Mobilitas
sosial terbagi ke dalam dua sub yaitu mobilitas sosial yang berdimensi
horisontal dan mobilitas sosial yang berdimensi vertikal. Mobilitas yang
horisontal menurut definisi tidak menyebabkan perubahan status, sedangkan
mobilitas vertikal adalah yang menyebabkan perubahan status. Dalam membicarakan
mobilitas sosial di sini adalah ditekankan pada mobilitas yang bersifat
vertikal.
Dalam mengkaji mobilitas vertikal, maka unit analisisnya ada
tiga tipe mobilitas.
·
Mobilitas antar generasi, yang
menjadi unit analisisnya adalah keluarga, dalam arti melihat tentang ada atau
tidaknya perbedaan status sosial antara orang tua dan anak cucunya.
·
Mobilitas karir, yang menjadi unit
analisisnya adalah individu dalam meniti kariernya.
·
Mobilitas posisional, yang menjadi
unit analisis adalah kumpulan posisi yang sama dalam berbagai hal.
Mobilitas
vertikal akan mudah atau sulit terjadi sangat ditentukan pula oleh sifat
struktur sosial sebuah masyarakat atau lebih tepatnya sistem stratifikasi yang
ada. Dalam kaitan ini ada konsep yang disebut ketembusan (permeability), yaitu konsep yang mencerminkan bagaimana sifat
struktur sosial tersebut. Derajat ketembusan sistem sosial sedikit banyak
tergantung pada kemudahan masuk dan keluar dari posisi sosial tertentu. Derajat
ketembusan masyarakat dianggap minimum apabila faktor kelahiran menentukan
orang untuk memasuki, dan faktor kematian menentukan orang untuk keluar dari
posisi sosial tertentu.
Derajat
ketembusan masyarakat dianggap tinggi apabila untuk masuk dan keluar dari
posisi sosial tertentu tidak tergantung pada faktor kelahiran dan kematian.
Pertanyaan yang dapat diajukan pada masyarakat adalah; mengapa ganjaran sosial
diberikan kepada seseorang menurut status sosial ayahnya ? Jika ketergantungan
tersebut sangat kuat, maka derajat ketembusan strata yang bersangkutan sangat
rendah atau mendekati nol. Jika ketergantungan tersebut lemah, maka derajat
ketembusannya mendekati titik maksimum. Jadi konsep ini memungkinkan kita
menyusun khierarhi model stratifikasi menurut urutan derajat ketembusannya
sebagai berikut.
1. Model Kasta : derajat ketembusannya nol.
2. Model strata :
derajat ketembusannya rendah tetapi bukan
tidak ada.
3. Model
kelas : derajat ketembusannya sekitar 40 % dari
maksimum.
4. Model kontinum (continuous)
: derajat ketembusannya sekitar 80 %
dari maksimum.
5.
Model sederajat (egalitarian):
derajat ketembusannya sempurna (maksimum)
Ketembusan memang tidak sama dengan
mobilitas sosial, namun keduanya sangat erat kaitannya. Sebagai gambaran untuk
menjelaskan misalnya dalam masyarakat dengan derajat ketembusan maksimum, maka
korelasi antara status bapak dan status anak adalah nol. Sebaliknya dalam
masyarakat dengan derajat ketembusan minimum, maka korelasi antara status bapak
dan status anak adalah +1.
Mobilitas
sosial menurun akan tercermin dari koefisien korelasi positif yang semakin
meningkat dan akan diikuti oleh derajat ketembusan yang juga menurun.
Sebaliknya, mobilitas sosial meningkat akan tercermin dari koefisien korelasi
positif yang semakin menurun dan akan diikuti oleh derajat ketembusan yang juga
meningkat. Dengan nilai koefisien korelasi +1, derajat ketembusan akan menjadi
nol, dan mobilitas sosial akan menjadi nol. Singkat kata, derajat ketembusan
berhubungan terbalik dengan nilai absolut koefisien korelasi yang menghubungkan
antara status ayah dan anak.
