Oleh : Jeffry
Pangihutan Hasibuan
Teori pertukaran dari homans ini sangat
erat kaitannya dengan dunia psikologi manusia. Lebih tepatnya bahwa homans
melihat akar dari teori pertukaran adalah behaviorisme yang berpengaruh
langsung terhadap sosiologi perilaku. Homans mendasarkan teori pertukaran ini
dalam berbagai proporsisi yang fundamental. Meski beberapa proporsisinya
menerangkan setidaknya dua individu yang berinteraksi, namun ia dengan sangat
hati-hati menunjukan bahwa proporsisi itu berdasarkan prinsip psikologis (Ritzer, 2004:358).
Homans menganggap dirinya adalah
seorang reduksionis psikologi ketika pemikirannya tentang proporsisinya yang
dikatakan bersifat psikologis tersebut [1].
Menurut Homans, teori pertukaran tesusun kedalam beberapa proporsisi
psikologis. Reduksionisme sendiri menurut Homans adalah “proses yang
menunjukan bagaimana proporsisi yang disebut satu ilmu (dalam hal ini
sosiologi) logikanya berasal dari proporsisi yang lebih umum yang disebut ilmu
lain (dalam hal ini psikologi). Mengapa demikian sehingga ia disebut
reduksionis psikologi?.
Pertama, proporsisi tersebut biasanya
dipergunakan dan telah teruji oleh para ahli yang menamakan dirinya psikolog.
Kedua, proporsisi tersebut berkenaan dengan perilaku manusia sebagai individu,
bukan manusia sebagai kelompok atau masyarakat. Atau dalam bahasa ringannya, Homans
berpendapat bahwa penjelasan satu individu dapat mewakili penjelasan seluruh
kelompok Perilaku sosial
menurut Homans merupakan pertukaran aktifitas konkrit maupun tidak, penuh
dengan reward atau costly, antara dua orang atau lebih.
Homans sedikit banyak termotivasi
ataupun terinspirasi oleh teori struktural – fungsional dari teman dan
koleganya yaitu Talcot Parson. Karena itulah saya dapat menuliskan pada awal
pembahasan teori pertukaran ini dengan :
Prinsip dasar dari teori pertukaran George Caspar Homans sama dengan prinsip
ekonomi yaitu untung – rugi. Hal ini dapat dilihat ketika Homans
menjelaskan teori ini dengan pengamatannya pada revolusi industri di Inggris.
Melalui prinsip psikologis bahwa ketika perusahaan membutuhkan produksi yang
banyak, maka perusahaan meningkatkan hadiah (reward) kepada para pekerja agar
pekerja itu dapat melakukan pekerjaannya dengan lebih cepat dan baik.
Homans menyesal menamakan teorinya
“teori pertukaran” karena ia melihatnya sebagai penerapan psikologi perilaku
pada situasi khusus. Ia mencoba membedakan prinsip dasar psikologi dengan
teorinya dalam pembahasan paradigma perilaku B.F. Skinner, khususnya tentang
studi burung merpati Skinner.
Bayangkan seekor merpati segar atau naif berada dalam sangkarnya di
laboratorium. Salah satu ciri perilaku bawaanya sejak lahir yang digunakannya
untuk menyelidiki lingkungannya adalah paruhnya. Ketika merpati itu mematuk ke sana kemari di dalam
sangkar, patukannya mengenai sebuah sasaran merah bundar, dan disaat itu
psikolog yang menungguinya atau mungkin sebuah mesin otomatis memberinya makan
dengan butiran padi. Faktanya adalah bahwa kemungkinan merpati itu mengulangi
perilakunya kembali – kemungkinannya merpati itu tak hanya sekedar
mematuk-matuk, tetapi mematuk sasaran merah bundar- akan meningkat. Dalam bahasa
sederhana dapat dikatakan merpati itu telah belajar mematuk target karena
dengan perilaku demikian ia mendapat hadiah (homans, 1961:18) dalam (Ritzer,
2004:358).
Dalam paradigma Skinner ini, Homans
tidak melihatnya sebagai perilaku sosial, tetapi perilaku individual, karena
hubungan merpati dengan psikolog itu hanya satu pihak. Sedangkan yang
dijelaskan Homans dalam teori pertukaran adaah perilaku sosial yang dimana
aktivitas satu binatang dapat menguatkan aktivitas binatang lain. Menurut
Homans, yang terpenting adalah bahwa tak
diperlukan proporsisi baru untuk menjelaskan perbedaan perilaku sosial dan
perilaku individual (Ritzer, 2004:358). Karena itulah ia meninggalkan konsep
yang diberikan oleh Skinner sekaligus menegaskan bahwa teorinya tentu jelas berbeda
dengan konsep teori psikologi.
