Rabu, 19 November 2014

AGLOMERASI INDUSTRI DAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DI INDONESIA

Perkembangan Industri dan Pengaruh Kebijakan Publik 
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Serang, Banten

Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, tuntutan akan reformasi sistem kebijakan pemerintah Indonesia terus mendapatkan dukungan yang begitu besar dari rakyat Indonesia. Terlebih, saat itu rezim Orde Baru  yang otoritarian telah berada di titik kritisnya dalam memimpin pemerintahan di Indonesia, dikarenakan berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan politik negeri yang semrawut tidak mampu diatasi dengan baik. Tulisan ini, akan mengkaji permasalahan pasca reformasi yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi serta upaya pembangunan ekonomi daerah melalui aglomerasi industri. Mengaitkan dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 sebagai landasan yuridis otonomi daerah, ternyata pelaksanaan desentralisasi di negeri ini belum mampu dimaksimalkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Akhirnya, kebijakan yang pincang terus menggayuti keadaan pemerintahan di era reformasi ini.
Aglomerasi Industri, Otonomi Daerah, Kebijakan Publik, dan Corporate Social Responsibility

Sejak abad ke-20, perkembangan industri di seluruh dunia mulai menunjukkan pertumbuhan yang begitu pesatnya. Abad ke-18 sebagai awal mula perkembangan ini telah menjadikan sinar terang bagi kehidupan sosial ekonomi manusia, di mana Revolusi Industri yang terjadi di Inggris menandai mulai berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1796 merupakan awal yang menentukan perkembangan industri modern. Modernisasi kehidupan mendapat arah baru ketika pada tahun 1796 Ia memperkenalkan mesin uapnya yang menggunakan kondensor. Mesin uap yang ditemukan itu terus menerus disempurnakan menjadi alat yang sangat ampuh dan sempurna daripada alat yang digerakkan oleh tenaga manusia maupun hewan.[1]
Perkembangan tersebut sesuai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang terus menerus menjadikan teknologi semakin canggih dan memudahkan manusia dalam segala aktivitas termasuk perindustrian suatu negara. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia pun juga merasakan manfaat dari berkembangya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang industri. Industri yang sedang berkembang di Indonesia ini merupakan salah satu dari serangkaian alat perekonomian yang dijadikan sebagai tumpuan kemajuan bangsa. Berkembangnya modernisasi ternyata telah merubah berbagai aspek di segala kehidupan, mungkin lebih tepatnya lagi jika dikatakan sebagai era gobalisasi. Seperti yang dikatakan oleh Bhagwati (2004) dalam bukunya In defense of Globalization mendefinisikan globalisasi sebagai proses dalam masyarakat global yang terintegrasi dalam lingkup ekonomi, sosial, budaya dikarenakan adanya komunikasi dan perdagangan.[2] Melalui globalisasi, tuntutan akan majunya segala bidang termasuk dengan modernisasi bidang perekonomian, merupakan pilihan terbaik untuk menuju posisi negara maju yang sering ditandakan dengan industri yang canggih serta berkembang dengan baik. Tak heran, jika saat ini pemerintah Indonesia terus mengupayakan Industri sebagai wadah perekonomian bangsa meskipun pada hakikatnya negeri ini merupakan negara agraris dan maritim yang seharusnya lebih mampu untuk menjadikan kedua bidang tersebut sebagai tumpuan ekonomi yang bersifat kerakyatan di dalam negeri.
Banyak berbagai daerah yang kini mulai mengembangkan eksistensinya dalam bidang perindustrian. Dimulai dari wilayah Pantai Utara Jawa yang sudah menunjukkan eksistensinya lebih dulu pada bidang industri sejak zaman Orde Baru. Kemudian mulai diikuti banyak daerah yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya baik di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun daerah Timur Indonesia. Selain karena otonomi daerah yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat, kebutuhan untuk memajukan perekonomian daerah juga menjadi alasan mengapa industri terus berkembang. Jika dilihat keberadaan industri tersebut, miris sekali kondisi sarana dan prasarana dari industri yang ada. Terkadang suatu kawasan industri yang dibangun ini, mengalami masalah kekurangan sumber daya untuk menopang perindustrian, akibatnya industri tidak mampu berjalan dengan sebaik mungkin. Kebanyakan industri yang gagal dibangun tersebut dikarenakan faktor akan kurangnya  sumber daya, akses menuju pasar, maupun akses administrasi yang efektif dan efisien.
Oleh karena itu, mungkin inilah yang menjadi faktor mengapa pemerintah melakukan restrukturasi terhadap format pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar lebih memfokuskan jenis industri yang akan dibangun dalam suatu daerah dengan tetap memikirkan sumber daya lokal yang ada. Pasalnya, ketika pembangunan industri tidak terarah dan tidak sesuai dengan format pembangunan nasional yang telah ditetapkan, akibatnya industri yang dibangun pada sembarang tempat tidak mampu berjalan dengan baik karena masalah sulitnya menemukan faktor pendukung berjalannya industri di suatu daerah yang sesuai dengan tujuan dan standar kualitas perindustrian.
Daerah-daerah yang menjadi fokus pembangunan industri tersebut biasa disebut sebagai daerah aglomerasi industri. Aglomerasi adalah gabungan kumpulan dua atau lebih pusat kegiatan, tempat pengelompokkan berbagai macam kegiatan dalam satu lokasi atau kawasan tertentu. Menurut Keppres RI No. 41/1996, kawasan tempat pemusatan kegiatan industri dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha. Demikian aglomerasi industri yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah yaitu untuk memusatkan berbagai kegiatan industri dalam satu kawasan dapat terwujud. Tujuan pemerintah untuk memaksimalkan potensi industri pun dapat terjaga kualitasnya dan sesuai dengan mutu pengembangan industri yang terbaik.
Pasca rezim Orde Baru yaitu era reformasi saat ini, pengembangan industri di berbagai daerah semakin massive tingkat pertumbuhannya. Apalagi ditambah dengan kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan pemerintah pusat di era ini sebagai bentuk pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi lokal daerah setempat.  Dengan demikian, pemerintah daerah bukan lagi berpangku tangan dengan pemerintah pusat, yang mana yang pada rezim orde baru dirasa tidak adil karena pembangunan yang ada hanya berfokus pada kota-kota sebagai pusat pemerintahan. Akibatnya, perkembangan daerah-daerah di Indonesia terbengakalai dan rendah akan kualitas kesejahteraannya. Hal ini tidak lain disebabkan karena kurangnya kepedulian pemerintah pada waktu itu.
Kini, masyarakat boleh berbangga terhadap program otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintah. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat menopang dan meningkatkan kesejahteraan daerah melalui pengembangan sarana dan prasarana. Berbagai macam industri pun mulai dikembangkan, mulai dari industri mikro seperti industri kreatif masyarakat hingga industri makro seperti perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik yang dibangun, semuanya ditujukan untuk mengembangkan potensi daerah agar menjadi lebih baik.
Namun, ada permasalahan yang harus dilirik dan diatasi segera terkait perkembangan industri makro seperti pembangunan pabrik-pabrik ini. Ternyata terjadi sebuah ketimpangan sosial dalam penentuan kebijakan terhadap rancangan aglomerasi industri yang dijalankan oleh pemerintah. Alasannya, kebijakan ini telah berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan aglomerasi. Sebagai contoh Kabupaten Serang, Provinsi Banten sebagai daerah yang menjadi salah satu pusat industri, seharusnya mampu lebih sejahtera kondisi masyarakatnya dibalik pembangunan areal pabrik-pabrik. Pasalnya, keberadaan pabrik di wilayah ini yang jumlahnya sekitar 227 perusahaan[3] sudah pasti akan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Apalagi pihak perusahaan pun telah mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk menggunakan lahan di sekitar wilayah pemukiman.
Menurut pandangan The Bussiness Roundtable[4], keberadaan perusahaan sangat bergantung kepada dukungan masyarakat secara luas. Perusahaan juga memperoleh berbagai keistimewaan perlakuan (privileges) seperti kewajiban terbatas (limited liabilities), umur kegiatan usaha tidak terbatas (indefinite life), dan perlakuan pajak khusus. Oleh sebab itu, perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat secara luas sebagai salah satu bagian dari konstituen, karena masyarakat dan para konstituen telah memungkinkan perusahaan memperoleh berbagai perlakuan istimewa tersebut.[5]
 Demikian, dengan adanya pembangunan lokasi perusahaan yang berupa pabrik, baik pihak pemerintah Kabupaten Serang maupun pihak perusahaan mampu berkomitmen untuk saling bekerjasama dan saling memberikan manfaat dalam satu kesatuan pengembangan industri. Sedangkan permasalahan kini, usaha tersebut kurang bisa diindahkan baik oleh pemerintah setempat maupun pihak perusahaan. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar areal pabrik tersebut, ternyata tidak mendapatkan manfaat sepenuhnya dari proses industrialisasi yang ada. Hasil dari proses kerja pabrik malahan hanya mengakibatkan limbah di sekitar pemukiman masyarakat, dan menyebabkan gangguan terhadap kesehatan serta kehidupan sosial masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perusahaan yang ingin memberikan keuntungan sosial bagi masyarakat sekitar lokasi perusahaan.[6]
Atas asumsi tersebut, penulisan ini secara lebih detail ingin membahas (1) bagaimana kebijakan otonomi daerah mampu melayani masyarakat dengan baik, (2) membahas akan manfaat dan dampak dari berkembangnya kawasan aglomerasi industri dan (3) menjelaskan bagaimana hubungan dua aspek antara kebijakan pemerintah daerah dengan adanya pusat industri di kawasan pemukiman untuk memberikan keuntungan sosial (social advantages) dan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar.
Reformasi Kebijakan Melalui Otonomi Daerah  
Mohammad Ma’ruf  pernah mengemukakan pendapatnya saat masih menjadi Menteri Dalam Negeri tahun 2006 mengenai kualitas pelayanan publik oleh aparatur birokrasi. Beliau mengatakan bahwa salah satu indikator dalam membangun kepemerintahan yang lebih baik (good governance) adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik, untuk itu perlu terus menerus didorong upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi, terutama pada setiap unit pelayanan.[7] Jika menelaah perkataan Ma’ruf, hal ini mengindikasikan bahwa penciptaan kondisi kepemerintahan yang lebih baik perlu adanya kerjasama dari tingkatan birokrasi yang paling atas hingga yang paling bawah. Selain itu, elaborasi kerjasama antara pihak pemerintah, swasta dan masyarakat harus seimbang melalui prinsip-prinsip (good governance) yang ada (Lihat Figur 1 Bentuk Hubungan dalam Good Governance). Prinsip-prinsip tersebut antara lain : pengawasan, akuntabilitas, daya tanggap, professionalisme, efisiensi dan efektifitas, transparansi, kesetaraan, wawasan ke depan, partisipasi dan penegakkan hukum. Kesepuluh prinsip yang ditawarkan dalam konsep good governance ini sudah seharusnya dijadikan sebagai acuan untuk membentuk reformasi birokrasi saat ini.
            Figur 1. Bentuk Hubungan dalam Good Governance

