MONOGRAFI
DESA KERSOWORNO
1.
Kondisi Geografis
a.
Ketinggian tanah dari permukaan laut : 4-7 dpl
b.
Banyaknya curah hujan : 175 cm3/L
c. Topografi (dataran rendah,
tinggi, pantai): pantai
d. Suhu
udara rata-rata : 32°C
2.
Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan)
a. Jarak dari pusat kecamatan :
1 km
b. Jarak dari pusat kota
administratif : 1 km
c. Jarak dari ibukota kabupaten
: 17 km
d. Jarak dari ibukota
administrasi : 180 km
e. Jarak dari ibukota negara :
250 km
3.
Pertanahan
1. Status
a. Sertifikat Hak Milik : 211
buah
b. Sertifikat Hak Guna Usaha :
3 buah
c. Sertifikat Hak Guna Bangunan
: 5 buah
d. Sertifikat Hak Pakai : 12
buah
2. Peruntukan
a. Jalan : 200 Ha
b. Sawah dan ladang : 700 Ha
(Beras dan jagung)
c. Bangunan Umum : 329 Ha
d. Empang : 100 Ha
e. Pemukiman / perumahan : 60
Ha
f. Jalur Hijau : 10 Ha
g. Pekuburan : 1 Ha
h. Lain-lain : 15 Ha
4.
Kependudukan
1. Jumlah penduduk menurut
a. Jenis Kelamin: 1). Laki-laki : 3.953 orang
2). Perempuan : 4.278 orang
Jumlah : 8.231 orang
b. Kepala Keluarga : 2.024 orang
2. Jumlah penduduk menurut
usia:
a.
Kelompok Pendidikan
1). 00
– 03 tahun : 99 orang
2). 04
– 06 tahun : 125 orang
3). 07
– 12 tahun : 1.402 orang
4). 13
– 15 tahun : 573 orang
5). 16
– 18 tahun : 704 orang
6). 19
– keatas : 301 orang
5.
Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian
a. Pegawai Negeri Sipil : 425
orang
b. ABRI : 165 orang
c. Swasta : - orang
d. Wiraswasta/pedagang : 509
orang
e. Tani : 1.076 orang
f. Pertukangan : 250 orang
g. Buruh tani : 771 orang
h. Pensiunan : 319 orang
i. Jasa : 319 orang
6.
Pembinaan RT /RW
1. Jumlah RT/RW : a. Jumlah RT : 19 unit
b.
Jumlah RW : 4 unit
2. Jumlah Pengurus RT dan RW
tertatar: 23 orang
7.
Keuangan dan sumber-sumber pendapatan desa tahun
1. Keuangan
a. Sisa anggaran tahun lalu :
Rp.
b. Anggaran Pendapatan : Rp.
322.000
c. Belanja Desa : Rp. 322.000
d. Pembiayaan Desa : Rp.
2. Sumber Pendapatan Asli Desa
a. Tanah Kas Desa : Rp.
61.001.000
b. Pasar Desa : Rp. –
c. Pungutan Desa : Rp. –
d. Swadaya Masyarakat : Rp.
21.000.000
e. Hasil Gotong-royong : Rp. –
f. Lain-lain : Rp. –
Jumlah : Rp. 81.001.000
3. Bantuan Pemerintah
a. Pemerintah Pusat : Rp. –
b. Provinsi : Rp. –
c. Kabupaten : Rp. 102.000.000
Jumlah : Rp. 102.000.000
8.
Pengairan
1. Waduk/cekdam : 2 Jumlah
2. Saluran irigasi : 1
3. Gorong-gorong : 6 buah
4. Pompa air : 5 buah
5. Pembagian air : 3 buah
6. Kincir air : 2 unit
9.
Peternakan
1. Ayam kampung : 230 ekor
2. Ayam ras : 15.000 ekor
3. Kambing : 19 ekor
4. Sapi biasa : 2 ekor
5.Budidaya ikan : 15000 ekor
Pangan serealia dan kecukupan ketersediaan pangan pokok
Ketersediaan
pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan
yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi
rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam
dengan musim tanam berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45). Perbedaan jenis makanan
pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan
ukuran yang berbeda,
(a)
Di daerah kersoworno dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan
digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah
suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup atau tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen
padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau,
dengan asumsi ada pengairan, penduduk panen 2 kali dalam setahun. Tahun
berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali
setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun
penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun
penduduk panen padi sebanyak 3 kali.
