PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Soeharto yang memiliki
nama lengkap Haji Muhammad Soeharto adalah sosok nama besar yang memimpin
Indonesia selama 32 tahun lamanya. Ia lahir di Kemusuk, Argomulyo,Yogyakarta
pada 8 Juni 1921 (www.wikipedia.com). Ia
menduduki jabatannya sebagai presiden kedua menggantikan Soekarno. Sebelum
menjadi presiden, Ia menduduki jabatan sebagai Mayor Jenderal pada Kemiliteran
Indonesia. Ia mengambil alih kekuasaan Soekarno pada tahun 1968, yang kemudian
pada tahun-tahun berikutnya yaitu tahun 1973, 1978, 1983, 1988,1993 hingga 1998
MPR tetap memilih ia sebagai presiden. Pada tahun 1998, masa jabatannya
berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 menyusul terjadinya
Kerusuhan Mei 1998 dan “pendudukan” gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa dari
berbagai daerah.
Selama hidupnya tak dapat
dipungkiri ia salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pembangunan Indonesia. Ia
pernah dijuluki sebagai Bapak Pembangunan Nasional karena keberhasilannya dalam
Program Swasembada Pangan tahun 1985. Sikapnya yang selalu ditunjukan kepada
publik saat itu ia adalah orang yang tenang. Namun dibalik ketenangannya itu
ia memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter dan refresif.
Berbagai tanggapan
tentangnya mulai bermunculan terutama ketika ia telah lengser dari tahta
kepemimpinan orde baru-nya. Tak hanya tanggapan ataupun komentar biasa yang
diberikan masyarakat tentangnya, banyak celaan, makian dan kritikan tentang
kepemimpinan soeharto yang dinilai mengekang kebebasan masyarakatnya. Permasalahan ini menarik
untuk dibahas lebih dalam melalui pendekatan analisis dramaturgis kehidupan
soeharto.
2. Perumusan Masalah
Bertolak dari Latar
Belakang di atas maka perumusan masalah yang diangkat yaitu: ”bagaimanakah
analisis dramaturgis sosok soeharto dalam kehidupannya?”
PEMBAHASAN
Dunia ini panggung
sandiwara...
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau
tragedi dari Yunani
Setiap insan punya satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada
peran berpura-pura
Mengapa kita
bersandiwara....
(Lagu dari ”Panggung
Sandiwara” Ahmad Albar)
Sepenggal lagu tersebut adalah gambaran dari apa yang difikirkan oleh Erving Goffman bahwa
kehidupan yang dijalankan individu seperti dalam panggung sandiwara. Individu
oleh Goffman disebut sebagai aktor yang memainkan peran kehidupan. Bukan
kepura-puraan aktor ketika menjalani perannya dalam kehidupan, namun lebih
kepada bagaimana aktor mempertunjukkan dirinya di atas panggung kehidupan.
Pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang
serupa dengan yang ditampilkan di atas panggung-lah yang dimaksudkan Goffman
sebagai fokus perhatian karyanya.
Goffman menjelaskan dalam pertunjukan drama terdapat
unsur-unsur yang harus ada dan diperhatikan ketika drama tersebut akan
dimainkan oleh aktor. Unsur-unsur tersebut yaitu panggung depan (Front stage), belakang panggung (back stage),
aktor (pemain), penonton (audien),
dan perlengkapan pemain.
Front stage
merupakan wilayah pertunjukan penonton untuk mendefinisikan secara umum situasi
yang dipertontonkan oleh aktor. Dalam front
stage terdapat setting yaitu
penataan panggung dan personal front
yaitu perlengkapan aktor yang diidentikan oleh penonton dan harus dikenakan
oleh aktor. Aktor berarti membangun penampilan khasnya sehingga penonton akan
melihat peran yang ditunjukan aktor. Selain itu terdapat pula unsur appearance (penampilan) serta manner yaitu peran yang diharapkan
dimainkan oleh aktor. Karakter yang dimilliki front stage biasanya sulit diubah-ubah
karena lebih cenderung menunjuk kepada ciri fisik yang dimiliki oleh aktor
walau terkadang hal tersebut dapat dimanipulasi oleh aktor.
Back stage
merupakan wilayah pertunjukan yang banyak menyimpan fakta yang tidak mungkin
dipertontonkan di front stage. Selain itu dalam dramaturgis terdapat pula wilayah
pertunjukan dimana penonton kesulitan untuk memahami situasi yang disebut outside. Beberapa konsep yang dimiliki
dramaturgis yaitu impression management
yaitu bagaimana aktor mengelola kesan dalam menjalankan perannya, mistifikasi
atau upaya aktor untuk membangun jarak dengan orang lain serta stigma atau cap
yang muncul akibat peran yang dijalankan oleh aktor.
