Monday, April 22, 2013

KELOMPOK ELITE


Kelompok elite adalah kelompok minoritas superior yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan mengendali aktivitas perekonomian dan sangat dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan-keputusan penting. Oleh karena itu kelompok kecil dalam masyarakat ini biasanya disegani, dihormati, kaya serta berkuasa. Lebih dari itu mereka adalah panutan sikap dan perilaku serta senantiasa diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama.
            Di sisi lain, kelompok yang dikuasai dan didominasi oleh elite disebut massa. Mereka adalah mayoritas inferior yang posisinya dalam stratifikasi masyarakat berada di bawah, tidak memiliki kemampuan mengendali baik dalam bidang ekonomi maupun politik serta tersingkirkan dalam proses pengambilan kebijaksanaan. Merger (1981) mengkosepsikan sebagai berikut:
Masses or nonelites are those who comprise the vast majority of the society's populace, whose power, wealth and prestige are limited. Obviously there are great differences in power, wealth, and prestige among nonelites. However, in deciding the fundamental issues of the political and economic systems..... these differences decline in significance. The important distinction is basically between the few at very top and the remaining populace.

            Dalam kajian tentang elite, bahwa masyarakat terpilah menjadi dua kelompok besar yaitu elite dan massa, Kelompok elite adalah minoritas, berkuasa dan dominan, di lain pihak, massa adalah mayoritas, dikuasai dan dormant. Dalam kajian ini terdapat dua pendekatan.
Pertama, kelompok elite dianggap lahir dari proses yang alami. Mereka adalah orang-orang yang terpilih yang dikaruniai kepandaian, kemampuan dan ketrampilan yang lebih. Dengan kata lain mereka adalah memiliki kapasitas personal yang lebih potensial dari pada massa.
Kedua, kelompok elite dianggap lahir dari akibat kompleksitas organisasi sosial terutama dalam menjawab tantangan heterogenitas masalah ekonomi dan politik.
            Usman (1990), menyatakan bahwa para ahli yang getol menjelaskan kelompok elite adalah Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italy), Robert Michels (Jerman) dan C. Wright Mills (Amerika Serikat).
Vilfredo Pareto
            Pokok pikiran Pareto intinya adalah bahwa orang dalam kodratnya bukan hanya berbeda secara fisik saja melainkan juga secara intelektual. Dalam semua lingkungan atau aktivitas kehidupan (ekonomi, politik, pendidikan, kesenian, dsb) selalu diketemukan sejumlah orang yang memiliki kepandaian dan kemampuan istimewa. Mereka bukan hanya memiliki motivasi tinggi dalam usaha mengejar dan mencapai kebutuhan hidup, melainkan juga pandai sekali membaca situasi serta sangat cermat mengantisipasi keadaan. Mereka inilah kelompok elite, yang selalu menang pada setiap pertarungan yang digelar.
            Kelompok elite itu sendiri menurut Pareto ada dua macam yaitu the governing elite dan the non governing elite. The governing elite di dalam memerintah dan mengontrol massa ada dua cara pula yaitu dengan cara kekerasan (by force) dan dengan cara tipu daya (by fraud). Pada cara yang pertama para elite mengerahkan segala macam kekuatan fisik yang dimiliki sekaligus melakukan sekaligus persuasi moral dan intelektual. Diktator militer adalah contoh nyata dari tipologi memerintah semacam itu. Sedangkan pada cara yang kedua para elite menggunakan kecerdikan yang dimiliki sedemikian rupa sehingga massa rela menuruti kehendaknya dan mendukung kepentingannya.



 







Gambar 5. :  Posisi elite dalam pikiran Pareto

            Satu hal lagi konsep dari Pareto yang spektakuler dan mengundang banyak komentar dan kritik para ahli adalah tentang sirkulasi elite (the circulation of elite). Menurut Pareto, sejajar dengan perjalanan sejarah, kualitas para elit baik yang memerintah dengan penuh kekerasan maupun yang memerintah dengan penuh tipu daya secara gradual mengalami penurunan. Menurunnya kualitas tersebut kemudian mengakibatkan merosotnya status dan peranan mereka dalam masyarakat sehingga fungsinya berangsur-angsur menjadi tidak efektif. Sirkulasi elit akan terjadi sesuai dengan apa yang dikatakan :
  the governing class is restored not only in number, but - and that is the more important thing - in the quality, by families rising from the lower classes and bringing with them the vigour and the proportions of         residues necessary for keeping themselves in power.
    
