Kelompok
elite adalah kelompok minoritas superior yang posisinya berada pada puncak
strata, memiliki kemampuan mengendali aktivitas perekonomian dan sangat dominan
mempengaruhi proses pengambilan keputusan-keputusan penting. Oleh karena itu
kelompok kecil dalam masyarakat ini biasanya disegani, dihormati, kaya serta
berkuasa. Lebih dari itu mereka adalah panutan sikap dan perilaku serta senantiasa
diharapkan dapat berbuat nyata bagi kepentingan bersama.
Di
sisi lain, kelompok yang dikuasai dan didominasi oleh elite disebut massa.
Mereka adalah mayoritas inferior yang posisinya dalam stratifikasi masyarakat
berada di bawah, tidak memiliki kemampuan mengendali baik dalam bidang ekonomi
maupun politik serta tersingkirkan dalam proses pengambilan kebijaksanaan. Merger (1981) mengkosepsikan sebagai
berikut:
Masses or nonelites
are those who comprise the vast majority of the society's populace, whose
power, wealth and prestige are limited. Obviously there are great differences
in power, wealth, and prestige among nonelites. However, in deciding the
fundamental issues of the political and economic systems..... these differences
decline in significance. The important distinction is basically between the few
at very top and the remaining populace.
Dalam kajian tentang elite,
bahwa masyarakat terpilah menjadi dua kelompok besar yaitu elite dan massa, Kelompok elite adalah minoritas, berkuasa dan
dominan, di lain pihak, massa
adalah mayoritas, dikuasai dan dormant. Dalam kajian ini terdapat dua
pendekatan.
Pertama, kelompok elite dianggap lahir dari
proses yang alami. Mereka adalah orang-orang yang terpilih yang dikaruniai
kepandaian, kemampuan dan ketrampilan yang lebih. Dengan kata lain
mereka adalah memiliki kapasitas personal yang lebih potensial dari pada massa.
Kedua, kelompok elite
dianggap lahir dari akibat kompleksitas organisasi sosial terutama dalam
menjawab tantangan heterogenitas masalah ekonomi dan politik.
Usman (1990), menyatakan bahwa para ahli
yang getol menjelaskan kelompok elite adalah Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca
(Italy), Robert Michels (Jerman) dan C. Wright Mills (Amerika Serikat).
Vilfredo Pareto
Pokok pikiran Pareto
intinya adalah bahwa orang dalam kodratnya bukan hanya berbeda secara fisik
saja melainkan juga secara intelektual. Dalam semua lingkungan atau aktivitas
kehidupan (ekonomi, politik, pendidikan, kesenian, dsb) selalu diketemukan sejumlah
orang yang memiliki kepandaian dan kemampuan istimewa. Mereka bukan hanya
memiliki motivasi tinggi dalam usaha mengejar dan mencapai kebutuhan hidup,
melainkan juga pandai sekali membaca situasi serta sangat cermat mengantisipasi
keadaan. Mereka inilah kelompok elite, yang selalu menang pada setiap
pertarungan yang digelar.
Kelompok elite itu sendiri menurut
Pareto ada dua macam yaitu the governing
elite dan the non governing elite.
The governing elite di dalam memerintah dan mengontrol massa ada dua cara pula
yaitu dengan cara kekerasan (by force)
dan dengan cara tipu daya (by fraud).
Pada cara yang pertama para elite mengerahkan segala macam kekuatan fisik yang
dimiliki sekaligus melakukan sekaligus persuasi moral dan intelektual. Diktator
militer adalah contoh nyata dari tipologi memerintah semacam itu. Sedangkan
pada cara yang kedua para elite menggunakan kecerdikan yang dimiliki sedemikian
rupa sehingga massa rela menuruti kehendaknya dan mendukung kepentingannya.
