Seyogianya kiprah partai politik
di Indonesia bisa menampilkan diri sebagai agen pencerahan. Sebab partai
politik mengemban peran dan fungsinya yang kalau saja dijalankan secara
konsisten akan membawa perubahan pada peningkatan kesadaran politik masyarakat.
Salah satu fungsi partai politik
adalah melakukan pendidikan politik. Alhasilnya, fungsi pendidikan politik
parpol belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi peningkatan kesadaran
politik masyarakat. Justru partai politik menuai kritik. Karena parpol
cenderung mengutamakan kepentingan kekuasaan atau kepentingan para elit parpol
ketimbang kepentingan untuk memajukan masyarakat, bangsa dan negara. Ironisnya,
pendidikan politik yang kerap dikumandang para elit parpol hanya sebuah slogan
tak bermakna. Kondisi ini menuntut setiap partai politik untuk mengoreksi
sejauhmana orientasi dan implementasi visi dan misi parpol secara konsisten dan
terus-menerus.
Direktur Eksekutif Soegeng
Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit menilai fungsi pendidikan politik parpol
saat ini sangat buruk. Dia berpendapat kualitas implementasi peran dan fungsi
parpol seharusnya dimulai dari proses rekruitmen dan kaderisasi pengurus
parpol. “Proses rekruitmen dan kaderisasi parpol harus dijalankan secara baik.
Sehingga pengurus parpol bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi parpol di
antaranya fungsi pendidikan politik,” ungkap Sukardi Rinakit ketika ditemui
Jurnal Nasional di kantor CSIS, Jakarta, kemarin.
Dia meminta agar elite dan
pimpinan partai politik melakukan perbaikan-perbaikan terutama dalam melakukan
proses rekruitmen dan kaderisasi di tingkat parpol. Sukardi menegaskan perlunya
mengatur pelaksanaan pendidikan politik partai politik dalam revisi UU No 31
tahun 2002 tentang partai Politik. Tujuannya, agar implementasi fungsi
pendidikan parpol dapat dijalankan secara terukur dan bertanggung jawab oleh
setiap partai politik.
Wakil Ketua Badan Hukum dan
Advokasi DPP PDI Perjuangan, T. Gayus Lumbuun berpandangan proses pendidikan
politik dari partai politik mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat. “Karenanya
Partai politik harus dinamis. Partai politik tidak boleh statis,” ujarnya di
Nusantara I Kompleks Parlamen, Jakarta.
Revisi Undang-Undang Partai
Politik diharapkan bisa menjawab perkembangan dinamika masyarakat yang semakin
maju. Pengaturan implementasi fungsi partai politik dalam revisi UU parpol
tidak harus diatur secara detail. Sesungguhnya pendidikan politik menjadi
kewajiban parpol yang diatur dalam kebijakan masing-masing parpol.
Dia berharap pengaturan
implementasi fungsi dan peran parpol tidak mengarah pada upaya deparpolisasi
sehingga dapat menghambat demokrasi. Menurutnya, peningkatan peran dan fungsi
parpol mensyaratkan adanya dukungan dari publik termasuk pemerintah misalnya
dukungan dari aspek pendanaan.
Salah satu perdebatan yang
berkembang terkait revisi UU Parpol, kata Gayus Lumbuun adalah perdebatan
mengenai kepemilikan badan usaha dari partai politik. “Dengan adanya badan
usaha maka parpol bisa membiayai kegiatan partai politik,” ungkap anggota DPR
dari Fraksi (Jawa Timur V) ini. Dia menambahkan parpol bisa saja memiliki badan
usaha asalkan bisa dipertanggungjawabkan secara transparan.
Ketika ditanya efektifitas
pelaksanaan fungsi pendidikan politik parpol selama ini, Gayus menerangkan
masyarakat sebenarnya sudah semakin kritis. Tugas parpol adalah merumuskan
kebijakan agar kebijakan bisa menjawabi persoalan masyarakat. Dijelaskan secara
teoritis sistem kepartaian di Indonesia menganut sistem campuran. Namun ke
depan perlu dipikirkan agar pengaturan makin diperketat melalui penetapan
electoral threshold (ET).
