1. SEJARAH FILSAFAT HUKUM
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman
Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah
tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang sangat menentukan
terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu pada masa lampau,
sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat membicarakan sejarah
perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno).
Pada
zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis.
Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada
zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain:
Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para
filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM),
dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu
diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos
yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio). Anaximander
berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi
jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan
keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan
keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan
pengertian-pengertian yang berasal dari logos. Sedangkan Parmenides
sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus
alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat
pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum
sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari
sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan
warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan
kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada,
yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran
untuk segala-galanya.
Tetapi
Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat
bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu
memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya
anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu
salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat
memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria).
Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat
bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami hukum yang
ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan
penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang
dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa
tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah
yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal. Aristoteles,
murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa
hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah
membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat
hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon
politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa
polis.
Hukum yang harus
ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari gagasan
Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua hukum
tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam
ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena
hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan
berlaku dengan sendirinya. Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang
seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut
sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan
ditentukan oleh hukum positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku
setelah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani
(Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan Yunani yang
dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan
Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini
menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme
muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi
kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari
penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum.
Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang
bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai
segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan
logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut
Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum
positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang
hukum positif sesuai dengan hukum alam.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman
Pertengahan
Perkembangan sejarah
filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran
Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan
kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai
berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase
yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh
dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan
peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa
gelap.
Tokoh-tokoh filsafat
hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas
Aquino (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman
pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya
saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide
abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber
dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia. Sedangkan
Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan
secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna),
hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang
berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex
Positivis). Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh
Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada
bagian lain dari tulisan ini.
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman
Modern
Pada zaman ini para
filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas sama sekali
dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat
penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene
Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704),
George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626),
Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-1728), Wolf (1679-1754),
Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant
(1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam
pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu
saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan
manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru,
ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat
dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali
terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.
2. FUNGSI FILSAFAT HUKUM
Filsafat hukum memfokuskan
pada segi filosofisnya hukum yang berorientasi pada masalah-masalah fungsi dari
filsafat hukum itu sendiri yaitu melakukan penertiban hukum, penyelesaian
pertikaian, pertahankan dan memelihara tata tertib, mengadakan perubahan,
pengaturan tata tertib demi terwujudnya rasa keadilan berdasarkan kaidah hukum
abstrak dan konkrit.
Pemikiran filsafat
hukum berdampak positif sebab melakukan analisis yang tidak dangkal tetapi
mendalam dari setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat atau
perkembangan ilmu hukum itu sendiri secara teoritis, cakrawalanya berkembang
luas dan komprehensive. Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat
hukum adalah politik hukum, sebab politik hukum lebih praktis, fungsional
dengan cara menguraikan pemikiran teleologiskonstruktif yang dilakukan di dalam
hubungannya dengan pembentukan hukum dan penemuan hukum yang merupakan kaidah
abstrak yang berlaku umum, sedangkan penemuan hukum merupakan penentuan kaidah
konkrit yang berlaku secara khusus.
Filsafat hukum dalam
fungsi ontologis yakni mencari dan menciptakan landasan-landasan hakiki yang
mempersatukan secara struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum
yang berdiri di atasnya. Pokok yang dicari oleh manusia sepanjang waktu
semenjak eksistensinya sebagai makhluk berpikir hingga kini mungkin sampai
akhir zaman ialah kebenaran hakiki yang akan menjadi dasar dan kebahagiaan
lahir dan batin yang baik, indah,dan adil bagi dan dalam kemah kehadiran
manusia dimaya pada.
Beberapa fungsi
filsafat hukum G. Del Vecchio membagi fungsi dari filsafat hukum menjadi
tiga yaitu :
1. Fungsi transendental logis yaitu menyusun pengertian hukum yang
fundamental.
2. Fungsi fenomenologis yaitu meneliti sejarah universal dari hukum sebagi
bentuk pengejahwantahan dari cita hukum yang lestari.
3. Fungsi de-ontologis yaitu meneliti cita hukum (rechts idee), di mana hukum
itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran idiil yang umum bagi keadilan
atau kedzoliman hukum positif.
Dalam paham yang luas
mengenai makna dan fungsi dari filsafat hukum, yang merangkum pengertian-cita
hukum, tujuan dan berlakunya hukum (begriff-zweek-dan geltung des rechts) maka
sebagian dari konsekuensinya adalah suatu anggapan bahwa teori hukum merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat hukum.
Namun ditambahkan satu
menurut Prof. Soejono Koesoemo Sisworo, yaitu :
1.
Fungsi transendental
logis yaitu menyusun pengertian hukum yang fundamental.
2.
Fungsi fenomenologis
yaitu meneliti sejarah universal dari hukum sebagi bentuk pengejahwantahan dari
cita hukum yang lestari.
3.
Fungsi de-ontologis
yaitu meneliti cita hukum (rechts idee), di mana hukum itu keadilan atau hukum
kodrat, sebagai ukuran idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum
positif.
