Menurut
Gabriel Almond (1999), partisipasi politik diawali oleh adanya artikulasi
kepentingan dimana seorang individu mampu mengontrol sumber daya politik
seperti halnya seorang pemimpin partai politik atau seorang dictator militer. Peran mereka sebagai aggregator politik
(penggalang/penyatu dukungan) akan sangat menentukan bagi bentuk partisipasi
politik selanjutnya.
Bangsa besar memiliki bangunan organisasi yang telah
terspesialisasi dalam menyalurkan bentuk agregasi politik berikut kebijakan terkait
menghasilkan partai politik.
Oleh karena itu partisipasi politik menurut Gabriel Almond
(1999) terbagi ke dalam 3 kategori seperti ilustrasi berikut ini:
Ilustrasi 1:
Partisipasi Politik Almond
Sumber: Almond (1999)[1]
Sedangkan
Huntington dan Nelson mengatakan bahwa tidak ada bentuk partisipasi politik yang
digambarkan sebagai “No Easy Choice,” membaginya menjadi 2 macam partisipasi:
1.
Otonom (autonomous participation)
2.
Mobilisasi (mobilized participation)
Mereka mengatakan bahwa keterasingan seseorang dalam
partisipasi politik yang disebabkan oleh rasa apatis (ketidakpedulian) dapat
menyebabkan alienasi (keterasingan) politik.
David F. Roth dan Frank L. Wilson (1980) menstrukturkan
partisipasi politik ke dalam piramida partisipasi sebagaimana ilustrasi
berikut:
Ilustrasi 2: Piramida Partisipasi Politik Roth dan Wilson
Sumber: Budiardjo (1998)[2]
Bentuk umum dari partisipasi politik
adalah pemberian suara pada saat pemilihan umum (pemilu). Bentuk partisipasi politik paling minim
seperti ini dapat dijumpai pada sistem politik demokratik sampai paling
otoritarian sekalipun.
Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik yang ada pada
sistem politik terbagi menjadi level atau derajat pemberian partisipasi seperti
tergambar pada tebel berikut:
Tabel 1. Bentuk dan Derajat Partisipasi Politik Almond
BENTUK
|
RUANG LINGKUP
|
DERAJAT
|
Voting (pemberian suara)
|
Luas, keputusan pemerintah
|
Sedang
|
Informal Group (kelompok informal)
Social Movement (pergerakan sosial)
|
Aktivitas kolektif, kebijakan umum
|
Tinggi
|
Direct Contact (kontak langsung)
|
Spesifik, urusan personal/pribadi
|
Rendah
|
Protest Activity (aktivitas protes)
|
Ekspresif, urusan spesifik
|
Tinggi
|
Sumber: Almond (1999)
Sebagai perbandingan bentuk dan derajat partisipasi politik
di berbagai negara pada tahun 1990 – 1993:
1.
Amerika Serikat –
49%
2.
Jerman Barat –
82%
3.
Inggris – 72%
4.
Perancis – 68%
5.
Uni Soviet – 64%
Alexis de Tocqueville, seorang ahli
masalah demokrasi Amerika Serikat berkebangsaan Perancis, mengakui bahwa
aktivitas ‘grass
root’ (akar rumput/rakyat jelata) merupakan
fondasi dari demokrasi, namun sekarang sudah berubah menjadi ‘middle class’ (masyarakat kelas menengah).
Almond seterusnya membagi partisipasi politik dalam
kelompok-kelompok yaitu:
1.
Kelompok
kepentingan, mereka dapat duduk dalam badan pengawas pemerintahan (ombudsman),
misalnya dalam masalah pelayanan publik,
2.
Kelompok anomic,
mereka adalah kelompok yang terbentuk secara spontan karena rasa frustasi,
putus asa, kecewa, dan emosi lain, mereka turun ke jalan karena rasa
ketidakadilan. Pada saat seperti ini
sangat memungkinkan kekerasan akan terjadi “lead to violence” karena kelompok
yang ada dan terorganisir semisal partai politik tidak mampu mewakili
kepentingan mereka yang marah dalam sistem politik. Kekerasan dapat meledak pada saat tidak terduga
dan tidak terkendali. Walaupun kelompok
anomic ada pula yang secara sengaja diorganisir untuk kepentingan politik
tertentu,
3.
Kelompok
non-asosiasional, sangat jarang sekali terorganisir, disebatkan aktivitas
mereka yang sangat episodic pula. Perbedaan
dari kelompok anomic adalah dasar mereka membentuk kelompok karena kesamaan
kepentingan etnik, wilayah, agama, pekerjaan, dan juga tali kekeluargaan. Kelompok ini bisa berkelanjutan bila
dibandingkan dengan kelompok anomic.
Kelompok anomic terbagi 2 yaitu: 1) kelompok besar, terorganisir dan 2)
sub-kelompok kecil pedesaan, mengenal satu sama lain sehingga lebih efektif,
4.
Kelompok
institutional, merupakan bentuk kelompok yang lebih canggih karena sudah berupa
partai politik, korporat bisnis, legislative, militer, birokrasi, persekutuan
gereja, majelis ulama, dimana mereka mendukung kelompok khusus dan memiliki
anggota dengan tanggung jawab khusus untuk mewakili kepentingan kelompok,
5.
Kelompok
asosiasional, merupakan kelompok yang dibentuk mewakili kepentingan kelompok
yang khusus atau spesifik termasuk serikat perdagangan dan serikat pengusaha,
6.
Kecenderungan
sekarang ini timbul kelompok besar ke-6 yaitu Civil Society, dimana kelompok
masyarakat terjun berinteraksi secara sosial dan politik tanpa campur tangan,
atau kontrol dari pemerintah berupa aturan.
Mereka merupakan asosiasi bersifat sukarela.
Apabila kita mengamati logika
partisipasi politik yang dilakukan oleh kaum buruh, maka kegiatan mereka
diawali dengan pembentukan:
1.
Kelompok anomic
secara spontan, kemudian
2.
Kelompok
non-asosiasional, menggalang dukungan secara kolektif dari kelas pekerja,
seperti demontrasi ke jalanan pada saat ‘May day’ (hari buruh), kemudian
3.
Kelompok
institutional, melalui departemen tenaga kerja di pemerintahan melahirkan UU
Perburuhan, diikuti dengan
4.
Solidisasi
Kelompok asosiasional, yaitu terbentuknya serikat pekerja.
Bila berbicara mengenai kelompok kepentingan, menurut
Almond, terbagi menjadi 3 sistem:
1.
Pluralis dengan
ciri:
·
Tunggal
·
Keanggotaan wajib
dan terbatas
·
Organisasi
terdesentralisasi
·
Pemisahan tegas
antara kelompok kepentingan dan pemerintah
2.
Demokratis-Korporatis
dengan ciri:
·
Asosiasi puncak
mewakili tiap kepentingan
·
Keanggotaan
berada pada asosiasi puncak wajib dan hampir bersifat universal
·
Asosiasi puncak
terorganisir dan mengatur aksi tiap anggota
·
Kelompok secara
sistematis terlibat dalam pembuatan dan penerapan kebijakan
3.
Terkontrol dengan
ciri:
·
Hanya satu
kelompok tiap sektor sosial
·
Keanggotaan wajib
·
Setiap kelompok
hirarkhis terorganisir
·
Setiap kelompok
dikontrol oleh pemerintah atau agen untuk memobilisasi dukungan untuk mendukung
kebijakan
No comments:
Post a Comment