PENDAHULUAN
Desentralisasi telah menjadi topik atau issue yang populer di Indonesia terutama sejak pemerintah Indonesia memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Keseriusan pemerintah Indonesia diwujudkan dengan dihasilkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004. Esensi kebijakan otonomi daerah yang bergulir dewasa ini telah menempatkan Kabupaten dan Kota sebagai titik berat otonomi, nampaknya telah membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan pengelolaan pemerintahan di daerah. Hal tersebut membawa angin baru bagi perkembangan pembangunan daerah di Indonesia, yang tentunya juga diharapkan berimplikasi kepada peningkatan pelayan, perbaikan kesejahteraan dan jaminan hidup yang lebih baik kepada masyarakat dibandingkan dengan masa lalu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo (2002), bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah Kabupaten dan kota dilaksanakan dengan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sejalan dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan didaerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah atau PAD (Sidik, 2002). Oleh karenanya penyelenggaraan otonomi daerah akan lebih berdaya guna dan berhasil guna, manakala dibarengi dengan kemampuan yang kuat dari daerah dalam mengembangkan atau meningkatkan potensi sumber-sumber keuangan secara optimal. Hal itu berarti, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegitan opersional rumah tangganya.
Mengingat tidak semua sumber pembiayaan diberikan kepada daerah, maka daerah diwajibkan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Mamesah, 1995). Hal yang senada dikemukakan oleh Rasyid (2002) bahwa untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus mempunyai keuangan sendiri, sehingga tidak selalu tergantung pada sumber-sumber dari pemerintah pusat.
Persoalan keuangan daerah merupakan suatu hal yang sangat potensi dan sentral bagi setiap daerah. Potensi karena segenap aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah amat ditentukan atas factor keuangan ini. Sentral karena bisa mempengaruhi bidang-bidang yang lain. Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dalam rangka memberikan pelayanan dan pembangunan kepada masyarakat secara efisien dan efektif tanpa tersedianya dana yang memadai.
Untuk itu, pemerintah daerah berupaya semaksimal mungkin dalam mengembangkan atau meningkatkan potensi sumber-sumber keuangan daerah yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, seperti yang tercantum dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan indikator penting untuk menilai tingkat kemandirian pemerintah daerah di bidang keuangan. Semakin tinggi peran Pendapatan Asli Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), mencerminkan keberhasilan usaha atau tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan dan penyelenggaraan pembangunan serta pemerintah. Dengan meningkatnya PAD, akan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat. Selain itu pemerintah daerah akan lebih leluasa membelanjakan penerimaannya sesuai dengan prioritas pembangunan yang sedang dilaksanakan di daerahnya.
Dalam pasal 6 UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, disebutkan bahwa PAD berasal dari beberapa sumber yaitu pajak daerah ; retribusi daerah ; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah.
Dari sumber-sumber pendapatan asli daerah tadi, yang paling dominan memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PAD adalah pendapatan yang berasal dari hasil pajak daerah. Dijelaskan oleh Kurniawan (2004), pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Menurut pasal 2 UU Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, disebutkan bahwa jenis pajak propinsi terdiri dari 4 (empat) jenis pajak, antara lain : pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air; Bea Balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; Pajak bahan bakar kendaraan bermotor; serta pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Ketentuan pelaksanaan dari pajak daerah selanjutnya diatur melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah.
Dari berbagai pajak daerah diatas, pajak kendaraan bermotor (PKB) merupakan salah satu primadona dalam membiayai pembangunan daerah propinsi. Karena kontribusi di sektor PKB bagi PAD pada tahun 2005 sebesar sebesar Rp. 1.167.373.343.614 (25,3 %) dari realisasi PAD sebesar Rp. 4.611.233.578.173. Maka dari itu, penerimaan dari sektor PKB perlu adanya pengoptimalan melalui upaya intensifikasi maupun dari berbagai upaya yang mampu meningkatkan jumlah pendapatan dari sektor ini, salah satunya adalah dengan menekan seminimal mungkin tunggakan pajak kendaraan bermotor.
Menurut Kurniawan (2004), dijelaskan bahwa tunggakan pajak atau dikenal dengan pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Sedangakan tunggakan pajak kendaraan bermotor adalah pajak yang harus dibayar oleh pemilik kendaraan bermotor beroda dua atau lebih beserta gandengannya dalam tahun pajak, menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur Surabaya I atau yang biasa disebut dengan UPTD Surabaya I pada tahun 2005 merupakan pemberi kontribusi terbesar disektor pajak kendaraan bermotor bagi PAD yaitu Rp. 144 Milyar atau 12,3 %. Namun demikian permasalahan tunggakan PKB tetap menjadi fokus perhatian dari UPTD Surabaya I, ini dikarenakan tunggakan pajak kendaraan bermotor setiap tahunnya terus meningkat, seperti yang terdapat pada tabel dibawah ini
Tabel 1
Tunggakan PKB Tahun 2003-2005 di UPTD Surabaya I
No. Tahun Penerimaan PKB Tunggakan PKB Prosentase ( % )
1. 2003 87.295.278.050 1.003.266.800 1,15
2. 2004 120.752.377.588 1.711.029.300 1,42
3. 2005 149.582.106.772 4.793.982.300 3,21
Sumber : Kantor UPTD Surabaya I, Tahun 2006.
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa tunggakan pajak kendaraan bermotor dari tahun ketahun jumlahnya meningkat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I, tunggakan pajak kendaraan bermotor tersebut terjadi karena berbagai faktor diantaranya : (1) Faktor lingkungan sebesar 80,72 % yang terdiri dari krisis ekonomi, kendaraan bermotor pindah alamat, kendaraan bermotor telah dijual, kendaraan bermotor berada diluar kota, kesulitan persyaratan membayar pajak,, kendaraan bermotor hilang, kendaraan bermotor rusak; (2) Faktor manusia sebesar 9,34 % seperti misalnya terbatasnya operasional dinas luar; (3) Faktor Metode sebesar 4,77 % seperti misalnya sosialisasi kurang optimal; (4) Faktor material sebesar 2,88 % seperti misalnya pemanfaatan kendaraan operasional belum optimal; dan (5) faktor Mesin sebesar 2,29 % seperti misalnya karena ganguan komputer.
