Obat
bukan semata-mata komoditi ekonomi tetapi sekaligus komoditi sosial. Dalam
Kebijakan Obat Nasional (Konas) disebutkan antara lain bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat
esensial. Oleh karena itu pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian obat. Sedangkan pelaku usaha bertanggung jawab atas mutu obat,
sementara itu masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar tentang obat.
Ketersediaan dan pemerataan obat berarti tersedianya obat (drug availability) di seluruh Indonesia baik jenis maupun jumlah obat, sesuai dengan kebutuhan nyata dan pola penyakit. Sedangkan keterjangkauan obat berarti adanya jaminan akses obat dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang tidak mampu baik melalui pelayanan kesehatan sektor publik maupun swasta.
Dengan adanya Program Obat Rakyat, Murah dan Berkualitas diharapkan dapat menunjang strategi utama Depkes yaitu semua desa menjadi Desa Siaga, dimana setiap desa memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan mencegah serta mengatasi masalah kesehatan, termasuk mampu menyediakan obat untuk pelayanan kesehatan dasar. Dalam Desa Siaga minimal terdapat satu Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sebagai upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa.
Sumber pengadaan obat Poskesdes berasal dari Pemerintah melalui Puskesmas maupun bantuan donatur Poskesdes. Namun sebagai UKBM diharapkan Poskesdes dapat menyediakan obat sendiri. Maka dengan adanya kebijakan obat murah diharapkan ketersediaan obat di setiap desa dapat tercapai, terutama obat-obatan esensial yang sering digunakan.
Ketersediaan dan pemerataan obat berarti tersedianya obat (drug availability) di seluruh Indonesia baik jenis maupun jumlah obat, sesuai dengan kebutuhan nyata dan pola penyakit. Sedangkan keterjangkauan obat berarti adanya jaminan akses obat dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang tidak mampu baik melalui pelayanan kesehatan sektor publik maupun swasta.
Dengan adanya Program Obat Rakyat, Murah dan Berkualitas diharapkan dapat menunjang strategi utama Depkes yaitu semua desa menjadi Desa Siaga, dimana setiap desa memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan mencegah serta mengatasi masalah kesehatan, termasuk mampu menyediakan obat untuk pelayanan kesehatan dasar. Dalam Desa Siaga minimal terdapat satu Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sebagai upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa.
Sumber pengadaan obat Poskesdes berasal dari Pemerintah melalui Puskesmas maupun bantuan donatur Poskesdes. Namun sebagai UKBM diharapkan Poskesdes dapat menyediakan obat sendiri. Maka dengan adanya kebijakan obat murah diharapkan ketersediaan obat di setiap desa dapat tercapai, terutama obat-obatan esensial yang sering digunakan.
Untuk
Indonesia yang rakyatnya kebanyakan hidup miskin dan mudah terserang penyakit,
ketersediaan obat murah tentu saja menjadi harapan. Sayangnya, harapan itu tak
kunjung datang, obat rakyat yang murah dan berkualitas yang pernah dijanjikan
pemerintah hanya dianggap sebagai obat murahan yang tak berkualitas.
Menteri
Kesehatan yang saat itu menjabat yaitu Siti Fadilah Supari meluncurkan program obat
murah untuk rakyat sedikit miskin yang diproduksi oleh Indofarma. Program
tersebut telah menghadirkan harapan baru bagi rakyat yang sedang
"panik" mengingat harga obat yang terus merangkak naik, dan tentunya
sangat menyengsarakan rakyat kecil. Kita tentu paham, untuk memenuhi kebutuhan
makan saja mereka sudah kepayahan, apalagi harus ditambah dengan kebutuhan obat
yang harganya kian melangit.
Program
obat murah itu menyangkut pengadaan 20 jenis obat generik tak berlogo hasil
kerja sama pemerintah dengan PT Indofarma. Sepuluh obat serba seribu itu di
antaranya adalah obat batuk dan flu, obat flu, batuk berdahak, asma, penurun
panas anak, penurun panas, tambah darah, maag, sakit kepala, dan indo obat
batuk cair. Dilihat dari jenis obat- obat tersebut dapat dimengerti bahwa obat-obat
itu sangat dibutuhkan masyarakat, apalagi pada kondisi cuaca buruk.
