Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996)
dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen
yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1.
kecukupan ketersediaan pangan;
2.
stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke
musim atau dari tahun ke tahun.
3.
aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4.
kualitas/keamanan pangan
Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dalam studi ini. Keempat indikator ini
merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara
menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk
mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.
Kecukupan ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai
dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang
dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu
ketersediaan makanan pokok di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya
dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam
berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45). Perbedaan jenis makanan pokok yang
dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang
berbeda, seperti cotoh berikut ini.
(a)
Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai
makanan pokok (seperti Provinsi Lampung) digunakan cutting point 240 hari
sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan
makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting
point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali
dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat
musim tanam gadu, yang berarti dapat panen 2 kali dalam setahun. Tahun
berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali
setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun
penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun
penduduk panen padi sebanyak 3 kali.
(b)
Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung (seperti Provinsi
Nusa Tenggara Timur) digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk
menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup.
Ini didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang hanya dapat
dipanen satu kali dalam tahun.
Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang
mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya
hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata
pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut
memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber
penghasilan dari sektor non-pertanian.
Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat
diukur sebagai berikut:
Untuk Provinsi Lampung, sebagai contoh, dengan beras
sebagai makanan pokok:
·
Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti
pesediaan pangan rumah tangga cukup
·
Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239hari,
berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·
Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti
pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.
Untuk Provinsi NTT, sebagai contoh, dengan jagung
sebagai makanan pokok:
·
Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti
pesediaan pangan rumah tangga cukup
·
Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364hari,
berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·
Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti
pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup
Stabilitas ketersediaan
Stabilitas
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan
ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu
rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai
persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk Provinsi Lampung
dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga)
kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai
kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat
menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu
rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam
jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau
mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian
yang dilakukan PPK-LIPI di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa
mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk
memperpanjang ketahanan pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).
Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih
sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan
penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan
pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah
tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini
semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok
mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari,
kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan
makanan pokok hingga panen berikutnya.
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan
pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali
disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator
kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 : Penetapan indikator stabilitas
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga (dengan contoh Kabupaten di
Provinsi Lampung dan NTT)
Kecukupan ketersediaan pangan
|
Frekuensi makan anggota rumah tangga
|
||
> 3 kali
|
2 kali
|
1 kali
|
|
>
240 hari
>
360 hari
|
Stabil
|
Kurang stabil
|
Tidak stabil
|
1
-239 hari
1 –
364 hari
|
Kurang stabil
|
Tidak stabil
|
Tidak stabil
|
Tidak
ada persediaan
|
Tidak stabil
|
Tidak stabil
|
Tidak stabil
|
Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam
pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan
rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan (missal sawah
untuk provinsi Lampung dan ladang untuk provinsi NTT) serta cara rumah tangga
untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan
dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:
·
Akses langsung (direct
access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah/ladang
·
Akses tidak langsung (indirect
access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah/ladang.
Cara rumah tangga memperoleh pangan juga
dikelompokkan dalam 2 (dua) kateori yaitu: (1) produksi sendiri dan (2)
membeli. Indikator aksesibilitas/keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan
dikelompokkan dalam kategoti seperti pada tabel berikut:
Tabel 2 : Penetapan indikator
aksesibilitas/keterjangkauan pangan di tingkat rumah tangga
Pemilikan sawah/ladang
|
Cara rumah tangga memperoleh bahan pangan
|
|
Punya
|
Akses langsung
|
Akses tidak langsung
|
Tidak
punya
|
Akses tidak langsung
|
Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian
diukur indikator stabilitas ketersedian pangan yang merupaan penggabungan dari
stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas terhadap pangan. Indikator
stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah:
·
Mempunyai persediaan pangan cukup
·
Konsumsi rumah tanga normal dan
·
Mempunyai akses langsung tarhadappangan
Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.: Penetapan indikator kontinyuitas
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
Akses terhadap pangan
|
Stailitas ketersediaan pangan rumah tangga
|
||
Stabil;
|
Kurang stabil
|
Tidak stabil
|
|
Akses
langsung
|
Kontinyu
|
Kurang kontinyu
|
Tidakkontinyu
|
Akses
tidak langsung
|
Kurang kontinyu
|
Tidak kontinyu
|
Tidak kontinyu
|
Kualitas/Keamanan pangan
Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi
kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan
karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang
berbeda-beda., sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau
‘tidak’nya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang
dikonsumsi dalam rumah tangga. Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari
data pengeluaran untuk konsumsi makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung
protein hewani dan/atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat
diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu:
1.
Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga
yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau
protein hewani saja.
2.
Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah
tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.
3.
Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah
tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik
hewani maupun nabati.
Ukuran kualitas pangan ini tidak mempertimbangkan
jenis makanan pokok. Alasan yang mendasari adalah karena kandungan energi dan
karbohidrat antara beras, jagung dan ubi kayu/tiwul sebagai makanan pokok di
desa-desa penelitian tidak berbeda secara signifikan.
Indeks ketahanan pangan
indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara
mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas
ketersediaan pangan, keberlanjutan dan kualitas/keamanan pangan) Kombinasi
antara kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator
stabilitas ketersediaan pangan. Selanjutnya kombinasi antara stabilitas
ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator
kontinyuitas ketersediaan pangan. Indeks ketahanan pangan diukur berdasarkan
gabungan antara indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas
/keamanan pangan. Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan seperti
terlihat pada tabel berikut:
Tabel
4 : Indeks ketahanan pangan rumah tangga
Kontinyuitas
ketersediaan pangan
|
Kulaitas/keamanan
pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
|
||
Protein
hewani dan nabati/protein hewani saja
|
Protein
nabati saja
|
Tidak
ada konsumsi protein hewani, dan nabati
|
|
Kontinyu
|
Tahan
|
Kurang tahan
|
Tidak tahan
|
Kurang kontinyu
|
Kurang tahan
|
Tidak tahan
|
Tidak tahan
|
Tidak kontinyu
|
Tidak tahan
|
Tidak tahan
|
Tidak tahan
|
Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:
1.
Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki
persedian pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan
selama jangka masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3
kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk
protein hewani dan nabati atau protein hewani saja
2.
Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang
memiliki:
-
Kontyuitas pangan/makanan pokok kontinyu tetapi hanya
mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja
-
Kontinuitas ketersdiaan pangan/makanan kurang kontinyu dan
mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
3.
Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan
oleh:
-
Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu, tetapi tidak
memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati
-
Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan
hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk
kedua-duanya.
-
Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu walaupun
memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
-
Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu dan hanya
memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.
Daftar
pustaka:
FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 November 1996. Rome, Italy:
Food and Agriculture Organisation of the United Nations.
Republik Indonesia. 2002. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 2000 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta:
Sekretaris Negara RI.
Raharto, Aswatini, 1999. “Kehidupan Nelayan Miskin di
Masa Krisis” dalam Tim Peneliti PPT-LIPI: Dampak Krisis Ekonomi Terhadap
Kehidupan Keluarga Kelompok Rentan: Beberapa Kasus Jakarta:
PPT-LIPI bekerjasama dengan Departeman Sosial Republik Indonesia.
Raharto, Aswatini dan Haning Romdiati. 2000.
“Identifikasi Rumah Tangga Miskin”, dalam Seta, Ananto Kusuma et.al (editor), Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VII, hal: 259-284. Jakarta:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan
Demografi Rumah Tangga. Seri Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit kependudukan _ LIPI.
Oleh:
Tim penelitian
Ketahanan pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi
Puslit Kependudukan -LIPI
No comments:
Post a Comment