Dengan kata lain, mengapa sirkulasi elite terjadi? Paling tidak dalam pemikiran Pareto ada beberapa hal yang antara lain.
·        Sirkulasi sangat tergantung pada suply and demand elemen-elemen sosial tertentu.
·        Berhubungan dengan transformasi suatu masyarakat.
·        Tingkat fertilitas yang berbeda antara klas elite dengan massa, di mana elite fertilitasnya rendah sedangkan massa relatif tinggi.
Semakin lama kelompok elite berkuasa semakin besar kehilangan sentimen-sentimen kultural, moral dan intelektual. In other word, degenerasi sentimen kwalitas berkorelasi negatif dengan lamanya kelompok elite berkuasa.
Gaetano Mosca
            Gaetano Mosca berpikiran bahwa masalah elite dan distribusi kekuasaan mirip dengan yang dikemukakan oleh Pareto. Tetapi berbeda dengan Pareto dalam analisisnya yang semata-mata hanya bergantung pada faktor psikologis. Mosca dalam anailisisnya mulai memperhatikan berperannya faktor-faktor struktural dan organisasional di samping tetap memperhitungkan karakteristik personal.  Menurutnya bahwa kelompok elite dapat lestari berkuasa bukan hanya karena mereka memiliki kelebihan melainkan juga karena mereka adalah kelompok minoritas yang relatif terorganisir. Kontak dan komunikasi di antara mereka terpelihara, sehingga meskipun mungkin massa dalam keadaan tertindas namun tetap sulit memberikan perlawanan. Konsekuensinya kemudian adalah massa selalu dikuasai sepanjang hayatnya.  
            Lebih lanjut Mosca juga menunjukkan keberadaan kelompok subelite dalam struktur kekuasaan. Mereka adalah para intelektual, teknokrat, pegawai negeri dan manager. Posisi mereka berada setingkat di bawah the ruling class. Itulah sebabnya dalam struktur hierarkhis masyarakat, Mosca menggolongkan the ruling class dan subelite menjadi satu kelompok yang disebutnya the political class.
Gambaran kelompok elite semacam ini berbeda dengan gambaran Pareto.


 




Masses

 
           



Gambar 6  :  Kelompok  Elit menurut Mosca

      Dalam melihat sirkulasi elite menurut Mosca, perubahan posisi kelompok elite diyakini akan membawa perubahan pula pada stuktur sosial, lembaga-lembaga politik, teknologi, falsafah, bahkan melahirkan tipe elite baru. Tetapi apapun tipenya satu hal yang konstan adalah bahwa mereka yang kuat secara intelektual maupun material akan menjadi superior dan terus mendominasi proses pembuatan keputusan-keputusan penting.
Robert Michels
            Menurut Michels bahwa munculnya kelompok minoritas yang kemudian dominan dalam proses pengambilan keputusan adalah akibat struktur organisasi sosial modern. Dalam mengatur roda organisasi sosial modern dibutuhkan pembagian kerja yang jelas. Orang-orang yang menempati jabatan penting dan bertugas melakukan fungsi perencanaan, mobilisasi, implementasi dan kontrol akan menjadi kelompok elite. Tetapi bahwa keinginan berkuasa adalah melekat pada setiap orang dan eksistensinya inherent dengan hidup itu sendiri.
            Tatkala aktivitas dalam organisasi sosial mulai kompleks dan tumbuh dimensional, dibutuhkan pembagian kerja (a division of labor) yang jelas. Pembagian kerja semacam ini melahirkan posisi-posisi baru yang biasanya ditempati oleh orang-orang yang mempunyai keahlian (expertise) tertentu. Mereka dibutuhkan dalam organisasi untuk memelihara dan mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Mereka lalu muncul menjadi kelompok elite.
            Dengan keahlian yang dimiliki, kelompok elite bukan hanya potensial mengisi kemungkinan adanya lowongan posisi-posisi baru, melainkan juga memiliki kemampuan melestarikan posisi tersebut sehingga terus berada pada puncak strata masyarakat. Suasana semacam itu menurut Michels lalu membuat para pemimpin tamak dan konservatif. Sebagian mereka menjadi kurang suka terhadap perubahan, karena setiap perubahan mereka artikan sebagai gangguan terhadap struktur kekuasaan yang sudah mapan, dan karenanya bisa menggoncangkan bahkan mengkoyak posisi-posisi yang telah mereka miliki.
Wright Mills
            Mills adalah sosiolog Amerika dan ulasan tentang elite juga menggambarkan kondisi struktur kekuasaan di negaranya. Dalam pikiran Mills kekuasaan elite dan dominasinya atas massa seharusnya diterangkan pada institutional term dan bukan pada psychological term seperti yang dilakukan oleh Pareto dan Mosca. Mills menolak asumsi yang menyatakan bahwa anggota kelompok elite memiliki kualitas superior atau karakteristik psikologis tertentu yang berbeda dengan massa. Sebaliknya Mills beranggapan bahwa anggota kelompok elite adalah mereka yang menempati posisi-posisi amat penting (pivotal position) pada institusi-institusi tertinggi dalam bidang ekonomi dan politik.
            Di Masyarakat Amerika Serikat, kelompok elite adalah para konglomerat, (the major corporations), pimpinan militer (the military) dan tokoh-tokoh politik pemerintah pusat (the federal government). Tiga serangkai ini oleh Mills disebut the power elite yang dalam perjalanan politik Amerika Serikat berbentuk kelompok cohesive yang bergantung satu sama lain, sedangkan institusi-institusi lain seperti gereja dan universitas hanya berada di bawah dan tidak berdaya menghadapi tiga serangkai tersebut. Lebih tegasnya Mills (1956) menyatakan;
...... psychological and social bases for their unity resting upon the fact that they are of similar social type and leading to the fact of their easy intermingling.

            Jadi the power elite di Amerika adalah orang-orang yang berasal dari klas sosial, asal usul keluarga dan latar pendidikan yang sama. Jelasnya adalah :
They represent those who have been successful in entrepreneurial and professional endeavors. Oldermen, they are of the privileged white, native born of native parents, protestant americans. They are college graduates and they are at least solid upper class in income and status. On the average, they have had no experience of wage or lower salaried work. They are, in short, in and of the new and old upper classes of local society.

Gambaran semacam itu kata Mills kini sudah tidak dijumpai lagi. Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa kekuasaan Congress di Ameika Serikat sekarang sudah semakin banyak terpotong. Sedangkan kekuasaan Presiden semakin hari semakin membesar, karena itu kata Mills theory of cheeks and balances seperti diterangkan di atas hanya ada selama tahap historis tertentu saja. Seperti dikatakan Mills sebagai berikut:
Those who still hold that the power system reflects the balancing society often confuse the present era with earlier times of American history, and cofuse the top and bottom levels of the present system with its middle levels. When it is generalized into a master model of the power system, the theory of balance becomes historically unspecific; whereas in fact, as a model, it should be specified as applicable only to certain phases of United States development – notably the Jacksonian period and, under quite differing circumstances, the early and middle New Deal (Mills, 1958).