Menurut
Menteri Kesehatan, program itu juga bertujuan untuk memberikan lapangan
pekerjaan bagi tamatan apoteker yang masih menganggur serta mencegah terjadinya
pemalsuan obat. Dengan murahnya harga obat, maka pemalsuan obat diharapkan
dapat ditekan, dan penggunaan obat generik tak berlogo dalam jumlah besar itu
tentunya akan membuka lowongan kerja baru bagi tamatan apoteker.
Ironisnya, belum juga rakyat miskin bernafas sedikit lega, ada berita tak
sedap didengar. Obat itu sering tak sampai ke tangan
konsumen karena langsung dibeli oleh para spekulan. Tapi, pemerintah berjanji
akan menangani para spekulan obat yang tak
bermoral itu, dan menjamin, obat murah itu akan dapat dengan mudah didapat di
warung-warung pada 3-6 bulan setelah penetapan itu.
Kini telah hampir 3 tahun berlalu sejak penetapan tersebut
dan yang terjadi adalah tren pasar obat generik ternyata justru mengalami
penurunan. Jika pada tahun 2001 pasar obat generik mencapai 12 persen, tahun
lalu tinggal 7,23 persen. Artinya program obat murah belum menunjukkan dampak
yang berarti bagi rakyat miskin, bahkan boleh dikatakan tak mendapat respons
yang cukup tinggi. Apalagi dengan banyaknya obat generik yang kini bermunculan
timbul anggapan, bahwa itu bukan obat murah dalam arti obat berkualitas dengan
harga murah, tapi itu adalah obat murahan yang rendah kualitas.
Boleh saja pada waktu peluncuran pertamanya, Menteri Kesehatan menjelaskan,
"itu obat rakyat yang murah dan berkualitas, dan kualitasnya ada dalam
pemantauan", jadi bukan obat murahan yang tidak berkualitas. Tapi pada
realitasnya program tersebut belum mengena dihati rakyat miskin. Lantas apa
yang salah dengan program obat murah tersebut sehingga tidak digemari oleh
masyarakat, dan sayangnya juga obat generik tak berlogo itu juga tak dikenal
para dokter pada umumnya dengan baik.
Realisasi
Program
Niat baik pemerintah untuk menghadirkan obat murah sesungguhnya patut
mendapat pujian. Itu adalah kebijakan yang cerdas dan berpihak pada masyarakat,
dalam hal ini masyarakat miskin. Kita semua tahu, obat adalah kebutuhan yang
amat penting, bahkan telah menjadi kebutuhan dasar setiap orang, karena tak
seorangpun yang bebas dari serangan penyakit. Terlebih lagi ketika terjadi
perubahan cuaca, atau pada kondisi cuaca buruk, karena itu, pastilah semua
orang membutuhkan obat, dan penetapan obat murah tentu saja akan sangat
membantu masyarakat.
Sangat disayangkan, promosi obat murah yang diluncurkan pemerintah itu,
tidak segencar promosi obat yang harganya selangit. Bukan hanya masyarakat yang
asing dengan obat murah itu, tetapi juga para dokter. Apalagi dengan banyaknya
jenis obat generik yang kini beredar, kita tentu paham promosinya tentu saja
membutuhkan biaya tinggi. Belum lagi banyaknya obat generik yang kini beredar
(obat generik, obat generik tak berlogo, obat generik berlogo) justru membuat
masyarakat cenderung meragukan khasiatnya.
Tren menurunnya obat generik itu mengindikasikan bahwa hingga kini program
obat murah itu kurang dipercaya oleh dokter ataupun masyarakat Dalam diskusi bertajuk, "Obat Generik, Obat Murah atau Murahan",
tanggal 27 Februari 2008 terlontar kesaksian bahwa dalam pengalaman
penggunaannya, obat generik ternyata juga memiliki kualitas yang rendah,
sehingga dokter pun enggan memberikannya pada pasien, belum lagi dengan adanya
efek samping yang mengakibatkan efektivitas obat generik itu dipertanyakan.
Lebih aneh lagi obat generik itu ternyata masih juga sulit di dapat di apotek,
padahal jumlahnya mencapai ratusan dan sering membuat pusing dokter untuk
mengingatnya.
Harus diakui, semua kejelekan yang ditempelkan pada obat murah itu memang belum
merupakan hasil penyelidikan yang terpercaya, namun setidaknya itu mestinya
menjadi pendorong untuk pemerintah mengevaluasi program obat murah tersebut.
Kalau tidak berapa banyak uang yang harus terbuang percuma untuk membiayai
program obat murah itu.