Beberapa
Proporsisi Tentang Perilaku
Proporsisi
Sukses (The Success Proporsition)
Untuk semua tindakan yang dilakukan seseorang, semakin sering tindakan
khusus seseorang diberi hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan
tindakan itu (Homans,1974:16) dalam (Ritzer, 2004:361)
Semakin sering sebuah tindakan
memperoleh reward, maka tindakan tersebut akan semakin sering dilakukan. Ketika
seseorang pencuri mencuri sebuah barang, dan ia melakukannya dengan sukses (reward)
maka ia cenderung akan mengulangi perbuatannya lagi. Namun proporsisi ini bukan
tidak ada batasnya. Pada saat tertentu individu tidak dapat melakukan tindakan
ini sesering mungkin. Kemudian semakin pendek jarak waktu ia bertindak dan
menerima reward, semakin besar kemungkinan ia mengulangi perilakunya lagi. Sebaliknya,
semakin lama ia menerima reward, semakin kecil ia melakukan tindakan itu lagi.
Menurut Homans, semakin sering hadiah yang diterimanya, maka perilaku itu pun
semakin membosankan. Tapi, ketika reward yang diterimanya tidak teratur, maka
ia pun cenderung akan mengulanginya lagi. Contohnya perjudian.
Proporsisi
Pendorong (The Stimulus Proporsition)
Bila dalam kejadian dimasa lalu dorongan tertentu atau sekumpulan
dorongan telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka makin serupa
dorongan kini dengan dorongan di masa lalu, makin besar kemungkinan orang
melakukan tindakan seupa (Homans, 1974:23) dalam (Ritzer, 2004:364)
Ketika seseorang melakukan suatu
interaksi simbolik, misalnya : siBudi mengharapkan ia diperhatikan, dengan
membuat keonaran didalam kelas. Ternyata harapannya berhasil. Maka suatu saat,
ia akan terus melakukan simbol-simbol itu untuk diperhatikan lagi.
Simbol-simbol itulah yang dinamakan stimulus.
Proporsisi
Nilai (The Value Proporsition)
Makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar
kemungkinan ia melakukan tindakan itu (Homans, 1974:25) dalam (Ritzer,
2004:364)
Dalam proporsisi ini, Homans
memperkenalkan dua konsep yaitu reward
dan punishment Yang pertama adalah
tindakan dengan nilai positif ; semakin tinggi nilai hadiah, makin besar
kemungkinan mendatangkan perilaku yang diinginkan. Contohnya adalah ketika
seorang pria menginginkan seorang wanita. Dan ia menganggap wanita itu berharga
bagi dirinya, ia akan mendatangkan perilaku atau berusaha untuk mendapatkan
wanita itu.hukuman adalah tindakan dengan nilai negatif. Makin tinggi nilai
hukumannya, maka makin kecil pula individu mewujudkan perilaku yang diinginkan.
Misalnya, seseorang yang membutuhkan uang, dan ia mempunnyai gagasan untuk
mencuri. Namun ia tahu ataupun teringat bahwa hukuman mencuri adalah dipenjara.
Maka kecenderungan ia mencuri akan semakin kecil. Menurut Homans, hukuman
bukanlah cara yang efektif untuk membuat individu jera. Karena mereka dapat
bereaksi terhadap hukuman dengan cara yang tak diinginkan. Salah
mengintepretasikan hukuman. Homans menjelaskan bahwa teorinya bukanlah teori
hedonitis ; hadiah dapat berupa materi (uang misalnya) atau altruistis
(membantu orang lain) (Ritzer, 2004:364).
Proporsisi
Deprivasi-Kejemuan (The
Deprivation-Satiation Proporsition)
Semakin sering seseorang menerima hadiah khusus di masa lalu yang
dekat, makin kurang bernilai baginya setiap unit hadiah berikutnya (Homans
1974:29) dalam (Ritzer, 2004:365)
Contoh proporsisi ini adalah :
seorang kekasih memberikan hadiah kepada pasangannya beberapa minggu yang lalu.