Hipotesa Mills selanjutnya adalah sejajar dengan semakin kompleksnya perkembangan masyarakat kelihatan semakin sulit dipisahkan hubungan persekongkolan tiga kelompok kunci yang memiliki posisi-posisi penting dalam kehidupan masyarakat Amerika, yaitu: konglomerat (the major corporations), pimpinan militer (the military) dan tokoh-tokoh politik pemerintah pusat (the federal government). Kata Mills, struktur militer Amerika sekarang adalah bagian terpenting dari struktur politik. Kenyataan semacam ini mencuat terutama karena telah terjadi pergeseran fokus the power elite dari problema nasional ke isu-isu internasional, yang memberikan kesempatan lebih besar kepada the military dalam proses pengambilan keputusan-keputusan krusial. Situasi ekonomi kemudian seperti military capitalism (Mills dalam Usman, 1990) yang di sana ekonomi adalah “...at once a permanent-war economy and a private-corporation economy”.
Pluralisme
            Dalam membuat analisa tentang peranan elite dan struktur kekuasaan, asumsi dasar pluralisme berbeda dengan model elitis. Perbedaan mereka terutama terletak pada cara melihat dan menerangkan dua hal: (1) scope kekuasaan dalam masyarakat, dan (2) hubungan antara elite dan massa. Perbedaan itu kemudian membuat mereka berbeda dalam teknik mengidentifikasi kelompok elite dan metode mengetahui dinamika pengaruh elite atas massa. Tulisan ini bermaksud menjelaskan di mana letak perbedaan asumsi dasar perspektif elitis dan pluralis. Sementara itu di kalangan para pendukung perspektif pluralis sendiri sebenarnya juga diketemukan perbedaan cara pandang dalam menggambarkan kelahiran dan posisi kelompok elite dalam masyarakat. Uraian berikut juga berusaha menerangkan ragam pandangan yang mengendap di kalangan para pendukung pluralisme.
            Sebelum jauh ke sana, marilah dilihat lagi bagaimana model elitis menerangkan scope kekuasaan dalam masyarakat. Asumsi dasar para penganut dan pendukung para perspektif elitis pada hakekatnya adalah dalam masyarakat terdapat dua kelompok: kelompok minoritas superior yang dominant (elite) dan kelompok mayoritas inferior yang dormant (massa). Dalam pandangan perspektif elitis, kelompok elite dianggap memiliki kekuatan menentukan proses pencapaian tujuan dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kemudian dalam cara melihat hubungan elite dan massa para pendukung perspektif elitis dikategorikan ke dalam dua golongan pemikir: konservatif dan radikal. Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca adalah golongan pemikir konservatif yang beranggapan bahwa massa adalah kelompok lemah yang tidak mampu mengurus diri mereka sendiri karena itu butuh elite. Kehadiran dan keberadaan elite dalam masyarakat dianggap bothnecessary and desirabele. Pemikir konservatif lain adalah Robert Michels yang beranggapan bahwa kehadiran dan keberadaan elite lebih karena tuntutan jaman atau kompleksitas organisasi sosial yang tumbuh dalam masyarakat (the advent of complex organizational life). Kemudian, tokoh yang digolongkan sebagai pemikir radikal adalah C. Wright Mills, yang gigih menentang anggapan yang menyatakan massa adalah kelompok yang apathetic, incompetent dan tak mampu mengatur diri mereka sendiri. Sebaliknya Mills menyatakan bahwa massa adalah kelompok yang tertindas sepanjang hidupnya selalu dieksploitasi, diperas dan dimanfaatkan untuk kepentingan elite sendiri atau bukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pandangan semacam ini kehadiran dan keberadaan elite dalam masyarakat tidak dilihat sebagai both necessary and desirable (seperti dikatakan oleh Pareto dan Mosca) atau karena the advent of complex organizational life (seperti dikatakan oleh Michels). Tetapi lebih dilihatnya sebagai aspek yang melestarikan penindasan dan memperlebar jurang sosial.
            Asumsi semacam itu bertentangan dengan perspektif pluralis. Perspektif ini menolak anggapan bahwa kekuasaan berkonsentrasi pada sekelompok kecil elite (concentrateg in the hands of a dominan minority). Sebaliknya lebih percaya bahwa kekuasaan tersebar merata ke berbagai macam kelompok dalam masyarakat (dispersec among a variety of grups in society). Perspektif ini membangun anggapannya dari kenyataan bahwa pesatnya kemajuan industri telah berakibat diferensiasi sosial di kalangan masyarakat barat berjalan dengan sangat cepat. Telah diperlihatkan oleh banyak pengamat bahwa dampak nyata dari kemajuan industri adalah mencuat pembagian kerja yang semakin terspesialisasi (specialized division of labour). Terbentuklah kemudian semacam unit-unit kegiatan kerja yang masing-masing memiliki langgam interaksi, konsentrasi perhatian dan target politik yang berbeda-beda. Konsekuensinya kemudian adalah jumlah kelompok sosial semakin banyak dan semakin beraneka ragam. Oleh karena setiap kelompok sosial biasanya membangun blue print tersendiri dalam mencapai tujuan yang telah dicanangkan, maka kepentingan politik dalam masyarakat juga semakin tumbuh bervariasi. Hasilnya kemudian adalah terbentuknya organisasi-organisasi formal yang mewakili kepentingan-kepentingan politik ini. Jadi dari sudut pandangan ini semakin beragam pekerjaan dalam suatu masyarakat, organisasi yang terorganisir semakin banyak dan berkembang. Organisasi yang mewakili kepentingan khusus dalam sosiologi lazim disebut kelompok kepentingan (interest group). Dari perspektif pluralis, politik pada hakekatnya melibatkan kompetisi antara bermacam-macam kelompok kepentingan. Oleh karena setiap kelompok kepentingan memiliki kelemahan sekaligus keunggulan, maka dalam perjalanan politik sebenarnya tidak ada satupun kelompok kepentingan yang dominan. Itulah sebabnya lalu kerap dinyatakan bahwa dunia politik pada hakekatnya adalah a business of bargaining and compromise. Situasi ini digambarkan oleh merger sebagai berikut:
There is variety of power bases corresponding to many  different interest groups, each of which is able to have its say in the political arena through a process of negitiatio and compromise with in a mutually respected common political framework (Merger, 1981).