Perlu Koordinasi
Kegagalan obat murah untuk dipercaya oleh masyarakat sebenarnya terkait
minimnya koordinasi pemerintah dengan para dokter. Demikian juga dengan penjual
obat, dalam hal ini pemilik apotek, yang merupakan media penting bagi promosi
tersebut, jika memang pemerintah tak punya cukup uang untuk mempromosikan obat
murah itu layaknya promosi obat bermerek.
Apabila koordinasi Departemen Kesehatan terjalin baik dengan para dokter,
masyarakat tentu akan dapat menerima obat murah tersebut, karena yang
merekomendasikannya adalah dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Ini,
tentunya akan memangkas biaya iklan yang sangat tinggi.
Kurangnya koordinasi itu juga terlihat, dengan tidak bersedianya dokter
memberikan obat generik karena kuatir akan efek samping dari penggunaan obat
tersebut. Padahal, jika ada koordinasi, pastilah ada umpan balik dari para
dokter sebagai upaya penjagaan kualitas obat murah tersebut.
Koordinasi
yang tidak baik juga tercipta antara departemen kesehatan dengan pemerintah kabupaten
di daerah. Pemkab mengaku kesulitan untuk memantau
peredaran obat murah tersebut. Hal itu terjadi, karena kebijakan tersebut tidak
ditindaklanjuti dengan surat edaran ke setiap daerah. Padahal Departemen
Kesehatan RI sudah memproklamirkan peredaran obat serba murah, yakni seribu
rupiah itu, sudah beredar sejak 2 bulan lalu. Salah satu daerah yang merasakan
kesulitan dalam memantau peredaran obat murah adalah daerah sumenep, melalui
Kepala Bidang Farmasi dan Promosi Dinas Kesehatan Sumenep, mengatakan,
kesulitan yang dihadapi Pemkab maupun pihaknya dalam memantau peredaran obat
murah itu, karena Depkes masih terkesan setengah hati dalam mensukseskan
peredaran obat murah serba seribu tersebut. Menurutnya, obat murah yang
dipasarkan Dinas Kesehatan Sumenep itu, kurang diminati oleh masyarakat.
Bahkan, masyarakat cenderung lebih suka berobat ke Puskesmas dengan menggunakan
obat generik, dan kurangnya peminat obat murah itu, dimungkinkan juga kurang
sosialisasi dari Dinas Kesehatan mengenai kegunaan maupun efek dari obat serba
murah tersebut
Sangat disayangkan, jika program obat murah yang terdengar indah di telinga
itu hanya indah di atas kertas, apalagi mengingat begitu berartinya obat bagi
masyarakat miskin. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan sudah
sepatutnya mengevaluasi program obat murah tersebut. Jika tidak, obat murah
untuk rakyat hanya akan menjadi mimpi indah yang tak pernah menjadi kenyataan.
Peningkatan Derajat Kesehatan
Sudah
jelas bahwa tujuan utama dari kebijakan program obat murah dan berkualitas ini
adalah peningkatan derajat kesehatan di Indonesia. Program ini menjadi tiang
dalam pembangunan kesehatan di Indonesia, sehingga mampu mewujudkan Indonesia
2020. Namun kenyataan dilapangan berbicara lain, karena ternyata program yang
baik belum tentu dapat berhasil baik. Sejumlah faktor-faktor penghambat ditemui
dilapangan dan mengagalkan keinginan dalam peningkatan derajat kesehatan di
Indonesia
Seperti
sudah disinggung sebelumnya bahwa derajat kesehatan paling dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat sendiri. Dalam kebijakan obat murah ini, ketidakpercayaan
masyarakat terhadap program ini merupakan faktor perilaku yang memegang peranan
penting terhadap hambatan dalam kesuksesan program ini.
Perilaku
masyarakat sendiri yang tidak mendukung program ini menjadi batu sandungan
besar yang dihadapi program ini. Selain masalah kepercayaan, adanya distributor
nakal yang ingin mengambil kesempatan juga merupakan salah satu perilaku masyarakat
yang merugikan.
Melalui teori blumm dapat dilihat bahwa dalam
membuat suatu kebijakan sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat diperlukan pendekatan-pendekatan yang terhadap perilaku masyarakat
sendiri. Suatu kebijakan yang baik memerlukan analasis tajam terhadap kondisi
masyarakat itu sendiri agar program yang dihasilkan mampu tepat guna, tepat
sasaran sehingga efektif dan efisien.
No comments:
Post a Comment