(b)
Jenis makanan pokok jagung digunakan batas waktu selama
365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai
ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini didasarkan pada masa panen jagung di
daerah yang hanya dapat dipanen satu kali dalam tahun.
Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak
waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada
rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok.
Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan
jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor
non-pertanian.
Dengan demikian kondisi ketersediaan
pangan dapat diukur dengan beras sebagai makanan pokok:
·
Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti
pesediaan pangan rumah tangga cukup
·
Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239hari, berarti
pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·
Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti
pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.
dengan jagung sebagai
makanan pokok:
·
Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti
pesediaan pangan rumah tangga cukup
·
Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364hari, berarti
pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·
Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti
pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup
Stabilitas
ketersediaan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi
makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki
stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting
point (240 hari untuk beras dan 360 hari untuk jagung) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga)
kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi
bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali
sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan
ketersediaan pangan dalam rumah tangga.
Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan
pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan
atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Mengurangi
frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang
ketahanan pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).
Penggunaan
frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan
didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan penelitian PPK-LIPI),
dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya
makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa,
misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan
suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera
habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga
tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen
berikutnya.
Lebih lanjut,
kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per
hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut
sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator
stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 : Penetapan indikator stabilitas ketersediaan
pangan di tingkat rumah tangga
Kecukupan ketersediaan
pangan
|
Frekuensi makan anggota
rumah tangga
|
||
> 3 kali
|
2 kali
|
1 kali
|
|
> 240 hari
> 360 hari
|
Stabil
|
Kurang
stabil
|
Tidak
stabil
|
1 -239 hari
1 – 364 hari
|
Kurang
stabil
|
Tidak
stabil
|
Tidak
stabil
|
Tidak ada persediaan
|
Tidak
stabil
|
Tidak
stabil
|
Tidak
stabil
|
Aksesibilitas/keterjangkauan
terhadap pangan
Indikator
aksesibilitas atau keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan
lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur
berdasarkan pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:
·
Akses langsung (direct
access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah atau ladang
·
Akses tidak langsung (indirect
access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah atau ladang.
Cara rumah tangga memperoleh
pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kateori yaitu: (1) produksi sendiri dan
(2) membeli. Indikator aksesibilitas atau keterjangkauan rumah tangga
terhadap pangan dikelompokkan dalam kategoti seperti pada tabel berikut:
Tabel 2 : Penetapan
indikator aksesibilitas/keterjangkauan pangan di tingkat rumah tangga
Pemilikan sawah/ladang
|
Cara rumah tangga
memperoleh bahan pangan
|
|
Punya
|
Akses langsung
|
Akses tidak langsung
|
Tidak punya
|
Akses tidak langsung
|
Dari pengukuran indikator
aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersedian pangan yang
merupaan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas
terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu
rumah tangga apakah:
·
Mempunyai persediaan pangan cukup
·
Konsumsi rumah tanga normal dan
·
Mempunyai akses langsung tarhadappangan
Indikator kontinyuitas
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.: Penetapan indikator kontinyuitas
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
Akses
terhadap pangan
|
Stailitas ketersediaan
pangan rumah tangga
|
||
Stabil;
|
Kurang stabil
|
Tidak stabil
|
|
Akses langsung
|
Kontinyu
|
Kurang kontinyu
|
Tidakkontinyu
|
Akses tidak langsung
|
Kurang
kontinyu
|
Tidak
kontinyu
|
Tidak
kontinyu
|
Kualitas atau keamanan pangan
Kualitas atau keamanan
jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas
pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam
jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran
keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang
mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga.
Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi
makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati.
Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga
kategori, yaitu:
1.
Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga
yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau
protein hewani saja.
2.
Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah
tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.
3.
Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah
tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik
hewani maupun nabati.