Gambar 5. : Posisi elite dalam pikiran Pareto
Satu hal lagi konsep dari Pareto
yang spektakuler dan mengundang banyak komentar dan kritik para ahli adalah
tentang sirkulasi elite (the circulation
of elite). Menurut Pareto, sejajar dengan perjalanan sejarah, kualitas para
elit baik yang memerintah dengan penuh kekerasan maupun yang memerintah dengan
penuh tipu daya secara gradual mengalami penurunan. Menurunnya kualitas
tersebut kemudian mengakibatkan merosotnya status dan peranan mereka dalam
masyarakat sehingga fungsinya berangsur-angsur menjadi tidak efektif. Sirkulasi elit akan terjadi sesuai
dengan apa yang dikatakan :
the governing class is restored not only in
number, but - and that is the more important thing - in the quality, by
families rising from the lower classes and bringing with them the vigour and
the proportions of residues
necessary for keeping themselves in power.
Dengan
kata lain, mengapa sirkulasi elite terjadi? Paling tidak dalam pemikiran Pareto
ada beberapa hal yang antara lain.
·
Sirkulasi
sangat tergantung pada suply and demand elemen-elemen sosial tertentu.
·
Berhubungan dengan transformasi
suatu masyarakat.
·
Tingkat fertilitas yang berbeda
antara klas elite dengan massa, di mana elite fertilitasnya rendah sedangkan
massa relatif tinggi.
Semakin lama kelompok elite berkuasa semakin besar kehilangan
sentimen-sentimen kultural, moral dan intelektual. In other word, degenerasi
sentimen kwalitas berkorelasi negatif dengan lamanya kelompok elite berkuasa.
Gaetano Mosca
Gaetano Mosca berpikiran bahwa
masalah elite dan distribusi kekuasaan mirip dengan yang dikemukakan oleh
Pareto. Tetapi berbeda dengan Pareto dalam analisisnya yang semata-mata hanya
bergantung pada faktor psikologis. Mosca dalam anailisisnya mulai memperhatikan
berperannya faktor-faktor struktural dan organisasional di samping tetap
memperhitungkan karakteristik personal.
Menurutnya bahwa kelompok elite dapat lestari berkuasa bukan hanya
karena mereka memiliki kelebihan melainkan juga karena mereka adalah kelompok
minoritas yang relatif terorganisir. Kontak dan komunikasi di antara mereka
terpelihara, sehingga meskipun mungkin massa dalam keadaan tertindas namun
tetap sulit memberikan perlawanan. Konsekuensinya kemudian adalah massa selalu
dikuasai sepanjang hayatnya.
Lebih lanjut Mosca juga menunjukkan
keberadaan kelompok subelite dalam
struktur kekuasaan. Mereka adalah para intelektual, teknokrat, pegawai negeri
dan manager. Posisi mereka berada setingkat di bawah the ruling class. Itulah sebabnya dalam struktur hierarkhis masyarakat,
Mosca menggolongkan the ruling class dan subelite menjadi satu kelompok yang
disebutnya the political class.
Gambaran
kelompok elite semacam ini berbeda dengan gambaran Pareto.
|
Gambar 6 :
Kelompok Elit menurut Mosca
Robert Michels
Menurut Michels bahwa munculnya
kelompok minoritas yang kemudian dominan dalam proses pengambilan keputusan
adalah akibat struktur organisasi sosial modern. Dalam mengatur roda organisasi
sosial modern dibutuhkan pembagian kerja yang jelas. Orang-orang yang menempati
jabatan penting dan bertugas melakukan fungsi perencanaan, mobilisasi,
implementasi dan kontrol akan menjadi kelompok elite. Tetapi bahwa keinginan
berkuasa adalah melekat pada setiap orang dan eksistensinya inherent dengan hidup itu sendiri.
Tatkala aktivitas dalam organisasi
sosial mulai kompleks dan tumbuh dimensional, dibutuhkan pembagian kerja (a division of labor) yang jelas.
Pembagian kerja semacam ini melahirkan posisi-posisi baru yang biasanya
ditempati oleh orang-orang yang mempunyai keahlian (expertise) tertentu. Mereka dibutuhkan dalam organisasi untuk
memelihara dan mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Mereka lalu muncul
menjadi kelompok elite.
Dengan keahlian yang dimiliki, kelompok
elite bukan hanya potensial mengisi kemungkinan adanya lowongan posisi-posisi
baru, melainkan juga memiliki kemampuan melestarikan posisi tersebut sehingga
terus berada pada puncak strata masyarakat. Suasana semacam itu menurut Michels
lalu membuat para pemimpin tamak dan konservatif. Sebagian mereka menjadi
kurang suka terhadap perubahan, karena setiap perubahan mereka artikan sebagai
gangguan terhadap struktur kekuasaan yang sudah mapan, dan karenanya bisa
menggoncangkan bahkan mengkoyak posisi-posisi yang telah mereka miliki.