Pasalnya, kini perkembangan dinamika sosial masyarakat Indonesia semakin kompleks permasalahannya. Baik itu dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik tingkat keruwetan masalahnya semakin besar hingga terlihat begitu krusialnya. Mungkin ini merupakan akibat dari kesalahan masa lalu, yaitu pada era rezim Orde Baru yang terkenal dengan kekuasaan otoritariannya, di mana birokrasi begitu mudahnya dipermainkan oleh para elit negeri ini. Sebab, pada era rezim Orde Baru pemerintahan itu sarat akan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang ada di kalangan para birokrat. Segala kebijakan yang diterapkan pada rezim ini, hanya sebagai usaha untuk memperkaya kelompok elit di tingkat pusat. Rakyat pun hanya menerima penderitaan karena kurangnya keadilan dari pemerintah yang meskipun terus melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur. Malahan pembangunan tersebut tidak dianggap sebagai sebuah keadilan, karena masalahnya sistem pembangunan sentralistik yang dibangun tidak menghendaki kemandirian pembangunan daerah sehingga kebutuhan daerah juga terbengkalai. Akhirnya, hal ini berimbas terhadap ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah sendiri.
Setelah beberapa tahun pasca tumbangnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia terus berusaha untuk memperbaiki sistem pemerintahnya agar tercipta pemerintahan yang bersih, jujur dan adil. Hal ini diupayakan agar permasalahan yang selama ini merongrong wajah bangsa perihal buruknya kinerja dan skandal para birokrat di pemerintahan Orde Baru, tidak terulang kembali pada Orde Reformasi[8] ini. Reformasi kebijakan merupakan usaha yang tepat untuk mengatasi kondisi serta berbagai masalah dalam tubuh pemerintahan. Reformasi yang sejak awal tahun 1990 ini disuarakan akhirnya mampu dicapai dengan dalih agar sifat pemerintahan yang sentralistik dapat mentransformasikan dirinya agar lebih terbuka dan demokratis terhadap segala usaha pembangunan daerah.
Pada era reformasi, dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih perlu usaha keras untuk merombak segala refleksi buruk dari adat birokrasi pada era rezim Orde Baru. Buruknya sistem pemerintahan sebelumnya, mengharuskan negara mengubah sistem pemerintahan melalui reformasi kebijakan. Salah satu usaha penting yang dilakukan adalah dengan mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Awal Januari 2001, Indonesia melalui UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 mengubah dirinya menjadi negara yang desentralististis, yang memberikan kewenangan besar kepada kabupaten/kota serta propinsi untuk mengelola kepentingan dan kebutuhan mereka. Desentralisasi ternyata tidak hanya menimbulkan manfaat tetapi juga beberapa mudharat sehingga pemerintah kembali merevisi sistem pemerintahan yang desentralistis tersebut pada Oktober 2004 melalui UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.[9]
Perubahan dan penetapan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistik merupakan dambaan setiap negara. Bahkan hingga masyarakat kecil pun sangat mempercayai sistem ini sebagai arah acuan pembangunan yang tepat. Selain mendapatkan kebebasan untuk mengurus pemerintahan daerahnya, dengan ini kedaulatan daerah sebagai penopang kedaulatan negara juga terwujud. Karena melalui sistem desentralistik, pemerintah daerah tidak lagi mendapatkan tekanan atau otoritas kekuasaan yang berlebihan dari pemerintah pusat. Jika pada sistem sentralistik, wewenang pembuatan keputusan berbagai kebijakan publik berada di tangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sebaliknya, pada sistem desentralistik sebagian kewenangan pengelolaan urusan kebijakan publik dilimpahkan kepada pemerintah di tingkat propinsi, kota/kabupaten daerah. Dengan adanya sistem yang desentralistis, daerah bisa lebih mengontrol dan membangun kebutuhan daerahnya di segala bidang seperti sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Sebelumnya, ada hal yang perlu dipahami terkait pengartian tentang definisi desentralisasi. Banyak beragam definisi yang dipahami oleh beberapa orang terkait kata ‘desentralisasi’. Rondinelli dan Cheema (1983) memahami decentralization secara luas, yaitu perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Menurut mereka ada empat bentuk desentraliasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi atau debirokratisasi. Dekonsentrasi merupakan pengalihan kewenangan (dan tanggungjawab) administrasi dalam suatu departemen. Dalam hal ini tidak ada transfer yang nyata karena bawahan menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggungjawab kepada atasannya. Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan tanggungjawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi-organisasi di luar struktur birokrasi pemerintah dan dikontrol tidak secara langsung oleh pemerintah pusat.[10]
Sementara devolusi ialah pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintah di tingkat lokal oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat melakukan kontrol seminimal mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu. Inilah yang kiranya dalam praktik kita sekarang ini dimaknai sebagai desentralisasi dari satu sisi atau otonomisasi di sisi yang lain. Terakhir, privatisasi atau debirokratisasi adalah pelepasan tanggungjawab kepada organisasi-organisasi non pemerintah (NGO) atau perusahaan-perusahaan tertentu.[11]
Sedangkan Bryant (1987) berpendapat bahwa terdapat dua bentuk desentralisasi, yaitu desentralisasi yang bersifat politik (kurang lebih sama dengan devolusi) dan yang bersifat administratif (kurang lebih sama dengan dekonsentrasi). Desentraliasi politik yaitu wewenang membuat peraturan dan melakukan fungsi kontrol tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah yang berada pada daerah otonom. Sedangkan desentralisasi administratif adalah pendelegasian wewenang pelaksanaan kepada pejabat tingkat lokal yang berkedudukan sebagai wilayah administratif. Pejabat tersebut bekerja sesuai dengan rencana dan sumber pembiayaan yang sudah ditentukan[12].
Dari berbagai pendapat atau definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa desentralisasi merupakan sebuah otoritas atau kewenangan untuk menentukan nasib sendiri dan mengelola sumber daya yang dimiliki guna mencapai tujuan bersama. Pemahaman tentang desentralisasi pun terkadang bersifat subjektif, karena hal ini bergantung terhadap perkembangan interpretasi masyarakat dalam memahami desentralisasi itu sendiri. Meskipun terkadang makna desentraliasi tersebut diartikan secara distortif, hal tersebut tidak jauh dari kondisi dan pengalaman masyarakat dalam urusan berpolitik dan pembangunan sosial maupun ekonomi selama ini.[13]
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kita perlu sekali mengubah sistem sentralistis menjadi sistem desentralistis? Ada beberapa alasan yang menjadi dasar perlunya pemerintah pusat mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah provinsi dan kota/kabupaten, di antaranya yaitu:
a.       Dari segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah. Dengan demikian, ada kesetetaraan dalam partisipasi politik serta merupakan media pendidikan politik untuk belajar berdemokrasi secara nyata.
b.      Dari segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas publik, terutama dalam penyelenggaraan layanan publik yang good governance.
c.       Dari segi kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan atau kontekstualitas suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk, kebudayaan atau pun latar belakang sejarahnya.
d.      Dari segi pembangunan, desentralisasi dapat melancarkan proses formulasi dan implementasi program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga. Ketika pemerintah propinsi atau kabupaten mempunyai kewenangan untuk merumuskan sekaligus mengimplementasikan kebijakan pembangunan di daerahnya, maka kebijakan tersebut akan lebih efektif dibandingkan jika wewenang ini dipegang oleh pemerintah pusat. Mengingat kedudukannya yang berada di daerah, maka pemerintah daerah seharusnya lebih peka terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat setempat.
e.       Dilihat dari kepentingan pemerintah pusat sendiri, desentralisasi dapat mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-programnya.
f.        Desentralisasi dapat meningkatkan persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada warga.[14]
Mendalami akan pentingnya desentralisasi, reformasi kebijakan melalui otonomi daerah seolah menjadi juru kunci bagi proses demokratisasi di Indonesia. Menjadikan negara yang demokratis, adil, terbuka, dinamis dan kosmopolit adalah harapan yang besar sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 dikumandangkan di seluruh penjuru negeri ini. Pemerintah pun tidak tinggal diam, kian waktu berjalan restrukturasi sistem kebijakan negeri terus diperbaiki demi menyongsong Indonesia yang lebih sejahtera. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa reformasi yang dilakukan akan diupayakan untuk menstabilkan setiap bidang kehidupan layaknya sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum. Tidak salah, sejak dikeluarkannya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004, yang sebelumnya merupakan revisi dari UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, berbagai daerah di Indonesia mulai mengibarkan sayap kedaulatannya untuk mengatur nasib daerahnya sendiri. Sebagai contohnya, Provinsi Banten sejak tahun 2000 memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat menjadi daerah otonom yang mandiri. Lalu, usaha ini mulai diikuti oleh berbagai daerah pula seperti Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya pada tingkatan provinsi melainkan tingkatan kota/kabupaten daerah, yang pada kesempatan selanjutnya juga turut serta dalam membangun daerah otonomi baru. Hal ini diupayakan demi melancarkan proses demokratisasi di era reformasi dengan mengacu kepada UU otonomi daerah tersebut.
Reformasi memang sudah berjalan selama satu dekade ini, tetapi masih ada berbagai permasalahan yang menyangkut pelaksanaan otonomi daerah. Namun demikian, yang riil politik desentralisasi selama era pasca-Soeharto telah secara fundamental mengubah konfigurasi politik lokal di Indonesia.[15] Adakalanya, permasalahan terhadap desentralisasi muncul terkait reformasi kebijakan atau sistem yang ada tidak dituruti oleh perubahan budaya birokrasi di negeri ini. Akhirnya, terjadi suatu ketimpangan dalam proses penentuan kebijakan otonomi di berbagai daerah. Cerminan buruk patologi sosial seperti  KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan hal yang masih melekat dalam tubuh birokrasi dan sulit untuk dihilangkan dari praktek kepemerintahan hingga sekarang. Beberapa yang bisa dijadikan contoh kasus antara lain yaitu kasus Pro-Kontra atas mekanisme pemilihan Gubernur untuk Yogyakarta sebagai daerah istimewa terkait RUU Keistimewaan DIY, yang baru saja diselesaikan oleh DPR pada UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY atau UU Keistimewaan.[16]
Kasus lainnya yaitu soal pengembangan daerah pemekaran yang dianggap mubazir. Adanya wacana moratorium pemekaran daerah perlu diterapkan di Indonesia menjadi beigtu hangat dibicarakan oleh masyarakat akhir-akhir ini. Pemekaran daerah merupakan konsekuensi logis dari semangat otonomi daerah dinilai sudah memabukkan dan tidak tertahankan. Terakhir tercatat lebih dari 150 daerah yang baru mekar. Hal ini menjadi dilematis ketika pemerintah membuka hasil evaluasi bahwa sebagian besar daerah baru dinyatakan gagal untuk dinilai mampu berdiri sebagai daerah otonom baru dilihat dari sisi kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik dan pelayanan publik. Memang terlihat semakin kompleks permasalahannya ketika kita menjadikan otonomi daerah dengan menempatkan kabupaten sebagai basis otonomi yang berakibat pada pelimpahan pegawai negeri sipil pusat ke daerah, sementara sebagian besar pemerintah daerah belum siap melaksanakan otonomi.[17] Kelemahannya terutama terletak pada sumber daya manusia, rendahnya kecakapan dalam menanggapi persoalan masyarakat serta wawasan pemerintahan yang sempit.[18]
Hal yang sama mungkin juga bisa dibilang menimpa birokrasi pemerintahan di Kabupaten Serang, soal menetapkan kebijakan tentang pembangunan industri di sekitar pemukiman masyarakat. Pasalnya terjadi sebuah ketimpangan bagi masyarakat sekitar kawasan industri yang kurang mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang dibuat pemerintah maupun pihak perusahaan. Pemerintah daerah yang memiliki otoritas dalam penentu kebijakan, sejatinya harus mampu memberikan angin segar kepada masyarakat dalam meraih kesejahteraan. Ditambah lagi dengan program otonomi daerah yang harus dimaksimalkan proses dan pelaksanaanya di kehidupan bernegara.
Menanggapi segala macam permasalahan yang telah disebutkan di atas, disadari atau tidak pelaksanaan reformasi kebijakan melalui otonomi daerah di Indonesia belum maksimal untuk dilaksanakan pada level pemerintah lokal. Era globalisasi yang menyentuh Indonesia pun, perlu disesuaikan melalui pemikiran-pemikiran dan aktivitas-aktivitas yang strategis. Reformasi sistem pemerintahan harus dibentuk sedemikian rupa agar arah tujuan reformasi dapat tercapai seperti efficiency, efectiveness, responsiveness concern in their admininstrative systems.[19]
Oleh sebab itu, jika hendak melakukan reformasi birokrasi Rayanto (2009) menyarankan agar melakukan (1) penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan melalui jalur regulasi, (2) peningkatan kapasitas SDM, (3) pengawasan yang ketat terhadap kinerja aparatur, dan (4) peningkatan kualitas pelayanan publik. Keempat poin tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara desentralisasi administrasi negara, restrukturasi sistem kebijakan yang ada serta mengubah budaya organisasi birokrasi sesuai dengan kinerja swasta agar tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Demikian permasalahan yang mengikat Indonesia selama ini perihal kinerja birokrasi yang buruk dapat segera teratasi, asalkan ada komitmen yang kuat terhadap reformasi kebijakan saat ini.

Era Otonomi Daerah dan Usaha Pengembangan Aglomerasi Industri
Era reformasi yang sudah berjalan selama lebih dari satu dekade ini merupakan usaha yang tidak sia-sia untuk mendemokratisasi Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reformasi sistem kepemerintahan. Otonomi daerah pun menjadi sebuah pilihan yang matang untuk melaksanakan perubahan tersebut. Hingga kini, pelaksanaan otonomi daerah masih belum mampu diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Masih ada kendala yang menyelimuti proses berjalannya otonomi ini, baik dari sisi sistem dan kebijakan yang ada maupun sumber daya yang kurang mendukung berjalannya pemerintahan daerah. Malahan kesalahan pelaksanaan sering terjadi akibat tindakan yang “asal-asalan” dalam pembuatan berbagai peraturan dan kebijakan publik sehingga menimbulkan Trial and Error yang sering terjadi di Indonesia. Kita boleh memaklumi keadaan bangsa kita saat ini, sejauh Indonesia masih muda sekali umurnya dibanding negara-negara besar yang maju seperti Amerika serikat, Jepang, maupun Inggris dalam kehidupan beragam negara di dunia. Begitu pun reformasi, umurnya yang masih muda atau bisa dikatakan baru “seumur jagung” ini pastinya masih perlu banyak perubahan sistem agar dapat sesuai dengan cita-cita dan tujuan bernegara Republik Indonesia.[20]
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa proses otonomi daerah untuk mengubah sistem sentralistis menjadi sistem desentralistis memiliki banyak makna pengertian dan arahan dalam menginterpretasikannya melalui arahan kebijakan reformasi. Jelasnya, desentralisasi ini bagi kebanyakan orang memaknainya sebagai kekuasaan daerah untuk mengurus dirinya sendiri tanpa intervensi yang berlebihan dari pemerintah pusat. Setiap daerah diberi kewenangan dan keleluasan untuk membangun kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum yang disepakati oleh segenap warga setempat tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar bernegara yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Memaknai otonomi daerah dari segi ekonomi, banyak jenis usaha dan kebijakan yang dilakukan oleh setiap kepala daerah di Indonesia. Hal itu pun juga tidak terlepas dari bantuan pemerintah pusat sebagai lembaga tertinggi negara untuk mengawasi beragam kebijakan daerah-daerah di Indonesia. Provinsi Banten yang sejak tahun 2000 menjadi daerah otonomi baru, merasa bahwa reformasi kebijakan di daerah otonomi perlu dilakukan segera. Khususnya dalam bidang ekonomi, provinsi ini terus mengupayakan beragam unit perekonomian baik dari segi pertanian, pariwisata, usaha mikro serta usaha makro untuk menumbuhkembangkan kualitas ekonomi daerah.
Bicara soal usaha makro, pemerintah Banten lebih cenderung pada arah pengembangan industri pabrik-pabrik di daerah kabupaten/kota sekitar wilayah provinsi ini. Kepercayaan bahwa negara maju adalah negara yang industrinya berkembang pesat menjadi mindset tersendiri bagi kebanyakan orang di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat Banten sepertinya juga setuju dengan pandangan ini. Terlebih sejak sebelum era reformasi bergulir, beberapa daerah di Provinsi Banten telah menjadi kawasan industri tersendiri. Di antaranya seperti di daerah Tangerang, Serang dan Cilegon menjadi ladang industri yang begitu besar. Selanjutnya, daerah-daerah tersebut semakin pesat pertumbuhan ekonomi dan masyarakatnya dalam kehidupan sosial. Hubungan industri dan masyarakat yang tercipta di kawasan industri pun telah memunculkan berbagai komunitas yang pada hakikatnya memiliki hubungan timbal-balik dengan industri. Secara fundamental, industri mempengaruhi lembaga, organisasi dan kelompok dalam komunitas keluarga, kelas-kelas sosial, lingkungan sosial, kelompok rekreasional dan ragam tokoh agama. Dengan cara inilah industri dan komunitas saling mempengaruhi.[21]
Dibalik hubungan timbal balik antara industri dan komunitas setempat termasuk pemerintah daerah. Ada satu hal yang menjadikan industri begitu vital bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan kawasan industri di suatu daerah akan membuat proses pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik daerah tersebut semakin meningkat. Ini disebabkan dengan adanya usaha-usaha yang sengaja dilakukan oleh industri untuk mempengaruhi masyarakat, atau oleh masyarakat untuk mempengaruhi industri. Baik manajemen maupun buruh berusaha menyelesaikan suatu perselisihan dalam komunitas, misalnya dengan mempengaruhi pendapat umum atau dengan para politikus dan perundang-undangan. Demikian juga pada zaman sekarang, negara terus-menerus mengendalikan industri; mengendalikan organisasi internnya, hubungan antar buruh dan manajemen serta syarat-syarat penjualan produk industri tersebut.
 Hubungan antara pihak manajemen suatu industri dengan komunitas (dalam hal ini masyarakat dan pemerintah setempat) terkadang tidak seharmonis yang kita kira. Sebagaimana akan dilihat nantinya, industri tidak mengintegrasi secara sempurna kepada masyarakat. Dalam beberapa hal, kurang baiknya integrasi ini telah menimbulkan konflik di mana masing-masing pihak berusaha menguasai pihak lain demi keuntungannya sendiri.[22] Sebagai bukti, yaitu kasus permasalahan dari adanya kawasan industri di areal pemukiman warga di Kabupaten Serang, Banten. Eksistensi kawasan industri di wilayah ini sudah menjadi tulang punggung pendapatan daerah yang begitu besar. Selain mampu menopang perekonomian di Serang, industri juga mampu menyerap berbagai komunitas masyarakat yang pengangguran untuk bekerja di lahan-lahan industri tersebut.
Masalah yang terjadi di sini bukan sekadar pembicaraan seputar gaji buruh atau sebagainya. Melainkan lebih ke dalam manfaat yang diberikan pihak perusahaan pabrik-pabrik dari adanya pemusatan kawasan industri (aglomerasi industri) di wilayah pemukiman warga. Alasannya karena keberadaan pusat industri di Serang tidak sepenuhnya mampu menjalankan fungsi dan tujuan dari industri yang sesuai amanat dari undang-undang Perseroan Terbatas yaitu UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Seperti yang dijelaskan dan disampaikan bahwa setiap industri yang bersifat makro seperti Perseroan Terbatas (jenis pabrik-pabrik biasanya) dalam melaksanakan proses kerja industri juga harus memperhatikan manfaatnya bagi lingkungan sekitar. Namun, yang terjadi di Serang adalah bahwa pemusatan kawasan industri malah menyebabkan dampak bagi lingkungan sekitar, baik itu bagi masyarakat maupun lingkungan alam. Berbagai masalah tersebut antara lain kasus pencemaran limbah industri di sekitar sungai-sungai di Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang serta munculnya lingkungan pemukiman yang kumuh (slum area) menyelimuti kawasan industri ini.
Padahal, pihak perusahaan pun sering mendapatkan teguran dari warga akan masalah ini. Tetapi pada akhirnya tidak ada tanggapan yang berarti dari manajemen pabrik tersebut. Pemerintah pun juga seolah-olah tidak tahu-menahu seputar persoalan ini dan hanya sekadar memberikan pengarahan yang kurang intens terhadap pihak perusahaan dan masyarakat. Akibatnya, persoalan ini terbengkalai karena tidak adanya niatan baik untuk membenahi kasus yang menimpa pemukiman warga di kawasan industri.
Banjir di desa Selikur Kecamatan Kragilan yang kembali terjadi beberapa hari yang lalu merupakan bukti dari lemahnya manajemen industri di daerah Serang, Banten. Dalam pemaparannya, Angga Hermawan seorang warga dari Desa Selikur mengatakan bahwa banjir sudah sering terjadi hampir setiap tahun dikala hujan mengguyur. Hal ini disebabkan oleh saluran air yang tersumbat di areal sekitar pemukiman warga serta akibat dari pendangkalan sungai karena limbah pabrik yang ada di sekitar areal industri dibuang begitu saja melalui sungai Ciujung ini.[23] Akibatnya, hampir setiap tahun banjir terus melanda daerah sekitar kawasan industri ini meskipun kondisinya tidak begitu parah.
Bukan hanya itu, di desa lainnya pun turut mengalami hal yang serupa. Sebagai contohnya Desa Undar-andir yang masih satu kecamatan dengan Desa Selikur, desa tersebut juga mengalami kebanjiran setiap musim hujan. Hal yang memperparah adalah kondisi ini ternyata berimbas kepada Jalan Tol  Jakarta-Merak Km. 58 di dekat desa Undar-andir yang harus terputus akibat banjir yang menggenangi lahan tol di sekitarnya. Dampak dari terputusnya jalan tol yaitu arus kendaraan baik dari arah Jakarta maupun Merak harus terganggu bahkan tidak bisa melewati jalanan itu sendiri. Pada akhirnya, persoalan ini juga imbasnya kepada berbagai aktivitas masyarakat termasuk industri. Seperti yang dikemukakan oleh Sapto Rahardjo[24] seorang karyawan swasta yang bekerja di daerah Tangerang, beliau menjelaskan bahwa sudah  dua hari hujan deras mengguyur Serang, sehingga daerah yang biasa terkena langganan banjir harus mengalami kebanjiran lagi. Bukan hanya memutus jalan, banjir juga memutus akses beberapa karyawan yang bekerja di daerah Tangerang, dan harus merelakan untuk tidak pergi bekerja karena jalan yang terputus.
Sudah sekian lama persoalan di Kabupaten Serang ini terjadi. Dampaknya sering menimpa masyarakat daerah sekitar yang selalu merasakan bencana banjir dikala musim penghujan datang. Bukan hanya banjir, limbah industri yang dibuang di sekitar pemukiman warga juga mempengaruhi kualitas lingkungan setempat. Akan tetapi, jika permasalahan ini hanya dibiarkan saja tanpa tindakan yang lebih lanjut, bagaimanakah kondisi masyarakat serta kelestarian alam sekitarnya ke depannya? Padahal komitmen pemerintah dan industri yaitu untuk menciptakan lingkungan yang lebih teratur dan dinamis sesuai kemajuan zaman. Dan bagaimanakah seharusnya peran perusahaan dan pemerintah sebagai dua lembaga yang memiliki hubungan otoritas dalam pengaturan kebijakan? Apakah harus berdiam diri saja tanpa melakukan tindakan yang intensif?
Perusahaan dan pemerintah sebagai dua lembaga yang paling dominan dalam faktor penentu kebijakan di era otonomi daerah dan aglomerasi industri, justru terlihat seperti mencari “kambing hitam” sendiri terkait berbagai persoalan yang timbul di kawasan pemukiman dan industri. Hubungan antara industri dengan pemerintah memang sudah berjalan sedemikian rupa panjangnya jika dilihat dari sisi historisnya. Industri yang telah membentuk suatu komunitas tersendiri tidak dapat kita tolak keberadaannya, melainkan harus didukung melalui bekerja sama yang efektif dari masyarakat dalam melaksanakan pembangunan.
Perubahan-perubahan dalam industri dan masyarakat terhadap peradaban industri merupakan suatu hal yang tidak dapat dicegah. Melainkan perubahan yang direncanakan untuk membentuk tata kelola kehidupan yang lebih canggih ini, harus mampu menyesuaikan dengan tuntutan di zaman globalisasi yang menuntut masyarakat agar lebih maju. Semakin berkembangya masyarakat di era industrialiasi, semakin besar pula tuntutan hidup dan tata kelola pemerintahan yang baik, dan seharusnya juga dapat diciptakan di kawasan aglomerasi industri yang ada.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa good governance merupakan kunci dari pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi ini. Sekaligus sebagai usaha memajukkan kemakmuran bangsa, industri juga turut ikut berperan dalam penentuan masa depan bangsa. Melalui pertumbuhannya yang begitu pesat, diprediksikan Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi salah satu dari kekuatan ekonomi dunia. Demikianlah, harus ada persiapan yang matang dalam menentukan berbagai kebijakan otonomi.

Good Governance dalam Menciptakan Kesejahteraan Masyarakat Serang, Banten
            Terdapat hubungan yang seimbang antara good governance, aglomerasi industri dan corporate social responsibility dalam pengembangan masyarakat. Era industrialiasi yang sedang berkembang pesat merupakan serangkaian sistem yang saling terhubung untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Otonomi daerah yang telah dicanangkan sejak awal tahun 2000, menaruh banyak pengharapan bagi rakyat seluruh di penjuru Nusantara. Runtuhnya sistem pemerintahan yang otoriter seolah-olah menjadi mimpi buruk yang tidak ingin terulang kembali pada pemerintahan selanjutnya.
Dengan ini, reformasi kebijakan yang berlandaskan prinsip good governance diharapkan mampu menjadi sistem arahan yang tepat dalam mengatasi berbagi persoalan di era globalisasi yang semakin kompleks. Istilah good governance pun semakin tersebar di kebanyakan orang melalui interpretasi yang berbeda-beda terhadap makna terminologi ini. Terminologinya juga tidak dapat diartikan secara independen ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga masih tetap dipertahankan sesuai bentuk asli kata-katanya. Satu titik yang menjadi inti makna dari good governance adalah suksesi pelaksanaan demokratisasi di Indonesia melalui nilai-nilai yang besifat kebebasan, kesamaan, dan keadilan.
Serang sebagai salah satu daerah otonomi provinsi, juga terus melakukan upaya untuk melaksanakan pemerintahan yang good governance. Adanya pusat kawasan industri di Kabupaten Serang, menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam mewujudkan otonomi daerah yang berkualitas dan mampu mensejahterakan masyarakat setempat. Selain itu, permasalahan yang sebelumnya sudah dijelaskan perihal aglomerasi industri dan kebijakan publik terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Serang perlu dibahas dan ditemukan solusinya secara berkelanjutan. Pada sesi ini, akan dipaparkan tulisan mengenai rencana strategis yang akan memberikan ruang bagi industri untuk membangun komunitas masyarakat menjadi lebih baik melalui prinsip-prinsip good governance dan corporate social responsibility (CSR).
Menilik kembali lemahnya manajemen publik di Kabupaten Serang yang pada bab sebelumnya dijelaskan. Untuk memulai mengatasi berbagai persoalan yang timpang di kawasan industri Kabupaten Serang, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan melalui prinsip-prinsip corporate social responsibility yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan maupun  industri. Mengingat pula pentingnya sebuah manajemen perusahaan berdasarkan tanggung jawab sosial untuk diterapkan dalam masyarakat sekitar industri, ide perancangan CSR ini menjadi topik yang hangat dibicarakan di abad 20-an ke atas. Selain idenya yang menarik terkait konsep memanusiakan manusia dalam bidang industri, CSR ternyata telah membantu beragam problem baik intern maupun ekstern industri dari masyarakat tersebut.
1.         Perkembangan Konsep CSR di Era Tahun 1990an sampai Saat Ini
Pada tahun 1987, The World Comission on Environment and development yang lebih dikenal dengan The Bruntland Comission mengeluarkan laporan yang dipublikasikan oleh Oxford University Press berjudul “Our Common Future”. Salah satu poin penting dalam laporan tersebut adalah diperkenalkannya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), yang didefinisikan oleh The Bruntland Comission sebagai berikut[25].
            “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generetions to meet their own needs
Konsep sustainability development sendiri, mengandung dua ide utama di dalamnya, antara lain:
(a)      Untuk melindungi lingkungan, dibutuhkan pembangunan ekonomi. Kemiskinan yang terjadi di berbagai negara berkembang telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini terjadi karena buruknya sikap masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang ada dengan asal-asalan karena lemahnya pengetahuan yang disebabkan oleh faktor kemiskinan. Oleh karena itu, melindungi lingkungan hidup agar tercipta pelestariannya di masa yang akan datang merupakan keputusan yang tepat untuk diambil.
(b)      Bukan hanya itu, pembangunan ekonomi pun harus memperhatikan keberlanjutan, yakni dengan melindungi sumber daya yang dimiliki bumi bagi generasi mendatang. Tidak diperbolehkan dalam melakukan pengembangan ekonomi dengan merusak hutan, lahan pertanian, air dan udara sebagai pendukung kelestarian sumber daya.
The Bruntland Comission dibentuk untuk menanggapi keprihatinan yang semakin meningkat dari para pemimpin dunia terutama menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Hal ini tidak lain juga disebabkan dari sektor industri di berbagai negara maju di dunia seperti Amerika Serikat.
Menanggapai pendapat dari The Bruntland Comission, dapat dijelaskan bahwa kasus kebanjiran di sekitar kawasan industri di Kabupaten Serang Banten yang lebih tepatnya di Kecamatan Kragilan ini, telah mengindikasikan bahwa keberadaan industri di sekitar pemukiman warga di sana belum memenuhi kriteria prinsip-prinsip perusahaan yang sesuai dengan CSR. Oleh karena itu, bencana alam seperti banjir bisa terjadi melihat kondisi kawasan pusat industri di Kabupaten Serang yang kumuh (slum area).