Hal senada juga dungkapkan Ketua
Departemen Bidang Organisasi dan Kaderisasi DPP Partai Demokrat, Jhoni Allen
Marbun. Jhoni menegaskan tidak perlu mengatur pelaksanaan fungsi pendidikan
dalam Undang-Undang Partai Politik. “Pelaksanaan fungsi pendidikan politik
diserahkan pada masing-masing parpol,” ungkap anggota Komisi VI DPR.
Pendidikan politik masyarakat
diorientasikan agar terjadi peningkatan kesadaran politik masyarakat. Dia
mengingatkan agar parpol bisa saja mengkritisi kebijakan pemerintah asalkan
didasarkan pada fakta dan data dan disertai dengan usulan solusi-solusi guna
melakukan perbaikan-perbaikan. “Ini penting diperhatikan,” tandasnya.
Sementara Koordinator Jalan Lurus,
Sulastomo menilai partai politik seharusnya memiliki cita-cita untuk
memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. “Kenyataannya parpol memiliki
kecenderungan hanya memperjuangkan kepentingan parpol saja ketimbang
kepentingan umum dan kemajuan masyarakat,” tandasnya (ward)
Pendidikan dalam hal ini juga meliputi pendidikan politik kepada masyarakat
umum. Penulis menyadari bahwa masyarakat terlanjur antipati terhadap hal-hal
yang berbau politik yang disebabkan karena pengalaman yang tidak manis di masa
lalu. Tetapi pendidikan politik ini merupakan hal yang penting.
Setiap masyarakat dapat menyalurkan aspirasi
kepada partai-partai politik dan badan legislatif (DPR). Tetapi lagi-lagi hal
itu masih dalam tataran idealnya. Karena harus diakui, para politikus yang
menjabat entah di Partai Politik atau badan pemerintahan lainnya ternyata belum
mengerti benar tentang hal-hal yang berhubungan dengan politik. Mereka terlalu
sibuk dengan rekening masing-masing sehingga kepentingan rakyat masih harus
menunggu untuk mendapat perhatian mereka. Seandainya mereka mengerti dan sadar
dengan jabatan yang sedang mereka emban maka tiap saat mereka akan selalu
berpikir tentang cara yang efektif untuk mengangkat masyarakat Indonesia ini
dari kemiskinan dan penyakit lainnya. Yang terjadi malah sebaliknya, mereka
terlalu nyaman untuk duduk di kursi mereka.
Oleh karena itulah, Penulis
berpikir bahwa sudah saatnya para PEMUDA untuk bangkit dan membangun negeri
sendiri. Dimulai dengan memperoleh pendidikan yang mumpuni sebagai bekal untuk
masa depan. Bekal utama yaitu pendidikan moral. Penulis sangat percaya bahwa
meskipun para politikus dan para pejabat pemerintahan (seperti yang ditulis
sebelumnya) mereka belum mengerti benar tentang politik tetapi paling tidak
mereka tidak “putih” benar tentang politik, yang menjadi satu kekurangan
mendasar dan sulit untuk dimaafkan adalah karena mereka tidak terlihat layaknya
manusia yang mendapatkan pendidikan moral secara maksimal!
Pendidikan moral diperlukan agar
kelak ketika seseorang duduk di pemerintahan atau menjabat apapun, ia tidak
lupa dengan sumpah yang telah diucapkannya sebelum menjabat. Penulis pun
percaya bahwa masa depan Indonesia masih bisa diubah dan dapat menjadi lebih
baik lagi,,,jauh lebih lagi dengan satu syarat mutlak, para Pemuda Indonesia
harus mendapat dan wajib menerima pendidikan yang berkualitas, selain itu para
Pemuda pun harus sadar bahwa masa depan Indonesia bukan berada di tangan
angkatan 45,50,60 melainkan berada di tangan kita saat ini. Semoga sejalan
dengan waktu kesadaran tersebut dapat terbangun, bukan lagi dalam tataran mimpi
idealis belaka.