Wright Mills
Mills adalah sosiolog Amerika dan
ulasan tentang elite juga menggambarkan kondisi struktur kekuasaan di
negaranya. Dalam pikiran Mills kekuasaan elite dan dominasinya atas massa
seharusnya diterangkan pada institutional
term dan bukan pada psychological
term seperti yang dilakukan oleh Pareto dan Mosca. Mills menolak asumsi
yang menyatakan bahwa anggota kelompok elite memiliki kualitas superior atau
karakteristik psikologis tertentu yang berbeda dengan massa. Sebaliknya Mills
beranggapan bahwa anggota kelompok elite adalah mereka yang menempati
posisi-posisi amat penting (pivotal position)
pada institusi-institusi tertinggi dalam bidang ekonomi dan politik.
Di Masyarakat Amerika Serikat,
kelompok elite adalah para konglomerat, (the
major corporations), pimpinan militer (the
military) dan tokoh-tokoh politik pemerintah pusat (the federal government). Tiga serangkai ini oleh Mills disebut the power elite yang dalam perjalanan
politik Amerika Serikat berbentuk kelompok cohesive yang bergantung satu sama
lain, sedangkan institusi-institusi lain seperti gereja dan universitas hanya
berada di bawah dan tidak berdaya menghadapi tiga serangkai tersebut. Lebih tegasnya Mills (1956) menyatakan;
......
psychological and social bases for their unity resting upon the fact that they
are of similar social type and leading to the fact of their easy intermingling.
Jadi the power elite di
Amerika adalah orang-orang yang berasal dari klas sosial, asal usul keluarga
dan latar pendidikan yang sama. Jelasnya adalah :
They represent those who have been successful in entrepreneurial and
professional endeavors. Oldermen, they are of the privileged white, native born
of native parents, protestant americans. They are college graduates and they
are at least solid upper class in income and status. On the average, they have
had no experience of wage or lower salaried work. They are, in short, in and of
the new and old upper classes of local society.
Gambaran semacam itu kata Mills kini sudah tidak dijumpai lagi. Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa kekuasaan Congress di Ameika Serikat sekarang sudah semakin banyak terpotong. Sedangkan kekuasaan Presiden semakin hari semakin membesar, karena itu kata Mills theory of cheeks and balances seperti diterangkan di atas hanya ada selama tahap historis tertentu saja. Seperti dikatakan Mills sebagai berikut:
Those who
still hold that the power system reflects the balancing society often confuse
the present era with earlier times of American history, and cofuse the top and
bottom levels of the present system with its middle levels. When it is
generalized into a master model of the power system, the theory of balance
becomes historically unspecific; whereas in fact, as a model, it should be
specified as applicable only to certain phases of United States development –
notably the Jacksonian period and, under quite differing circumstances, the
early and middle New Deal (Mills, 1958).
Pluralisme
Dalam
membuat analisa tentang peranan elite dan struktur kekuasaan, asumsi dasar
pluralisme berbeda dengan model elitis. Perbedaan mereka terutama terletak pada
cara melihat dan menerangkan dua hal: (1) scope
kekuasaan dalam masyarakat, dan (2) hubungan antara elite dan massa. Perbedaan
itu kemudian membuat mereka berbeda dalam teknik mengidentifikasi kelompok
elite dan metode mengetahui dinamika pengaruh elite atas massa. Tulisan ini
bermaksud menjelaskan di mana letak perbedaan asumsi dasar perspektif elitis
dan pluralis. Sementara itu di kalangan para pendukung perspektif pluralis
sendiri sebenarnya juga diketemukan perbedaan cara pandang dalam menggambarkan
kelahiran dan posisi kelompok elite dalam masyarakat. Uraian berikut juga
berusaha menerangkan ragam pandangan yang mengendap di kalangan para pendukung
pluralisme.