Suatu
pokok bahasan yang banyak mendapat perhatian ahli sosiologi ialah masalah
mobilitas intragenerasi dan mobilitas antargenerasi. Mobilitas intragenerasi
mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya;
misalnya,dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau dari perwira
pertama menjadi perwira tinggi. Mobilitas antargenerasi, di pihak lain, mengacu
pada perbedaan status yang dicapai seseorang dengan status orang tuanya;
misalnya anak seorang tukang becak yang berhasil menjadi insinyur, atau anak
menteri yang menjadi pedagang kaki lima. Suetu studi terhadap sejumlah dosen
tetap dari lima perguruan tinggi negeri di Jawa, misalnya, memperlihatkan bahwa
orang tua para dosen yang diteliti cenderung berpendidikan menengah, suatu
petunjuk bahwa dikalangan para dosen tersebut telah terjadi mobilitas vertikal
antargenerasi, mengingat bahwa para dosen tersebut telah meraih pendidikan
tinggi yang merentang mulai dari jenjang sarjana sampai ke jenjang Doktor
(Sunarto, 2000).
Suatu studi yang sering
menjadi bahan acuan dalam bahasan mengenai mobilitas antargenerasi ialah
penelitian Blau dan Duncan terhadap mobilitas pekerjaan di Amerika Serikat.
Kedua ilmuwan sosial ini menyimpulkan dari data mereka bahwa masyarakat Amerika
merupakan masyarakat yang relatif terbuka karena di dalamnya telah terjadi
mobilitas sosial vertikal antargenerasi, dan dalam mobilitas intragenerasi
pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang bersangkutan lebih besar
daripada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orang tua. Dengan perkataan lain,
dalam tiap generasi telah terjadi peningkatan status anak sehingga melebihi
status orang tuanya, dan dalam tiap generasi pun telah terjadi peningkatan
status anak sehingga melebihi status yang diduduki pada awal kariernya sendiri.
Pada masyarakat yang
mempunyai sistem stratifikasi terbuka pergantian status dimungkinkan. Meskipun
dalam masyarakat demikian terbuka kemungkinan bagi setiap anggota masyarakat
untuk naik-turun dalam herarki sosial, dalam kenyataan mobilitas sosial
antargenerasi maupun intragenerasi yang terjadi bersifat terbatas. Masih cukup
banyak anggota masyarakatnya yang menduduki status yang tidak banyak berbeda
dengan status orang tua mereka, dan selalu ada saja anggota masyarakat yang
tidak berhasil meraih status sederajat dengan status yang pernah diduduki orang
tuanya.
1. Model Kasta
Model kasta yang sempurna terdapat
di dalam masyarakat yang setiap anak mewarisi tingkatan sosial ayahnya.
Karenanya, dalam masyarakat seperti itu, seleksi sosial sama sekali akan
ditentukan oleh asal-usul keturunan. Akta kelahiran seseorang sudah cukup untuk
meramalkan karir orang bersangkutan. Mobilitas individual menaik dan menurun
tak akan ada. Dalam kenyataannya, tidak ada masyarakat seperti itu yang pernah
tercatat. Seluruh masyarakat yang kita ketahui menunjukkan derajat mobilitas
sosial tertentu.