Tapi kemudian ia memberikan hadiah lagi sekarang dan minggu-minggu selanjutnya.
Maka pemberian ataupun perasaan sang pasangannya ketika menerima hadiah dari
kekasihnya menjadi semakin berkurang.
Proporsisi
Persetujuan-Agresi (The
Aggression-Approval Proporsition)
Proporsisi A : Bila tindakan
orang tak mendapatkan hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak
ia harapkan, ia akan marah ; besar kemungkinan ia akan melakukan tindakan
agresif dan akibatnya tindakan demikian makin bernilai baginya (Homans,
1974:37) dalam (Ritzer, 2004:365)
Bila seorang gadis bernama A curhat
kepada temannya bernama B. Kemudian B memberi nasihat kepada A. Namun nasihat B
tidak sesuai dengan yang A harapkan. B melihat A tidak menyukai ataupun
menghargai nasihatnya itu, maka keduanya akan marah. Konsep yang Homans berikan
mengacu pada keadaan mental. Kekecewaan dapat mengacu pada seluruh kejadian
eksternal. (khusus ke umum)
Proporsisi B : Bila tindakan seseorang menerima
hadiah yang ia harapkan, terutama hadiah yang lebih besar daripada yang ia
harapkan, atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan, maka ia akan puas ; ia
makin besar kemungkinannya melaksanakan tindakan yang disetujui dan akibat
tindakan seperti itu akan makin bernilai baginya (Homans 1974:39) dalam
(Ritzer, 2004:365)
Dalam kasus kedua gadis yang curhat
dan penasehat, bila kedua-duanya mendapat apa yang mereka harapkan, maka
dua-duanya akan puas dan tidak terjadi marah. Bahkan nasehat dan pujian itu
akan semakin bernilai harganya.
Proporsisi
Rasionalitas (The Rationality
Proporsition)
Dalam memilih alternatif tindakan
maka ia akan cenderung memilih yang bernilai, digandakan dengan berbagai
kemungkinan untuk memperoleh hasil yang besar / menguntungkan. Proporsisi ini
sangat dipengaruhi oleh teori pilihan rasional. Berbeda dari
proporsisi-proporsisi sebelumnya yang lebih mengacu pada behaviorisme. Ia
bertindak berdasarkan rasionalitasnya yang dalam istilah ekonomi adalah
memaksimalkan kegunaanya. Apabila ia tidak dapat mencapai reward yang tinggi,
ia akan menurunkan nilainya.bilai ia berpikir tak dapat mencapai reward itu.
Begitu juga sebaliknya. Apabila ia berpikir dapat mencapai reward dengan mudah
ia akan menaikan nilai reward itu. Peluang ataupun dasar perkiraan mereka dapat
mencapai atau tidak, berdasarkan pengalaman dan penilaian masa lalu.
Kritikan terhadap Homans datang dari
Abrahamson (1970). Ia memandang banyak kelemahan homans si segi keadaan mental.
Sedangkan Ekeh (1974) memandang kelemahan teori Homans di segi struktur
berskala luas. Sebagai contoh, Homans mengakui perlunya “mengembangkan
psikologi lebih lengkap lagi”. Homans tidak menjelaskan bagaimana individu
(aktor) menilai hadiah yang satu lebih tinggi daripada hadiah yang lain dalam
proporsisi rasionalitas.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George dan
Douglas J. Goodman, 2004. Teori Sosiologi
Modern,
Kencana: Jakarta
Polloma, Margaret M.1987. Sosiologi Kontemporer, CV. Rajawali: Jakarta.
Beilharz, Peter. 2003. TEORI-TEORI SOSIAL, Pustaka Pelajar
: Yogyakarta
[1] Sebagaimana terlihat dari kutipan diatas, Blau
mengisyaratkan para ahli sosiologi agar waspada akan bahaya reduksionisme “yang
mengabaikan kehadiran properti sosial dan kultural (M. Poloma 2000:80)
Terima kasih buat share nya :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung dan semoga bermanfaat untuk kaka Giffari Alfarizy, sila kan di share.
Deletethankyou
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat.
Deleteterimakasih ilmunya
ReplyDeletewow.. seperti nama yang mirip dengan saya... hahaaha.. terima kasih om Indra Achmadi sudah di share... arrgghhh rindu berdialektika lagi di dunia ide... salam
ReplyDeleteJeffry Pangihutan Hasibuan, S.Sos