Oleh: EDI SUHARTO, Phd
PENGANTAR
Konstelasi dunia dan peradaban manusia dimana pembangunan
ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan beroperasi telah dan tengah berubah
secara dramatis dewasa ini. Menurut Mayo (1998), perubahan-perubahan tersebut
sangat dipengaruhi oleh proses globalisasi: sebuah ekspresi yang sangat populer
yang oleh Dominelly dan Hoogvelts (1996:46) disebut sebagai “pengintensifan
jaringan-jaringan hubungan sosial dan ekonomi yang luar biasa.” Dalam kajian
Taylor-Gooby (1994), Dominelly dan Hoogvelts (1996), serta Penna dan O-Brien
(1996), perubahan sosial dan ekonomi tersebut juga sejalan dengan munculnya
sejumlah terma yang ditandai dengan awalan “post”, seperti
“post-industrialism”, “post-fordism”, “post-structuralism” dan
“post-modernism”. Dua istilah pertama menunjuk pada perdebatan dalam wacana
ekonomi-politik, sedangkan dua istilah terakhir lebih merujuk pada perdebatan
dalam aras budaya.
Meskipun konsep-konsep di atas memiliki perbedaan dalam
makna dan kontekstualisasinya, secara garis besar kesemuanya memiliki kesamaan
pandangan bahwa tatanan lama, yakni masyarakat industri modern sedang berada
dalam masa perubahan atau transisi dalam skala global; dan bahwa
perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi terutama oleh menguatnya sistem
ekonomi-politik kapitalisme yang berporos pada ideologi neoliberalisme (Suharto,
1997; 2001b; 2001c; 2001d; Mishra, 1999; Singh, 2000; Mkandawire dan Rodriguez,
2000; Yang 2000; Moore, 2000).
Kapitalisme yang mengedepankan demokrasi liberal, hak azasi
manusia dan ekonomi pasar bebas, kini bukan saja telah merasuki hampir seluruh
pendekatan pembangunan, melainkan pula ditengarai telah menjadi pandangan hidup
universal seluruh bangsa manusia (Suharto, 2001c). Pendekatan lain dianggap
telah menemui jalan buntu dan akhir sejarahnya (the end of history). Jargon
yang terkenal adalah TINA (There Is No Alternative). Maksudnya, hanya melalui
cara kapitaslime sajalah kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dapat
dicapai.
Sebagai contoh, ketika krisis ekonomi melanda berbagai
negeri, hampir semua strategi pemulihan ekonomi berpijak pada paradigma
kapitalisme. Banyak negara mengikuti resep-resep IMF dan Bank Dunia, dua
lembaga internasional dan simbol hegemoni kapitalisme global. Liberalisasi
kebijakan perdagangan, pembukaan pasar modal bagi investor asing,
rekapitalisasi industri besar, dan pengurangan campur tangan negara dalam
pembangunan ekonomi, dipercayai sebagai obat mujarab bagi pemulihan ekonomi.
Keyakinan ini semakin disulut oleh gagasan Milton Friedman dan Fukuyama; bahwa kalau
pembangunan ekonomi ingin maju, maka peran negara harus diminimalisir dan
kekuasaan bisnis harus diutamakan.
Karena pembangunan kesejahteraan sosial kerap dipandang
hanya sebagai beban pertumbuhan ekonomi dan simbol intervensi negara, maka
berkembanglah suatu keyakinan nihilistis bahwa institusi-institusi
kesejahteraan sosial secara intrinsik bersifat tidak ekonomis dan bahkan
patologis, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Pertanyannya adalah: benarkah
kapitalisme merupakan sebuah keniscayaan sejarah? Tepatkah kalau suatu negara
menerapkan sistem ekonomi kapitalis maka peran dan komitmen negara untuk
menyangga keadilan dan kesejahteraan sosial mesti dikikis habis? Apakah peran
negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial di AS dan Eropa Barat – yang
sering dijadikan rujukan sistem ekonomi kapitalis – juga sudah dihilangkan sama
sekali?
KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KAPITALISME
Keunggulan dan kemenangan kapitalisme memang sangat
mengesankan. Lebih dari dua abad setelah terbitnya buku The Wealth of Nation
karya mahaguru kapitalisme Adam Smith, sistem ekonomi kapitalistik berhasil
mengalahkan semua pesaingnya dari ideologi lain. Pada akhir Perang Dunia II,
hanya dua kawasan bumi yang tidak komunis, otoriter, merkantilistik atau
sosialis, yakni Amerika Utara dan Swis. Kini selain kita menyaksikan
negara-negara komunis rontok satu demi satu, hampir tak ada satupun negara yang
saat ini bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang supremasi
corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad 21.
Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh
sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat apakah sistem yang
didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab berbagai permasalahan
nasional maupun global. Sejarah juga menunjukkan bahwa kapitalisme bukanlah
piranti paripurna yang tanpa masalah. Selain gagasan itu sering menyesatkan,
terdapat banyak agenda pembangunan yang tidak mengalir jernih dalam arus sungai
kapitalisme. Masalah seperti perusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan,
melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya pengangguran, dan merebaknya
pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi moral lainnya ditengarai
sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi
kapitalistik.
Sinyalemen
tersebut bukan tanpa bukti. Berdasarkan studinya di negara-negara berkembang, Haque dalam
Restructuring Development Theories and Policies (1999) menunjukkan bahwa
kapitalisme bukan saja telah gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan
justru lebih memperburuk kondisi sosial-ekonomi di Dunia Ketiga. Menurutnya:
Compared to the socioeconomic situation under the statist
governments during the 1960s and 1970s, under the pro-market regimes of the
1980s and 1990s, the condition of poverty has worsened in many African and
Latin American countries in terms of an increase in the number of people in
poverty, and a decline in economic-growth rate, per capita income, and living
standards (Haque, 1999:xi).
Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai penjaga
malam guna menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan negara
yang terlalu besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar.
Karenanya, dalam situasi yang tanpa “tangan pengatur keadilan” seperti itu,
kapitalisme mudah terpeleset kedalam arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan hedonisme
yang melihat manusia hanya sebatas “binatang ekonomi” (homo economicus) yang
motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan fisik-materi.
Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas “sebesar-besarnya
manfaat dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Dalam praktiknya, “manfaat” di sini
kerap merosot maknanya menjadi sekadar “konsumerisme-materialisme” dan
“pengorbanan” sering terpeleset menjadi penindasan terselubung “si kuat
terhadap si lemah”, “majikan terhadap buruh”, “penguasa terhadap yang
terkuasai”. Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan, sementara
solidaritas, effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan.
Menurut kaum utopiawan revolusioner, seperti Horkheimer,
Marcuse, Adorno, dan Roszak, apabila skenario pembangunan seperti ini
dibiarkan, maka wajah pembangunan akan diformat dan dikuasai oleh elit
teknokrat dan elit konglomerat yang berkolaborasi mereduksi pembangunan yang
tahap demi tahap diarahkan menuju teknokrasi totaliter dan “work-fare state”
(bukan welfare state) yang mematikan kesejatian manusia, kebebasan,
kebahagiaan, keselarasan, keharmonisan dan yang mengasingkan manusia dari
semesta dan sesamanya (Suharto, 1997).
Itulah salah satu dasarnya mengapa di negara-negara
kapitalis pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak dipandang sebagai
dua “sektor” yang berlainan dan berlawanan. Keduanya dijalankan secara serasi
dan seimbang yang dibingkai oleh formulasi historis dan sosiologis yang bernama
“negara kesejahteraan” (welfare state) (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2001d).
Sebagaimana dinyatakan oleh pemikir sosialis Jerman Robert Heilbroner (1976),
negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi, sistem dan sekaligus strategi
yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Karena menurutnya,
perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan memang tidak dapat dan sudah
seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan untuk
mengubah sistem yang “unggul” ini agar lebih berwajah manusiawi (compassionate
capitalism) dalam mengatasi akibat mekanisme pasar yang tidak sempurna.
Karena ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini, peranan
pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of socioeconomic
development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan
ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian
public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam
policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan terhadap
pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan daya untuk
menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari persaingan
pembangunan.
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan
sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan keterlantaran tidak
dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan
diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security),
pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan,
kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
NEGARA KESEJAHTERAAN
Merujuk pada Spicker (1988:77) negara kesejahteraan dapat
didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran
lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana
publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall
(1981) negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang
sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik demokratis.
Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Inggris, Amerika, Australia,
dan Selandia Baru serta sebagian besar negara-negara Eropa Barat dan Utara.
Negara-negara yang tidak dapat dikategorikan sebagai penganut negara
kesejahteraan adalah negara-negara bekas Uni Soviet dan “Blok Timur”, karena
mereka tidak termasuk negara-negara demokratis maupun kapitalis (Spicker,
1988:78).
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan
AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih
manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas
melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin
kapitalisme. Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh
negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan
sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara
Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia,
Denmark dan
Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua
warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial
mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria.
Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas.
Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga
pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja
(buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia
dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada
kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah
menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui
pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin
(Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil)
dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka).
Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari
total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara
sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai
negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya negara
kesejahteraan adalah bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama
kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, penganggur agar terhindar dari
gilasan mesin kapitalisme. Pertanyaanya adalah: atas dasar apa negara harus
melindungi kelompok lemah, seperti orang miskin dan orang yang tidak (bisa)
bekerja? Ada
beberapa alasan mengapa negara diperlukan dalam mengatur dan melaksanakan
pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 1999; 2000):
Pertama, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu
piranti keadilan sosial yang kongkret, terencana dan terarah, serta manifestasi
pembelaan terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak semua warga negara memiliki
kemampuan dan kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara
wajib melindungi dan menjamin kelompok-kelompok rentan yang tercecer dalam
balapan pembangunan.
Seperti kita ketahui bersama, kekayaan dan sumberdaya yang
ada di suatu negara bahkan seluruh bumi kita ini sangat terbatas. Dengan
demikian, jika ada seseorang atau sekelompok orang hidupnya lebih makmur pada
dasarnya hanya dimungkinkan jika kelompok lain bersedia atau terpaksa hidup
tidak makmur.
Apabila proses pembangunan dianalogikan dengan lomba
memperebutkan kue tart, maka seseorang yang memperoleh potongan kue lebih besar
pada dasarnya dimungkinkan karena yang lain mendapat bagian yang lebih kecil.
Sekalipun setiap orang memiliki kesempatan sama, tidak ada jaminan bahwa setiap
orang akan memperoleh potongan kue yang sama. Umpamakan saja kue itu di simpan
di tengah lapangan dan setiap orang memiliki jarak sama untuk memperoleh kue
itu. Tetapi tetap saja orang yang kuat akan melesat lebih cepat dan mendapat
potongan kue yang lebih besar ketimbang kelompok sosial yang lemah lainnya.
Dirumuskan secara tajam, realitasnya adalah: kemakmuran
suatu kelompok sering dimungkinkan dan bibiayai oleh kelompok lainnya. Maka,
selain negara wajib memberi kesempatan sama kepada setiap orang untuk berusaha,
ia harus tetap memperhatikan keterbatasan kelompok lemah sebagai kompensasi dan
wujud keadilan sosial.
Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan ikatan
kekeluargaan pada masyarakat modern membuat pelayanan sosial yang tadinya mampu
disediakan lembaga keluarga dan keagamaan semakin melemah. Pembangunan
kesejahteraan sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan ekonomi bagi
penyelenggaranya, sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi
di bidang ini. Dengan kebijakan yang didukung UU, negara memiliki legitimasi kuat
melaksanakan investasi sosial berdasarkan "risk-sharing across
populations" yang dananya dialokasikan dari hasil pajak dan sumber
pembangunan lainnya.
Meskipun secara ekonomi jangka pendek pembangunan
kesejahteraan sosial adalah pendekatan yang tidak profitable, secara sosial
politik makro jangka panjang ia dapat menjadi investasi sosial yang
menguntungkan. Pembangunan kesejahteraan sosial dapat meredam kesenjangan dan
kecemburuan sosial yang merupakan prasyarat dan rahasia tercapainya pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan yang berkesinambungan, stabilitas politik dan
kesejahteraan bersama.