Tetapi
masyarakat tani India, sebelum terpengaruh oleh peradaban Barat, rupanya
mengenal sistem sosial yang kira-kira lebih mendekati model kasta sempurna
ketimbang sistem sosial lain mana pun yang kita kenal. Bahkan kini, desa-desa
di India hampir tak mengenal perkawinan campuran antarkasta, dan larangan
menikah antar anggota kasta yang setaraf saja pun masih sangat kuat. Bahkan
hasil studi empiris di kawasan pedesaan dan urban di India, menunjukkan
mobilitas pekerjaan yang sangat besar. Meskipun satu kasta mempertahankan
monopoli penyediaan tenaga kerja untuk jenis pekerjaan tradisionalnya, namun
anggota kasta itu masih dapat memasuki pekerjaan lain yang tidak dimonopoli
oleh kasta lain. Begitu pula, dan ini penting, karena kita berhadapan dengan
masyarakat dimana sebagian besar penduduknya hidup dengan bertani mengolah
tanah, maka sesuai dengan pendapat Srinifas dalam Svalastoga (1965) pekerjaan
di bidang pertanian ini tidak pernah dianggap sebagai sasaran monopoli. Karena
itu, setiap anggota kasta, tanpa menghiraukan jenis pekerjaan tradisional
kastanya, dapat membeli atau menyewa tanah dan terlibat dalam kegiatan
pertanian. Bagaimanapun dengan sedikit kekecualian, tak ada orang India yang
dapat meninggalkan suatu kasta atau masuk ke dalam kasta baru, dan status
kastanya memberikannya dan anggota kastanya yang lain tingkatan tertentu di
dalam hirarki kasta-kasta yang cenderung berubah secara lambat.
2. Model Strata
Model ini ditandai oleh sistem stratifikasi
dimana gerakan antara lapisan yang tak sama tingkatannya masih terjadi tetapi
jarang. Karena ini adalah model teoritis, maka kita tentu saja dapat menentukan
dengan bebas derajat ketembusan tertentu untuk membandingkan strata yang ada
dalam masyarakat secara empiris. Misalnya, tingkat ketembusan dari model strata
yang kita gunakan antara 5-10%.
Perlu
diingat bahwa masyarakat Swedia sekitar tahun 1650 menunjukkan tingkat
ketembusan dari non-elite ke strata elite (elitenya sekitar 5% dari total
penduduk) sekitar 1/12 dari tingkat ketembusan yang ada sekarang (Svalastoga,
1965).
Secara
empiris, model strata ini – seperti juga model kasta – secara khas terdapat
dalam masyarakat agraris berskala luas dimana ada kemungkinan terdapatnya
perbedaan besar dari luas usaha tani, dan menyediakan basis ekonomi yang cukup
untuk mengkhususkan diri dalam pekerjaan militer.
3.
Model Kelas
Istilah “kelas” atau “kelas sosial” adalah
istilah yang paling membingungkan dalam sosiologi, karena para sosiolog masa
lalu dan sekarang dengan sekehendak hati telah memberinya begitu banyak rujukan
yang berbeda-beda. Perbedaan pendapat mengenai konsep kelas ini berpangkal pada
dua perkara:
o
Kriteria apa yang harus digunakan
dalam menentukan siapa yang termasuk ke dalam kelas sosial tertentu.
o
Bolehkah
segolongan orang yang sama-sama memenuhi satu kriteria kelas (sosial) tertentu
disebut sebagai kelas sosial dengan mengabaikan derajat interaksi mereka?
Baik sosiolog Eropa maupun Amerika, telah
mempersaingkan dua perangkat kriteria kelas utama sebagai berikut:
·
Kriteria yang mengacu pada kekayaan
dan atau kekuasaan (misalnya Marx Schaffle, Bern Stein, Veblen, Lynd, dan
lain-lain).
·
Kriteria yang mengacu kepada sikap
atau kemampuan (misalnya Sombart, Giddings, Cooley, Warner, dan lain-lain).
Karya Marx sangat samar-samar mengenai persoalan
kelas sosial muridnya yang mempelajari tulisannya tentang kelas sosial (lihat
misalnya Ossowski dalam Svalastoga, 1965) telah mencatat bahwa Marx tidak
pernah memberikan suatu definisi tentang kelas sosial di dalam tulisannya, dan
dia sebenarnya menggunakan istilah itu menurut beberapa cara yang berbeda-beda.
Lebih khusus lagi pada waktu yang berbeda Marx menulis karyanya dengan beberapa
jenis klasifikasi dikhotomi (dwibagi):
kapitalis – proletariat; penindas – yang tertindas, dsb;
dengan beberapa jenis pembagian trikhotomi bertingkat
·
borjuis
atau kapitalis;
·
borjuis
kecil, yang didefinisikan dengan berbagai cara proletariat; atau klasifikasi
fungsional sbb:
·
pemasok
tenaga kerja
·
pemasok
kapital
·
pemasok
tanah,
dan akhirnya yang
mengacu kepada skema yang memuat penguraian yang lebih rinci juga muncul
misalnya di dalam Manifesto Komunis.