4.
Fungsi Ontologis yaitu
Mencari dan menciptakan landasan -landasan hakiki yang mempersatukan secara
struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri
diatasnya.
Di samping itu, dengan mempelajari
filsafat hukum dan sejarah hukum bagi ilmu hukum, dapat berfungsi sebagai
berikut:
·
Fungsi edukatif
Memberikan kearifan dan kebijaksanaan
bagi yang mempelajarinya. Mempelajari sejarah di bidang hukum maka orang akan
senantiasa berdialog dengan regulasi masa kini dan masa lampau. Dengan
mempelajarinya sejarah dalam hukum akan ditemukan hubungan antara peraturan
hukum di masa lampau dengan sekarang. Nilai-nilai penting yang berguna
bagi kehidupan dapat diperoleh. Nilai tersebut dapat berupa ide atau konsep
kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah yang akan
direalisasikan. Setiap masalah yang pernah dihadapi di masa lalu apabila dikaji
dan dipahami dengan baik maka makna edukatif dari sejarah akan terlihat. Dalam
kemasakinianlah masa lampau itu baru merupakan “masa lampau yang penuh arti” (the meaningfull past) bukan “masa lampau
yang mati” (the dead past).
·
Fungsi inspiratif
Mempelajari sejarah di bidang hukum
memberikan konsep kreatif yang berguna bagi pemecahan masalah masa kini serta
untuk memperoleh inspirasi dan semangat bagi mewujudkan identitas sebagai suatu
bangsa, semangat nasionalisme maupun dalam upaya menumbuhkan harga diri bangsa.
·
Fungsi instruktif
Jika dikaitkan dengan bidang hukum dan
dalam penentuan masalah hukum banyak yang didasarkan pada kebiasaan masa lalu.
Artinya penyelesaian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dipakai
sebagai rujukan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Ini biasanya dipakai
dalam menyelesaikan sengketa internasional.
3. KARAKTERISTIK FILSAFAT
Sebagaimana berpikir
secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat
atau karakteristik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama,
filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal.
Dengan cara berpikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari
filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk
menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam
filsafat hukum pun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan
hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya
lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat
hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh,
tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara
partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain
yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya,
tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat
hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya.
Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai
yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua,
filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada
pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam
menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal.
Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami
hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam
arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum
secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan
menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak
boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh
Suriasumantri, bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat
spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum
untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu
ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu
saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah,
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif
dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan
bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu
menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung
dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka
jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan
radikal.
Kemudian ciri yang
lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini,
filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum
secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus.
Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang
tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala
itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara
bijaksana dalam menghadapi suatu masalah konkret. Secara kritis, filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat
koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga
bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya,
filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang
dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan
tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan
permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan
sifat manusia yang memiliki hakikat dapat mengambil jarak (distansi) tidak
hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan
perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy,
mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal
ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa
ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah
kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun
pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk
menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai
bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat
tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya
maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik
khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti
pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat
dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah
satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan
terhadap berbagai krisis permasalahan
4. JUDUL LAIN TENTANG FILSAFAT (ISTILAH)
Filsafat Hukum adalah
cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita
katakan Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang
hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah
ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara
mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.,
Filsafat hukum juga dikenal dalam beberapa istilah asing, yaitu: “wijsbegeerte
van het recht”, “rechtsphilosophie”, “philosophie du droit”, “philosophy of
law”, “legal philosophy”, “legal theory”, “jurisprudence”, “theory of justice”.
Istilah
Filsafat Hukum (dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007)
Belanda à menggunakan istilah wijsbegeerte van het recht, rechphilosophie
Prancis à Philosophie do Droit
Jerman à Philosophie des Rechts
Inggris à Philosophie oh Law, Legal Philosophy
Istilah lainnya: Legal Theory
(Fredmann), Theory of Justice (John Rawls), a text book of jurisprudence
(Paton), dll
Pengertian Filsafat Hukum Menurut
beberapa Ahli (dalam Lili
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007).
Purnadi Purvacaraka dan Soerjono Soekanto
à Filsafat Hukum adalah perenungan
dan perumusan nilai-nilai kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian
nilai-nilai misalnya: penyerasian antara ketertiban dengan ketenteraman antara
kebendaan dengan keakhlakan dan antara kelanggengan konservatisme dengan
pembaharuan.
Soedjono Dirdjosisworo à Filsafat Hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang dianut
orang atau masyarakat atau negara tentang hakikat ciri-ciri serta landasan
berlakunya hukum.
Mahadi à Filsafat Hukum ialah falsafah tentang hukum yaitu falsafah tentang segala
sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara
sistematis.
Soetikno à Filsafat Hukum mencari hakikat daripada hukum, yang menyelidiki kaidah
hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai.