Dilihat dari data tersebut bahwa masih belum optimalnya kinerja UPTD Surabaya I terhadap pemungutan pajak kendaraan bermotor. Untuk itu, sangat diperlukan adanya upaya guna mengatasi tunggakan pajak kendaraan bermotor tersebut yang jumlahnya terus meningkat. Mengingat penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor sangat diandalkan untuk menunjang Pendapatan Asli Daerah maka perlu kiranya pemungutan sumber penerimaan tersebut dioptimalkan.
Bertitik tolak dari fenomena tersebut diatas, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana strategi peningkatan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I ?
b. Faktor apa yang menjadi kendala dan upaya mengatasi kendala dalam meningkatkan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif, yang mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Hal ini selaras dengan pendapat Nazir (1988) bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Penlitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Timur Surabaya I dalam meningkatkan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor.
Fokus penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Strategi meningkatkan penerimaan PKB, merupakan suatu cara atau upaya untuk memperbesar penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I, meliputi : Pengetatan sanksi Pajak Kendaraan Bermotor dan Perbaikan Sistem Administrasi Perpajakan.
b. Faktor-faktor kendala dan upaya mengatasi kendala yang terjadi dalam meningkatkan penerimaan PKB.
Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur Surabaya I (UPTD Surabaya I) didasarkan pada pertimbangan bahwa :
a. UPTD Surabaya I merupakan pemberi kontribusi yang terbesar bagi PAD disektor pajak kendaraan bermotor di Jawa Timur.
Adanya peningkatan tunggakan pajak kendaraan bermotor pada setiap tahunnya.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : wawancara, observasi dan dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data interaktif, yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Model ini menggunakan komponen analisis yang terdiri dari : pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Dalam penelitian kualitatif pemeriksaan terhadap keabsahan data perlu dilakukan. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 1999), untuk menjamin keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan didasarkan atas sifat kriteria yang digunakan yaitu : derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability) kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Strategi Meningkatkan Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor.
Pajak kendaraan bermotor merupakan salah satu primadona bagi pembiayaan pembangunan di daerah. Pajak Kendaraan Bermotor merupakan pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial, yang pemungutannya diatur berdasarkan Perda No. 13 tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Dijelaskan pula, bahwa bahwa semua orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor wajib membayar pajak dengan nama Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dipungut di Wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor didaftarkan.
Mengingat penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sangat diandalkan untuk menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka perlu kiranya pemungutan sumber penerimaan tersebut dioptimalkan. Strategi yang dilakukan UPTD Surabaya I untuk meningkatkan penerimaan PKB, adalah sebagai berikut :
a) Pengetatan sanksi
Pengetatan sanksi merupakan salah satu upaya penerapan hukum yang tegas dan adil terhadap masyarakat, agar mereka memenuhi peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Dasar dari pengetatan sang sanksi yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I didasarkan pada Perda No. 13 tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor yang diatur dalam pasal 15 ayat 5 yang mengatur tentang pengetatan sanksi dan sebagai upaya menyadarkan masyarakat untuk membayar PKB secara tepat waktu guna mencapai target penerimaan PKB.
Dalam pelaksanaan pengetatan sanksi di UPTD Surabaya I betul-betul sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan dikenakan pada semua wajib pajak tanpa pandang bulu. Dari jumlah Obyek PKB di UPTD Surabaya I selama bulan Januari – Agustus tahun 2006 yang berjumlah 363.297, terdapat tunggakan obyek pajak sejumlah 12.653. Adapun jumlah nilai tunggakan pajak kedaraan bermotor sebesar Rp 1.752.129.600.
Sedangkan bentuk sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak berupa sanksi administrasi dengan kenaikan sebesar 25% dan ditambah dengan bunga sebesar 2 %. Hal itu tercantum dalam Perda No. 13 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor, Bab VI Pasal 15.
Tujuan pengetatan sanksi sebagai upaya menyadarkan masyarakat untuk membayar PKB secara tepat waktu guna mencapai target penerimaan PKB.
Menurut Nurmantu (2005) sebagai hukum publik, hukum pajak memuat ketentuan tentang sanksi perpajakan baik sanksi yang bersifat administratif maupun sanksi yang berupa pidana. Secara filosofis, sanksi diberikan untuk salah satu atau gabungan tujuan-tujuan yakni sebagai hukuman atau sebagai balas dendam (Retribution), sebagai efek (deterrence), sebagai pengasingan dari masyarakat (incapacitation) dan sebagai rehabilitasi (rehabilitation).
Selanjutnya, Nurmantu (2005) mengatakan sanksi perpajakan diharapkan akan memberikan efek atau pengaruh, baik kepada wajib pajak yang telah melalaikan kewajiban perpajakannya maupun kepada wajib pajak lain yang belum melakukan tindakan yang dapat diancam dengan sanksi perpajakan.
Adanya pengetatan sanksi sangat erat kaitannya dengan kepatuhan wajib pajak. Dalam melakukan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakannya, manusia mempunyai keterbatasan rasional dan berperilaku oportunistik yang melatarbelakangi keputusan untuk patuh atau tidak dalam menjalankan kewajiban perpajakan. Perilaku rasionalitas adalah perilaku ekonomis yang dapat didekati dengan teori ekonomi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Brooks (2001) bahwa pendekatan teori ekonomi didasarkan pada prinsip perilaku rasionalitas. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa berdasarkan prinsip rasionalitas, individu akan memaksimalkan keuntungan dengan biaya sedikit mungkin. Konsekuensinya model ekonomi melakukan pendekatan permasalahan penghindaran pajak berdasarkan prefensi ekonomis pilihan individu untuk menghindari pajak. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengantisipasi penghindaran pajak perlu dipikirkan kebijakan mengenai struktur penalti dan probabilitas untuk menangkap penghindaran pajak dan pemberian sanksi.
