
daerah-daerah di Indonesia, seperti terjadi dalam kerusuhan anti Cina di Solo,
Medan, dan Jakarta (Mei, 1998), konflik komunal di Maluku, Maluku Utara, Poso,
Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat dan Tengah (1998-2004), dan pemberontakan di
Aceh dan Papua (1970-2005), menyebabkan Indonesia terjebak dalam lingkaran
konflik dan kekerasan dan disertai kemerosotan kualitas hidup dan
keterbelakangan sosial ekonomi.
Ketidakstabilan
politik dan gejolak sosial itu terjadi bukan sesuatu yang muncul secara
tiba-tiba, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari praktik dan
kebijakan pembangunan semasa Orde Baru berkuasa. Pemerintah Orde Baru telah
menjadikan pembangunan sebagai monster kehidupan, sebagai kekuatan ekonomi yang
sentralis dan eksklusif yang menekankan pada petumbuhan dan industrialisasi
berskala besar yang hanya terkonsentrasi dan dinikmati olek sekelompok elite di
tingkat pusat. Penguasa Orde Baru dengan leluasa menggunakan kekuasaan dan
otoritas politiknya melalui kebijakan praktik KKN guna memupuk kekayaan pribadi
dan kroni-kroninya.
Indonesia
kini menghadapi tantangan serius untuk melakukan pemulihan, pembangunan
kembali, dan mendorong perdamaian yang berkelanjutan menuju terwujudnya
masyarakat Indonesia yang demokratis, sejahtera, aman, dan damai di masa depan.
Membangun Indonesia ke depan, Indonesia pascakonflik, membutuhkan penyegaran
konsepsi dan pendekatan pembangunan, belajar dari kesalahan dan kelebihan
pembangunan di masa lalu,agar ditemukan solusi kebijakan dan praktik terbaik (the best policy and practices) untuk pembangunan Indonesia ke depan.
PEMBAHASAN
A. Konsep Pembangunan sebagai Perdamaian
Pertama-tama yang harus diperhatikan
adalah mengenai konsepsi pembangunan itu sendiri. Konsepsi pembangunan menurut
Galtung yang telah dipaparkan sebelumnya bisa dijadika sebagai acuan untuk
merumuskan konsepsi mengenai pembangunan Indonesia ke depan. Konsepsi
pembangunan pada dasarnya memiliki nilai universal, komprehensif, dan holistik
baik di dalam merumuskan tujuannya maupun caranya, yang berkaitan dengan
dimensi-dimensi penting dalam kehidupan manusia. Selain itu, konsespi juga
bersifat koheren, dalam arti menekankan pentingnya kesatuan antara tujuan (goals) dan cara (means) yang digunakan.
Pembangunan sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak asasi manusia harus dilakukan dengan
cara-cara sedemikian rupa, sehingga tidak merusak kehidupan dan tidak
menimbulkan dampak negatif pada kehidupan sosial dan kerusakan lingkungan alam.
Salah satu pendekatan yang akan dibahas guna menangani konflik adalah dengan
pendekatan pembangunan sebagai perdamaian, dimana pendekatan ni merupakan
sarana pembebas manusia dari berbagai bentuk kekerasan, baik struktural,
kulturral, maupun personal untuk mewujudkan perdamaian masyarakat.
Pendekatan pembangunan sebagai
perdamaian adalah pembangunan yang bertumpu pada perdamaian sebagai sarana
untuk mengatasi sumber-sumber konflik dan akar-akar kekerasan di masyarakat.
Pendekatan ini mengarahkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran
melalui pemenuhan kebutuhan dan hak-hakn dasar dalam hidup warga negara,
sebagai sasaran utama pembangunan. Pembangunan Indosesia ke depan, Indonesia
pascakonflik, perlu diarahkan agar dapat mencapai tujuan tersebut guna memenuhi
kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidupserta untuk mengatasi konflik dan
mendorong perdamaian berkelanjutan di Indonesia.
Pendekatan pembangunan sebagai
perdamaian dilandasi oleh cara pandang
holistik dan universal dalam merumuskan
kebutuhan hidup manusia. Pembangunan disini dimaknai sebagai tujuan dan sarana
untuk meningkatkan kapasitan manusai dalam menetukan pilihan-pilihan dalam
hidup yang penuh makna sehingga manusia terbebas dari segala bentuk kekerasan,
baik struktural maupun kultural, seperti kemiskinan, tekanan politik,
ketidakamanan dan keterasingan budaya yang menghambat kapasitas manusia untuk
berkembang secara optimal.