      2.      Good Corporate Governance dan Keterkaitannya dengan CSR
Istilah “Corporate governance” (tata kelola perusahaan) merupakan tindakan kolektif yang hendak dilakukan dalam mencapai tujuan tertentu. Ini lebih menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku perusahaan dalam menjalin kerjasama dengan berbagai komunitas pendukung berjalannya industri atau perusahaan tertentu. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mengemukakan corporate governance sebagai berikut.
            “Corporate Governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Struktur corporate governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu korporasi seperti dewan direksi, para manajer, para pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya”.[26]
Beragam alasan yang mendorong pentingya isu Good Corporate Governance, disebabkan oleh beberapa faktor seperti munculnya gelombang privatisasi, Merger dan pengambilalihan perusahaan (takeovers), deregulasi dan integrasi pasar modal, serta krisis ekonomi merupakan poin penting dalam menjawab permasalahan ini. Sehingga problema yang terjadi akan cepat diselesaikan dengan segera mungkin melalui prinsip-prinsip yang tepat.
Implementasi program CSR oleh perusahaan pada hakikatnya bersifat orientasi dari dalam ke luar. CSR yang bersifat voluntary ini mengharuskan setiap perusahaan (termasuk industri) sebelum melaksanakan kebijakan CSR, perusahaan harus bisa terlebih dahulu untuk membenahi kepatuhan perusahaan terhadap hukum. Perusahaan juga harus menjalankan bisnisnya sebaik mungkin sesuai dengan good corporate governance, sehingga penjaminan terhadap peraihan laba yang besar akan terwujud (economic responsibility).
Implementasi CSR juga merupakan salah satu prinsip pelaksanaan GCG, sehingga perusahaan yang melaksanakan GCG sudah terlebih dahulu melaksanakan CSR. Seperti yang dijelaskan dalam Pedoman Umun Good Corporate Governance Indonesia bahwa “Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan”, sehingga pada akhirnya akan ada pengakuan sebagai pelaksana good corporate governance. Di Indonesia, pelaksananaan corporate social responsibility (CSR) berkaitan dengan pelaksanaan CSR untuk kategori (discretionary responsibility), yang dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda.
Pertama, pelaksanaan CSR memang praktik bisnis secara sukarela (discretonary bussiness practice) artinya pelaksanaan CSR lebih banyak berasal dari inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas yang dituntut untuk dilakukan perusahaan oleh perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Kedua, pelaksanaan CSR bukan lagi merupakan discretionary bussiness practice, melainkan pelaksanaannya sudah diatur oleh undang-undang (besifat mandatory). Sebagai contoh, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki kewajiban untuk menyisihkan sebagian laba yang diperoleh perusahaan untuk menunjang kegiatan sosial seperti pemberian modal bergulir untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Demikian halnya bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya alam, diwajibkan untuk melaksanakan CSR sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74.
Selain dilihat dari dasar hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia secara konseptual masih harus dipilah antara pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan besar (korporasi) atau pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah (small-medium enterprise-SME). Sebab, sering terjadi kekeliruan bahwa CSR indentik dengan perusahaan besar, yang pada kenyataannya juga dibutuhkan bagi pelaksanaan perusahaan kecul dan menengah. Oleh karena itu, perlu dicermati pelaksanaan CSR dalam konteks good governance secara menyeluruh dengan terus memperhatikan faktor-faktor lainnya. (Lihat Figur 2 menggambarkan kategori pelaksanaan CSR oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia)
Figur 2. Kategori Pelaksanaan CSR di Indonesia
  
            Dari perbincangan di atas, dapat disimpulkan bahwa reformasi kebijakan di era desentralisasi ini merupakan cerminan yang harus kita buat dalam menyambut demokrasi di Indonesia. Perubahan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistik pasca bergulirnya reformasi di tahun 1998 dijadikan sebagai titik loncatan pembangunan bangsa ke depannya, di mana pada era sebelum reformasi negara ini begitu “damainya” dengan pemerintahan yang otoriter, sehingga rakyat di negeri ini pun cenderung menutup diri dan pasif dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
            Otonomi daerah yang berkembang saat ini, memberikan keleluasan tersendiri bagi daerah-daerah di Indonesia. Praktek demokrasi lokal yang dilaksanakan di bawah UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, menjadi landasan berpijak dalam upaya reformasi kebijakan pemerintahan negara. Rezim Orde Baru yang hanya menjadikan pemerintah daerah sebagai “babu” kepentingan pemerintah pusat, tidak akan kita temukan lagi di era desentralisasi ini. Pembangunan di daerah yang semula terbengkalai, akan dijamin oleh pemerintah agar tidak mengalami hal yang serupa di kemudian hari. Pemerintah pun berusaha menerapkan kepemerintahan yang good governance, untuk mengatasi berbagai problem pemerintahan seperti buruknya citra birokrasi di era sebelumnya. Pengharapan yang besar dipanjatkan oleh rakyat di berbagai daerah di Indonesia pada kepemerintahan yang demokratis ini. Melalui kebijakan desentralisasi serta otonomi daerah, harapannya pelayanan publik terhadap pembangunan di daerah dapat terwujud sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
            Pengembangan industri beserta kawasannya di berbagai daerah di Indonesia merupakan fokus tersendiri dari usaha pemerintah dalam menjalankan kepemerintahan di era otonomi ini. Prinsip-prinsip good governance yang dijadikan landasan pada proses kepemerintahan, akan diupayakan sekuat-kuatnya mengingat kebutuhan akan birokrasi kepemerintahan yang baik di era globalisasi ini. Lebih tepatnya jika dalam pengembangan kawasan Industri, perlu adanya prinsip-prinsip corporate social responsibility atau sustainability development agar tercipta suatu komunitas industri yang sehat, ramah lingkungan, mandiri dan kreatif. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen bersama untuk mewujudkan reformasi kebijakan publik di Indonesia, melihat banyak sisi positif dari program otonomi daerah yang dijalankan. Demikian pemerintahan yang good governance dan menjunjung tinggi keberlanjutan pembangunan akan dapat terwujud di masa depan melalui beragam upaya kebijakan yang progresif.


Referensi:

Buku
Badrika, I Wayan. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum Untuk SMU Kelas 2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
Bhagwati, Jagdish and Joanne J. Mayers, In Defense of Globalization. (2004). http://www.carnegiecouncil.org/resources/transcripts/5046.html/_res/id%3Dsa_File1/In_Defense_of_Globalization.pdf’ (28 November 2012)
Brothers, Edwards. Michigan and Ann Arbor. The Chicago Manual of Style 16th       Edition.           USA: The University of Chicago Press, Ltd, London. 2010.
Bryant, Coralie dan Louise G. White. Managing Development in the Third World. Colorado: Westview Press, 1982.
Perdana Wiratraman, R. Herlambang. Does Post-Soeharto Indonesian Law System Guarantee Freedom of The Press? dalam buku“Breaking The Silence”. Southeast Asia Human Rights Studies Network 2011, Edited by Azmi Sharom, Sriprapha Patcharamesree, and Yanuar Sumarlan (Bangkok: SEAHRN Copyright, 2011).
Rondinelli, Dennis. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Edited by  G. Shabbir Cheema. Beverly Hills: Sage Publications, 1983.
Solihin, Ismail. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Baron dan P. David. Bussiness and Its Environment, Edisi ke-5. Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Education Inc, 2006.
Utomo, Warsito. Dinamika administrasi Publik: Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan MAP UGM, 2003.
V. Schneider, Eugene. Translated by Drs. J. L. Ginting. Industrial Sociology. New Delhi: Tata Mcgraw – Hill Publishing Company Ltd, 1986.
Wibawa, Samodra. “Good Governance dan Otonomi Daerah” dalam Buku “Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”, diedit oleh Agus Dwiyanto hal. 44-49 (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008).
Jurnal, Koran dan Majalah
Hadi, Kusno. Reformasi Birokrasi dan Kebijakan Pelayanan Publik Berkualitas di Kabupaten Pemekaran. Swara Politika Jurnal Politik dan Pembangunan 11, no. 4 Oktober 2010: 317.
Harian Kompas, 26 Maret 2005: hal.3.
Muhammad Ma’ruf, “Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik”, Majalah Media Praja Vol. 1, No. 06, (2006).
Website dan Artikel Online
Bruntland Comission (http://en.wikipedia.org/wiki/Bruntland_Comission). Diakses tanggal 6 Januari 2013
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (http://en.wikipedia.org/wiki/OECD). Diakses tanggal 6 Januari 2013.
Website resmi Pemerintah Kabupaten Serang , Pengembangan Industri, http://serangkab.go.id/profil_kabupaten/sosial_ekonomi/pengembangan_industri  Diakses (8 November 2012)



[1] I Wayan Badrika, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum Untuk SMU Kelas 2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003, hal. 11.
[2] Jagdish Bhagwati, Joanne J. Mayers, In Defense of Globalization. (2004). http://www.carnegiecouncil.org/resources/transcripts/5046.html/_res/id%3Dsa_File1/In_Defense_of_Globalization.pdf’ (28 November 2012)
[3] Data dari Website resmi Pemerintah Kabupaten Serang , Pengembangan Industri, http://serangkab.go.id/profil_kabupaten/sosial_ekonomi/pengembangan_industri  Diakses (8 November 2012)
[4] The Bussiness Roundtable didirikan pada tahun 1972 dan beranggotakan CEO dari 15 perusahaan besar di Amerika, yang secara keseluruhan mempekerjakan kurang lebih 10 juta karyawan. Pada tahun 1981, salah satu gugus tugas dalam The Bussiness Roundtable mengeluarkan “Statement on Corporate Responsibility”. Pernyataan tersebut menyebutkan pentingya perusahaan melayani seluruh konstituen perusahaan yang terdiri atas: (a) pelanggan, (b) karyawan, (c) para penyedia dana (financiers), (d) pemasok, (e) masyarakat setempat (communities), (f) masyarakat secara luas (society at large), (g) pemegang saham (stakeholders). Pemaparan ini dikutip dari bukunya Baron dan P. David, Bussiness and Its Environment, Edisi ke-5, Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Education Inc, 2006, hal. 665.
[5] Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility. Jakarta: Salemba Empat, 2008, hal 8.
[7] Muhammad Ma’ruf, “Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik”, Majalah Media Praja Vol. 1, No. 06, (2006).
[8] Orde Reformasi, secara sah dimulai sejak lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Dalam pelaksanaannya, rezim ini intinya ingin menunut sistem demokrasi di negeri ini yang menganggap bahwa rezim otoriter Orde Baru tidak layak lagi untuk dipatuhi, sesuai dengan fakta tentang berbagai keburukkan birokrasi pemerintah yang dilakukan oleh Rezim Soeharto.
[9] Samodra Wibawa, “Good Governance dan Otonomi Daerah” dalam Buku “Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”, diedit oleh Agus Dwiyanto (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), hal. 44.
[10] Dennis Rondinelli dan G. Shabbir Cheema (ed), Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications, 1983.
[11] Ibid
[12] Coralie Bryant dan Louise G. White, Managing Development in the Third World. Colorado: Westview Press, 1982.
[13] Pada masa era Presiden Soeharto, rakyat Indonesia cenderung dibungkam. Sehingga dalam proses berpolitik pun masyarakat cenderung pasif, karena rezim otoriter yang ada mengharuskan seluruh rakyat Indonesia tunduk patuh terhadap segala kebijakan pemerintah. Baik itu dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya maupun hukum. Buktinya, yaitu kasus Petrus (penembak misterius) dan pelanggaran HAM merupakan bukti penyelewengan di era rezim Orde Baru. Pada saat itu, bagi siapa pun yang melanggar ketentuan pemerintah atau pun melawan segala kebijakannya, pasti akan ditindak tegas oleh pemerintahan Soeharto melalui militernya seperti kasus Petrus. Petrus merupakan sebutan kala masa rezim Soeharto bagi siapa pun yang melawan kebijakan presiden, akan ditemukkan tewas entah dibunuh oleh siapa? Maka tidak heran jika sering ada sindiran saat itu bagi seseorang yang berani melawan pemerintah “Pagi bicara, Sore tiada”.
[14] Samodra Wibawa, “Good Governance dan Otonomi Daerah” dalam Buku “Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”, diedit oleh Agus Dwiyanto (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), hal. 48-49.
[15] R. Herlambang Perdana Wiratraman, Does Post-Soeharto Indonesian Law System Guarantee Freedom of The Press? dalam buku“Breaking The Silence”, Southeast Asia Human Rights Studies Network 2011, Ed. Azmi Sharom, Sriprapha Patcharamesree, Yanuar Sumarlan (Bangkok: SEAHRN Copyright, 2011), hal. 103.
[16] Permasalahan ini muncul setelah era reformasi bergulir, yang menginginkan di era demokrasi sistem pemerintahan setiap daerah harus disamakan. Bagi yang pro-pemilihan, alasannya karena dalam demokrasi sudah seharusnya mekanisme pemilihan kepala daerah harus berdasarkan peraturan UU No. 32 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis oleh rakyat bukan secara turun temurun. Bagi yang pro-penetapan, mengaitkan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah terbentuk entitas wilayahnya sebagai daerah istimewa, sebenarnya sudah memposisikan diri sejak tahun 1945 melalui UUD 1945 Pasal 18B ayat 1, bahwa DIY akan dijadikan sebagai daerah istimewa yang memiliki kekhususan pemerintahannya sendiri. Bagitu sama halnya dengan Nanggroe Aceh Darussalam dengan sistem pemerintahan syariahnya. Mendefinisikan makna demokrasi bagi rakyat DIY, sebenarnya dengan menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai kepala dan wakil kepala daerah sudah merupakan demokrasi tersendiri bagi rakyat DIY.
[17] Kusno Hadi, Reformasi Birokrasi dan Kebijakan Pelayanan Publik Berkualitas di Kabupaten Pemekaran, Swara Politika Jurnal Politik dan Pembangunan 11, no. 4 Oktober 2010: 317.
[18] Dikutip dari Harian Kompas, 26 Maret 2005: hal.3.
[19] Warsito Utomo, Dinamika administrasi Publik: Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan MAP UGM, 2003, hal. 59.
[20] Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, cita-cita dan tujuan Bangsa Indonesia yaitu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
[21] Eugene V. Schneider, Drs. J. L. Ginting, trans. Industrial Sociology. New Delhi: Tata Mcgraw – Hill Publishing Company Ltd, 1986, hal. 429.
[22] Ibid
[23] Angga Hermawan, dalam komentarnya di jejaring media sosial Facebook, 7 Januari 2013. Dalam faktanya Desa Selikur di Kecamatan Kragilan ini merupakan daerah yang berada dipinggir sungai Ciujung. Selain itu wilayahnya juga dekat dengan kawasan industri pabrik yaitu PT. Indah Kiat Pulp & Paper Serang.
[24] Sapto Rahardjo, dalam sambungan telepon, 10 Januari 2013. Beliau adalah seorang karyawan swasta yang bekerja di daerah Tangerang yang juga mengalami dampak akibat banjir yang melanda sekitar desa Undar-andir yang dekat dengan Jalan Tol Jakarta-Merak Km. 58.
[25] Bruntland Comission (http://en.wikipedia.org/wiki/Bruntland_Comission). Diakses tanggal 6 Januari 2013.
[26] Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (http://en.wikipedia.org/wiki/OECD). Diakses tanggal 6 Januari 2013.

2 komentar:

  1. sangat membantu dalam mengerjakan tugas. aku copy ya:) terimakasih

    BalasHapus