Seperti
halnya kehidupan aktor, kehidupan soeharto dapat ditelaah lebih dalam melalui
pendekatan analisis dramaturgis bagaimana kehidupan sosialnya. Soeharto adalah
aktor yang memainkan peran utama sebagai presiden. Masa pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun adalah panggung depannya atau dapat dikatakan
sebagai panggung utama yang ia jalankan dalam kehidupannya. Pemerintahan ditata
sedemikian rupa oleh soeharto sebagai kebutuhannya untuk menjalankan peran
sebagai presiden. Orde baru adalah sebutan pemerintahan yang dijalankan
soeharto. Orde baru menggantikan orde lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Orde baru
diciptakan oleh soeharto sebagai ”koreksi total” atas penyimpangan orde lama
Soekarno menurutnya (www.wikipedia.com).
Dalam
menjalankan tugas kepresidenannya, Soeharto sering terlihat menggunakan baju
safari dan pecinya saat diadakan sidang kabinet dalam negeri ataupun
acara-acara pemerintahan yang bersifat urusan dalam negeri. Terkadang ia
menggunakan jas resmi saat berkunjung ke luar negeri untuk urusan diplomasi dan
kepentingan negara lainnya. Tak hanya itu, pernah ia menampilkan kepada publik
dengan pakaian khas Indonesia
yaitu batik ketika menjamu tamu wisata mancanegaranya. Penampilan yang menjadi
ciri khasnya dan diidentikan kepada publik adalah peci yang selalu ia gunakan dalam
acara-acara resminya.
Seorang presiden harus
memiliki kharisma dan menunjukan kewibawaannya sebagai pemimpin negara. Hal
tersebut jelas sekali terlihat dan selalu ditunjukan kepada publik oleh
soeharto. Ia tampilkan dirinya sebagai orang yang tenang namun dibalik
ketenangannya tersebut ia seorang yang tegas, otoriter dan represif. Karakter
tersebut tidak ia ubah-ubah dan selalu ia tunjukan saat memimpin orde baru
selama 32 tahun lamanya.
Tak selamanya ia menunjukan dirinya sebagai seorang presiden
yang tegas, otoriter dan represif. Ada wilayah yang khalayak luas tidak tahu
dan tidak ia pertontonkan seperti halnya saat menjalani perannya sebagai
presiden. Dalam Goffman wilayah ini disebut sebagai back stage atau panggung belakang. Bukan berarti pertunjukan yang
di jalankan dalam panggung depan telah selesai, melainkan bagaimana aktor menjalankan
kehidupannya atau perannya yang lain selain menjadi presiden. Soeharto selain menjadi presiden ia juga
menjalani perannya sebagai seorang suami sekaligus seorang bapak dalam
keluarganya. Istrinya bernama Tien Soeharto. Soeharto juga sebagai seorang
bapak dari keenam anaknya yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit
Harjojudanto (Sigit), Bambang Trihatmodjo (Bambang),Siti Hediati Hariyadi
(Titiek),Hutomo Mandala Putra (Tommy) dan Siti Hutami Endang Adiningsih
(Mamiek) (www.Wikipedia.com).
Di luar
situasi kepresidenannya, publik pernah menyorotinya dalam acara santai. Ia
terkadang menjalani hobinya seperti memancing dan bermain golf dengan
menggunakan kaos dan celana pendeknya serta terkadang ia menggunakan topi. Tamu-tamu
kenegaraan umumnya akan beranggapan berbeda, ketika melihat ia tak menggunakan
jas ataupun pakaian resmi lainnya seperti saat ia menjadi presiden.
Saat ia menjadi presiden, ia selalu
berusaha membangun atau mengelola kesan sebagai seorang pemimpin negara yang
tegas, otoriter dan refresif meskipun ia bersikap tenang di depan khalayak
luas. Keotoriterian dan sikap refresifnya dijadikan sebagai penopang kekuasaan
orde baru. Menurut Pratikno (dalam: Budi Winarno, 2007: 35) terdapat empat tindakan-tindakan
otoriter sebagai penopang Orde Baru Soeharto pada masa Orde Baru. Pertama penindasan politik seperti penyempitan
partai-partai politik hanya menjadi tiga saja yaitu Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Golongan Karya (GOLKAR). Namun dalam hal ini Golkar tidak
ingin disebut sebagai partai politik melainkan hanya sebagai sebuah golongan
yang berbasis kepada masyarakat saja. Golkar seolah-seolah menjadi partai
penguasa di Indonesia yang mengebiri dua partai lainnya.
