Dari
uraian Berpijak Di Atas Bara: Kegamangan Politik TNI pada Masa Transisi
tersebut setidaknya ada enam hal yang melatarbelakangi perubahan sikap politik
TNI, dari mendukung Wahid, menolak, dan akhirnya mendukung kepemimpinan
Megawati. Pertama, rencana dan ancaman pengadilan kejahatan kemanusiaan oleh
Pemerintahan Presiden Wahid, yang dimulai dengan mencopot Wiranto dari jabatan
Menkopolkam. Meski waktu itu TNI meradang, tapi Wahid tidak cukup memiliki
keberanian untuk mengadili Wiranto ke pengadilan kejahatan kemanusiaan (HAM),
hanya sebatas penyidikan oleh Komisi Penyidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(KPP HAM). Justru yang kental adalah upaya sistematis dari Wahid untuk
membuktikan kepada dunia internasional bahwa pemerintahannya mampu mengontrol
militer dan kepolisian, sehingga aroma politis lebih kentara ketimbang
pendekatan hukum itu sendiri. Meski begitu, kebijakan Wahid ini mampu membuat
perwira TNI marah dan kecewa dengan langkah Wahid, yang bermuara pada penarikan
dukungan TNI dari Pemerintahan Wahid.
Kedua,
pengurangan hak istimewa kepada TNI. langkah ini memang sejalan dengan komitmen
masyarakat dan kalangan politisi untuk mengurangi jumlah anggota parlemen dari
Fraksi TNI/Polri dari 75 orang menjadi hanya 38 orang saja. Di samping itu juga
demiliterisasi jabatan sipil yang dulu dikuasai oleh TNI menjadi bagian yang
menyakitkan hati, meski dengan kebijakan pensiun dini dan alih status telah
membuat kalangan perwira di TNI tidak mudah menerima. Pengurangan hak
istimewa juga dilakukan oleh Wahid dengan memisahkan Polri dari Keluarga Besar
TNI. Pemisahan ini jelas mengurangi wilayah dan cakupan TNI untuk berkiprah di
wilayah keamanan. Sebab TNI hanya ter-plot pada urusan pertahanan semata. Tak
heran apabila di lapangan seringkali terjadi bentrokan antara Polri dan TNI
yang salah satu masalahnya adalah masalah pungutan liar, yang dulu bisa dibagi
rata, namun kini dikuasai oleh Polri.
Ketiga,
dinamika internal TNI. faksionalisasi di tubuh TNI pasca Soeharto bermuara pada
adanya kelompok ABRI Merah Putih dan ABRI Hijau, namun pada perjalanan
waktunya, faksi TNI berubah menjadi faksi TNI Reformis dengan faksi TNI
Konservatif. Perubahan ini tak pelak membuat konflik di tubuh TNI makin
meradang. Lima belas rencana perubahan yang dibuat oleh TNI juga menjadi pro
kontra dalam pelaksanaanya, meskipun pada akhirnya hal tersebut berjalan namun
tetap memberikan kontribusi bagi konflik yang terjadi di internal TNI. salah satu
perdebatan adalah masalah tuduhan pelanggaran kemanusiaan terhadap Wiranto dan
perwira yang terlibat di Timor Timur, serta penghapusan wilayah territorial,
yang satu menginginkan percepatan, sedangkan yang lain merasa bahwa perubahan
tersebut membutuhkan pengkajian yang matang.
Keempat,
intervensi yang terlalu dalam oleh Wahid ke internal TNI. Pencopotan
Rusdihardjo dari jabatan Kapolri, pengangkatan Agus Wirahadikusumah menjadi
Pangkostrad, serta pergantian Kapuspen Sudrajat, dan pemutasian Djaja Suparman
tak pelak merupakan keinginan Wahid yang tidak diputuskan melalui Wanjakti. Dosa
utama dari Wahid terhadap TNI adalah keinginannya untuk mengangkat Agus
Wirahadikusumah menjadi Kasad atau pun Wakil Kasad. Sebab langkah itu dinilai
sudah keterlaluan dan cenderung tidak lagi memperhatikan sistem yang telah ada
dan baku di Markas Besar TNI. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dari situlah
penolakan terhadap upaya intervensi Wahid ke tubuh TNI selalu berujung
kegagalan, apalagi TNI makin solid pasca penolakan tersebut.
Kelima,
adanya konflik antara parlemen dengan eksekutif, dalam hal ini Presiden Wahid.
konflik ini dijadikan TNI sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan diri,
meskipun, langkah TNI juga kadang sering terlalu melihat dinamika perseteruan
tersebut, sehingga ketika parlemen masih merumuskan apakah akan dikeluarkan
Memorandum II atau tidak, TNI justru memilih kembali netral, padahal pada
Memorandum I TNI secara aktif mendukung dikeluarkannya Memorandum I. Langkah
TNI ini disadari betul oleh para perwiranya karena apabila berjalan sendiri,
justru upaya untuk mendelegitimasikan TNI makin besar, makanya TNI lebih
memilih untuk bersama-sama parlemen mencabut kembali mandat yang diberikan MPR
dari Wahid untuk diberikan ke Megawati Soekarnoputri. Upaya ini jelas
memberikan keuntungan bagi TNI, sebab Megawati cenderung lebih lunak dalam
mendorong reformasi diinternal TNI, dengan mempercayakan perubahan tersebut
kepada internal TNI sendiri.