            Meskipun dalam slogan politik selalu didengungkan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban berpartisipasi dalam kancah politik, namun dalam kenyataanya hanya sebagian kecil saja yang melakukannya. Yang terjadi adalah kelompok-kelompok kepentingan itu hanya diwakili oleh sejumlah kecil pemimpin yang secara aktif berpartisipasi dalam perjuangan politik. Mereka adalah kelompok elite. Dari jalan pikiran semacam itulah perspektif pluralis lebih percaya bahwa kekuasaan tidak seperti digambarkan oleh perspektif elitis yang hanya berkonsentrasi pada sekelompok kecil (dominant elite) tetapi dianggap tersebar merata ke berbagai macam kelompok kepentingan.
            Nampak dengan jelas dari uraian di atas bahwa asumsi dasar perspektif pluralis diilhami dan sangat dipengaruhi oleh demokrasi liberal barat terutama yang berkembang di kalangan masyarakat Amerika. Masyarakat barat sudah lama dilekati oleh impian demokrasi liberal yang antara lain tercermin pada harapan-harapan seperti: “government of, by, and for the people”, “equality before the law”, separation of powers, dan sebagainya. Masyarakat tidak menghendaki negara yang totaliter yang semata-mata hanya menggantungkan kebijaksanaan sekelompok kecil yang sedang berkuasa. Sebaliknya, mereka mendambakan sistim politik yang majemuk yang memberi banyak kesempatan banyak pihak. Joan Huber dan William Form mengkonsepsikan sistim politik yang majemuk sebagai berikut:
I went a variety of groups or factions can influence policy in such a way that no single or no small number of groups can control it or, conversely, when all legitimate interst groups have an apreciable of influence (Huber and Form dalam Usman, 1990).

            Salah satu pendukung utama dari perspektif pluralis adalah sarjana berkebangsaan Amerika bernama Robert Dahl. Ia sangat yakin bahwa kekuasaan dalam masyarakat adalah tersebar merata (dispersed), dan bukan memusat (concentrated) seperti yang pernah digambarkan oleh Pareto, Mosca, Michels atau Mills. Keyakinan semacam itu muncul berdasarkan hasil penelitian yang diselenggarakan di New Haven, Connecticut (Amerika Serikat). Dalam penelitian itu, Dahl mula-mula mempelajari proses pengambilan keputusan-keputusan penting dalam masyarakat yaitu dalam isu-isu: perkembangan kota, nominasi pemilihan walikota, dan perbaikan pendidikan (khususnya dalam hal penentuan lokasi sekolah dan perbaikan gaji guru). Fokus masalah penelitian Robert Dahl adalah siapakah yang paling dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketiga macam isu tersebut?
            Hasil penelitian Robert Dahl menunjukkan bahwa tidak ada a ruling elite dikalangan masyarakat yang menjadi lokasi penelitiannya. Dengan demikian kekuasaan tersebar merata di antara berbagai macam kelompok kepentingan (interest groups), dan mereka sama sekali tidak membentuk a unified group. Ternyata kelompok-kelompok kepentingan tersebut mau terlibat dalam proses pengambilan keputusan hanya apabila isu-isu yang dibahas relevan dengan tujuan dan kepentingannya. Apabila tidak, mereka lebih suka memilih sifat pasif. Karena itu kecenderungannya adalah masing-masing isu dibahas oleh organisasi yang berbeda. Hanya walikota saja yang menyatakan terlibat dalam ketiga macam isu tersebut. Selain itu, Robert Dahl dalam penelitiannya tidak menemukan adanya over lap personil di antara berbagai macam elite. Jadi seseorang yang oleh anggota masyarakat dikategorikan sebagai jenis elite tertentu dalam waktu yang sama tidak dikategorikan lagi sebagai jenis elite tertentu lainnya. Bukti ini semakin meneguhkan keyakinan Robert Dahl bahwa struktur kekuasaan seperti yang digambarkan oleh para pendukung perspektif elitis tidak ditemui di kalangan masyarakat yang menjadi obyek studinya.
            Robert Dahl dalam penelitiannya juge menemukan bukti bahwa jagad politik di New Haven pada hakekatnya adalah a business of bargaining and compromise, dan tak ada satupun anggota kelompok elite mendominasi proses pembuatan keputusan. Ia memberi contoh pada isu tentang perbaikan kota (salah satu diantara tiga isu yang menjadi konsentrasi studinya). Dalam isu ini para konglomerat lokal, organisasi buruh dan universitas setempat sama-sama terlibat. Tetapi tidak satupun diantara ketiga “partai” yang terlibat tersebut mendominasi proses pembuatan keputusan. Segala keputusan yang diambil ternyata merupakan kesepakatan bersama setelah lebih dahulu didiskusikan dengan pihak walikota. Robert Dahl juga menolak pandangan yang menyatakan bahwa pertimbangan kepentingan ekonomis selalu dominan mewarnai proses pengambilan keputusan, seperti tertuang pada salah satu kesimpulan studinya sebagai berikut:
Economic notables, far from being a ruling group, are simply one of  many groups out of which individuals sporadically emerge to influence of economic notables could be said with equal justice about half a dozen other groups in New Haven (Haralambos dalam Usman, 1990)

            Struktur kekuasaan dan hubungan elite – massa seperti di atas diyakini oleh Robert Dahl bukan hanya sebagai ciri khas yang ada di kalangan masyarakat Amerika, melainkan juga masih terus berlaku sampai sekarang. Pernyataan-pernyataan Robert Dahl berikut ini adalah cermin nyata dari keyakinannya.
The fundamental axiom in the theory and practice of America pluralism is, I believe, this: Instead of a single center of  soverign power there must be multiple centers of power, none of which is or can be wholly sovereign (Dahl dalam Usman, 1967).
An important characteristic of a political system is that it be relatively permeable, that it remain open to groups who are active, organized and want to be heard. I think that is the a characteristic of New Haven and most cities in the United States, and I believe that it is substantially true of the national political system. However, it is always important to remember that when I say something like this, I generally have in mind a background of democratic theory and practice; that is to say, I tend to think of American political life in a comparative contact. When you begin to think comparativelly about different kinds of regimes, including nondemocratic regimes, then you will tend to think it very important to distinguish between political regimes in which almost every group has some opportunity to be heard and regimes in which losts of people – possibly most people – don’t have the slightest opportunity to be heard, except; perhaps, by dynamiting buildings and officials (Dahl dalam Usman, 1986).

            Kesimpulan studi Robert Dahl yang menyatakan bahwa kekuasaan tersebar merata di antara berbagai macam kelompok kepentingan (interest groups) dan mereka tidak membentuk a unified group, memperoleh dukungan sarjana berkebangsaan Amerika lainnya bernama Arnold Roose. Dalam studinya pada level naisonal, rose menolak pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat Amerika diperintah oleh unified power elite. Roose kemudian mengajukan pendekatan yang disebutnya a multi-in fluence hypothesis sebagai alternatif yang tepat untuk mengkaji struktur kekuasaan dan hubungan elite-massa di kalangan masyarakat Amerika. Pendekatan ini lebih percaya bahwa di dalam masyarakat terdapat bermacam-macam elite, yang masing-masing elite memperoleh kekuasaan dari fungsinya dalam masyarakat. Kata Roose:
…conceives of society as consisting of many elites, each relatively small numerically and operating in different spheres of life. Among the elites are several that have their power through economic controles, several others that have power through political controls, and still others that have power through military, associational, religious and other controls (Haralambos dalam Usman, 1990).