Pendidikan
politik didapat melalui
Pendidikan dan Kaderisasi Politik Pada
prinsipnya, pemilu tahun depan mempunyai nilai sebagai bagian dari pendidikan
politik ke arah demokratisasi. Pendidikan politik tidak cukup melalui
pengenalan pemikiran-pemikiran dan teori politik, yang menyangkut makna
kehidupan politik, dasar-dasar moral dan tujuan politik, sistem politik, dsb,
yang dapat ditempuh melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah dalam
pelajaran tata negara atau kewargaan (civics). Pendidikan politik juga dapat
ditempuh melalui partisipasi dalam proses atau kehidupan politik secara nyata. Dalam
pengertian itu, pemilu tahun depan merupakan bentuk praktik partisipasi nyata
dalam proses berdemokrasi. Tetapi apakah orang akan menggunakan atau sebaiknya
menggunakan hak pilihnya atau tidak - menjadi bagian dari "golput" -
tidak menjadi fokus perhatian tulisan di bawah.
Pendidikan politik gagal
Akhirnya, apa yang bisa kita katakan dari munculnya kerusuhan dan anarki massa di Tuban yang amat merugikan tersebut? Itulah gambaran gagalnya pendidikan politik. Tersumbatnya saluran-saluran politik di tubuh partai-partai politik di Indonesia--terutama PKB dan PDI--bisa terlihat dari munculnya perpecahan di kalangan elite politiknya serta elit dengan massa partainya. Akibatnya, partai yang seharusnya mampu mendidik massanya untuk bisa berpartisipasi dalam dunia politik secara dewasa dan bertanggungjawab, kehilangan waktu dan momentum untuk melakukan pendidikan politik kepada konstituennya. Perebutan kekuasaan di kalangan elite politik yang seru dan terkadang anarkis, justru menjadi pelajaran negatif bagi konstituen Munculnya anarki dan kerusuhan di Tuban merupakan contoh betapa sesungguhnya partai-partai politik telah gagal memberikan pendidikan politik kepada konstituennya. Dari kasus Tuban ini para elite politik baik di daerah maupun pusat perlu berpikir ulang bagaimana membenahi organisasinya dan memberikan pendidikan politik yang baik kepada konstituennya.
Akhirnya, apa yang bisa kita katakan dari munculnya kerusuhan dan anarki massa di Tuban yang amat merugikan tersebut? Itulah gambaran gagalnya pendidikan politik. Tersumbatnya saluran-saluran politik di tubuh partai-partai politik di Indonesia--terutama PKB dan PDI--bisa terlihat dari munculnya perpecahan di kalangan elite politiknya serta elit dengan massa partainya. Akibatnya, partai yang seharusnya mampu mendidik massanya untuk bisa berpartisipasi dalam dunia politik secara dewasa dan bertanggungjawab, kehilangan waktu dan momentum untuk melakukan pendidikan politik kepada konstituennya. Perebutan kekuasaan di kalangan elite politik yang seru dan terkadang anarkis, justru menjadi pelajaran negatif bagi konstituen Munculnya anarki dan kerusuhan di Tuban merupakan contoh betapa sesungguhnya partai-partai politik telah gagal memberikan pendidikan politik kepada konstituennya. Dari kasus Tuban ini para elite politik baik di daerah maupun pusat perlu berpikir ulang bagaimana membenahi organisasinya dan memberikan pendidikan politik yang baik kepada konstituennya.
Pengertian pendidikan politik
Pendidikan
politik adalah aktifitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan
orientasi-orientasi poltik pada individu. Ia meliputi keyakinan konsep yang
memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik, serta
pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran
terhadap persoalan politik dan sikap politik. Disamping itu, ia bertujuan agar
setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif di
masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktifitas yang terus berlanjut
sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuh kecuali
dalam sebuah masyarakat yang bebas.