Enam,
dukungan kalangan elit politik yang kontra terhadap Wahid di parlemen. Meski
masih samar-samar, namun indikasi bahwa TNI mendapat dukungan dari elit politik
sipil tersebut terlihat. Ada dua indikasi yang menguatkan hal tersebut.
Pertama,Unjuk rasa yang dilakukan oleh massa anti Wahid dapat masuk dengan
leluasa ke Gedung DPR/MPR, sementara sejak awal telah disepakati bahwa TNI
bersama Polri mengamankan Gedung DPR/MPR dari massa unjuk rasa, baik yang pro
maupun yang kontra. Kedua, adanya kedekatan petinggi TNI dengan pimpinan
partai politik, misalnya antara Endriartono Sutarto, Kasad, Agus Widjojo, dan
Agum Gumelar, Menteri Perhubungan dan kemudian menjadi Menkopolsoskam dengan
Megawati, sedangkan Wiranto, dekat dengan Slamet Effendi Yusuf, dari partai
Golkar.
Enam hal
yang melatar belakangi perubahan sikap politik TNI merupakan sebuah pintu bagi
TNI untuk tetap menjaga peluang agar TNI tetap berkiprah dalam wilayah politik.
Dalam pengertian bahwa TNI masih menginginkan tetap dilibatkan dalam
pembicaraan yang menyangkut kebangsaan dan kenegaraan. Meski TNI pada akhirnya
rela untuk tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen pasca Pemilu 2004, namun
masih ingin dilibatkan dalam pembicaraan yang dalam bahasa TNI adalah pelibatan
TNI dalam pembicaraan tersebut juga mengurangi distorsi yang sampai kepada TNI
perihal permasalahan yang sedang dihadapi.
Perubahan
sikap politik TNI dari mendukung Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ke
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri adalah sebuah realitas politik
ketika itu. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa perubahan sikap politik dari
mendukung Pemerintahan Wahid menjadi tidak mendukung, serta mengalihkannya ke
Megawati Soekarnoputri adalah juga bukan monopoli dari TNI semata, melainkan
juga dinamika politik yang terjadi saat itu. Setidaknya ada tiga point
kesimpulan dari perubahan sikap politik TNI terhadap Pemerintahan sipil
demokratis yang berkuasa, khususnya untuk kasus Indonesia masa pemerintahan Wahid
dan Megawati. Pertama, TNI cenderung akan mendukung kepemimpinan sipil
demokratis di Indonesia
yang memiliki dukungan politik yang besar dan cenderung kompromi dengan
kelompok lain. Penegasan harus kompromi karena TNI cenderung melihat realitas
politik pula bahwa system politik yang ada di Indonesia memiliki tingkat
persaingan yang tinggi sehingga kecil kemungkinan sebuah partai politik
memiliki suara mayoritas dalam pemilu.
Kedua,
TNI mendukung pemerintahan sipil yang berkuasa apabila pemerintahan tersebut
akomodatif dengan kepentingan TNI. Sejatinya TNI dapat memposisikan lebih baik
terhadap pemerintahan sipil demokratis yang berkuasa, khususnya ke Pemerintahan
Wahid, namun karena pada saat itu TNI tengah mengalami posisi yang dilemahkan
sebagai akibat dari tumbangnya Rejim Orde Baru. Maka TNI lebih banyak membangun
hubungan yang saling menguntungkan. Hal ini dapat terlihat pada Pemerintahan
Megawati Soekarnoputri, di mana TNI secara respek mendukung Pemerintahan
Megawati karena Megawati akomodatif terhadap TNI.
Ketiga,
TNI cenderung mendukung pemerintahan sipil demokratis yang berkuasa apabila
pemerintahan tersebut berprilaku jujur, terbuka dengan menerapkan asas
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan pemerintahan yang baik (good
government and good governance), sebagaimana harapan masyarakat. Apabila ada
uapay penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang dari harapan masyarakat,
maka TNI cenderung mengambil jarak dan perlahan mencari partner di parlemen
ataupun di eksekutif , yang ujungnya akan menarik dukungannya.
Dari catatan-catatan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa meski
TNI sudah melakukan langkah-langkah untuk mengurangi, dan pada akhirnya akan
meninggalkan sama sekali wilayah politik, namun masih membutuhkan pengawasan
dari segenap elemen publik pro demokrasi agar tidak kontra produktif. Langkah
tersebut penting agar dambaan kita untuk memiliki tentara yang profesional
bukan lagi sekedar wacana, tapi terealisasi dalam konteks nyata. Karena pada
hakikatnya, penghalang utama dari upaya mengentaskan TNI dari wilayah politik
bukan hanya bersumber dari TNI, tapi juga dari sipil, seperti memandang bahwa
tentara berbisnis adalah sesuatu yang given sifatnya, atau mengajak TNI dalam
konflik politik sipil sebagai solusi, serta memandang TNI sebagai bagian dari
aktor politik yang menentukan hitam-putihnya perpolitikan nasional adalah
hal-hal yang mesti di de-mistifikasi, dihilangkan dengan berbagai pendekatan
rasional dan pembuktian politik terbalik.
No comments:
Post a Comment