            Hasil penelitian Arnold Roose pada level nasional tersebut dapat dikatakan sebagai tandingan hasil penelitian C. Wright Mills. Seperti telah diterangkan pada diskusi tentang perspektif elitis, Mills berpendapat bahwa kelompok elite adalah mereka yang menempati posisi-posisi amat penting (piyotal positions) pada institusi-institusi tertinggi dalam bidang ekonomi dan politik. Mereka adalah para konglomerat (the major corporations), pimpinan militer (the military) dan tokoh-tokoh politik pemerintah pusat (the federal government). Tiga serangkai ini oleh Mills disebut the power elite yang dalam perjalanan politik berbentuk kelompok cohesive yang saling bergantung satu sama lain. Sedangkan institusi-institusi lain (seperti gereja dan universitas) hanya berada posisi sub-ordinasi yang tidak sanggup menghadapi dominasi tiga serangkai tersebut.
            Sebaliknya Arnold Roose dalam studinya justru tidak menemukan saling ketergantungan semacam itu. Elite politik dan elite ekonomi tidak akrab (do not work hand in glove). Oleh karena itu Roose tidak percaya apabila dikatakan mereka membentuk a single ruling elite. Dalam penelitiannya terhadap badan-badan yang oleh masyarakat lazim dinyatakan mewakili kelompok konglomerat (seperti: Asosiasi Perdagangan Nasional dan Kamar Dagang Amerika Serikat), diketemukan bahwa baik presiden maupun kongres ternyata tidak selalu memberi dukungan program-program yang dicanangkan. Bahkan mereka sering menentangnya. Kenyataan semacam ini bagi Roose semakin menguatkan keyakinannya bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional tidal selamanya didominasi kepentingan ekonomi. Di kalangan masyarakat Amerika, para elite politik tetap terlihat memperhatikan dan memperhitungkan kehendak berbagai macam kelompok kepentingan.
            Model analisa seperti dilontarkan oleh pluralisme tersebut lalu banyak dikembangkan oleh para ahli sosiologi politik terutama untuk menerangkan hubungan antara partai-partai politik dan kelompo-kelompok kepentingan (interest groups). Di kalangan masyarakat barat, partai politik dikonsepsikan sebagai organisasi yang menominasi calon yang dipilih untuk menempati jabatan legislatif. Kompetisi antara partai-partai politik (kontestan) akan memberi kesempatan para pemilih (the electorate) menimbang dan menentukan siapa figur yang kelak layak duduk di kursi Kongres dan bisa mempengaruhi pemerintah (badan eksekutif) sehingga segala kebijaksanaan yang kelak di ambil atau program keprogram yang dicanangkan dapat menguntungkan masyarakat. Apabila keinginan semacam ini terealisir, maka prinsi-prinsip demokrasi menjadi terpenuhi. Apakah demokrasi? Seymour M. Lipset mendefinisikan demokrasi sebagai berikut:
Democracy in a complex society may be defined as a political system which supplies regular constitutional opportunities for changing the governing officiales, and a social mecanism which permits the largest possible part of the population to influence major decisions by choosing among contenders for political office (Haralambos dalam Usman, 1990).