Dengan demikian pendidikan politik memiliki tiga tujua : membentuk
kepribadian politik, kesadara politik, dan parsisipasi politik. Pembentukan
kepribadian politik dilakukan melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan
sosialisasi, serta metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya. Untuk
menumbuhkan kesadaran politik ditempuh dua metode : dialog dan pengajaran
instruktif. Adapun partisispasi politik, ia terwujud dengan keikutsertaaan
individu-individu – secara sukarela—dalam kehidupan politik masyarakatnya.
Pendidikan politik dalam masyarakat manapun mempunyai institusi dan
perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, sekolah,
partai-partai politik dan berbagai macam media penerangan. Pendidikan politik
juga memiliki dasar dasar ideologis, sosisal dan politik . bertolak dari
situlah tujuan-tujuannya dirumuskan.
Gambaran pendidikan politik
Indonesia pada pemilu 1997
Pendidikan Pemilu terhadap para
pemilih yang pertama-tama ditekankan tentunya
adalah soal hak. Bahwa para pemilih mempunyai hak untuk memilih apa saja,
termasuk tidak memilih tanda gambar yang ada, termasuk memilih semua gambar
yang ada, dan termasuk pula tidak pergi ke tempat pemilihan suara. Dalam
situasi negara totaliter seperti Indonesia, dengan sistim diktatur partainya
(single majority adalah identik dengan diktatur partai), masing-masing
alternatif mempunyai risikonya sendiri-sendiri, besar dan kecil.
adalah soal hak. Bahwa para pemilih mempunyai hak untuk memilih apa saja,
termasuk tidak memilih tanda gambar yang ada, termasuk memilih semua gambar
yang ada, dan termasuk pula tidak pergi ke tempat pemilihan suara. Dalam
situasi negara totaliter seperti Indonesia, dengan sistim diktatur partainya
(single majority adalah identik dengan diktatur partai), masing-masing
alternatif mempunyai risikonya sendiri-sendiri, besar dan kecil.
Risiko yang terbesar, dalam
konteks pendidikan politik, tentu saja nasib dan
masa depan bangsa dan negara, yang tentu saja menyangkut para individunya
rakyatnya, lambat atau cepat. Tidak saja nasib rakyat di bawah rezim totaliter
yang membangkang terhadap dan dimusuhi oleh rezim, tetapi termasuk pula nasib
seluruh rakyat sebagai akibat kerusakan sosial, ekonomi, politik dan budaya,
dan hancurnya nilai-nilai moral dari kehidupan bernegara secara keseluruhan,
serta nasib seluruh bangsa sebagai akibat ketertinggalannya dari bangsa dan
negara lain (khususnya negara-negara tetangga) yang menerapkan sistim
demokratis.
Oleh sebab itu, pendidikan politik bagi para pemilih adalah pula
meyakinkan masa depan bangsa dan negara, yang tentu saja menyangkut para individunya
rakyatnya, lambat atau cepat. Tidak saja nasib rakyat di bawah rezim totaliter
yang membangkang terhadap dan dimusuhi oleh rezim, tetapi termasuk pula nasib
seluruh rakyat sebagai akibat kerusakan sosial, ekonomi, politik dan budaya,
dan hancurnya nilai-nilai moral dari kehidupan bernegara secara keseluruhan,
serta nasib seluruh bangsa sebagai akibat ketertinggalannya dari bangsa dan
negara lain (khususnya negara-negara tetangga) yang menerapkan sistim
demokratis.
rakyat tentang bahaya totaliterisme. Bahwa totaliterisme telah ditolak di semua
bangsa dan negara; bahwa pembangunan kesejahteraan manusia dan kemanusiaan
secara riil dan berjangka panjang hanya bisa dicapai melalui praktek
penyelenggaraan negara yang demokratis; dan bahwa totaliterisme membahyakan
kehidupan dan perdamaian dunia.
http://www.komunitasdemokrasi.or.id/printerfriendly.php?id=91_0_8_0
No comments:
Post a Comment