4. Model Kontinum
Ciri umum ketiga model yang telah
dibahas di atas adalah bahwa variabel-variabel yang digunakan selaku kriteria
stratifikasi, terpisah dengan ciri-ciri yang sama sekali berbeda. Berarti bahwa
setatus seseorang ditetapkan sama, atau berbeda nyata dan terpisah secara tajam
dari status orang lain.
Model kontinum ini membuang asumsi
keterpisahan (discreteness) variabel
kriteria stratifikasi. Model ini berasumsi bahwa sesorang yang berada pada
status sosial tertentu ada kemungkinan untuk menemukan orang lain yang status
sosialnya dekat sekali dengan status sosial dirinya sendiri, tanpa perlu
menyamakan statusnya itu. Derajat ketembusan menurut model ini ditetapkan 80%
dari maksimum, dengan sedikit penyimpangan (deviasi). Selanjutnya,
rata-rata antarhubungan antarfaktor-faktor variabel-variabel stratifikasi
adalah sekitar 0,5. Terakhir, diasumsikan bahwa sebaran semua faktor
stratifikasi adalah normal (lognormal
distributed). Inilah model yang saling mendekati kenyataan stratifikasi dan
mobilitas sosial yang dialami masyarakat industri di dunia sekarang.
Bukti
terkuat yang mendukung pernyataan di atas adalah bahwa masyarakat industri
modern yang membagi-bagi status sosial secara kontinum di sepanjang
dimensi-dimensi utamanya, terlihat dalam kesulitan para peneliti untuk membagi
anggota masyarakat itu ke dalam beberapa strata. Sama sekali belum pernah ada
peneliti masyarakat industri modern yang mampu menunjukkan bahwa garis pemisah
dalam hirarki sosial masyarakat industri modern bersifat diskontinum.
Tes
langsung hipotesis yang menyatakan bahwa variabel-variabel stratifikasi di
dalam masyarakat industri modern bersifat kontinum, dilakukan oleh Kenkel dalam
studinya di Colombus, Ohio (Cuber & Kenkel dalam Svalastoga, 1965). Dengan
sampel 300 KK (N=300) Kenkel ingin mengetes apakah sampelnya itu tersebar
menurut skala gengsi North-Hatt atau menurut nilai sewa rumah. Hasil tesnya
menunjukkan bahwa di dalam distribusi yang terjadi, tidak ada pemisahan yang
nyata. Upayanya untuk membuktikan hipotesis yang sama menurut gengsi kawasan
pemukiman kurang meyakinkan karena klasifikasi yang digunakannya lebih bersifat
impresionistis.
5. Model Egalitarian
Masyarakat dapat dianggap mendekati model
sederajat (egalitarian) sejauh mobilitas anggotanya berlangsung terlepas dari
asal-usul sosial mereka. Model ini sangat mudah ditemui di dalam masyarakat
yang relatif kecil dan di dalam masyarakat yang sisa produksi ekonominya kecil
atau tak ada surplus di luar pemenuhan kebutuhan pokok anggotanya. Karena itu,
model inilah yang sesuai dengan masyrakat purba yang hidup dari berburu dan
mengumpulkan bahan makanan dari alam.
Perlu dicatat bahwa meskipun suatu
masyarakat sesuai dengan model egalitarian, itu tak berarti bahwa semua orang
dinilai sederajat dalam masyarakat bersangkutan. Kesamaan tingkat atau
kesederajatan serupa itu sebenarnya tak pernah ada dalam kehidupan kelompok
yang stabil.
