Timor
Timur pada tahun 1999 lalu telah resmi keluar dari Indonesia, namun Timor Timur
tetap dianggap pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia. Selama menjadi
bagian RI, Timor Timur tidak lepas dari macam konflik seperti daerah-daerah lain
di Indonesia. Peristiwa kekerasan kolektif di Timor Timur sudah mulai terjadi
semenjak akhir tahun 1991 hingga awal tahun 1997.
Kronologi konflik kekerasan di Timor Timur:
Tanggal 12 November 1991, terjadi peristiwa yang
dikenal dengan Santa Cruz yaitu penembakan yang dilakukan oleh ABRI terhadap
ribuan penduduk sipil yang akan ke pemakaman umum Santa Cruz di Dili bertujuan
untuk mengunjungi makam seorang pemuda yang bernama Sebastio Gomes yang wafat
tertembak oleh pasukan ABRI yang menyerbu Gereja Katolik Motael dimana sejumlah
pemuda anti integrasi berlindung. Ratusan penduduk sipil mati dalam kejadian
ini.
November 1994, pembunuhan seorang pedagang Timor Timur
oleh pedagang pendatang dari Sulawesi menyulut
kemarahan penduduk asli sehingga mengakibatkan pembakaran Pasar Comoro dan
penduduk asli menuntut balas terhadap kematian pedagang asli Timor Timur.
Tanggal 12 Januari 1995, tindakan kekerasan oleh ABRI
terhadap enam orang penduduk sipil dalam operasi militer di Kabupaten Liquisa,
Timor Timur.
Tanggal 2 September 1995, isu tentang pelecahan terhadap
agama katolik oleh sipir Lembaga Permasyarakatan Maliana, Sanusi Abubakar. Hal
tersebut mengakibatkan pemberontakan dan pengrusakan rumah Sanusi Abubakar oleh
para narapidana Lembaga Permasyarakatan tersebut yang terjadi pada tanggal 4
Sepetember 1995.
Tanggal 4 Sepetember 1995, isu kawin campur antara
seorang pemudi yang beragama Roma Katolik dan seorang pemuda yang beragama
Protestan. Gereja Katolik menolak memberikan Sakramen Perkawinan, namun
pasangan itu memperoleh restu dari Gereja Protestan. Akibatnya sebuah Gereja
Protestan Sidang Jemaat Allah di desa Aflacai dibakar dan Gereja Hosana di
kampong Naedala dirusak.
Tanggal 5 September 1995, isu pelecahan agama katolik
oleh Sanusi Abubakar telah menyebar ke berbagai sekolah di Dili menyebabkan
aksi demonstrasi oleh para pelajar dan mahasiswa di Dili yang disertai pula
oleh tindakan kekerasan.
Tanggal 21 Februari 1997, tersebarnya berita penghinaan
terhadap seorang pastor pimpinan umat Katolik di Pantemakassar Ibukota
Kabupaten Ambeno, Timor Timur. Massa bergerak di jalanan sambil membakar pasar
dan rumaha-rumah. Lebih dari 3000 jiwa yag kebanyakan adalah pendatang dan
non-Katolik terpaksa harus diungsikan. Sebuah pasar dan 52 rumah di desa Costa
hangus dibakar massa, sedang korban manusia 10 orang luka-luka dan 1 orang
tewas.
Umumnya
konflik kekerasan yang terjadi di Timor Timur lebih mengarah pada kondisi
ekonomi, politik, sosial dan isu SARA yang berkembang antar warga disana. Semenjak
pemerintah menetapkan propinsi Timor Timur adalah propinsi terbuka, menyebabkan
banyaknya suku lain non-Timor Timur untuk mengadu nasib mereka di propinsi
tersebut. Suku-suku mayoritas yang datang
ke propinsi itu adalah suku Makasar, Bugis, dan Buton. Ketiga suku tersebut
memiliki kemampuan yang lebih dalam berusaha dan keberanian mereka untuk masuk
ke daerah pedalaman di wilayah Timor Timur membuat mereka berhasil dan mampu
mendominasi bahkan pada sektor perdagangan. Selain itu suku Makasar terkenal
sebagai da’i agama yang gigih sehingga ragam agama di propinsi tersebut
bertambah. Dalam kondisi demikian, penduduk asli akan merasa semakin dikuasai
oleh para pendatang baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Masyarakat
penduduk asli Timor Timur pun akan merasa goyah terhadap identitas diri
masyarakat dan budayanya akibat datangnya suku-suku non-Timor Timur. Hal
tersebut pun akan menyertakan pula pengaruh agama dan budaya baru di Timor
Timur yang awalanya di Propinsi tersebut hanya mengenal agama Katolik sebagai
agama mayoritas di Timor Timur. Dominasi pendatang baru di Timor Timur dianggap
sebagai biang keladi terjadinya konflik kekerasan.
No comments:
Post a Comment