Ketiga, negara perlu memberikan pelayanan sosial (social services)
kepada warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap rakyat yang
memilihnya. Salah satu wewenang yang diberikan publik kepada negara
adalah memungut pajak dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang mendorong mengapa negara perlu
memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk perlindungan sosial di atas
termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga negara” yang wajib dipenuhi oleh
negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap konstituen yang telah
memilihnya.
Keempat, manusia cenderung berpandangan "myopic" (pendek)
sehingga kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka panjang.
Negara bersifat paternalistik (pelindung) yang mampu memberikan jaminan sosial
secara luas dan merata guna menghadapi resiko-resiko masa depan yang tidak
tentu, seperti sakit, kematian, pensiun, kecacatan, bencana alam, dsb.
PEMBANGUNAN NASIONAL
Pembangunan ekonomi nasional selama ini masih belum mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya adalah
tingginya ketimpangan dan kemiskinan.
Meskipun beberapa tahun sebelum krisis ekonomi, Indonesia tercatat sebagai salah satu macan
ekonomi Asia dengan pertumbuhan ekonomi lebih
dari 7 persen per tahun, angka pertumbuhan yang tinggi ini ternyata tidak
diikuti oleh pemerataan. Studi BPS (1997) menunjukkan 97,5 persen aset
nasional dimiliki oleh 2,5 persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5
persen aset nasional yang dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya
mencapai 97,5 persen dari keseluruhan dunia usaha.
Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat ini terlihat pula
dari masih meluasnya masalah kemiskinan. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996
tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3
persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama
krisis ekonomi. International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah
orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau
sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam
kategori kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi
gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan
penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih
memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan,
sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula
ketelantaran psikologis, sosial dan politik.
Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat
kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan
kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada
seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan
bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan
pendapatan dan memberantas masalah sosial.
Orang miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak
tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar.
Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku
terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat
perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses
pembangunan yang tidak adil.
PENUTUP
Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari
cita-cita kemerdekaan dan muara dari agenda pembangunan ekonomi. Pasal 33 UUD
1945 yang merupakan pasal mengenai keekonomian berada pada Bab XIV UUD 1945
yang berjudul ''Kesejahteraan Sosial''. Menurut Sri-Edi Swasono (2001), “Dengan
menempatkan Pasal 33 1945 di bawah judul Bab ''Kesejahteraan Sosial'' itu,
berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan
kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan tes untuk
keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi
kemegahan pembangunan fisikal.”
Namun demikian, dalam pembangunan kesejahteraan sosial,
jelas Indonesia
tidak menganut negara kesejahteraan. Meskipun Indonesia menganut prinsip
keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya
(pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam
pembangunan kesejahteraan sosial, baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi
saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan belum
terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan
mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif
serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS
masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di
bantu, baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan
prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas.
Bahkan kini terdapat kecenderungan, pemerintah semakin
enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide
liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada bagaimana memacu
pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk menarik pajak dari rakyat
sebesar-besarnya. Sedangkan tanggungjawab menangani masalah sosial dan
memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Bergulirnya otonomi daerah juga bukannya semakin memperkuat
komitmen pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan masyarakat kelas bawah.
Pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemda dalam mengelola pembangunan
daerah belum diikuti dengan penguatan piranti kebijakan dan strategi
pembangunan kesejahteraan sosial. Bahkan terdapat ironi di beberapa daerah
dimana institusi-institusi kesejahteraan sosial yang sudah mapan, alih-alih
dibina-kembangkan malahan dibumihanguskan begitu saja.
Terkesan kuat, pengalihan pembangunan kesejahteraan sosial
hanya dianggap sebagai beban tambahan bagi anggaran pemerintah daerah.
Tidak sedikit Pemda yang hanya mau menerima penguatan dan peralihan wewenang
dalam pengelolaan dan peningkatan sumber-sumber “Pendapatan Asli Daerah” (PAD).
Sedangkan peralihan tugas dan peran menangani “Permasalahan Sosial Asli Daerah”
(PSAD) inginnya diserahkan kepada masyarakat, lembaga-lembaga sosial dan
keagamaan.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, dalam mengahadapi globalisasi
dan menguatnya ide kapitalisme ini, visi, misi dan strategi pembangunan
kesejahteraan sosial di Indonesia
perlu direvitalisasi dan bukan di-deligitimasi. Sehingga bidang ini tidak
menjadi sekadar kegiatan amal atau usaha sporadis setengah hati yang tidak
terencana dan jauh dari prinsip dan wawasan keadilan sosial.
Bila Indonesia
dewasa ini hendak melakukan liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang berporos
pada ideologi kapitalisme, Indonesia
bisa menimba pengalaman dari negara-negara maju ketika mereka memanusiawikan
kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh berbagai skim
jaminan sosial yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata
terutama oleh masyarakat kelas bawah.
Pengalaman di dunia Barat memberi pelajaran bahwa jika
negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka itu
tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” dalam pembangunan kesejahteraan
sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang,
sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial adalah strategi mendistribusikan
uang secara adil dan merata.
Diibaratkan
sebuah keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja bersifat kapitalis,
tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap
anggota yang memerlukan perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat
atau orang lanjut usia. Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa,
barulah orang tua dapat melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara bertahap
agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat.
REFERENSI
BPS (1999), Penduduk Miskin: Berita Resmi Statistik Penduduk
Miskin, No. 04/Th.II/9, July, Jakarta:
BPS
Dominelly, L. dan A. Hoogvelts (1996), “Globalisation and
The Technocratisation of Social Work”, Critical Social Policy, 47, 16(2),
hal.45-62.
Heilbroner, Robert L. (1976), Business Civilization in
Decline, New York:
WW Norton & Company
Marshall, T. H. (1981), The Right To Welfare, London: Heinemann
Mayo, M, (1998), “Community Work”, dalam Adams, Dominelli
dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates, London: McMillan.
Mishra, Ramesh (1999), Globalizationa and The Welfare State,
Cheltenham: Edward Elgar
Mkandawire, Thandika dan Virginia Rodriguez (2000),
Globalization and Social Development after Copenhagen,
Geneva: United
Nations Research Institute for Social Development
Moore, Mick (2000), “States, Social Policies and
Globalisations: Arguing on the Right Terrain?” IDS Bulletin, 31(4),
hal.21-31
Penna, S. dan M. O-Brien (1996), “Postmodernism and Social
Policy: A Small Step Forwards?, Journal of Social Policy, 25(1), hal.39-61.
Singh, Ajit (2000), Global Economic Trends and Social
Development, Geneva:
United Nations Research Institute for Social Development
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan
Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung:
Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).
-------- (1999), “Tidak Bijaksana Membubarkan Depsos”,
Pikiran Rakyat, 23 November
-------- (2000), “Mencermati Rencana Pengurangan Pegawai
Negeri”, Pikiran Rakyat, 5 Februari
-------- (2001a), “Potensi Zakat Mal di Era Otda”, Pikiran
Rakyat, 24 Februari
-------- (2001b), “Menyoal Pembangunan Kesejahteraan
Sosial”, Media Indonesia,
1 Maret
-------- (2001c), “Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan”,
Republika, 3 Agustus
-------- (2001d), “Depsos Perlu Dihidupkan Lagi”, Republika
Swasono, Sri-Edi (2001), “Mengapa Pasal 33 Digusur?”,
Republika, 30 Mei
Taylor-Gooby, P. (1994), “Postmodernism and Sosial Work: A
Great Leap Backwards?”, Journal of Social Policy, 23(3), hal.385-405.
Yang,
Jae-Jin (2000), “The Rise of the Korean Welfare State Amid Economic Crisis,
1997-99: Implications for the Globalisation Debate”, Development Policy Review,
18, hal.235-2
No comments:
Post a Comment