Pandu Utama
Manggala*
“Supaya tercapai
suatu masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kebenaran, haruslah rakyat
insyaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan
nasibnya sendiri perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul”
-Mohammad Hatta-
-Mohammad Hatta-
Diskursus demokrasi
di Indonesia
tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian
panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna
memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi
tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat
dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia
di dua zaman pemerintahan Indonesia,
yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang
dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan
Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila.
Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi
yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah
memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik
warganya.
Dipasungnya
demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem
politik di Indonesia
pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia
akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998.
Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil
dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis.
Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998
di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat
menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan
kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist
hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan
pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju
konsolidasi demokrasi di Indonesia
belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu
pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab
pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan
Politik Baru yang Pragmatis Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan
yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang
dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata
kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi
era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik
saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang,
dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak
banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya
kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi
dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir
tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang
posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia,
hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi
dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis.
Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka
terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan
mudah.
Selain hal tersebut,
kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat,
menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat
mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa,
kalangan organisasi non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang
”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang
efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu
sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk
Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak
berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas
demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998
sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan
pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik,
tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi
lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah
yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk
yang menyebabkan hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal
tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik
pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa
dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para
elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit
yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi
untuk Indonesia?
Pertanyaan yang muncul dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga
belum dapat menentukan bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia,
apakah demokrasi memang tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan
diatas, penulis perlu menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai
sistem politik dengan demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah
nilai yang memberikan kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi,
para warga negara dapat dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
Idealismenya, setiap individu berhak menentukan segala hal yang dapat
mempengaruhi kehidupannya, baik dalam kehidupan personal maupun sosial. Selain
itu, demokrasi juga adalah cara yang efektif untuk mengontrol kekuasaan agar
tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Penulis melihat
bahwa masa transisi di Indonesia
yang masih belum menunjukan kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan
negara hukum yang menjadi landasan Indonesia belum dapat
mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk menuju konsolidasi demokrasi
akhirnya memang sangat bertumpu pada proses reformasi hukum. Hukum harus
diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya masyarakat sipil dan
masyarakat politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang terlembagakan, dan
birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang demokratis. Hukum harus
dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar mampu
menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan memantau
pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
Oleh karena itu,
penulis melihat masih ada harapan bagi Indonesia di masa yang akan datang.
Walaupun banyak yang skeptis bahwa masa depan politik di Indonesia akan
menuju kearah yang lebih baik. Namun perkembangan yang terjadi belakangan ini
dapat dijadikan setitik harapan bagi masa depan Indonesia. Yang perlu dicatat
adalah jangan sampai kita terjebak dalam demokrasi prosedural saja dan
melupakan ketertinggalan masyarakat secara ekonomi maupun sosial.
Masalah-masalah sosial yang secara jelas mengancam integrasi bangsa ini dan
juga berbagai kasus kelaparan harulah cepat diselesaikan. Seiring dengan
perbaikan sistem politik dan juga aktor-aktor yang terlibat didalamnya.
Tentu langkah
awalnya kembali kepada kita, masyarakat Indonesia. Bisakah kita menjadi
artikulator demokrasi dan menyebarkan diskursus guna menyempurnakan model
demokrasi bagi Indonesia?
==========================================================
*Penulis adalah analis studi kebijakan luar negeri pada Pusat Kajian Komunitas Alternatif FISIP UI.
*Penulis adalah analis studi kebijakan luar negeri pada Pusat Kajian Komunitas Alternatif FISIP UI.
No comments:
Post a Comment