Sebelum jauh ke sana, marilah
dilihat lagi bagaimana model elitis menerangkan scope kekuasaan dalam masyarakat. Asumsi dasar para penganut dan
pendukung para perspektif elitis pada hakekatnya adalah dalam masyarakat
terdapat dua kelompok: kelompok minoritas superior yang dominant (elite) dan kelompok mayoritas inferior yang dormant (massa). Dalam pandangan
perspektif elitis, kelompok elite dianggap memiliki kekuatan menentukan proses
pencapaian tujuan dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kemudian dalam
cara melihat hubungan elite dan massa para pendukung perspektif elitis
dikategorikan ke dalam dua golongan pemikir: konservatif dan radikal. Vilfredo
Pareto dan Gaetano Mosca adalah golongan pemikir konservatif yang beranggapan
bahwa massa adalah kelompok lemah yang tidak mampu mengurus diri mereka sendiri
karena itu butuh elite. Kehadiran dan keberadaan elite dalam masyarakat
dianggap bothnecessary and desirabele.
Pemikir konservatif lain adalah Robert Michels yang beranggapan bahwa kehadiran
dan keberadaan elite lebih karena tuntutan jaman atau kompleksitas organisasi
sosial yang tumbuh dalam masyarakat (the
advent of complex organizational life). Kemudian, tokoh yang digolongkan
sebagai pemikir radikal adalah C. Wright Mills, yang gigih menentang anggapan
yang menyatakan massa adalah kelompok yang apathetic,
incompetent dan tak mampu mengatur
diri mereka sendiri. Sebaliknya Mills menyatakan bahwa massa adalah kelompok
yang tertindas sepanjang hidupnya selalu dieksploitasi, diperas dan
dimanfaatkan untuk kepentingan elite sendiri atau bukan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan. Dalam pandangan semacam ini kehadiran dan keberadaan elite
dalam masyarakat tidak dilihat sebagai both
necessary and desirable (seperti dikatakan oleh Pareto dan Mosca) atau
karena the advent of complex
organizational life (seperti dikatakan oleh Michels). Tetapi lebih
dilihatnya sebagai aspek yang melestarikan penindasan dan memperlebar jurang
sosial.
Asumsi semacam itu bertentangan
dengan perspektif pluralis. Perspektif ini menolak anggapan bahwa kekuasaan
berkonsentrasi pada sekelompok kecil elite (concentrateg
in the hands of a dominan minority). Sebaliknya lebih percaya bahwa
kekuasaan tersebar merata ke berbagai macam kelompok dalam masyarakat (dispersec among a variety of grups in
society). Perspektif ini membangun anggapannya dari kenyataan bahwa
pesatnya kemajuan industri telah berakibat diferensiasi sosial di kalangan
masyarakat barat berjalan dengan sangat cepat. Telah diperlihatkan oleh banyak
pengamat bahwa dampak nyata dari kemajuan industri adalah mencuat pembagian
kerja yang semakin terspesialisasi (specialized
division of labour). Terbentuklah kemudian semacam unit-unit kegiatan kerja
yang masing-masing memiliki langgam interaksi, konsentrasi perhatian dan target politik yang berbeda-beda.
Konsekuensinya kemudian adalah jumlah kelompok sosial semakin banyak dan
semakin beraneka ragam. Oleh karena setiap kelompok sosial biasanya membangun blue print tersendiri dalam mencapai
tujuan yang telah dicanangkan, maka kepentingan politik dalam masyarakat juga
semakin tumbuh bervariasi. Hasilnya kemudian adalah terbentuknya
organisasi-organisasi formal yang mewakili kepentingan-kepentingan politik ini.
Jadi dari sudut pandangan ini semakin beragam pekerjaan dalam suatu masyarakat,
organisasi yang terorganisir semakin banyak dan berkembang. Organisasi yang
mewakili kepentingan khusus dalam sosiologi lazim disebut kelompok kepentingan
(interest group). Dari perspektif
pluralis, politik pada hakekatnya melibatkan kompetisi antara bermacam-macam
kelompok kepentingan. Oleh karena setiap kelompok kepentingan memiliki
kelemahan sekaligus keunggulan, maka dalam perjalanan politik sebenarnya tidak
ada satupun kelompok kepentingan yang dominan. Itulah sebabnya lalu kerap
dinyatakan bahwa dunia politik pada hakekatnya adalah a business of bargaining and compromise. Situasi ini digambarkan oleh merger
sebagai berikut:
There is variety of power bases
corresponding to many different interest
groups, each of which is able to have its say in the political arena through a
process of negitiatio and compromise with in a mutually respected common
political framework (Merger, 1981).