Pembangunan dalam hal ini juga
diarahkan untuk realisasi potensi-potensi sumberdaya manusia secara optimal,
berpijak pada pemenuhankebutuhan dan hak-hak dsar dalam hidup yang harus
dipenuhi untuk hidup layak sebagai manusia, agar terbebas dari segala bentuk
kekerasan melalui terpenuhinya empat jenis kebutuhan dan hak0hak dasar dalam
hidup, yaitu :
1. Kesejahteraan
2. Kebebasan
3. Keamanan,
dan
4. Identitas
budaya
Perdamaian (peace) tidak haru diartikan secara
sempit sebagai resolusi konflik sebagaimana yang dipahami orang selama ini.
Tetapi, lebih Dari itu, perdamaian merupakan prakarsa dan upaya kreatif
manusia, termasuk kreativitas dalam praktik dan kebijakan pembangunan untuk
mengatasi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan, baik langsung maupun tidak
langsung, struktural, kultural maupun personal di masyarakat.
Pembangunan sebagai perdamaian
menjadikan ketersediaan dan keterpenuhinya keempat kebutuhan dasar tersebut
sebagai prasyarat penting terwujudnya perdamaian di mastarakat. Keempatnya
bukan hanya sebagai kebutuhan dasar, tetapi sebagai hak-hak asasi dalam hidup
yang harus dipenuhi baik oleh negara, masyarakat, maupun individual.
B.
Kesatuan
Tujuan dan Cara Pembangunan sebagai Perdamaian
Pendekatan pembangunan sebagai
perdamaian menekankan pentingnya cara (means)
untuk mencapai tujuan (goals).
Pendekatan ini pada dasarnya diarahkan oleh dua kekuatan pengeerak utama, yaitu
oleh nalar atau rasionalitas tujuan dan nalar atau rasionalitas cara dari
prinsip dan nilai perdamaian. Nalar bertujuan
mengarahkan pembangunan untuk mencapai kehidupan lebih berarti, lebih
bernilan, dan lebih bermakna.
Menempatkan pembangunan sebagai
upaya untuk menciptakan kehidupan yang damai, mendorong keberlanjutan hidup
manusia, memenuhi kebutuhan dan hak-hak
dasar dalam hidup agar kehidupan manusia lebih manusiawi, terbebas dari segala
bentuk penderitaan dan kekerasan dalam hidup, itu semua merupakan bentuk tujuan
pembangunan. Tujuan ini dilandasi oleh prinsip dan nilai perdamaian, sebagai
penggerak utama pembangunan dari sisi
nalar atau rasionalitas tujuan.
Di sisi lain penekatan
pembangunan melalui perdamaian juga diarahkan oleh bekerjanya nalar cara, yaitu
berkaitan dengan soal pilihan-pilihan cara atau strategi terbaik diantara
sekian banyak pilihan dan strategi-strategi yang tersedia, untuk mencapai
kehidupan lebih berarti, memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidup yang
diarahkan untuk mewujudkan perdamaian.
Pilihan atas cara cara atau
strategi terbaik ini diarahkan oleh prinsip-prinsip sarana mencapai tujuan dari
perdamaian, yaitu agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kekerasan dan
kerusakan di masyarakat. Sebagaimana kita hadapi dalam praktiknya terdapat
banyak pilihan strategi atau cara untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasar
manusia. Tetapi tidak semua strategi dan cara-cara yang tersedia bisa
menghantar kita sampai ke tujuan yang ingi dicapai.
Koherensi antara cara (means) dan tujuan (goals) dalam proses pembangunan harus selalu dijaga dalam praktik
dan kebijakan pembangunan. Pendekatan pembangunan sebagai perdamaian,
sebagaimana dipraktekkan oleh pembangunan ala Gandhian sangat menjunjung tinggi
prinsip kesatuan dalam hidup (unity of
life), kesatuan antara teori dan praksis, kesatuan antara tujuan dan cara
(unity of means and ends), dalam kebijakan dan praktik pembangunan.
Selain sebagai cara pandang,
pendekatan atau perspektif, disini pendekatan pembangunan sebagai perdamaian
juga merupakan praksis politik pembebasan, berupaya membebaskan manusia dari
segala bentuk kekerasan. Koherensi tujuan dan cara, teori dan praksis ini
penting untuk dijaga koherensinya, selain itu juga untuk mencegah agar
kebijakan pembangunan tidak menimbulkan dampak negatif karena terjadinya
konflik dan kekerasan di masyarakat, dan juga untuk mendorong agar pembangunan
yang ada memberi kontribusi yang luas pada perdamaian.
C.
Pendekatan
Rekonsiliatif dan Transformatif
Berdasarkan pengalaman di
berbagai negara, dalam tahapan pascakonflik, konflik terpendam (latent conflict) dapat kembali muncul ke
permukaan dan perdamaian yang masih rentan dapat berubah menjadi kekerasan. Hal
itu terjadi terutama ketika ketegangan struktural belum bisa diatasi oleh
kelembagaan ekonomi dan politik yang ada, negara dan institusi bisnis dan
organisasi masyarakat sipil yang ada.
Membangun perdamaian di daerah
pascakonflik, membutuhkan strategi dan pendekatan tersendiri, misalnya dengan
perspektif trasformasi konflik dan rekonsiliasi jangka panjang. Bukan hanya
melakukan respons sesaat atas konflik yang terjadi, tetapi juga merumuskan dan
membangun strategi pembanggunan perdamaian ke depan untuk mengatasi
kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, dan rekonstruksi komunitas yang telah
hancur akibat konflik menuju perdamaian berkelanjutan dan berkeadilan.
Pendekatan rekonsiliatif dan
transformatif, sebagaimana ditekankan oleh Lederach, setidaknya harus mampu
menjawab empat persoalan, yaitu kebenaran, keadilan, pengampunan, dan
perdamaian dalam konteks konflik dengan cara pandang refleksif, yaitu menengok
masa lalu menatap masa kini dan memandang ke depan.
Pendekatan kedua dengan cara
transformasi konflik, yaitu dengan cara bagaimana kapasitas kita untuk
mengatasi konflik dan kapasitas kita untuk membangun perdamaian. Selain
membutuhkan pemahaman yang baik terhadap sifat-sifat konflik, juga perlu
memperkaya pengetahuan kita tentang sifat-sifat perdamaian. Menghadapi daerah
yang tidak stabil, dengan potensi
konflik terpendam dan perdamaian rentan membutuhkan analisis konflik dan
analilis perdamaian secara simultan. Seperti kita tahu, konflik dan perdamaian
merupakan dua hal yang berbeda, konflik bukan semata keadaan tanpa perdamaian
atau sebaliknya, perdamaian bukan semata keadaan tanpa konflik.
Persoalan lain yang perlu
diperhatikan adalah soal pendekatan pembangunan apa yang cocok dengan situasi
yang ada, bisa mengatasi konflik dan dampak konflik, sekaligus memberi
kontribusi yang luas pada perdamaian.
Pendekatan rekonsiliatif dan
transformatif ini membutuhkan proses dan fasilitasi yang khhusus. Pembangunan untuk
perdamaian harus dilakukan dengan metode yang bersifat parsipatoris, inklusif,
mengakomodasi dan melibatkan berbagai pemangku (stakeholders) dan kelompok strategis di masyarakat sedemikian rupa
dalam mewakili berbagai kepentingan yang ada, bukan hanya dari komunitas etnis
agama yang berbeda-beda, tetapi juga dari kalangan pemerintah dan berbagai
komponen masyarakat sipil.
Dalam proses dan metodologi
fasilitasi yang digunakan berbeda dengan proses dan metodologi resolusi dalam
arti konvensional. Analisis konflik, khususnya analisis stakeholders harus dijalankan secara hati-hati dengan
mengkombinasikannya dengan analisis perdamaian menjadi analisis hambatan
perdamaian. Analisis hambatan perdamaian ini esensinya adalah analisi konflik
tetapi dilihat dari sisi lain, yaitu sisi visi dan prospeknya bagi perdamaian
ke depan. Dengan pendekatan ini, masyarakat akan diajak secara realistis untuk
mengatasi konflik di masa lalu, tetapi secara prospektif mengajak mereka juga
untuk menemukan perdamaian untuk masa yang akan datang. Dengan kata lain,
metode ini bersifat refleksif sekaligus transformatif, di satu sisi kita
meengatasi akar masalah konflik di masa lalu, di sisi lain kita juga bbisa
merumuskan defining dan memiliki visi
(visioning) perdamaian untuk massa
depan.