Ukuran kualitas pangan ini
tidak mempertimbangkan jenis makanan pokok. Alasan yang mendasari adalah karena
kandungan energi dan karbohidrat antara beras, dan jagung sebagai makanan pokok
di desa kersoworno tidak berbeda secara signifikan. Jumlah ikan adalah
paling banyak dikonsumsi, diikuti daging dan telur, sedangkan jumlah yang
paling sedikit dikonsumsi adalah susu. Rata-rata daging yang dikonsumsi telah
melebihi standar konsumsi, namun sebagian besar masih di bawah standar
konsumsi, sedangkan susu dan ikan yang dikonsumsi sebagian besar masih di bawah
standar konsumsi. Rata-rata kecukupan konsumsi jumlah daging adalah status
normal, namun sebagian besar status kekurangan. Kecukupan konsumsi jumlah telur
sebagian besar status kelebihan, sedangkan kecukupan konsumsi jumlah susu dan
ikan sebagian besar status kekurangan. Ini menyimpulkan bahwa : (1) Konsumsi pangan hewani
sebagian besar masih belum beragam sesuai dengan Pola Pangan Harapan; (2) Kecukupan
konsumsi pangan hewani sebagian besar juga belum mencukupi standar kecukupan
konsumsi pangan hewani; (3) Kondisi sosial-budaya dan ekonomi serta ketersediaan
pangan hewani di tingkat rumah tangga berpengaruh positif terhadap
keanekaragaman konsumsi pangan hewani; dan (4) Semakin beragam konsumsi pangan
hewani pada keluarga, semakin tinggi kualitas sumberdaya manusia keluarga. Pola
Pangan harapan yang berasal dari pangan Hewani masih rendah, sehingga perlu
ditingkatkan. Masih rendahnya produksi pangan hewani disebabkan oleh beberapa
faktor spesifik.
Solusi
Untuk meningkatkan kualitas ketersediaan pangan
di desa maka perlu dilakukan peningkatan nilai Pola Pangan harapan (PPH)
Ketersediaan terutama dari Ketersediaan pangan hewani. Maka dalam rangka
peningkatan Pola Pangan harapan (PPH) perlu dilakukan upaya- upaya yaitu
melalui Tata kelola kepemerintahan yang baik atau good governance yang
dilakukan oleh ketiga unsur : Pemerintah, swasta dan masyarakat meliputi:
|
Indeks
ketahanan pangan
Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan
keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas
ketersediaan pangan, keberlanjutan dan kualita
atau keamanan pangan) Kombinasi antara kecukupan
ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator stabilitas
ketersediaan pangan. Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan
pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator kontinyuitas
ketersediaan pangan. Indeks ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara
indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan.
Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan seperti terlihat
pada tabel berikut:
Tabel 4 : Indeks ketahanan pangan rumah tangga
Kontinyuitas ketersediaan pangan
|
Kulaitas/keamanan
pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
|
||
Protein
hewani dan nabati/protein hewani saja
|
Protein
nabati saja
|
Tidak
ada konsumsi protein hewani, dan nabati
|
|
Kontinyu
|
Tahan
|
Kurang tahan
|
Tidak tahan
|
Kurang kontinyu
|
Kurang tahan
|
Tidak tahan
|
Tidak tahan
|
Tidak kontinyu
|
Tidak tahan
|
Tidak tahan
|
Tidak tahan
|
DAFTAR
PUSTAKA
FAO. 1996. World Food
Summit, 13-17 November 1996. Rome, Italy: Food and Agriculture Organisation
of the United Nations.
Republik Indonesia. 2002. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2000 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta: Sekretaris Negara RI.
Raharto,
Aswatini, 1999. “Kehidupan Nelayan Miskin di Masa Krisis” dalam Tim Peneliti
PPT-LIPI: Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kehidupan Keluarga Kelompok Rentan:
Beberapa Kasus Jakarta: PPT-LIPI bekerjasama dengan Departeman Sosial
Republik Indonesia.
Raharto, Aswatini dan Haning
Romdiati. 2000. “Identifikasi Rumah Tangga Miskin”, dalam Seta, Ananto Kusuma
et.al (editor), Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, hal: 259-284.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
PPK-LIPI. 2004. Ketahanan
Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri Penelitian PPK-LIPI No.
56/2004. Jakarta: Puslit kependudukan _ LIPI.
No comments:
Post a Comment