Meskipun
dalam slogan politik selalu didengungkan bahwa setiap anggota masyarakat
memiliki hak dan kewajiban berpartisipasi dalam kancah politik, namun dalam
kenyataanya hanya sebagian kecil saja yang melakukannya. Yang terjadi adalah
kelompok-kelompok kepentingan itu hanya diwakili oleh sejumlah kecil pemimpin
yang secara aktif berpartisipasi dalam perjuangan politik. Mereka adalah
kelompok elite. Dari jalan pikiran semacam itulah perspektif pluralis lebih
percaya bahwa kekuasaan tidak seperti digambarkan oleh perspektif elitis yang
hanya berkonsentrasi pada sekelompok kecil (dominant
elite) tetapi dianggap tersebar merata ke berbagai macam kelompok
kepentingan.
Nampak
dengan jelas dari uraian di atas bahwa asumsi dasar perspektif pluralis
diilhami dan sangat dipengaruhi oleh demokrasi liberal barat terutama yang
berkembang di kalangan masyarakat Amerika. Masyarakat barat sudah lama dilekati
oleh impian demokrasi liberal yang antara lain tercermin pada harapan-harapan
seperti: “government of, by, and for the
people”, “equality before the law”,
separation of powers, dan sebagainya.
Masyarakat tidak menghendaki negara yang totaliter yang semata-mata hanya
menggantungkan kebijaksanaan sekelompok kecil yang sedang berkuasa. Sebaliknya,
mereka mendambakan sistim politik yang majemuk yang memberi banyak kesempatan
banyak pihak. Joan Huber dan William Form mengkonsepsikan sistim
politik yang majemuk sebagai berikut:
I went a variety of
groups or factions can influence policy in such a way that no single or no
small number of groups can control it or, conversely, when all legitimate
interst groups have an apreciable of influence (Huber and Form dalam Usman,
1990).
Salah
satu pendukung utama dari perspektif pluralis adalah sarjana berkebangsaan
Amerika bernama Robert Dahl. Ia sangat yakin bahwa kekuasaan dalam masyarakat
adalah tersebar merata (dispersed),
dan bukan memusat (concentrated)
seperti yang pernah digambarkan oleh Pareto, Mosca, Michels atau Mills.
Keyakinan semacam itu muncul berdasarkan hasil penelitian yang diselenggarakan
di New Haven, Connecticut (Amerika Serikat). Dalam
penelitian itu, Dahl mula-mula mempelajari proses pengambilan
keputusan-keputusan penting dalam masyarakat yaitu dalam isu-isu: perkembangan kota, nominasi pemilihan
walikota, dan perbaikan pendidikan (khususnya dalam hal penentuan lokasi
sekolah dan perbaikan gaji guru). Fokus masalah penelitian Robert Dahl adalah
siapakah yang paling dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ketiga macam isu tersebut?
Hasil
penelitian Robert Dahl menunjukkan bahwa tidak ada a ruling elite dikalangan masyarakat yang menjadi lokasi
penelitiannya. Dengan demikian kekuasaan tersebar merata di antara berbagai
macam kelompok kepentingan (interest
groups), dan mereka sama sekali tidak membentuk a unified group. Ternyata kelompok-kelompok kepentingan tersebut
mau terlibat dalam proses pengambilan keputusan hanya apabila isu-isu yang
dibahas relevan dengan tujuan dan kepentingannya. Apabila tidak, mereka lebih
suka memilih sifat pasif. Karena itu kecenderungannya adalah masing-masing isu
dibahas oleh organisasi yang berbeda. Hanya walikota saja yang menyatakan
terlibat dalam ketiga macam isu tersebut. Selain itu, Robert Dahl dalam
penelitiannya tidak menemukan adanya over
lap personil di antara berbagai macam elite. Jadi seseorang yang oleh
anggota masyarakat dikategorikan sebagai jenis elite tertentu dalam waktu yang
sama tidak dikategorikan lagi sebagai jenis elite tertentu lainnya. Bukti ini
semakin meneguhkan keyakinan Robert Dahl bahwa struktur kekuasaan seperti yang
digambarkan oleh para pendukung perspektif elitis tidak ditemui di kalangan
masyarakat yang menjadi obyek studinya.