Menurut Mardiasmo (2003), agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : Pemungutan pajak harus adil (Syarat keadilan); Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat yuridis); Tidak mengganggu perekonomian (Syarat ekonomis); Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) serta ; Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
b) Perbaikan Sistem Administrasi Perpajakan
Administrasi perpajakan dituntut untuk mampu memenuhi target penerimaan pajak yang berkelanjutan dan tuntutan reformasi yang berkembang pada masyarakat. Disamping itu administrasi perpajakan diharapakan mampu mengatasi turbulensi permasalahan yang dihadapi untuk mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Artinya, bahwa administrasi perpajakan memainkan peranan yang penting didalam menentukan sistem perpajakan yang efektif.
Permasalahan dalam sistem administrasi perpajakan di negara berkembang pada umumnya adalah prosedur yang ketinggalan jaman dan masalah sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan dalam sistem administrasi perpajakan. Menurut Nasucha (2004), persyaratan penting bagi perbaikan administrasi perpajakan ialah penyederhanaan sistem administrasi perpajakan, strategi dan komitmen.
Dengan adanya perbaikan sistem administrasi perpajakan yang lebih sederhana, diharapkan administrasi perpajakan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi terkendali, sederhana dan mudah dipahami baik oleh masyarakat maupun aparat pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keberhasilan dalam penerimaan pajakan daerah sangat ditunjang oleh pelaksanaan administrasi perpajakan daerah yang baik dan efisien. Perbaikan sistem perpajakan terkait dengan prosedur pendaftaran dan penetapan serta penagihan.
Upaya perbaikan dalam prosedur pendaftaran dan penetapan yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I telah mengarah pada hal yang positif. Hal ini dibuktikan dengan melakukan pembenahan dalam segala bidang yang termasuk di dalamnya adalah kecepatan dalam waktu pendaftaran dan penetapan, penyederhanaan loket, penggunaan teknologi informasi seperti pemanfaatan komputer dalam proses pelayanan dan pengembangan sistem dan prosedur pemungutan dan pembayaran seperti informasi tentang pajak kendaraan bermotor lewat SMS.
Kesederhanaan dalam pendaftaran dan penetapan merupakan salah satu bagian dari perbaikan sistem administrasi perpajakan. Menurut Nasucha (2004), kepatuhan wajib pajak dapat ditingkatkan melalui peningkatan administrasi perpajakan. Kepastian, kemudahan dan ekonomis yang dicerminkan melalui prosedur yang tidak berbelit-belit sangat erat kaitannya dengan administrasi perpajakan.
Administrasi perpajakan bisa menjadi efisien bila biaya pengumpulan pajaknya sangat rendah. Tujuan dari perbaikan administrasi perpajakan menurut Ott (2001), salah satunya adalah untuk meningkatkan kualitas prosedur yang tujuan akhirnya adalah memberikan kemudahan prosedur kepada wajib pajak sehingga akan tercipta kepatuhan suka rela.
Isu sentral atas keberhasilan reformasi administrasi perpajakan kedepan adalah kapasitas administrasi perpajakan dalam implementasinya secara sefisien dan efektif. Hal ini meliputi penembangan sumber daya manusia, teknologi informasi, struktur organisasi, proses dan prosedur serta sumber daya finansial dan insentif yang mencukupi.
Strategi-strategi yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I dalam perbaikan sistem administrasi pajaknya ternyata kurang diberengi dengan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajaknya. Dalam pelaksanaan dilapangan, ternyata masih banyak juga wajib pajak yang menunggak sehingga memerlukan tindakan penagihan.
Penagihan wajib pajak termasuk bagian dari administrasi pajak. Pelaksanaan sistem penagihan pajak kendaraan bermotor di UPTD Surabaya I, dilakukan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambah (SKPDKBT) dan Surat Paksa yang dikirim langsung oleh pegawai UPTD Surabaya I ke alamat wajib pajak. Hal ini didasarkan pada Perda No. 13 tahun 2001 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor Bab VII Pasal 19 ayat 1.
Walaupun sudah ada landasan yuridisnya, masih banyak wajib pajak yang tidak membayar membayar pajak tepat pada waktunya. Menurut Prakosa (2005) tindakan penagihan utang pajak dapat dilakukan dengan 2 langkah :
Penagihan secara pasif, pada umumnya dilakukan dengan penyerahan Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT) dan Surat Tagihan Pajak (SPT) dan terakhir menggunakan Surat Tegoran.
1. Penagihan secara aktif, yaitu penagihan dengan menggunakan Surat Paksa dan dilanjutkan dengan tindakan sita.
Adapun dasar dari penagihan yaitu kepala daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutang pajak. Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan
2. Kendala dan Upaya Mengatasi
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam melaksanakan strategi untuk meningkatkan penerimaan pajak kendaraan bermotor di UPTD Surabaya I adalah : 1. Sanksi hukum yang kurang tegas bagi para wajib pajak; 2. Kualitas Sumber Daya Manusia yang kurang dan keterbatasan tenaga operasional.
Brooks (2001), menggambarkan bahwa kesulitan dalam pemenuhan kepatuhan perpajakan karena terdapat perbedaaan penting antara hukum pajak dengan hukum yang lain, yaitu untuk dapat mematuhi hukum pajak penduduk harus berhadapat dengan kompleksitas aturan dan bahkan serangkaian aktivitas yang membutuhkan biaya tinggi. Untuk itu kebijakan harus memilih diantara dua alasan utama, yaitu penerapan keadilan yang dapat menyebabkan peraturan perpajakan yang kompleks atau mengurangi biaya kepatuhan dengan penyederhanaan peraturan dan prosedur.
Menurut Prakosa (2005) tindakan pidana, memutuskan pelayanan atau menyita kekayaan biasanya merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan pembayaran. Namun, kadang-kadang beberapa tindakan tersebut seringkali tidak dilaksanakan. Akibatnya tindakan perdata seringkalli merupakan satu-satunya sanksi hukum yang dilakukan tetapi seringkali juga tidak efektif. Prosedur yang berbellit-belit dan kurang perhatian pengadilan terhadap masalah pelanggaran pajak daerah ini, kadang merupakan penyumbang ketidak efektifan sanksi hukum diterapkan. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka UPTD Surabaya I perlu melakukan upaya-upaya yaitu : penegakan hukum yang tegas; tindakan pidana menyangkut harta kekayaan melalui penahanan dan hukuman penjara serta penyitaan dan penjualan langsung atas kekayaan.
Kualitas sumber daya manusia aparatur pajak yang kurang merata dan terbatasnya tenaga operasional, juga menjadi kendala kelancaran dalam pemberian pelayanan kepada para wajib pajak.
Sementara itu, Bahl dan Vazquez dalam Nasucha (2004) mengemukakan bahwa kelemahan sistem perpajakan yang umumnya terjadi biasanya ditandai dengan prosedur yang sudah usang, pegawai yang dibayar rendah, pegawai yang kurang terlatih, sitem perpajakan yang terlalu kompleks sehingga sulit untuk mencapai efisiensi administrasi dengan sumber daya yang tersedia sangat minim bagi kantor pelayanan pajak, keengganan pemerintah untuk menegakkan sistem yang ada dan cenderung hanya menunggu terjadinya krisis atau desakan dari luar terutama dari negara donor. Bahl menyebutkan, bahwa permasalahan dalam administrasi perpajakan di negara sedang berkembang pada umumnya adalah sistem yang kompleks, masalah sumber daya manusia dan prosedur yang sudah ketinggalan.
Administrasi pajak memerlukan jaringan pelaksana pemungut atau penagih yang tersebar luas sesuai dengan penyebaran penduduk serta kemungkinan untuk memperoleh data dan pendapatan para wajib pajak (Prakosa, 2005). Hal ini penting terutama untuk pajak langsung di negara-negara sangat luas wilayahnya, seperti Indonesia. Artinya dalam hal ini dibutuhkan tingkat pemerintahan yang mempunyai hubungan administrasi sampai ketingkat desa.
UPTD Surabaya I yang merupakan penyumbang dana pembangunan bagi propinsi Jawa Timur, upaya yang semestinya dilakukan adalah dengan cara : meningkatkan kualitas sumber daya menusia aparat pajak dengan melakukan pelatihan secara kontinyu; penyederhanaan prosedur dan sistem serta pengelolaan pajak yang efisien serta menciptakan jaringan pelaksana pungutan yang tersebar disetiap wilayah kerja
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap fokus penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Dalam hal pengetatan sanksi, UPTD Surabaya I telah memberlakukan sanksi kepada semua wajib pajak yang melakukan pelanggaran terutama kepada wajib pajak yang terlambat dalam pembayaran pajak kendaraan bermotor. Pemberlakuan sanksi tersebut sesuai dengan aturan atau perda No 13 Tahun 2001. Adapun bentuk sanksi yang yang dikenakan kepada wajib pajak berupa sanksi administrasi dengan kenaikan sebesar 25 % dari pajak terhutang dan ditambah dengan bunga sebesar 2 %.
b. Strategi yang dilakukan UPTD Surabaya I dalam hal sistem administrasi perpajakan adalah perbaikan terhadap prosedur pendaftaran dan penetapan yang telah mengarah pada hal yang positif. Hal ini dibuktikan dengan melakukan pembenahan dalam segala bidang yang termasuk didalamnya adalah kecepatan dalam waktu pendaftaran dan penetapan, penyederhanaan loket, penggunaan teknologi informasi seperti informasi tentang pajak kendaraan bermotor lewat SMS.
c. Kendala-kendala yang dihadapi UPTD Surabaya I adalah pemberian sanksi hukum bagi wajib pajak kurang tegas, dalam hal sistem administrasi ternyata kualitas sumber daya aparatur masih belum merata serta keterbatasan personil.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini, maka disarankan :
a. Dalam hal pengetatan sanksi, sebaiknya UPDT Surabaya I melakukan upaya penegakan hukum yang tegas, memberikan tindakan pidana yang menyangkut harta kekayaan melalui penahanan dan hukuman penjara serta melakukan penyitaan dan penjualan langsung atas kendaraan bermotor bagi wajib pajak yang menunggak dalam membayar pajaknya.
b. Perlu juga dilakukan perbaikan sistem administrasi perpajakan, yaitu : Penyederhanaan prosedur dan sistem serta pengelolaan pajak yang efisien ; meningkatkan kualitas SDM aparat pajak dengan melakukan pelatihan yang secara kontinyu ; serta menciptakan jaringan pelaksana pungutan yang tersebar disetiap wilayah kerja.
Desentralisasi telah menjadi topik atau issue yang populer di Indonesia terutama sejak pemerintah Indonesia memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Keseriusan pemerintah Indonesia diwujudkan dengan dihasilkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004. Esensi kebijakan otonomi daerah yang bergulir dewasa ini telah menempatkan Kabupaten dan Kota sebagai titik berat otonomi, nampaknya telah membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan pengelolaan pemerintahan di daerah. Hal tersebut membawa angin baru bagi perkembangan pembangunan daerah di Indonesia, yang tentunya juga diharapkan berimplikasi kepada peningkatan pelayan, perbaikan kesejahteraan dan jaminan hidup yang lebih baik kepada masyarakat dibandingkan dengan masa lalu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo (2002), bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah Kabupaten dan kota dilaksanakan dengan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sejalan dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan didaerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah atau PAD (Sidik, 2002). Oleh karenanya penyelenggaraan otonomi daerah akan lebih berdaya guna dan berhasil guna, manakala dibarengi dengan kemampuan yang kuat dari daerah dalam mengembangkan atau meningkatkan potensi sumber-sumber keuangan secara optimal. Hal itu berarti, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegitan opersional rumah tangganya.
Mengingat tidak semua sumber pembiayaan diberikan kepada daerah, maka daerah diwajibkan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Mamesah, 1995). Hal yang senada dikemukakan oleh Rasyid (2002) bahwa untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus mempunyai keuangan sendiri, sehingga tidak selalu tergantung pada sumber-sumber dari pemerintah pusat.
Persoalan keuangan daerah merupakan suatu hal yang sangat potensi dan sentral bagi setiap daerah. Potensi karena segenap aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah amat ditentukan atas factor keuangan ini. Sentral karena bisa mempengaruhi bidang-bidang yang lain. Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dalam rangka memberikan pelayanan dan pembangunan kepada masyarakat secara efisien dan efektif tanpa tersedianya dana yang memadai.
Untuk itu, pemerintah daerah berupaya semaksimal mungkin dalam mengembangkan atau meningkatkan potensi sumber-sumber keuangan daerah yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, seperti yang tercantum dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan indikator penting untuk menilai tingkat kemandirian pemerintah daerah di bidang keuangan. Semakin tinggi peran Pendapatan Asli Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), mencerminkan keberhasilan usaha atau tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan dan penyelenggaraan pembangunan serta pemerintah. Dengan meningkatnya PAD, akan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat. Selain itu pemerintah daerah akan lebih leluasa membelanjakan penerimaannya sesuai dengan prioritas pembangunan yang sedang dilaksanakan di daerahnya.
Dalam pasal 6 UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, disebutkan bahwa PAD berasal dari beberapa sumber yaitu pajak daerah ; retribusi daerah ; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah.
Dari sumber-sumber pendapatan asli daerah tadi, yang paling dominan memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PAD adalah pendapatan yang berasal dari hasil pajak daerah. Dijelaskan oleh Kurniawan (2004), pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Menurut pasal 2 UU Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, disebutkan bahwa jenis pajak propinsi terdiri dari 4 (empat) jenis pajak, antara lain : pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air; Bea Balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; Pajak bahan bakar kendaraan bermotor; serta pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Ketentuan pelaksanaan dari pajak daerah selanjutnya diatur melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah.
Dari berbagai pajak daerah diatas, pajak kendaraan bermotor (PKB) merupakan salah satu primadona dalam membiayai pembangunan daerah propinsi. Karena kontribusi di sektor PKB bagi PAD pada tahun 2005 sebesar sebesar Rp. 1.167.373.343.614 (25,3 %) dari realisasi PAD sebesar Rp. 4.611.233.578.173. Maka dari itu, penerimaan dari sektor PKB perlu adanya pengoptimalan melalui upaya intensifikasi maupun dari berbagai upaya yang mampu meningkatkan jumlah pendapatan dari sektor ini, salah satunya adalah dengan menekan seminimal mungkin tunggakan pajak kendaraan bermotor.
Menurut Kurniawan (2004), dijelaskan bahwa tunggakan pajak atau dikenal dengan pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Sedangakan tunggakan pajak kendaraan bermotor adalah pajak yang harus dibayar oleh pemilik kendaraan bermotor beroda dua atau lebih beserta gandengannya dalam tahun pajak, menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur Surabaya I atau yang biasa disebut dengan UPTD Surabaya I pada tahun 2005 merupakan pemberi kontribusi terbesar disektor pajak kendaraan bermotor bagi PAD yaitu Rp. 144 Milyar atau 12,3 %. Namun demikian permasalahan tunggakan PKB tetap menjadi fokus perhatian dari UPTD Surabaya I, ini dikarenakan tunggakan pajak kendaraan bermotor setiap tahunnya terus meningkat, seperti yang terdapat pada tabel dibawah ini
Tabel 1
Tunggakan PKB Tahun 2003-2005 di UPTD Surabaya I
No. Tahun Penerimaan PKB Tunggakan PKB Prosentase ( % )
1. 2003 87.295.278.050 1.003.266.800 1,15
2. 2004 120.752.377.588 1.711.029.300 1,42
3. 2005 149.582.106.772 4.793.982.300 3,21
Sumber : Kantor UPTD Surabaya I, Tahun 2006.
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa tunggakan pajak kendaraan bermotor dari tahun ketahun jumlahnya meningkat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I, tunggakan pajak kendaraan bermotor tersebut terjadi karena berbagai faktor diantaranya : (1) Faktor lingkungan sebesar 80,72 % yang terdiri dari krisis ekonomi, kendaraan bermotor pindah alamat, kendaraan bermotor telah dijual, kendaraan bermotor berada diluar kota, kesulitan persyaratan membayar pajak,, kendaraan bermotor hilang, kendaraan bermotor rusak; (2) Faktor manusia sebesar 9,34 % seperti misalnya terbatasnya operasional dinas luar; (3) Faktor Metode sebesar 4,77 % seperti misalnya sosialisasi kurang optimal; (4) Faktor material sebesar 2,88 % seperti misalnya pemanfaatan kendaraan operasional belum optimal; dan (5) faktor Mesin sebesar 2,29 % seperti misalnya karena ganguan komputer.
Dilihat dari data tersebut bahwa masih belum optimalnya kinerja UPTD Surabaya I terhadap pemungutan pajak kendaraan bermotor. Untuk itu, sangat diperlukan adanya upaya guna mengatasi tunggakan pajak kendaraan bermotor tersebut yang jumlahnya terus meningkat. Mengingat penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor sangat diandalkan untuk menunjang Pendapatan Asli Daerah maka perlu kiranya pemungutan sumber penerimaan tersebut dioptimalkan.
Bertitik tolak dari fenomena tersebut diatas, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana strategi peningkatan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I ?
b. Faktor apa yang menjadi kendala dan upaya mengatasi kendala dalam meningkatkan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif, yang mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Hal ini selaras dengan pendapat Nazir (1988) bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Penlitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Timur Surabaya I dalam meningkatkan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor.
Fokus penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Strategi meningkatkan penerimaan PKB, merupakan suatu cara atau upaya untuk memperbesar penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I, meliputi : Pengetatan sanksi Pajak Kendaraan Bermotor dan Perbaikan Sistem Administrasi Perpajakan.
b. Faktor-faktor kendala dan upaya mengatasi kendala yang terjadi dalam meningkatkan penerimaan PKB.
Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur Surabaya I (UPTD Surabaya I) didasarkan pada pertimbangan bahwa :
a. UPTD Surabaya I merupakan pemberi kontribusi yang terbesar bagi PAD disektor pajak kendaraan bermotor di Jawa Timur.
Adanya peningkatan tunggakan pajak kendaraan bermotor pada setiap tahunnya.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : wawancara, observasi dan dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data interaktif, yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Model ini menggunakan komponen analisis yang terdiri dari : pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Dalam penelitian kualitatif pemeriksaan terhadap keabsahan data perlu dilakukan. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 1999), untuk menjamin keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan didasarkan atas sifat kriteria yang digunakan yaitu : derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability) kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Strategi Meningkatkan Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor.