            Dalam pikiran para pendukung pluralisme partai politik adalah organisasi yang representatif mewakili kepentingan masyarakat dan mendukung terciptanya demokrasi. Salah satu alasan utamanya adalah anggota masyarakat secara langsung mempengaruhi kebijaksanaan partai, karena menjelang diadakan pemilihan umum partai politik harus menunjukkan bahwa segala programnya merupakan refleksi keinginan dan kepentingan anggota masyarakat. Dengan demikian partai politik tidak akan memperoleh dukungan, bahkan terancam bubar apabila dalam programnya tidak memperlihatkan keinginan dan kepentingan pemilih.
            Meskipun pluralisme banyak diyakini lebih akurat dalam menerangkan struktur kekuasaan dan hubungan elite-massa dalam kehidupan masyarakat barat, namun dalam perjalanannya ternyata juga memperoleh banyak kritik. Kritik yang pertama adalah pluralisme dianggap terlalu mengesampingkan non-decision making, yakni adanya kemungkinan orang-orang yang berkuasa (kelompok elite) menghindarkan isu-isu tertentu (yang dianggap kelak dapat menyudutkan mereka sendiri) kedalam agenda yang termasuk dibahas dalam proses pengambilan keputusan. Konsekuensinya kemudian adalah hanya save-decisions saja yang dimasukkan kedalam agenda, yakni keputusan-keputusan yang dalam proses pengambilannya diyakini dapat mereka menangkan dan yang tidak secara fundamental merubah struktur hubungan mereka dengan massa. Cara-cara unfair semacam ini berjalan sedemikian rupa sehingga orang awam kerap dikelabui seolah-olah segalanya terjadi seperti kehendak bersama. Itulah sebabnya upaya menganalisa struktur kekuasaan hanya dengan menitik beratkan pada actual decisions belum tentu akurat atau tidak sepenuhnya dapat menggambarkan realitas yang sebenarnya. Berikut adalah ungkapan Parenti yang paralel dengan pendapat tersebut:
One of the most important aspects of power is the ability not only to prevail in a struggle, that is, to determine whether certain questions ever reach the competition stage.

            Kritik kedua adalah pluralisme dianggap hanya menitik beratkan pada proses pengambilan keputusan. Perspektif ini tidak banyak membahas masalah hasil atau konsekuensi dari keputusan-keputusan yang telah diambil. Boleh jadi suatu keputusan diambil melalui proses yang melibatkan banyak pihak. Tetapi hasil atau konsekuensi dari keutusan itu hanya dimonopoli atau dinikmati oleh sekelompok elite tertentu saja. Kemudian, kritik ketiga adalah dalam menggambarkan partisipasi kelompok terhadap proses pengambilan keputusan pluralisme hanya menekankan the rules of the game. Siapa saja dimungkinkan masuk dalam percaturan selama memenuhi kriteria yang tertera dalam aturan permainan yang telah disepakati. Tetapi persoalannya sekarang adalah siapakah yang membuat dan menetukan aturan tersebut? Boleh jadi aturan tersebut hanya dibuat oleh sekelompok elite tertentu yang perumusannya disusun sedemikian rupa sehingga kelompok saingannya tidak dapat masuk ke dalam arena.
            Sebenarnya masih ada model lain yang juga lazim dipergunakan oleh para ahli sosiologi untuk menerangkan struktur kekuasaan dan hubungan antara elite-massa yang belum sempat dibahas dalam kuliah ini yaitu model kelas. Model ini berakar dari pemikiran Karl Marx yang lebih banyak mementingkan aspek konflik dalam analisanya.
Rangkuman
            Kelompok elit adalah kelompok minoritas yang berada di puncak strata sosial namun dominan dalam masyarakat. Sebaliknya massa adalah kelompok mayoritas yang dorman dan berada dalam laisan bawah. Karena posisi kelompok elit yang strategis, maka banyak para ahli yang perhatian terhadap kelompok ini. Di samping itu, massa atau masyarakat yang berada di bawahnya juga menaruh perhatian dan harapan yang tinggi terhadap kelompok ini. Para ahli yang membahas elit adalah Pareto, Mosca, Miches dan Mills yang kesemuanya memiliki kelebihan masing-masing dalam mengupas elit.
Daftar Pustaka
Evers. Hans Dieters, 1990, Kelompok-kelompok Strategis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Merger, Martin N., 1981, Elites and Masses, An Introduction to Political Sociology, New York, D.Van Nostrand Company.
Mills, C. Wright, 1956, The Power Elite, Oxford University, New York:
Mills, C. Wright, 1958, The Causes of World War III, New York, 1958.
Usman, Sunyoto, 1990, Makalah Struktur Sosial, Program Studi Sosiologi, UGM, Yogyakarta..

5 comments: