I.
PENDAHULUAN
Di Indonesia, program
fortifikasi pangan didasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Dalam hal ini pemerintah menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan
gizi pangan tertentu yang diedarkan dan dikonsumsi masyarakat, terutama yang
berekonomi lemah. Program fortifikasi pangan juga tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014. Di banyak negara,
fortifikasi merupakan program andalan untuk mencegah gizi mikro, yaitu
kekurangan vitamin dan mineral yang banyak diderita penduduk, terutama anak dan
ibu hamil. Selama ini pemerintah telah memberlakukan kewajiban fortifikasi bagi
garam dengan yodium sejak tahun 1994. Kemudian fortifikasi wajib tepung terigu
pada tahun 2001 dan 2008, yaitu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin BI
dan B2.
Beberapa
negara menetapkan target untuk menghilangkan kekurangan zat gizimikro pada
tahun 2000. Tujuan dasar dari semua program-program zat gizi mikro nasional
adalah untuk manjamin bahwa zat gizimikro yang dibutuhkan tersedia dan
dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk (terutama penduduk yang
rentan terhadap kekurangan zat gizimikro tersebut). Strategi-strategi yang
digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan
teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi
pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan
dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi.
Fortifikasi
pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu
strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien
pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki
kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan
pengolahan dan penyimpangan pangan (good
manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk
mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.
II.
ISI
Penduduk
dunia dengan proporsi yang signifikan menderita atau beresiko terhadap
kekurangan vitamin dan mineral, yang biasa dikenal sebagai zat gizimikro.
Asupan yang cukup dan ketersediaan vitamin dan mineral yang esensial secara
erat berkaitan dengan kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental,
kesehatan yang baik secara umum, dan kesejahteraan menyeluruh dari semua
individu dan masyarakat. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi
luasnya cakupan kekurangan zat gizimikro di negara-negara berkembang.
Vitamin
A, zat besi dan iodium adalah tiga zat gizi mikro utama yang menarik banyak
perhatian, terutama pada dekade terakhir. Alasan-alasan dibalik pemfokusan
usaha-usaha untuk mengurangi defisiensi ketiga zat gizimikro ini adalah:
¾ Didasarkan
pada informasi yang tersedia: kekurangan vitamin A, iodium dan anemi gizi besi
memiliki prevalensi yang tinggi di dunia dewasa ini;
¾ Informasi
yang tersedia sebagai konsekuensi kekurangan zat gizimikro tersebut terhadap
kesehatan fisik dan mental, pendidikan, kapasitas kerja, dan efisiensi ekonomi;
¾ Meskipun
beberapa konsekuensi klinis dari kekurangan zat gizimikro telah lama diketahui,
dimensi global dan spektrum yang luas dari efek dentrimental dari kekurangan
zat gizimikro yang sedang (mild) terhadap perkembangan fisik dan mental,
mortalitas, dan morbiditas telah diketahui belakangan ini;
¾ Luasnya
spketrum kekurangan zat gizimikro ini pada tingkat populasi dapat diukur secara
relatip dengan akurat; dan
¾ Solusi
untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro telah diketahui dan mudah
diimplementasikan dan biayanya relatif murah.
Fortifikasi
pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke pangan. Tujuan
utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan
dan untuk meningkatkan status gizi populasi. Namun demikian, fortifikasi pangan
juga digunakan untuk mengganti dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan
gangguan yang diakibatkannya. Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat
gizi pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan
asal/awal atau pangan sebanding.
The
Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization (FAOIWO)
Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification
paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro
ditambahkan kepada pangan yang
dikonsumsi secara umum. Untuk
mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan
kepada pangan atau campuran pangan.
1. Fortifikasi Yodium
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi
geologis yang irreversibel itu sebabnya penganekaragaman makanan dengan
menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan
pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun
komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan
jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium.
Sampai tahun 60an, beberapa cara
suplementasi yodium dalam dies yang telah diusulkan berbagai jenis pangan
pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air telah dicoba Iodisasi garam
menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia
sebab garam digunakan secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya
adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah
Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam impure
salt pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk
penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang
dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang
berkesinambungan akan prevalensi GAKI.
Pada kenyataannya, program yodisasi garam
di Indonesia dalam upaya menanggulangi GAKY sampai saat ini masih menghadapi
berbagai kendala meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan
untuk menunjang program yodisasi garam tersebut. Di antara penyebab hal ini
adalah lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah. Permasalahan ini
menunjukkan diperlukannya suatu cara
yang dapat mengeliminasi peredaran garam yang tidak beryodium.