Pajak kendaraan bermotor merupakan salah satu primadona bagi pembiayaan pembangunan di daerah. Pajak Kendaraan Bermotor merupakan pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial, yang pemungutannya diatur berdasarkan Perda No. 13 tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Dijelaskan pula, bahwa bahwa semua orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor wajib membayar pajak dengan nama Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dipungut di Wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor didaftarkan.
Mengingat penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sangat diandalkan untuk menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka perlu kiranya pemungutan sumber penerimaan tersebut dioptimalkan. Strategi yang dilakukan UPTD Surabaya I untuk meningkatkan penerimaan PKB, adalah sebagai berikut :
a) Pengetatan sanksi
Pengetatan sanksi merupakan salah satu upaya penerapan hukum yang tegas dan adil terhadap masyarakat, agar mereka memenuhi peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Dasar dari pengetatan sang sanksi yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I didasarkan pada Perda No. 13 tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor yang diatur dalam pasal 15 ayat 5 yang mengatur tentang pengetatan sanksi dan sebagai upaya menyadarkan masyarakat untuk membayar PKB secara tepat waktu guna mencapai target penerimaan PKB.
Dalam pelaksanaan pengetatan sanksi di UPTD Surabaya I betul-betul sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan dikenakan pada semua wajib pajak tanpa pandang bulu. Dari jumlah Obyek PKB di UPTD Surabaya I selama bulan Januari – Agustus tahun 2006 yang berjumlah 363.297, terdapat tunggakan obyek pajak sejumlah 12.653. Adapun jumlah nilai tunggakan pajak kedaraan bermotor sebesar Rp 1.752.129.600.
Sedangkan bentuk sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak berupa sanksi administrasi dengan kenaikan sebesar 25% dan ditambah dengan bunga sebesar 2 %. Hal itu tercantum dalam Perda No. 13 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor, Bab VI Pasal 15.
Tujuan pengetatan sanksi sebagai upaya menyadarkan masyarakat untuk membayar PKB secara tepat waktu guna mencapai target penerimaan PKB.
Menurut Nurmantu (2005) sebagai hukum publik, hukum pajak memuat ketentuan tentang sanksi perpajakan baik sanksi yang bersifat administratif maupun sanksi yang berupa pidana. Secara filosofis, sanksi diberikan untuk salah satu atau gabungan tujuan-tujuan yakni sebagai hukuman atau sebagai balas dendam (Retribution), sebagai efek (deterrence), sebagai pengasingan dari masyarakat (incapacitation) dan sebagai rehabilitasi (rehabilitation).
Selanjutnya, Nurmantu (2005) mengatakan sanksi perpajakan diharapkan akan memberikan efek atau pengaruh, baik kepada wajib pajak yang telah melalaikan kewajiban perpajakannya maupun kepada wajib pajak lain yang belum melakukan tindakan yang dapat diancam dengan sanksi perpajakan.
Adanya pengetatan sanksi sangat erat kaitannya dengan kepatuhan wajib pajak. Dalam melakukan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakannya, manusia mempunyai keterbatasan rasional dan berperilaku oportunistik yang melatarbelakangi keputusan untuk patuh atau tidak dalam menjalankan kewajiban perpajakan. Perilaku rasionalitas adalah perilaku ekonomis yang dapat didekati dengan teori ekonomi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Brooks (2001) bahwa pendekatan teori ekonomi didasarkan pada prinsip perilaku rasionalitas. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa berdasarkan prinsip rasionalitas, individu akan memaksimalkan keuntungan dengan biaya sedikit mungkin. Konsekuensinya model ekonomi melakukan pendekatan permasalahan penghindaran pajak berdasarkan prefensi ekonomis pilihan individu untuk menghindari pajak. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengantisipasi penghindaran pajak perlu dipikirkan kebijakan mengenai struktur penalti dan probabilitas untuk menangkap penghindaran pajak dan pemberian sanksi.
Menurut Mardiasmo (2003), agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : Pemungutan pajak harus adil (Syarat keadilan); Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat yuridis); Tidak mengganggu perekonomian (Syarat ekonomis); Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) serta ; Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
b) Perbaikan Sistem Administrasi Perpajakan
Administrasi perpajakan dituntut untuk mampu memenuhi target penerimaan pajak yang berkelanjutan dan tuntutan reformasi yang berkembang pada masyarakat. Disamping itu administrasi perpajakan diharapakan mampu mengatasi turbulensi permasalahan yang dihadapi untuk mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Artinya, bahwa administrasi perpajakan memainkan peranan yang penting didalam menentukan sistem perpajakan yang efektif.
Permasalahan dalam sistem administrasi perpajakan di negara berkembang pada umumnya adalah prosedur yang ketinggalan jaman dan masalah sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan dalam sistem administrasi perpajakan. Menurut Nasucha (2004), persyaratan penting bagi perbaikan administrasi perpajakan ialah penyederhanaan sistem administrasi perpajakan, strategi dan komitmen.
Dengan adanya perbaikan sistem administrasi perpajakan yang lebih sederhana, diharapkan administrasi perpajakan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi terkendali, sederhana dan mudah dipahami baik oleh masyarakat maupun aparat pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keberhasilan dalam penerimaan pajakan daerah sangat ditunjang oleh pelaksanaan administrasi perpajakan daerah yang baik dan efisien. Perbaikan sistem perpajakan terkait dengan prosedur pendaftaran dan penetapan serta penagihan.
Upaya perbaikan dalam prosedur pendaftaran dan penetapan yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I telah mengarah pada hal yang positif. Hal ini dibuktikan dengan melakukan pembenahan dalam segala bidang yang termasuk di dalamnya adalah kecepatan dalam waktu pendaftaran dan penetapan, penyederhanaan loket, penggunaan teknologi informasi seperti pemanfaatan komputer dalam proses pelayanan dan pengembangan sistem dan prosedur pemungutan dan pembayaran seperti informasi tentang pajak kendaraan bermotor lewat SMS.