Kedua,
pemberdayaan sumber daya alam
melalui ekspor minyak dan hasil alam lainnya sebagai sumber ekonomi
untuk warga negaranya baik kaum elit ataupun masyarakat luas. Ketiga, perencanaan wacana-wacana untuk
kemajuan Indonesia seperti wacana tentang demokrasi Pancasila, tanggungjawab
sosial bagi warga negaranya serta Hak Asasi Manusia (HAM) dan yang keempat yaitu sikap korporatisme negara
bagi masyarakat terhadap organisasi masyarakat. Namun dalam kenyataannya
sumber-sumber organisasi massa terpenting dikuasai oleh kaki tangan Soeharto
pada masa itu yaitu ABRI. Keempat sikap itu Ia ciptakan untuk mengelola
kesannya ketika menjalani perannya sebagai presiden saat itu.
Tak hanya itu, Soeharto juga
menjadikan ABRI sebagai “anak emas” dan juga dijadikan sebagai kekuatan untuk
berkuasa. Melalui ABRI, warga ataupun partai-partai oposisi yang tidak sepaham
dengan soeharto, ia “tertibkan” dengan cara yang lebih cenderung memakai
kekerasan. Kebebasan warga negaranya pada era saaat itu sangat dibatasi. Selain
itu bukan hanya warga Negara pribumi saja yang dikebiri, namun warga Tionghoa yang
ada di Indonesia, kebeebasan yang mereka miliki juga sangat terbatas. Bahkan
saat itu Soeharto melarang tulisan-tulisan maupun karya-karya yang berbau Cina
muncul di Indonesia dengan maksud menumpas isu komunis dari Cina.
Seiring dengan bagaimana ia mengelola
kesan, ia juga berupaya membangun jarak sosial dengan publik dengan membatasi
kontak dalam pemerintahannya. Menurut Deddy Mulyana (2001: 119), selama tiga dekade,
ia tidak bersedia diwawancarai oleh wartawan media cetak ataupun media
elektronik. Hal itu ia lakukan sebagai upayanya membangun jarak dengan
masyarakat.
Semua tindakan yang ia ciptakan
ketika ia menjadi presiden menimbulkan stigma tentang dirinya. “Pen-cap-an”
label sebagai presiden yang otoriter dan refresif muncul akibat dari cara ia
menjalani pemerintahan Orde Baru. Memang tiddak semua masyarakat beranggapan
tindakan otoriter yang Soeharto jalankan salah, di satu sisi era orde baru
dianggap era yang damai tanpa rasa takut tentang maraknya pencurian,
pembunuhan, ataupun pemerkosaan sekalipun dengan catatan warga harus epaham
dengannya. Namun disisi lain, orde baru adalah awal berkembangnya
korupsi,kolusi dan nepotisme serta membuat amburadulnya
sistem pemerintahan.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kehidupan dalam drama
atau teatrikal sama halnya dengan kehidupan sosial yang dijalankan oleh
manusia. Dalam teorinya tentang sosiologi dramaturgis erving goffman
menjelaskan kehidupan aktor secara detail. Mulai dari peran utama yang aktor
tunjukan kepada publik hingga atribut
yang ia kenakan ketika ia menampilkan dirinya sampai bagaimana ia menjalankan
perannya. Soeharto merupakan seorang aktor yang menjalankan peran sebagai
pemimpin Negara saat orde baru. Kehidupan yang dijalankan oleh seorang tokoh
besar seperti soeharto dapat dijelaskan melalui analisis dramaturgis.
Soeharto memang dikenal sebagai
sosok pemimpin yang tegas, otoriter dan refresif. Hal tersebut ia lakukan
sebagai pengelolaan kesan untuk mengatur warga negaranya agar patuh kepadanya. Dalam
filosofis jawa, Soeharto layaknya seorang “bapak” yang perintah-perintahnya
harus dituruti oleh anaknya ketika mengatur warga negaranya. Stigma otoriter,
refresif dan tegas muncul karena tindakannya mempin pemerintahan orde baru
selama 32 tahun.
Stigma yang telah terlanjur tercap
kepadanya sulit untuk dihilangkan walau kini ia sudah tidak menjadi presiden
lagi. Semenjak soeharto lengser berbagai anggapan tentangnya lebih berani
dikeluarkan oleh masyarakat dibandingkan ketika ia masih menjabat sebagai
presiden. Namun tak dapat dipungkiri juga, ketika ia menjadi presiden,
Indonesia pernah merasakan stabilitas nasional walau setelah ia lengser terjadi
kekacauan di segala bidang pemerintahan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Mulyana, Deddy. 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda Karya, Bandung.
Nurhadi. 2008, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Cetakan
Pertama Kreasi Wacana.Yogyakarta (diterjemahkan dari:
Sosiological Theory, karya dan Douglas J. Goodman, 2004).
Winarno, Budi. 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Cetakan Pertama. Media Pressindo , Yogyakarta.
Situs:
www.wikipedia.com, “Tentang Sejarah Orde Baru
Indonesia”
dan “Presiden Soeharto”, diakses pada tanggal 16 juni
2009.
No comments:
Post a Comment