Situasi dan kondisi di Indonesia
menunjukkan betapa sulitnya mengatur produsen garam kecil untuk mendukung USI. Yodisasi garam di negara Indonesia
dimulai sejak penjajahan Belanda
pada tahun 1927, kemudian terhenti di tahun 1945 ketika
monopoli garam dibubarkan. Pada tahun
1976 usaha untuk melenyapkan GAKY
dimulai lagi dengan bantuan dari UNICEF, tetapi tidak berhasil karena minimnya
tanggung jawab dan koordinasi di antara para menteri dan sektor swasta di dalamnya.
Beberapa
faktor yang dapat menjadi penghambat adalah:
1) Harga
garam beryodium yang lebih mahal dibandingkan dengan garam yang tidak
beryodium, membuat masyarakat lebih memilih garam yang tidak beryodium untuk
konsumsi sehari-harinya.
2) Minat
dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap garam beryodium,
3) Kurangnya
kesadaran produsen untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan nilai
kandungan minimal sehingga banyak garam beryodium yang tidak memenuhi syarat,
4) Lemahnya
pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah,
5) Ketersediaan
garam beryodium yang memenuhi persyaratan belum memadai.
2. Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang
digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang
oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai,
mempertahankan, mencapai atau mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan
menjamin pendekatan jangka panjang (Cook
and Reuser, 1983). Fortifikasi zat besi tidak menyebabkan efek samping pada
saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal diterimanya oleh konsumen
dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target
penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisien zat besi,
merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan
ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam
perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat
diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa
wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua
kehamilan. Terdapat beberapa fortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi
besi seperti besi sulfat besi glukonat,
besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain.
Dibandingkan dengan zat gizi mikro lain,
zat besi dikatakan sebagai mineral yang paling sulit difortifikasi.
Permasalahan utamanya adalah senyawa besi larut air seperti besi sulfat, besi
laktat dan sebagainya, yang diketahui paling mudah diserap tubuh, seringkali
menyebabkan perubahan warna dan bau yang tidak diinginkan pada pangan
pembawanya. Sebagai contoh, penambahan pada garam kualitas rendah dengan cepat
akan mengakibatkan perubahan warna dan bau tidak sedap, akibat reaksi antara
ion besi dengan udara dan senyawa pengotor seperti magnesium klorida dan
magnesium sulfat. Disisi lain senyawa tidak larut air seperti besi elemen tidak
menimbulkan perubahan warna dan bau, namun sulit diserap oleh tubuh sehingga
nilai gizinya sangat rendah. Selain itu, permasalahan utama lainnya adalah
terjadinya reaksi antara iodium dengan besi yang mengakibatkan berkurang atau
hilangnya kandungan iodium.
Oleh karenanya, pada pengembangan
teknologi fortifikasi garam beriodium dengan zat besi, kedua permasalahan ini
harus diatasi agar didapatkan garam fortifikasi yang dapat diterima secara
organoleptik dan memiliki nilai gizi yang tinggi.
3. Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A
memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan
membandingkan antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan
vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin
A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersia (secara kimia) identik
dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang
larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan
minyak (oil solution), emulsi atau
kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan atau digabungkan dengan
campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling penting dari
vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam
bentuk retinol atau karoten (sebagai
beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk
ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam,
teh, sereal, dan monosodium glutamat (MSG)
telah difortifikasi oleh vitamin A.
Meskipun vitamin A ada pada buah dan
sayuran, tetapi jumlah yang dikonsumsinya harus banyak. Beberapa solusi yang
dapat dilakukan untuk penanggulangan kekurangan vitamin A adalah diversifikasi
pangan, suplementasi vitamin A dosis tinggi, dan fortifikasi pangan. Pemberian
suplemen atau kapsul vitamin A masih tergolong mahal bagi masyarakat, salah
satu solusi yang dapat digunakan adalah fortifikasi vitamin A. Permasalahannya adalah
mencari vehicle atau kendaraan yang
tepat untuk fortifikasi. Kandidat Bahan pangan yang dapat digunakan untuk
fortifikasi saat ini adalah minyak goreng. Beberapa alasan yang membuat minyak
goreng potensial sebagai kendaraan fortifikasi vitamin A adalah karena minyak
goreng merupakan komoditas kedua setelah beras yang dikonsumsi oleh lebih dari
90% penduduk, konsumsi minyak goreng per kapita yang mencapai > 23 gram
(lebih dari 10 gram jumlah minimun untuk fortifikasi), rumah tangga rata-rata
menggunakan 1-3 kali minyak goreng untuk penggorengan, stabilitas vitamin A
selama penyimpanan dan penggorengan juga telah teruji (retensi selama
penggorengan tinggi), dan dibuktikan dengan berbagai penelitian bahwa konsumsi
minyak goreng berfortifikasi vitamin A terbukti mampu meningkatkan status
vitamin A anak usia sekolah.
III.
PENUTUP
Kecukupan gizi terutama yang terkait langsung dengan pertumbuhan,
kecerdasan otak dan kesehatan secara universal khususnya iodium dan zat besi
serta protein amat penting. Agar supaya Indonesia tidak kehilangan
satu generasi sebagai akibat kurangnya asupan gizi dalam diet maka sudah
menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama
terpadu guna mengatasi kekurangan gizi sehingga diperoleh generasi yang cerdas
dan tangguh. Salah satunya adalah dengan dilakukannya program fortifikasi zat
gizi pada produk pangan.
Untuk itulah kualitas SDM
memerankan peranan yang penting dalam pengembangan bangsa. Pengembangan ilmu
dan pengetahuan ( IPTEK ) yang berlangsung cepat dan menjadi barometer kemajuan
suatu bangsa membutuhkan SDM berkualiats tinggi. Maka hal ini perlu dan harus
didukung status gizi yang baik dan memadai. Begitu kompleksnya akibat yang
dapat ditimbulkan oleh kekurangan gizi. Oleh karena itu untuk memenuhi
kecukupan gizi perlu pula di fahami suatu kebijaksanaan yang juga harus
ditanggapi dengan sikap yaitu makan dengan menu seimbang dan tidak berlebihan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bauernd, JC. 1994.
Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M.
Ed.
Modern nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition, Chaper
Burgi, H.; Supersaxo, Z.; Selz, B. 1990. Iodine deficiency diseases in
Switernland one hundred years after Theatre Kocher's survey: A historical
review with some new goitre prevalence data. Acta Endocrinologica. Copenhagen.
Harris, RS. 1968.
Attitudes and approaches to supplementation offoods with
nutrients. J. Agr. Food
Chern. 16(2), 149-152.
INNAG. 1993. Iron EDTA
for food fortifikation. A report of the INAAG.
Wahongton, DC. USA.
WHO. 1995. Global
prevalence of vitamin A deficiency. WHO Micronutrient
Deficiency
Onformation Systems: Working Paper Number 2. WHO, Geneva, Switzernland.
WHO. 1994. Indicator for
assesing iodine deficiency disorders and their controll
through
salt iodization. WHO/UNICEF/ICCIDD.Doc. WHO, Geneva, Switzernland.
WHO. 1992. National
strategies for overcoming micronutrient malnutrition
EB89/27. 45th World
Health Assembly Provisional Agenda Item 21;
WHO, Geneva,
Switzernland. World Banka. 1994. Enriching Lives. Overcoming
vitamin
A and mineral malnutrition in developing countries. The World Bank. DC, USA.
Anisatusholihah, dkk.
2009. Modifikasi Alat Fortifikasi Yodium Portable Dan
Iodine
Test Kit Untuk Menanggulangi Masalah Gangguan AKIBAT Kekurangan Yodium (Gaky)
Di Indonesia. http://benbayu.files.wordpress.com/2010/03/4-5-1-anisatusholihah-modifikasi-alat-ortifikasi.pdf. Diakses tanggal 10
April 2011
Anonim.2008. Fortifikasi
Garam dengan Zat Besi, Strategi Praktis dan Efektif Menanggulangi Anemia Gizi Besi. http://taufikkurahman.multiply.com/journal/item/11 diakses pada 10 April
2011
Anonim. Masalah
Kekurangan Vitamin A http://www.smallcrab.com/kesehatan/861-masalah-kekurangan-vitamin-a
|
http://www.foodreview.biz/preview.php?view&id=55784. Diakses tanggal 11
April 2011
Yun dalam Kompas.com. 2010. Fortifikasi Minyak Goreng dengan Vitamin A. http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/02/11244093/Fortifikasi.Minyak.Goreng.dengan.Vitamin.A. diakses tanggal 11
April 2011