Kesederhanaan dalam pendaftaran dan penetapan merupakan salah satu bagian dari perbaikan sistem administrasi perpajakan. Menurut Nasucha (2004), kepatuhan wajib pajak dapat ditingkatkan melalui peningkatan administrasi perpajakan. Kepastian, kemudahan dan ekonomis yang dicerminkan melalui prosedur yang tidak berbelit-belit sangat erat kaitannya dengan administrasi perpajakan.
Administrasi perpajakan bisa menjadi efisien bila biaya pengumpulan pajaknya sangat rendah. Tujuan dari perbaikan administrasi perpajakan menurut Ott (2001), salah satunya adalah untuk meningkatkan kualitas prosedur yang tujuan akhirnya adalah memberikan kemudahan prosedur kepada wajib pajak sehingga akan tercipta kepatuhan suka rela.
Isu sentral atas keberhasilan reformasi administrasi perpajakan kedepan adalah kapasitas administrasi perpajakan dalam implementasinya secara sefisien dan efektif. Hal ini meliputi penembangan sumber daya manusia, teknologi informasi, struktur organisasi, proses dan prosedur serta sumber daya finansial dan insentif yang mencukupi.
Strategi-strategi yang dilakukan oleh UPTD Surabaya I dalam perbaikan sistem administrasi pajaknya ternyata kurang diberengi dengan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajaknya. Dalam pelaksanaan dilapangan, ternyata masih banyak juga wajib pajak yang menunggak sehingga memerlukan tindakan penagihan.
Penagihan wajib pajak termasuk bagian dari administrasi pajak. Pelaksanaan sistem penagihan pajak kendaraan bermotor di UPTD Surabaya I, dilakukan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambah (SKPDKBT) dan Surat Paksa yang dikirim langsung oleh pegawai UPTD Surabaya I ke alamat wajib pajak. Hal ini didasarkan pada Perda No. 13 tahun 2001 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor Bab VII Pasal 19 ayat 1.
Walaupun sudah ada landasan yuridisnya, masih banyak wajib pajak yang tidak membayar membayar pajak tepat pada waktunya. Menurut Prakosa (2005) tindakan penagihan utang pajak dapat dilakukan dengan 2 langkah :
Penagihan secara pasif, pada umumnya dilakukan dengan penyerahan Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT) dan Surat Tagihan Pajak (SPT) dan terakhir menggunakan Surat Tegoran.
1. Penagihan secara aktif, yaitu penagihan dengan menggunakan Surat Paksa dan dilanjutkan dengan tindakan sita.
Adapun dasar dari penagihan yaitu kepala daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutang pajak. Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan
2. Kendala dan Upaya Mengatasi
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam melaksanakan strategi untuk meningkatkan penerimaan pajak kendaraan bermotor di UPTD Surabaya I adalah : 1. Sanksi hukum yang kurang tegas bagi para wajib pajak; 2. Kualitas Sumber Daya Manusia yang kurang dan keterbatasan tenaga operasional.
Brooks (2001), menggambarkan bahwa kesulitan dalam pemenuhan kepatuhan perpajakan karena terdapat perbedaaan penting antara hukum pajak dengan hukum yang lain, yaitu untuk dapat mematuhi hukum pajak penduduk harus berhadapat dengan kompleksitas aturan dan bahkan serangkaian aktivitas yang membutuhkan biaya tinggi. Untuk itu kebijakan harus memilih diantara dua alasan utama, yaitu penerapan keadilan yang dapat menyebabkan peraturan perpajakan yang kompleks atau mengurangi biaya kepatuhan dengan penyederhanaan peraturan dan prosedur.
Menurut Prakosa (2005) tindakan pidana, memutuskan pelayanan atau menyita kekayaan biasanya merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan pembayaran. Namun, kadang-kadang beberapa tindakan tersebut seringkali tidak dilaksanakan. Akibatnya tindakan perdata seringkalli merupakan satu-satunya sanksi hukum yang dilakukan tetapi seringkali juga tidak efektif. Prosedur yang berbellit-belit dan kurang perhatian pengadilan terhadap masalah pelanggaran pajak daerah ini, kadang merupakan penyumbang ketidak efektifan sanksi hukum diterapkan. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka UPTD Surabaya I perlu melakukan upaya-upaya yaitu : penegakan hukum yang tegas; tindakan pidana menyangkut harta kekayaan melalui penahanan dan hukuman penjara serta penyitaan dan penjualan langsung atas kekayaan.
Kualitas sumber daya manusia aparatur pajak yang kurang merata dan terbatasnya tenaga operasional, juga menjadi kendala kelancaran dalam pemberian pelayanan kepada para wajib pajak.
Sementara itu, Bahl dan Vazquez dalam Nasucha (2004) mengemukakan bahwa kelemahan sistem perpajakan yang umumnya terjadi biasanya ditandai dengan prosedur yang sudah usang, pegawai yang dibayar rendah, pegawai yang kurang terlatih, sitem perpajakan yang terlalu kompleks sehingga sulit untuk mencapai efisiensi administrasi dengan sumber daya yang tersedia sangat minim bagi kantor pelayanan pajak, keengganan pemerintah untuk menegakkan sistem yang ada dan cenderung hanya menunggu terjadinya krisis atau desakan dari luar terutama dari negara donor. Bahl menyebutkan, bahwa permasalahan dalam administrasi perpajakan di negara sedang berkembang pada umumnya adalah sistem yang kompleks, masalah sumber daya manusia dan prosedur yang sudah ketinggalan.
Administrasi pajak memerlukan jaringan pelaksana pemungut atau penagih yang tersebar luas sesuai dengan penyebaran penduduk serta kemungkinan untuk memperoleh data dan pendapatan para wajib pajak (Prakosa, 2005). Hal ini penting terutama untuk pajak langsung di negara-negara sangat luas wilayahnya, seperti Indonesia. Artinya dalam hal ini dibutuhkan tingkat pemerintahan yang mempunyai hubungan administrasi sampai ketingkat desa.