E. Utrecht à Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan - pertanyaan seperti:
apakah hukum itu sebenarnya? (Persoalan adanya dan tujuan hukum ). Apakah
sebabnya kita menaati hukum? ( persoalan berlakunya hukum). Apakah keadilan
yang menjadi ukuran baik buruknya hukum itu? (persoalan keadilan hukum). Inilah
pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi
bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu
ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja yaitu menerima hukum
sebagai suatu "gegebenheit" belaka. Filsafat hukum hendak melihat
hukum sebagai kaidah dalam arti kata : "ethisch wardeoordeel"
Van Apeldoorn à Filsafat Hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan apakah hukum? Ia menghendaki
agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri
sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang hukum.
Gustaf Radbruch à Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar.
Langemeyer à Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Pengertian Jurisprudence
Jurisprudence berasal
dari kata (Jurisprudens) Iuris dan Prudens (Bahasa Latin). Juris berasal dari
kata Ius yang berarti adil, makna kata ini juga dapat diterjemahkan sebagai
benar (kebenaran). Dalam bahasa Sanskrit (Sansekerta) kata ini memiliki padanan
kata yaitu yoh yang berarti sehat (kesehatan). Mirip dengan bahasa Ibrani yod
yang berarti sumber cahaya. Dalam bahasa Persia yaozdataiti yang berarti murni
(telah dimurnikan).
Selain Ius kita
mengenal Lex yang berarti peraturan perundang-undangan. Dalam bahasa Perancis
kita menemukan Droit untuk Ius dan Loi untuk Lex. Dalam bahasa German ada Recht
untuk Ius dan Gesetz untuk Lex.
Kata kedua berarti
Prudens yang berarti kebijaksanaan. Prudens membuat kita arif dalam hidup.
Mengacu pada makna kedua kata Jurisprudens adalah praksis hidup yang adil dan
benar. Dalam Ilmu Hukum Indonesia, diterjemahkan sebagai disiplin hukum atau
ajaran hukum.
Jurisprudence adalah
filsafat yang mengarahkan seseorang untuk menjadi arif dalam praksis hidup,
sehingga lekat kaitannya dengan Etika.
Teori Ilmu Hukum yang
dikenal sebagai Jurisprudence perkembangan lebih lanjut dari Ajaran Hukum Umum,
karena ada sifat praksisnya maka ia disebut sebagai teori. Menurut Theo
Huijbers, Jurisprudence disebut filsafat hukum yang mengandung sifat-sifat
praksis karena tujuan utamanya untuk menjawab tentang apa yang seharusnya
dilakukan menurut hukum.
Hilaire McCoubrey & Nigel D White : “Jurisprudence is by its nature a transnational
subject, its concern relates in various ways to most if not all legal
systems. All States have system of law and , despite the variety of forms, the
problems and questions arising tend to be very similar in their general
nature” (Textbook on Jurisprudence, 1996).
Pengertian Legal Theory
Legal
theory adalah suatu teori hukum yang memfokuskan kajiannya bahwa hukum yang
dianggap eksis adalah apa yang ada di dalam undang-undang, sedangkan di luar
undang-undang dapat dianggap bukan/bagian dari hukum. Istilah legal theory
banyak lebih mengacu pada pandangan positivistik. Pada posisi demikian ini para
praktisi hukum (jurist als medespeler) kurang atau tidak menyukai teori hukum
(legal theory) karena dianggap sangat terbatas dan sempit sifatnya.
Menurut Hans Kelsen (dalam
Satjipto Rahardjo : Hukum Dalam Jagat Ketertiban, 2006) :
1.
The aim of a theory of law, as of any science, is to
reduce chaos and multiplicity to unity.
2.
Legal theory is science, not volition. It is knowledge
of what the law is, not of what the law ought to be.
3.
The Law is a normative not a natural science.
4.
Legal theory as a theory of norms is not concerned
with the effectiveness of legal norms.
5.
A theory of law is formal, a theory of the way of
ordering, changing content in a specific way.
6.
The relation of legal theory to a particular
system of positive law is that of possible to actual law.
Referensi Bacaan:
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang. 2008. Pengantar ke
Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Muchsin. 2006. Ikhtisar Filsafat Hukum. Jakarta:
Badan Penerbit Iblam.
McCoubrey, Hilaire and Nigel D White, 2008, Textbook On Jurisprudence
Oxford : Oxford University Press dalam
http://aafandia.wordpress.com/2009/05/23/latar-belakang-dan-pengertian-teori-hukum/.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Semarang: UKI Press
dalam http://aafandia.wordpress.com/2009/05/23/latar-belakang-dan-pengertian-teori-hukum/.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, 2007,
Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan ke-X, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Sisworo, Soejono Koesoemo, 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum
dalam http://mengenalhukumindonesia.blogspot.com/
Sumarwani, Sri. Peran Hakim Agung Sebagai Agent Of Change Untuk
Meningkatkan Kualitas Putusan Dalam Mewujudkan Law and Legal Reform, dalam
http://mengenalhukumindonesia.blogspot.com/
http://orintononline.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment