I.
LATAR
BELAKANG
Salah satu unsur yang memegang peranan penting
terhadap kesehatan masyarakat adalah keterjangkuan obat yang beredar di
masyarakat. Obat mungkin tidak di jangkau dengan alasan pendistribusian yang
tidak merata, namun kebanyakan obat tidak dapat dijangkau masyarakat karena
harganya yang mahal. Daya beli masyarakat Indonesia terhadap obat masih rendah.
Hal ini terlihat dari tingkat pengeluaran masyarakat indonesia pada kesehatan
yang hanya $5/Kapita/tahun hal ini jauh jka dibandingkan dengan $12 di Malaysia
dan $40 di Singapura.
Pada bulan Juni 2007 pemerintah
mengeluarkan suatu kebijakan baru yaitu adanya program obat seribu, diharapkan
melalui program ini tingkat jangkauan masyarakat terhadap obat-obatan akan
meningkat. Obat murah yang dimaksud merupakan obat-obatan yang sering digunakan
masyarakat. Obat
Murah pada dasarnya adalah obat obat bebas (OTC) yang tidak
bermerek. Meski demikian agak berbeda dengan obat generik karena dalam Obat Murah
yang ditonjolkan adalah khasiatnya bukan nama generiknya agar masyarakat awam
mudah mengenalinya.
Secara teoritis kualitas dan
khasiat Obat Murah tidak berbeda dengan obat yang lain karena cara pembuatan
dan bahan bakunya harus sesuai dengan metoda dan spesifikasi yang telah
ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Pemerintah bekerja sama dengan
perusahaan obat yaitu PT. Indofarma, obat ini dijual dengan harga Rp 1000 per
strip, dimana setiap satu strip berisi 5-6 tablet. Dua belas dari dua puluh
jenis obat murah tersebut saat ini telah resmi beredar di pasaran. Obat-obat
tersebut merupakan obat yang banyak dikonsumsi masyarakat, yaitu obat penurun
panas, obat penurun panas anak, obat sakit kepala, obat flu, obat batuk dan
flu, obat batuk cair, obat batuk berdahak, obat maag, obat asma, obat tambah
darah, obat cacing, dan obat cacing anak. Program obat murah merupakan
kerjasama antara Departemen Kesehatan dan perusahaan obat, dan dalam
pelaksanaannya obat itu langsung didistribusikan ke apotik atau toko obat
Respon masyarakat terhadap munculnya obat murah
ini beragam. Secara umum ada dua pandangan. Pertama, pihak yang menyambut baik
dan mendukung pemerintah. Kedua, pihak yang skeptis dan meragukan kualitas obat
murah. Adanya dua kelompok yang berbeda pandangan terhadap program pemerintah
ini bukan hal yang baru. Ketika peraturan mengenai obat generik pertama kali
diberlakukan, reaksi yang timbul di masyarakat hampir serupa.
Kelompok masyarakat yang meragukan obat murah
terlanjur menganggap bahwa obat yang berkualitas adalah obat yang harganya
mahal. Sedangkan, obat yang murah selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah
dan untuk masyarakat miskin. Padahal, tak selamanya obat berkualitas itu mahal,
dan tidak pula selalu obat yang harganya murah itu kualitasnya di bawah
standar.
Namun pada kenyataannya dilapangan keberadaan
obat murah ini belum diimbangi dengan distribusi yang merata. PT. Indofarma
selaku distributor tunggal belum bisa menjangkau toko obat kecil dan
warung-warung, bahkan yang berada di kota-kota besar. Distribusi yang tidak
merata juga disebabkan oleh adanya pembelian dalam jumlah besar oleh
distributor nakal yang ingin mengambil keuntungan dari murahnya harga obat ini.
Bahkan pembelian ini sudah berlangsung sebelum obat tersebut di jual ke
masyarakat luas.
Peran pelayanan kesehatan terhadap keberadaan
obat murah juga masih rendah. Kalangan dokter yang turut mempromosikan obat
murah masih sangat sedikit. Hal ini ditengarai banyak kalangan dokter yang
belum tersentuh sosialisasi obat murah. Akibatnya, dokter belum optimal
memberikan edukasi tentang obat murah kepada masyarakat.