Robert
Dahl dalam penelitiannya juge menemukan bukti bahwa jagad politik di New Haven pada hakekatnya
adalah a business of bargaining and
compromise, dan tak ada satupun anggota kelompok elite mendominasi proses
pembuatan keputusan. Ia memberi contoh pada isu tentang perbaikan kota (salah satu diantara
tiga isu yang menjadi konsentrasi studinya). Dalam isu ini para konglomerat
lokal, organisasi buruh dan universitas setempat sama-sama terlibat. Tetapi
tidak satupun diantara ketiga “partai” yang terlibat tersebut mendominasi
proses pembuatan keputusan. Segala keputusan yang diambil ternyata merupakan
kesepakatan bersama setelah lebih dahulu didiskusikan dengan pihak walikota.
Robert Dahl juga menolak pandangan yang menyatakan bahwa pertimbangan
kepentingan ekonomis selalu dominan mewarnai proses pengambilan keputusan,
seperti tertuang pada salah satu kesimpulan studinya sebagai berikut:
Economic notables,
far from being a ruling group, are simply one of many groups out of which individuals
sporadically emerge to influence of economic notables could be said with equal
justice about half a dozen other groups in New Haven (Haralambos dalam Usman,
1990)
Struktur
kekuasaan dan hubungan elite – massa
seperti di atas diyakini oleh Robert Dahl bukan hanya sebagai ciri khas yang
ada di kalangan masyarakat Amerika, melainkan juga masih terus berlaku sampai
sekarang. Pernyataan-pernyataan Robert Dahl berikut ini adalah cermin nyata
dari keyakinannya.
The fundamental axiom in the theory and practice of America
pluralism is, I believe, this: Instead of a single center of soverign power there must be multiple centers
of power, none of which is or can be wholly sovereign (Dahl dalam Usman, 1967).
An important
characteristic of a political system is that it be relatively permeable, that
it remain open to groups who are active, organized and want to be heard. I
think that is the a characteristic of New Haven
and most cities in the United
States, and I believe that it is
substantially true of the national political system. However, it is always
important to remember that when I say something like this, I generally have in
mind a background of democratic theory and practice; that is to say, I tend to
think of American political life in a comparative contact. When you begin to
think comparativelly about different kinds of regimes, including nondemocratic
regimes, then you will tend to think it very important to distinguish between
political regimes in which almost every group has some opportunity to be heard
and regimes in which losts of people – possibly most people – don’t have the
slightest opportunity to be heard, except; perhaps, by dynamiting buildings and
officials (Dahl dalam Usman, 1986).
Kesimpulan
studi Robert Dahl yang menyatakan bahwa kekuasaan tersebar merata di antara
berbagai macam kelompok kepentingan (interest
groups) dan mereka tidak membentuk a
unified group, memperoleh dukungan sarjana berkebangsaan Amerika lainnya
bernama Arnold Roose. Dalam studinya pada level naisonal, rose menolak
pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat Amerika diperintah oleh unified power elite. Roose kemudian
mengajukan pendekatan yang disebutnya a
multi-in fluence hypothesis sebagai alternatif yang tepat untuk mengkaji
struktur kekuasaan dan hubungan elite-massa di kalangan masyarakat Amerika.
Pendekatan ini lebih percaya bahwa di dalam masyarakat terdapat bermacam-macam
elite, yang masing-masing elite memperoleh kekuasaan dari fungsinya dalam
masyarakat. Kata Roose:
…conceives of
society as consisting of many elites, each relatively small numerically and
operating in different spheres of life. Among the elites are several that have
their power through economic controles, several others that have power through
political controls, and still others that have power through military,
associational, religious and other controls (Haralambos dalam Usman, 1990).
Hasil
penelitian Arnold Roose pada level nasional tersebut dapat dikatakan sebagai
tandingan hasil penelitian C. Wright Mills. Seperti telah diterangkan pada
diskusi tentang perspektif elitis, Mills berpendapat bahwa kelompok elite
adalah mereka yang menempati posisi-posisi amat penting (piyotal positions) pada institusi-institusi tertinggi dalam bidang
ekonomi dan politik. Mereka adalah para konglomerat (the major corporations), pimpinan militer (the military) dan tokoh-tokoh politik pemerintah pusat (the federal government). Tiga serangkai
ini oleh Mills disebut the power elite
yang dalam perjalanan politik berbentuk kelompok cohesive yang saling bergantung satu sama lain. Sedangkan
institusi-institusi lain (seperti gereja dan universitas) hanya berada posisi
sub-ordinasi yang tidak sanggup menghadapi dominasi tiga serangkai tersebut.
Sebaliknya
Arnold Roose dalam studinya justru tidak menemukan saling ketergantungan
semacam itu. Elite politik dan elite ekonomi tidak akrab (do not work hand in glove). Oleh karena itu Roose tidak percaya
apabila dikatakan mereka membentuk a
single ruling elite. Dalam penelitiannya terhadap badan-badan yang oleh
masyarakat lazim dinyatakan mewakili kelompok konglomerat (seperti: Asosiasi
Perdagangan Nasional dan Kamar Dagang Amerika Serikat), diketemukan bahwa baik
presiden maupun kongres ternyata tidak selalu memberi dukungan program-program
yang dicanangkan. Bahkan mereka sering menentangnya. Kenyataan semacam ini bagi
Roose semakin menguatkan keyakinannya bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan
nasional tidal selamanya didominasi kepentingan ekonomi. Di kalangan masyarakat
Amerika, para elite politik tetap terlihat memperhatikan dan memperhitungkan
kehendak berbagai macam kelompok kepentingan.
Model
analisa seperti dilontarkan oleh pluralisme tersebut lalu banyak dikembangkan
oleh para ahli sosiologi politik terutama untuk menerangkan hubungan antara
partai-partai politik dan kelompo-kelompok kepentingan (interest groups). Di kalangan masyarakat barat, partai politik
dikonsepsikan sebagai organisasi yang menominasi calon yang dipilih untuk
menempati jabatan legislatif. Kompetisi antara partai-partai politik
(kontestan) akan memberi kesempatan para pemilih (the electorate) menimbang dan menentukan siapa figur yang kelak
layak duduk di kursi Kongres dan bisa mempengaruhi pemerintah (badan eksekutif)
sehingga segala kebijaksanaan yang kelak di ambil atau program keprogram yang
dicanangkan dapat menguntungkan masyarakat. Apabila keinginan semacam ini
terealisir, maka prinsi-prinsip demokrasi menjadi terpenuhi. Apakah demokrasi?
Seymour M. Lipset mendefinisikan demokrasi sebagai berikut:
Democracy in a
complex society may be defined as a political system which supplies regular
constitutional opportunities for changing the governing officiales, and a
social mecanism which permits the largest possible part of the population to
influence major decisions by choosing among contenders for political office
(Haralambos dalam Usman, 1990).
Dalam
pikiran para pendukung pluralisme partai politik adalah organisasi yang
representatif mewakili kepentingan masyarakat dan mendukung terciptanya
demokrasi. Salah satu alasan utamanya adalah anggota masyarakat secara langsung
mempengaruhi kebijaksanaan partai, karena menjelang diadakan pemilihan umum
partai politik harus menunjukkan bahwa segala programnya merupakan refleksi
keinginan dan kepentingan anggota masyarakat. Dengan demikian partai politik
tidak akan memperoleh dukungan, bahkan terancam bubar apabila dalam programnya
tidak memperlihatkan keinginan dan kepentingan pemilih.
