Jumat, 07 November 2014

SASTRA CYBER, SUATU KENISCAYAAN DI ERA DIGITAL

Menulis suatu karya sastra lewat media internet bukan suatu hal yang baru di era digital seperti sekarang ini. Publikasi suatu karya sastra tidak lagi menjadi monopoli buku, koran, tabloid dan media cetak lainnya. Internet telah menjadi kekuatan baru dalam hal publikasi suatu karya sastra lewat situs-situs media sosial dan situs-situs blogging. Internet memiliki keunggulan dalam hal publikasi yang tidak dimiliki oleh media cetak yang salah satunya adalah kepraktisan sifatnya. Seorang penulis dapat dengan mudah mempublikasikan cerpen, esai, hingga puisi lewat media sosial atau blog pribadinya dengan bantuan perangkat komputer dan akses jaringan internet tanpa perlu repot-repot berurusan dengan pihak penerbitan misalnya. Untuk urusan publikasi lebih lanjut dan promosi karyanya tersebut si penulis dapat memanfaatkan jejaring pertemanan lewat media sosial semisal Facebook dan twitter.
            Pada awal mulanya karya sastra yang belakangan dikenal sebagai sastra cyber semacam ini tidak terlalu diperhitungkan di Indonesia bahkan masuk dalam kelompok sastra pinggiran karena dianggap main-main dan tidak serius bahkan dicap sebagai sastra yang lebih pantas masuk tong sampah. Pro dan kontra senantiasa hadir bersama sesuatu yang baru, tidak terkecuali sastra cyber. Ahmadun Yosi Herfanda, seorang penyair sekaligus redaktur koran Republika bahakan berujar dalam salah satu artikel koran yang berjudul “Puisi Cyber,Genre atau Tong Sampah”.  Dalam artikel tersebut Ahmadun mengatakan  bahwa sastra yang  dituangkan melalui media cyber cenderung hanyalah sebagai ”tong sampah.”  Dikatakan demikian, karena menurutnya sastra cyber merupakan  karya-karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media sastra cetak (2001). Lebih lanjut dikatakan  bahwa media cyber membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap kemapanan – terhadap estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak. Pernyataan tersebut sebenarnya kurang patut dilontarkan oleh seorang sastrawan dan malah cenderung menunjukkan arogansi seseorang yang berpikiran kolot. Mengetahui hal tersebut, para penggiat sastra cyber justru menanggapi dengan tenang bahwa pembandingan antara sastra cyber dan sastra koran cenderung tidak diperlukan. Intinya mereka menganggap bahwa menulis atau menjadi sastrawan itu suatu kebebasan. Lagi pula jika berbicara soal kualitas, walapun sastra cyber kerap dianggap tidak berkualitas dan cenderung asal-asalan toh nantinya ada seleksi alam tersendiri yang menentukan suatu karya sastra akan tetap eksis atau tidak. Selain itu masyarakat pecinta sastra di Indonesia sudah semakin melek kualitas, mereka tahu mana sastra yang yang memang berkualitas terlepas dari medianya apa dan mana yang tidak berkualitas. Kemudian banyak dari mereka para penggiat sastra cyber yang lebih senang disebut sebagai penulis ketimbang sastrawan.
Terlepas dari pro dan kontra yang mengiringi diawal kemunculannya, seiring dengan berjalannya waktu, sastra cyber ini mulai mendapatkan perhatian karena salah satu konsepnya yang mandiri tidak bergantung seperti karya sastra cetak. Seorang penggiat sastra cyber dapat berperan sebagai seorang penulis, penerbit, sekaligus promotor bagi karyanya sendiri maupun karya orang lain. Karya sastra cyber ini punya penikmatnya tersendiri. Inti dari cyber sastra itu sendiri adalah pengembangan sastra melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi terutama teknologi media. Selain itu, kecanggihan media tersebut dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan dalam dalam hal publikasi seperti diatas.
 Jika dirunut kebelakang, awal mula kemunculan sastra cyber di Indonesia adalah ketika antologi puisi cyber yang berjudul Graffiti Gratitude terbit pada tanggal 9 Mei 2001. Penerbitan antalogi tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Kemunculan antologi itu sendiri sudah memunculkan kontra dikalangan sastrawan seperti pendapat Sutardji Coulzum Bachri ’tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan’. Pernyataan ini dilontarkan berkaitan dengan cover yang tampak pada buku antalogi sastra cyber  yaitu Graffiti Gratitude yang dipandang kurang baik sehingga buku itu tidak layak untuk dijual.
            Pada dasarnya kritik-kritik yang menyertai munculnya sastra cyber tidak terlepas dari “ukuran baku” sastra yang berkualitas yang telah lebih dulu ada dan mapan. Para sastrawan yang mengkritik sastra cyber sebagai sastra yang tidak memiliki kualitas adalah para angkatan tua yang jika dirunut lebih jauh lagi berkenaan dengan hegemoni sastra yang telah ditanamkan sejak munculnya Balai Pustaka sebagai parameter sastra mainstream yang  masih menjadi patokan hingga saat ini. Para angkatan tua tersebut dianggap masih belum bisa menerima kenyataan bahwa perkembangan teknologi terutama teknologi informasi yang mendorong munculnya internet dan sastra cyber dengan tangan terbuka. Atau mungkin mereka enggan “posisi” mereka tergantikan oleh genre yang baru muncul tersebut.
            terlepas dari banyaknya kontra terhadap sastra cyber tersebut, jika kita mau berpikir secara posistif, semisal menanggapi pendapat Ahmadun diatas, bukankah Puisi-puisi Chairil Anwar pada masanya dulu juga merupakan suatu pemberontakan terhadapa pakem? Justru karena dia memberontak terhadap pakemlah karya-karyanya menjadi sesuatu yang terasa sesuai dengan zamannya dulu. seiring dengan berjalannya waktu muncul sastrawan-sastrawan lain yang memberontak pakem dan menjadi penanda suatu angkatan dengan ciri khasnya. Jika menganalogikan dengan sebuah siklus, sesuatu yang dulunya tidak mainstream yang memberontak sesuatu yang sudah mapan lambat laun menjadi pakem, lalu muncul pemberontakan terhadap pakem baru tersebut dan begitu seterusnya. Ada dan besar kemungkinan sastra cyber kelak, bahkan sudah mulai menjadi sesuatu yang mainstream.
Salah satu contohnya adalah tulisan-tulisan Raditya Dika di blognya yang kemudian dibukukan. Awalnya orang cenderung memandang sebelah mata buku yang diadaptasi dari sebuah blog yang dilihat dari segi penulisan maupun gaya bahasanya saja cenderung nyeleneh bagi ukuran saat itu. Namun justru sub-genre tersebut menuai kesuksesasan. Buku-buku novel dan kumpulan cerpen yang isinya tentang hal-hal konyol seputar kehidupan sehari-harinya disukai banyak orang. Menjadi rebutan penerbit, hingga difilmkan. Bukankah itu sesuatu hal yang luar biasa? Mungkin jika dilihat dari kacamata mereka yang kontra terhadap sastra cyber kita bisa menyebut selera masyarakat Indonesia kita masih rendah. Masyarakat kita lebih menyukai hal-hal yang sifatnya populer, lelucon, dari suatu karya sastra ketimbang suatu karya sastra berat yang membuat orang awam yang membacanya mengerutkan kening.
Jika kita mau jujur atau terbuka soal selera masyarakat secara umum atau mereka para penikmat sastra yang demikian itu mencerminkan kondisi sosial bangsa ini. Kita sudah lelah dengan segala macam persoalan yang dihadapi bangsa ini dari mulai para pejabat yang korup, politik yang carut marut, hingga utang luar negeri yang semakin bertambah. Bukan hal yang salah jika masyarakat ingin mendapatkan hiburan dari suatu karya sastra. Selain sastra cyber, perlawanan yang dilakukan oleh seniman yang berusaha unutk mendobrak pakem berkesenian di Indonesia hampir ada dalam setiap karya seni: Stand up comedy adalah perlawanan terhadapa acara lawak slapstick yang tengah merajai televisi, musik-musik independen lewat website netlabel yang merupakan perlawanan terhadap industri musik mainstream yang semakin kapitalistik, dan masih banyak lainnya.
Pada akhirnya, sastra cyber adalah suatu keniscayaan yang mesti diterima dengan tangan terbuka sebagai hasil dari perkembangan zaman yang baik disadari atau tidak turut mewarnai jalannya sejarah kesusastraan di negeri ini.


Daftar Pustaka

Tuhusetya, Sawali. “Sastra Koran VS Sastra Cyber”. 23 September 2007.

Widayati, Sri. “Sastra Cyber Dan Sejarah Sastra Indonesia”. 31 Juli 2012.

http://sriwidayati59.blogspot.com/2012/07/sastra-cyber-dan-sejarah-sastra.html. Diakses pada 25 April 2014.

1 komentar: