Jika saja kompas tidak ditemukan dan
revolusi industri tidak terjadi apakah dunia ini akan lebih baik? Jawabnya bisa
ya bisa tidak. Iya, karena tidak ada kompas ataupun mesin uap, proses
imprealisme kolonialisme dan expansi politik, serta sosial ekonomi dimana
penindasan manusia atas manusia lainnya tidak terjadi dengan begitu saja,
prosesnya akan lebih lambat atau mungkin tidak terjadi sama sekali. Tidak,
peradaban dunia mungkin saja menjadi lebih barbar dari pada bangsa barbar itu
sendiri, seleksi alam yang bermain (yang kuat yang menang, dalam arti
sebenarnya).
Ditilik dari hasil sejarah pergerakan
peradaban manusia, yang katanya telah dimulai dari jutaan tahun lalu, peradaban
yang lebih baik tidak tercipta juga, penindasan masih berlangsung disana-sini,
manusia memakan manusia lainnya, ke jenjang ekonomi, sosial dan politik tak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa lalu, hanya bentuknya saja agak
berbeda, agak humanis. Penindasan yang terjadi lebih manusiawi, walaupun
efeknya sama saja, manusia masih berdiri tertawa atas tangis manusia lainnya.
The Cruel World, dunia ini memang kejam, begitulah kehidupan, semua orang harus
siap dengan apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Malah sekarang ini orang
tak lagi takut mati, mereka malah takut untuk hidup.
Tata dunia yang begitu serakah ini bagi saya
harus dirubah dan saya rasa hampir semua orang merasakan hal yang sama, namun
kita terkadang terlalu takut untuk merubahnya, karena hal ini hampir menjadi
suatu kebenaran universal, kalau ingin merubah siap-siap saja dinggap tak lagi
waras alias sinting. Perang dingin adalah contoh yang paling baik bagaimana
melihat dua paradigma bertarung dalam hal mengkonsepkan tatanan dunia, antara
barat dengan konsep kapitalisme libaralisnya dengan timur yang sosialis
komunisnya. Sekali lagi yang kuat yang menang, maka menanglah barat, dengan
kekuatan buldozer pasar menghancurkan tembok berlin, dengan manisnya coca-cola
merayu dunia ketiga yang seperti anak-anak yang mendapatkan es krim.
Konsep tatanan dunia oleh sang pemenang belum
juga mampu mengubah kehidupan perdaban manusia. Malah lebih parah. Adalah suatu
hal yang niscaya ketika saya, anda atau manusia lainnya yang masih berada
didalam satu kawasan yang bernama Nusa Antara ini pengen kehidupan yang lebih
baik. Tidak lagi memikirkan bagaimana bisa makan tapi sudah memikirkan
bagaimana meningkatkan kwalitas hidup. Suatu hal yang niscaya juga jikalau
manusia yang ada di Indonesia
juga tidak menginginkan manusia bisa hidup damai berdampingan tanpa adanya
presepsi saling curiga maupun menindas antara satu dengan yang lainnya. Jikalau
ditilik dari semua kitab suci agama yang ada di dunia ini pasti tidak akan
ditemukan hal yang menyebutkan hal-hal yang bersifat negatif. Karen Amstrong
misalnya, melihat berbagai perubahan peradaban dunia dilakukan dalam banyak
perang Agama atau yang lebih dikenal dengan Battle in the Name of God, perang salib yang
memakan waktu berabad-abad adalah contoh nyata dari perang yang mengatas
namakan tuhan. Dengan jalan perang pula kemudian proses hegemoni dan penindasan
atas manusianya terus berlanjut samapi sekarang. Perang kemudian berubah,
jikalau dahulu perang dalam bentuk fisik maka sekarang perang lebih kepada
perang hegemoni terutama dengan jalan dominasi ekonomi.
Sejarah perekonomian dunia telah
berlangsung dalam tempo yang sangat lama. Perkembangan demi perkembangan,
perubahan revolusioner telah terjadi. Dari merkantilisme hingga
neo-liberalisme, dari ekspansi hingga krisis. Dan tidak ada satu negara pun
yang bisa lepas dari konstelasi perekonomian global tersebut. Konstelasi global
tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama globalisasi. Sesungguhnya,
globalisasi ekonomi bukanlah fenomena yang baru seperti yang sering dibicarakan
banyak orang. Pada akhir abad 19 keterbukaan sebagai ciri khas globalisasi
sudahlah tampak, yang ditandai dengan pemunculan ekonomi Laissez Fraire,
sebagai reaksi atas ekonomi merkantilis.
Adam smith, sebagai titik tombak
Liberalisme, dalam bukunya the Wealth of Nation banyak menuliskan bahwa
merkantilis yang memiliki kerangka paradigma dasar realis, justru tidak
berhasil membawa kemakmuran bagi negara-negara dunia, akumulasi dengan
mengumpulkan cadangan emas tetapi tetap memberikan proteksi pada masing-masing
produksi negaranya hanya akan membawa kepada kerugian di setiap pihak. Sebaliknya,
demikian Smith, liberalisasi yang menitik tekan pada efisiensi dengan
menghilangkan segala bentuk tarif hambatan sekaligus membuka kerjasama antar
negara akan membawa kepada kemakmuran negara bangsa (nation state) serta pada
tahapan akhir, membawa manusia kepada kebebasan yang hakiki.
Liberalisasi ekonomi yang begitu agresif
dalam globalisasi, sesungguhnya tidak memberikan banyak manfaat pada negara
berkembang, kecuali kesengsaraan dan penderitaan yang makin kasat mata. Bagi
kaum liberalis negara atau pemerintah harus dijauhkan campur-tangannya dari
kegiatan-kegiatan masyarakat seperti, perdagangan, industri, pertanian dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang berlangsung sehari-hari.
Tanggung jawab negara harus dibatasi hanya
sampai pada kewajiban pembelaan terhadap setiap serangan dari luar dan
mengurusi badan-badan peradilan. Bahkan negara dan pemerintahan dianggap
sebagai para pemboros keuangan. Di dalam An Inquiry Into The Nature and Causes
of The Wealth of Nations, Smith menulis: ??..seluruh penghasilan umum di
kebanyakan negara dipergunakan untuk membayar tenaga-tenaga yang tidak
produktif. Mereka ini adalah golongan-golongan yang menjadi anggota
istana-istana yang mewah dan besar jumlahnya, bada-badan gereja yang besar,
armada dan angkatan darat yang besar yang dalam masa damai tidak menghasilkan
apa-apa yang dapat membayar ongkos-ongkos pembiayaan mereka. bahkan biarpun
dalam keadaan perang??. Jika dilipatgandakan, sehingga mencapai jumlah yang
tidak perlu, dalam masa satu tahun mereka bisa menghabiskan bagian yang sangat
besar dari produksi ini, sehingga lebihnya tidak cukup untuk menghidupi
buruh-buruh yang produktif .
Namun demikian, penolakan yang dilakukan oleh
kaum liberalis, khususnya Adam Smith, atas negara dan pemerintahan tidaklah
total. Meraka masih melihat peran dan pentingnya kedudukan sebuah negara dan
pemerintahan yaitu sebagai penyelenggara pendidikan rakyat, atau hal lain. Di
bidang ekonomi, konsep liberalisme ini dikembangkan oleh Adam Smith lewat
bukunya, An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations (1776).
Di buku ini Smith memperlihatkan bahwa masyarakat akan mencapai
kesejahteraannya melalui ?serangkaian proses-proses di luar kendali? yang
terjadi di dalam pasar. Apa yang kita harapkan untuk makan malam kita, tidaklah
datang dari keajaiban dari si tukang daging, pemasak bir atau si tukang roti,
melainkan dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan pribadi.
Malah seseorang umumnya tidak tidak berkeinginan untuk memajukan kepentingan
publik dan ia juga tidak tahu sejauh mana ia memiliki andil untuk memajukannya.
Yang ia hormati dan kejar hanyalah
keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia dituntun oleh tanga-tangan tak
terlihat (the invisible hands) untuk mengejar tujuan yang bukan merupakan
bagian dari kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan merupakan bagian dari
masyarakat, itu tidak lantas berarti sesuatu yang lebih buruk bagi masyarakat.
dengan mengejar kepentingan sendiri, ia kerapkali memajukan kepentingan
masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan jika ia sungguh-sungguh bermaksud
memajukannya. Saya tidak pernah menemukan kebaikan yang dilakukan mereka yang
sok berdagang demi kebaikan publik (Smith, 1937:14) .
Kapitalisme juga menglami beberapa kali
krisis setelah era merkantilis, krisis datang seaktu perang dunia I dan II,
banyaknya dana di gunkan untuk perang mengakibatkan proses produksi tidak bisa
berjalan sebagaiman mestinya. Krisis yang terjadi di dalam tubuh kapitalisme
tersebutlah yang mendorong pikiran Keynes, seorang ekonom dari Inggris. Dia
melihat bahwa pasar dan negara bisa berkompromi dengan catatan negara tidak
terlalu banyak campur tangan terhadap perekonomian. Ia tidak percaya bahwa
individu memiliki "kebebasan alamiah" dalam kegiatan ekonomi mereka.
Tidak ada aturan yang bisa menjamin bahwa kepentingan pribadi akan bisa
bersesuaian dengan kepentingan umum.
Prinsip-prinsip ekonomi juga tidak menjamin
bahwa pengejaran kepentingan pribadi akan menguntungkan kepentingan publik.
Individu yang bertindak sendiri-sendiri seringkali justru tidak mampu
mempertimbangkan kepentingan umum . Menurut pandangan Keynes, individu dan
pasar cenderung membuat keputusan yang tidak bijaksana ketika dihadapkan pada
situasi dimana masa depan tidak bisa diperkirakan dan tidak ada cara efektif
untuk membagi beban resiko atau mengkoordinasikan tindakan-tindakan individu
yang saling berbenturan. Maka disinalah diperlukan negara untuk memperbaiki
mekanisme pasar.
Pandangan Keynes yang kompleks mengenai
ekonomi berpengaruh kuat terhadap ekonomi-politik internasional selama satu
generasi, yaitu ketika gagasan itu dipakai sebagai landasan pembentukan
berbagai lembaga dan aturan main politik dan ekonomi internasional pasca Perang
Dunia II, yang dikenal sebagai sistem Bretton Woods. Menjelang berakhirnya
Perang Dunia II itu, para pemimpin Sekutu bertemu di sebuah hotel di Bretton
Woods, New Hampshire,Amerika Serikat, untuk merumuskan struktur global yang
akan merubah haluan sejarah meninggalkan pola "perang-malaise-perang"
yang mewarnai paruh pertama abad 20. Keynes memimpin delegasi Inggris ke
pertemuan itu, dan walaupun sistem Bretton Woods bukan rencana Keynes, sudah
jelas bahwa sistem itu mencerminkan banyak dari gagasan ekonom Inggris itu.
Sistem Bretton Woods pasca Perang Dunia II itu disebut sebagai "Kompromi-gaya-Keynes"
atau suatu sistem "embedded liberalism" (liberalisme terkendali). Ini
adalah sistem internasional liberal dengan pasar terbuka dan perdagangan bebas.
Tetapi, dalam sistem Keynesian ini, masing-masing negara bisa menerapkan berbagai
kebijakan yang dianjurkan Keynes untuk mengurangi inflasi, mengendalikan
pengangguran, dan menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, negara
memiliki peran penting mengatur ekonomi-makro di dalam wilayah nasional
masing-masing, tetapi hubungan ekonomi internasional didominasi oleh pasar
bebas.
Dengan demikian, sebenarnya Bretton Woods
bisa dipandang sebagai kompromi antara pasar yang kuat dang negara yang kuat
(karena itu disebut "kompromi Keynesian") atau negara yang kuat
tetapi diikat dalam pasar yang kuat (yaitu "embedded liberalism").
Namun pada dasawarsa akhir 70-an awal 80-an, ekonomi politik dunia gaya ekonomi keynes
digantikan oleh pandangan liberal klasik tentang ekonomi-politik internasional
mengembangkan pengaruh kuat melalui suatu gerakan yang sering disebut
neo-konservativisme (yang sebenarnya bisa juga disebut neo-liberalisme!) .
Neo liberalisme, sebuah tatanan dunia
internasional baru yang akhir akhir ini sering dikampanyekan para pengusung
ekonomi kapitalis begitu sarat dengan Interlocking fate, dalam dunia yang
begitu anarki. Negara tidak boleh campur tangan terhadap pasar, biarkan pasar
mengatur ekonomi, dengan hukum pemintaan dan penawarannya yang terkenal itu.
Negara kemudian hanya sebagai fasilitator dari sebuah proses perekonomian.
Perkembangan kapitalisme ini sampai pada saat sekarang dikenal dengan
neo-liberalisme.
Neo-liberalisme berkembang dengan pesat
setelah kejatuhan Uni Soviet dan negara ? negara eropa timur yang jatuh akibat
krisis ekonomi politik. Neo-liberalisme menginkan kebebasan dalam melakukan
perputaran modal dan barang di semua negara. Artinya aktor hubungan
internasional tidak lagi hanya negara. Setiap orang baik secara induvidu maupun
koorporasi bersaing secara bebas tanpa di bebani oleh berbagai macam peraturan,
yang biasanya dibuat oleh negara. Makanya kemudian peran negara harus semenimal
mungkin dalam perekonomian semuanya diserahkan pada pasar. Dalam mempertahankan
kekuatan pasar tersebut maka diperlukan hegemoni yang kuat, dimana hegemoni
dilakukan dengan menggunakan media, entah itu internet maupun televisi.
Disinilah teknologi memegang peranan
penting dalam arus perputaran uang, modal, sampai pada mobilitas manusia, Hal ?
hal seperti itulah kemudian sangat diperlukan untuk membentuk dunia yang
tunggal, dunia yang satu, atau dunia yang dikendalikan oleh sebuah sistem yang
menurut mereka baik untuk kemanusiaan. Bagi Kenichi Ohmae, seorang pemikir
liberal, melihat ternyata nation state telah hancur, oleh yang disebutnya 4 I,
Investasi, Informasi, Individu, dan industri, hal ini kemudian memunculkan
negara ? negara kawasan yang membangun pasar bersama tanpa menghiraukan batas ?
batas regional untuk mobilitas investasi finansial, barang, dan manusia di
berbagai waliyah regional. Bahkan Eropa sudah menggunkan mata uang tunggal,
EURO.
Pandangan bahwa negara tidak lagi menjadi
aktor tunggal dalam perdagangan internasional, seperti yang dikatan oleh Robert
O. Keohane dan Josep Nye, bahwa batas-batas yang memisahkan negara bangsa tidak
lagi relevan, negara bangsa seringkali disusupi oleh aktor-aktor lain baik
sesama negar bangsa maupun aktor non negara seperti MNC/TNC, hal inilah yang di
sebut kedaulatan negara bangsa tidak lagi di hiraukan dalam hubungan
perdagangan internasional Dengan telah ditembusnya sekat-sekat negara, dimana
tidak lagi mengenal negara sebagai sebuah ide tentang sebuah wilayah yang
mempunyai batas-batas, melihat identitas sebuah bangsa hanya melaui
simbol-simbol seperti bendera, lagu kebangsaan, atau bahkan sorak-sorai
penonton sepak bola ketika piala dunia berlangsung, lain dari pada itu semuanya
dianggap sebagai bagian dunia yang akan segera bersatu dalam tatanan dunia yang
baru. Dengan tatanan yang seragam dibawah Neo-liberalisme.
Neoliberalisme berarti menolak intervensi pemerintah
termasuk dalam berbagai usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak
(perusahaan air minum, transportasi umum, telepon, dan listrik). Deregulasi,
privatisasi, dan liberalisasi pasar menjadi matra bersama yang disepakati dalam
Washington Consensus sebelum pertengahan tahun 1990-an, didukung Bank Dunia
(WB), Dana Moneter Internasional (IMF), dan bank regional kaki tangan mereka,
seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
mendukung ideologi ini dengan seperangkat sistem dan peraturan yang dikeluarkan.
Tentu saja akibatnya sangat dirasakan rakyat di negara tersebut, betapa
privatisasi berarti rakyat harus membayar untuk setiap aksesnya, termasuk pada
setiap sumberdaya yang seharusnya menjadi milik bersama.
http://www.berpolitik.com/viewposting.pl?tag_id=1149&tag_name=negara.neolineralisme¶m=ibCCqmjOUYxI3j4KglCV
http://www.berpolitik.com/viewposting.pl?tag_id=1149&tag_name=negara.neolineralisme¶m=ibCCqmjOUYxI3j4KglCV
No comments:
Post a Comment