Apakah obat yang mahal menjamin mutu obat
dilihat dari segi penyembuhan? Seorang dokter di Australia pernah ditanya oleh
pasien yang berasal dari Indonesia mengapa dia memberikan obat X yang harganya
jauh lebih murah dibanding obat Y untuk penyakitnya, si dokter kemudian
menjawab karena memang obat X jauh lebih bagus dibanding obat Y. Pada pasien-pasien Indonesia yang berada di
Australia memberikan kenyataan bukti bahwa obat murah justru lebih baik
daripada obat mahal. Hal ini dikarenakan produksi obat memang tidak semata-mata
untuk pengobatan yang ilmiah, tetapi juga untuk kepentingan komersial. Harga
obat ditetapkan setelah dihitung biaya riset, biaya pemasaran, promosi, bentuk
sediaan, kemasan, rasa obat agar dapat diterima dan menarik bagi konsumen dan
dokter-dokter. Dan karena ilmu marketing sudah sedemikian canggih, obat-obat
yang kurang baik pun dapat mengalahkan obat-obatan yang sebenarnya lebih baik.
Perdangan obat agak berbeda dengan perdagangan
barang-barang yang lain. Dari segi konsumen pasien sesungguhnya dalam keadaan
yang lemah. Tidak seperti proses jual-beli lainnya dimana pembeli adalah raja.
Berapa harga obat sesungguhnya pasien tidak tahu persis. Berbeda dengan jual
beli baju misalnya, pembeli sadar akan biaya yang akan dibayarnya dan bahkan
dapat menawar harga itu apabila dinilainya. Ada semacam ketidaktahuan dari para
konsumen obat sehingga mereka menyerah dengan harga yang ditawarkan kepadanya.
Selain itu masih ada faktor lain yang dapat
lebih mendorong mahalnya harga obat yaitu rasa aman yang ingin didapat. Tidak
saja oleh para pasien yang diobati, tetapi juga rasa aman dokter yang
mengobati. Karena yang dipertaruhkan adalah kesehatan atau bahkan jiwa
seseorang, maka baik pasien maupun dokter akan cenderung meminta dan memberi
hadiah yang berlebih agar rasa aman pada keduanya dapat dicapai. Hubungan
pasien –dokter yang alami seperti itu sering mengabaikan aspek – aspek rasional
sehingga baik pasien maupun dokter sangat rentan terhadap upaya pemasaran
pabrik-pabrik obat, sehingga terjadi praktek-praktek pengobatan yang kurang
rasional.
Meletakkan obat semata-mata pada fungsi sosial
dengan mengabaikan aspek ekonomi sama sekali belum tentu juga akan membawa
kebaikan bagi kemanusiaan. Keadaan seperti ini mungkin kurang mendorong adanya
riset sehingga penemuan obat-obat yang baru akan terhambat, sebaliknya
meletakkan obat semata-mata pada nilai ekonomisnya tanpa memperhatikan fungsi
sosial juga akan meletakkan obat semata-mata sebagai barang dagangan atau
komersial semata. Karena ini pengaturan terhadap distribusi dan harga obat
sangat penting untuk dilakukan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Di
Indonesia sendiri pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan yang
berhubungan dengan pengadaan obat terjangkau bagi masyarakat. Salah satunya
adalah adanya kebijakan obat generik
yang sudah ada di pasaran. Obat generik merupakan
obat yang telah habis masa patennya,
sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar
royalti. Sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan obat paten.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf
kesehatan rakyat melalui program obat murah patut diacungi jempol. Namun
jalannya tidak mudah. Jalan mendaki lagi terjal dan berliku masih terbentang
untuk membuat program obat murah benar-benar terasa manfaatnya bagi masyarakat
miskin. Sosialisasi, distribusi yang merata, pengawasan ketat, dan ketegasan
sikap terhadap oknum yang melanggar peraturan menjadi pekerjaan rumah
pemerintah demi menyukseskan program ini. Namun apakah benar kebijakan obat
murah ini mampu meningkatkan konsumsi obat di masyarakat sehingga berefek pada
peningkatan derajat kesehatan di masayarakat.
Begitu banyak macam persoalan yang dapat dikaji dari kebijakan obat
murah ini sehingga didapat hasil yang maksimal dari kebijakan ini.
II.
PERMASALAHAN
Masalah
– masalah yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan obat adalah sebagai berikut :
1.
Apakah kebijakan pemerintah
dalam program obat murah mampu menjawab tantangan dalam peningkatan derajat
kesehatan masyarakat?
2.
Faktor-faktor apa sajakah yang
menghambat pemerintah dalam kebijakan obat murah tersebut?
No comments:
Post a Comment