UPTD Surabaya I yang merupakan penyumbang dana pembangunan bagi propinsi Jawa Timur, upaya yang semestinya dilakukan adalah dengan cara : meningkatkan kualitas sumber daya menusia aparat pajak dengan melakukan pelatihan secara kontinyu; penyederhanaan prosedur dan sistem serta pengelolaan pajak yang efisien serta menciptakan jaringan pelaksana pungutan yang tersebar disetiap wilayah kerja
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap fokus penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Dalam hal pengetatan sanksi, UPTD Surabaya I telah memberlakukan sanksi kepada semua wajib pajak yang melakukan pelanggaran terutama kepada wajib pajak yang terlambat dalam pembayaran pajak kendaraan bermotor. Pemberlakuan sanksi tersebut sesuai dengan aturan atau perda No 13 Tahun 2001. Adapun bentuk sanksi yang yang dikenakan kepada wajib pajak berupa sanksi administrasi dengan kenaikan sebesar 25 % dari pajak terhutang dan ditambah dengan bunga sebesar 2 %.
b. Strategi yang dilakukan UPTD Surabaya I dalam hal sistem administrasi perpajakan adalah perbaikan terhadap prosedur pendaftaran dan penetapan yang telah mengarah pada hal yang positif. Hal ini dibuktikan dengan melakukan pembenahan dalam segala bidang yang termasuk didalamnya adalah kecepatan dalam waktu pendaftaran dan penetapan, penyederhanaan loket, penggunaan teknologi informasi seperti informasi tentang pajak kendaraan bermotor lewat SMS.
c. Kendala-kendala yang dihadapi UPTD Surabaya I adalah pemberian sanksi hukum bagi wajib pajak kurang tegas, dalam hal sistem administrasi ternyata kualitas sumber daya aparatur masih belum merata serta keterbatasan personil.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini, maka disarankan :
a. Dalam hal pengetatan sanksi, sebaiknya UPDT Surabaya I melakukan upaya penegakan hukum yang tegas, memberikan tindakan pidana yang menyangkut harta kekayaan melalui penahanan dan hukuman penjara serta melakukan penyitaan dan penjualan langsung atas kendaraan bermotor bagi wajib pajak yang menunggak dalam membayar pajaknya.
b. Perlu juga dilakukan perbaikan sistem administrasi perpajakan, yaitu : Penyederhanaan prosedur dan sistem serta pengelolaan pajak yang efisien ; meningkatkan kualitas SDM aparat pajak dengan melakukan pelatihan yang secara kontinyu ; serta menciptakan jaringan pelaksana pungutan yang tersebar disetiap wilayah kerja.
Oleh : Susi Hardjati
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, Neil., 2001. “Presentation Paper of Key Issues in Income Tax : Challenges of Tax administration and Compliance” 2001 Tax Conference. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Kurniawan P., et all., 2004., Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia, Malang :Bayu Media.
Mardiasmo., 2002., “Otonomi Daerah Sebagai Upaya memperkokoh Basis Perekonomian Daerah”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th I-No.4-Juni 2002, http://www.ekonomirakyat.org, 10 Agustus 2006.
.............. 2003. Perpajakan, Yogyakarta : Andi
Mamesah, D.J., 1995. Sistem Adminitrasi Keuangan Daerah, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Milles, B. Huberman dan Michael A., 1992. Anallisis Data Kualitatif, Jakarta : UI Press.
Moleong., 2006., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Nasucha, Chaizi. 2004., Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktek, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nazir, Moh. 1998., Metodologi Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nurmantu, Safri., 2005. Pengantar Perpajakan, Jakarta : Granit.
Ott, Katarina. 2001., ”Tax Administration Reform in transition : The case of Croatia”. Occasional Paper. Knjiznica : Institutza Javne Finance.
Prakosa, Bambang K. 2005., Pajak Dan Retribusi Daerah, Yogyakarta : UII Press.
Rasyid, Ryaas. 2002., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta : Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan Bekerjasama Dengan Pustaka Pelajar Offset.
Sidik, Machfud. 2002., “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”, Orasi Ilmiah, Disampaikan Pada Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung , 10 April
Brooks, Neil., 2001. “Presentation Paper of Key Issues in Income Tax : Challenges of Tax administration and Compliance” 2001 Tax Conference. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Kurniawan P., et all., 2004., Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia, Malang :Bayu Media.
Mardiasmo., 2002., “Otonomi Daerah Sebagai Upaya memperkokoh Basis Perekonomian Daerah”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th I-No.4-Juni 2002, http://www.ekonomirakyat.org, 10 Agustus 2006.
.............. 2003. Perpajakan, Yogyakarta : Andi
Mamesah, D.J., 1995. Sistem Adminitrasi Keuangan Daerah, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Milles, B. Huberman dan Michael A., 1992. Anallisis Data Kualitatif, Jakarta : UI Press.
Moleong., 2006., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Nasucha, Chaizi. 2004., Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktek, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nazir, Moh. 1998., Metodologi Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nurmantu, Safri., 2005. Pengantar Perpajakan, Jakarta : Granit.
Ott, Katarina. 2001., ”Tax Administration Reform in transition : The case of Croatia”. Occasional Paper. Knjiznica : Institutza Javne Finance.
Prakosa, Bambang K. 2005., Pajak Dan Retribusi Daerah, Yogyakarta : UII Press.
Rasyid, Ryaas. 2002., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta : Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan Bekerjasama Dengan Pustaka Pelajar Offset.
Sidik, Machfud. 2002., “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”, Orasi Ilmiah, Disampaikan Pada Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung , 10 April
Terima kasih atas tulisannya, bagi kami ini sangat bermanfaat
ReplyDeletemaaf izinkan saya untuk menkopykannya ke komputer saya terima kasih.
DeleteTerima kasih sudah berkunjung, sila kan di salin dan gunakan sebaik-baiknya serta terapkan kaidah penulisan dengan benar, semoga bermanfaat.
Deletethanks for information... ini sangat bermanfaat tugas yang yang saya cari :)
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga membantu dan bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung pada tulisan ini.
Deleteizin mengkopi info nya
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung,
DeleteMonggo, dipersilakan dan semoga bermanfaat untuk keperluan akademis nya, mau copy boleh, atau cara yang lain jg boleh selama baik untuk semua nya, terima kasih.