Meskipun
pluralisme banyak diyakini lebih akurat dalam menerangkan struktur kekuasaan
dan hubungan elite-massa dalam kehidupan masyarakat barat, namun dalam
perjalanannya ternyata juga memperoleh banyak kritik. Kritik yang pertama
adalah pluralisme dianggap terlalu mengesampingkan non-decision making, yakni adanya kemungkinan orang-orang yang
berkuasa (kelompok elite) menghindarkan isu-isu tertentu (yang dianggap kelak
dapat menyudutkan mereka sendiri) kedalam agenda yang termasuk dibahas dalam
proses pengambilan keputusan. Konsekuensinya kemudian adalah hanya save-decisions saja yang dimasukkan
kedalam agenda, yakni keputusan-keputusan yang dalam proses pengambilannya
diyakini dapat mereka menangkan dan yang tidak secara fundamental merubah
struktur hubungan mereka dengan massa.
Cara-cara unfair semacam ini berjalan
sedemikian rupa sehingga orang awam kerap dikelabui seolah-olah segalanya
terjadi seperti kehendak bersama. Itulah sebabnya upaya menganalisa struktur
kekuasaan hanya dengan menitik beratkan pada actual decisions belum tentu akurat atau tidak sepenuhnya dapat
menggambarkan realitas yang sebenarnya. Berikut adalah ungkapan Parenti yang
paralel dengan pendapat tersebut:
One of the most
important aspects of power is the ability not only to prevail in a struggle,
that is, to determine whether certain questions ever reach the competition
stage.
Kritik
kedua adalah pluralisme dianggap hanya menitik beratkan pada proses pengambilan
keputusan. Perspektif ini tidak banyak membahas masalah hasil atau konsekuensi
dari keputusan-keputusan yang telah diambil. Boleh jadi suatu keputusan diambil
melalui proses yang melibatkan banyak pihak. Tetapi hasil atau konsekuensi dari
keutusan itu hanya dimonopoli atau dinikmati oleh sekelompok elite tertentu
saja. Kemudian, kritik ketiga adalah dalam menggambarkan partisipasi kelompok
terhadap proses pengambilan keputusan pluralisme hanya menekankan the rules of the game. Siapa saja
dimungkinkan masuk dalam percaturan selama memenuhi kriteria yang tertera dalam
aturan permainan yang telah disepakati. Tetapi persoalannya sekarang adalah
siapakah yang membuat dan menetukan aturan tersebut? Boleh jadi aturan tersebut
hanya dibuat oleh sekelompok elite tertentu yang perumusannya disusun
sedemikian rupa sehingga kelompok saingannya tidak dapat masuk ke dalam arena.
Sebenarnya masih ada model lain yang
juga lazim dipergunakan oleh para ahli sosiologi untuk menerangkan struktur
kekuasaan dan hubungan antara elite-massa yang belum sempat dibahas dalam
kuliah ini yaitu model kelas. Model ini berakar dari
pemikiran Karl Marx yang lebih banyak mementingkan aspek konflik dalam
analisanya.
Rangkuman
Kelompok elit adalah kelompok minoritas yang berada di puncak strata sosial namun dominan dalam masyarakat. Sebaliknya massa adalah kelompok mayoritas yang dorman dan berada dalam laisan bawah. Karena posisi kelompok elit yang strategis, maka banyak para ahli yang perhatian terhadap kelompok ini. Di samping itu, massa atau masyarakat yang berada di bawahnya juga menaruh perhatian dan harapan yang tinggi terhadap kelompok ini. Para ahli yang membahas elit adalah Pareto, Mosca, Miches dan Mills yang kesemuanya memiliki kelebihan masing-masing dalam mengupas elit.
Daftar Pustaka
Evers. Hans Dieters, 1990, Kelompok-kelompok Strategis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Merger,
Martin N., 1981, Elites and Masses, An
Introduction to Political Sociology, New York, D.Van Nostrand Company.
Mills,
C. Wright, 1956, The Power Elite, Oxford University, New
York:
Mills,
C. Wright, 1958, The Causes of World War
III, New York,
1958.
Usman, Sunyoto, 1990, Makalah Struktur Sosial, Program Studi Sosiologi, UGM, Yogyakarta..
tulisan yg menarik
ReplyDeleteTerima kasih telah berkunjung, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua, salam kenal dan semoga sukses selalu menyertai kita semua.
Deletesangat membantu
ReplyDeletesangat membantu
ReplyDeletesemoga meenjadi referensi rujukan dalam ilmu sosial
ReplyDelete