Sebenarnya selama konflik
berlangsung, berbagai upaya perdamaian telah dilakukan, baik oleh pemerintah,
LSM, maupun agen pembangunan internasional untuk mengatasi konflik. Mereka
terlibat mulai dari intervensi kemanusiaan, diplimasi pencegahan konflik,
pemberdayaan kapasitas lokal untuk perdamaian, rekonsiliasi, dialog dan
sebagainya.
Daerah pascakonflik di satu
sisi harus menghadapi masalah konflik dalam dua jenis masalah utama, yaitu akar
konflik di masa lalu yang masih belum terselesaikan dan pendorong konflik
akibat perubahan yang terjadi di kemudian hari, serta dampak konflik pada
masyarakat. Di sisi lain, daerah ini juga menyimpan potensi lebih lanjut, yaitu
akar perdamaian berupa sistem nilai perdamaian yang ada, kapasitas lokal untuk
perdamaian yang berupa mekanisme dan institusi perdamaian yang masih bekerja.
Selain itu juga, kita perlu
mengkaji respos pembangunan perdamaian yang ada dengan menggunakan proses
pembelajaran perdamaian untuk menemukan kapasitas dan kerentanan perdamaian.
Berbagai agen pembangunan bekerja menggunakan strategi dan pendekatan yang
berbeda-beda.
Dari sini kesenjangan dari
berbagai upaya perdamaian perlu ditemukan untuk merumuskan agenda perdamaian ke
depan. Tiga jenis kesenjangan yang bisa diidentifikasi, yaitu :
1. Kesenjangan
koordinasi antar aktor atau agen (coordination
agen)
2. Kesenjangan
antara uupaya jangka pendek dan jangka panjang dalam kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan di masa depan (justice gaps)
3. Kesenjangan
implementasi (implementation gaps),
yaitu kesenjangan anatr kesepakatan damai yang dicapai denagn implementasinya
du lapangan.
Dari analisis kedua faktor
tersebut, faktor konflik dan faktor perdamaian dapat merumuskan pencegahan dan
transformasi konflik dengan menggunakan kebijakan dan intervensi pembangunan.
Metode analisis pembangunan dan perdamaian (peace
and development analisis/PDA)
bisa dipakai untuk menangkap dinamika konflik dan perdamaian di daerah
pascakonflik. Mengkombinasikan berbagai metode, seperti early warning, analisis dampak konflik dan perdamaian (peace and conflict impacts assesment),
dan pendeekatan pembangunan sensitif konflik (conflict sensitive development approach). Dari tiga macam analisis
tersebut, ada beberapa faktor yang harus dilakukan :
1. Analisis
situasi konfli dan perdamaian terkini
2. Analisis
respons pembangunan, dan
3. Analiisis
kebijakan sensitif konflik
KESIMPULAN
Pembangunan Indonesia ke depan pascakonflik,
harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, selain itu
juga agar manusia terhindar dari berbagai bentuk kekerasan, seperti kemiskinan,
represi, ketidakamanan dan alienasi, serta untuk mendorong agar pembangunan
dapat memberi kontribusi yang luas pada perdamaian masyarakat. Kelangkaan atau
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia untuk mendapatkan kesejahteraan,
kebebasan, keamanan dan pengembangan identitas struktural akan mendorong
munculnya berbagai bentuk kekerasan yang akan mengancam kelangsungan hidup
manusia.
Praktik dan pengalaman
pembangunan di Indonesia selama Orde Baru telah gagal dalam memenuhi kebutuhan
dasar, sehingga muncul berbagai bentuk kekerasan dan gejolak konflik di
masyarakat. Pembangunan selama ini telah menciptakan kemiskinan struktural, kesenjangan
ekonomi, menimbulkan eksklusi sosial, marginalisasi kelompok dan menciptakan
ketidakstabilan politik di berbagai daerah di Indonesia. Belajar dari
pengalaman pembanguna di masa lalu, pembangunan Indonesia ke depan perlu
diarahkan untuk mengatasi persoalan ini dengan menempatkan pembangunan sebagai
perdamaian. Dalam hal ini, kebijakan pembangunan haruslah selalu peka pada
konflik dan promotif perdamaian agar pembangunan yang ada tidak menimbulkan
konflik, dan sebaliknya akan memberikan kontribusi yang luas pada perdamaian
masyarakat.
Pembangunan sebagai perdamaian
didasarkan pada rumusan holistik dan universal tentang kebutuhan hidup manusi
sebagai dasar pijakan untuk menentukan tujuan pembangunan, serta menjaga
koherensi antara tujuan (goals) dan cara
(means) dalam praktik kebijakan agar
terhindar dari dampak egatif yang mungkin muncul sehinngga menimbulkan konflik
dan kekerasan. Pembangunan sebagai perdamaian selain diarahkan oleh nalar atau
rasionalitas tujuan, juga oleh nalar atau rasionalitas cara untuk menentukan
pilihan-pilihan strategi dan kebijakan terbaik dalam mewujudkan perdamaian
masyarakat.
Pendekatan pembangunan sebagai
perdamaian menempatkan pemenuhan kebutuhan dasar maanusia sebagai kebutuhan
dasar sekaligus hak-hak asasi manusia (basic
needs as basic human rights)
untuk membebaskan manusia dari segala bentuk kekerasan, baik struktural,
kultural maupun personal, langsung maupun tidak langsung. Konsepsi dan
pendekatan pembangunan ini sangat penting untuk realisasi pemenuhan kebutuhan dasar
dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan damai ke depannya. Pengakuan dan
pemenuhan kebutuhan dasar sebagai hak asasi manusai dalam praktik dan kebijakan
pembangunan akan membebaskan warga negara dari berbagai bentuk kekerasan, baik
langsung maupun tidak langsung, struktural, kultural, maupun personal.
Menangani situasi konflik
demikian bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah. Selain perlu melakukan analisis
konflik yang tepat, juga perlu analisis perdamaian yang memadai. Penanganan
konflik di daerah haruslah sensitif terhadap perkembangan perdamaian terkini
dengan melakukan assesment terhadap banyak dampak konflik dan perdamaian yang
ada.
Bekerja untuk perdamaian di
daerah pascakonflik membutuhkan pendekatan tersendiri. Pendekatan transformasi
dan rekonsiliasi konflik akan membantu kita bukan hanya dalam mengatasi masalah
konflik di masa lalu, tetapi juga merumuskan agenda perdamaian ke depan. Hal
itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada konflik dan sejarah konflik di
masa lalu, tetapi juga memberi prospek pada perdamaian ke depan.
Pencarian akar perdamaian dan
proses menuju perdamaian berkelanjutan merupakan nilai dasar yang harus
mendasari upaya ini. Sebagaimana upaya PDA, yang merupakan proses yang mampu
membangun konsensus diantara berbagai pihak mengenai strategi dan prioritas
pembangunan ke depan di daerah ini. Konsensus demikian ini penting dibangun di
setiap lini dan tingkat kehidupan masyarakat mulai dari tingkat lapis bawah,
desa, kecamatan, kabupaten, atau lapis atas masyarakat. Dengan mendialogkan
berbagai isu berkaitan dengan visi perdamaian ke depan, hambatan perdamaian,
membangun skenario ke depan dan langkah pencegahan serta transformasi konflik
melalui berbagai upaya pembangunan tidak hanya akan mencegah konflik yang
muncul ke permukaan, tetapi juga mendorong keberlanjutan perdamaian.
DAFTAR
PUSTAKA
Nugroho, Riant. 2000,
otonomi Daerah : Desentralisasi Tanpa Revolusi, Gramendia, Jakarta.
Safi’i.
2007, Strategi dan Kebijakan Pembangunan
Ekonomi Daerah, Averroes Press, Malang.
Trijono,
Lambang. 2007, Pembangunan Sebagai
Perdamaian, Yayasan Obor Indonesia Lembaga Padii (Peace and Development Initiatives Indonesia), Yogyakarta.
izin mengambil.......
ReplyDeletesila kan...
Delete