Contoh yang bagus dari kesulitan yang
timbul dalam mempertahankan kondisi yang kira-kira sederajat secara sosial dan
ekonomi, disajikan Talmon-Garbier dalam Svalastoga (1965) dari hasil
penelitiannya mengenai evolusi kerjasama para pemukim awal orang Yahudi di
Israel yang dikenal bernama Moshov. Studi diselenggarakan tahun 1921-1930.
Kelompok pemukim ini dengan sengaja dipertahankan tetap kecil jumlah
anggotanya, solidaritas dipupuk, dan anggota baru di luar keluarga-keluarga
asli, dipersatukan dengan menanamkan kesetiaan terhadap ideologi kesederajatan
bersama. Anggota kelompok hanya dapat ditambah melalui persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 suara mayoritas. Semua lahan pertanian dibagi sama
luasnya, semua orang mempunyai hak, hak istimewa dan kewajiban yang sama. Semua
orang dilarang menggunakan tenaga kerja upahan dalam mengolah lahan. Seluruh
petani, kecuali warga desa yang bukan petani, adalah anggota majelis umum,
sedangkan anggota komisi dipergelarkan, dan tanggung jawab dibagi menurut
banyaknya komisi – gunanya untuk mencegah terciptanya elite penguasa. Meskipun
demikian, peneliti tiba pada kesimpulan bahwa di dalam komunitas pemukim ini
telah berkembang diferensiasi sosial dan ekonomi. Keterampilan, ketekunan, keberuntungan
dan jumlah tenaga kerja per-KK petani rupanya menjadi faktordiperlukan untuk
menilai derajat ketembusan.
Faktor-faktor yang menentukan mobilitas
Tingkat perubahan sosial yang tinggi
adalah penyebab utama mobilitas yang tinggi. Khususnya 4 bidang perubahan sosial yang
sangat penting adalah (1) perubahan teknologi; (2) tingkat reproduksi atau
perbedaan tingkat migrasi; (3) perubahan kemampuan; dan (4) perubahan sikap.
Upaya terpenting untuk mengukur
pengaruh perubahan teknologi terhadap mobilitas dilakukan Kahl. Ia menyimpulkan
bahwa sekitar 1/3 dari seluruh kasus mobilitas antargenerasi berkaitan erat
dengan perubahan teknologi. Instrumen pengukuran yang digunakannya adalah skala
status sosio-ekonomi Edward. Karena itu perubahan dari pekerjaan di sektor
pedesaan ke pekerjaan di sektor perkotaan yang sering tidak menimbulkan
perubahan gengsi pekerjaan (nol atau mendekati nol) termasuk ke dalamnya.
Perkiraan Kahl (1957) didasarkan atas asumsi bahwa terjadi pergantian sempurna
ayah oleh anak dalam periode 30 tahun. Duncan dalam Kahl (1957) menunjukkan
bahwa sebenarnya terdapat tumpang-tindih yang sangat besar antara pekerjaan
ayah dan anak dalam satu generasi. Di antara 47 juta laki-laki berumur 15-74
tahun dalam angkatan-kerja AS tahun 1960, 13 masih mempunyai ayah yang masih
aktif bekerja. Sebaliknya, dari populasi yang sama, 15 juta orang telah aktif
bekerja sejak tahun 1930. Tepat bila dikatakan bahwa jika pada waktu t1 terdapat
n orang tenaga kerja, maka pada waktu t0 (30 tahun sebelumnya)
mayoritas ayah mereka menjadi angkatan kerja (menurut taksiran Duncan, 75%).
Yang penting, perlu diselidiki apakah taksiran Kahl itu perlu dimodifikasi, dan
bila demikian di bagian mana yang perlu dimodifikasi mengingat terjadinya
tumpang-tindih sebagian besar pekerjaan ayah dan anak itu.
Yang terang adalah bahwa sampel ayah
bukanlah sampel yang representatif dari angkatan kerja laki-laki di masa
sebelumnya. Karena setiap laki-laki yang termasuk angkatan kerja pada waktu t0
akan mempunyai peluang tertentu bahwa ia akan diwakili oleh sejumlah anak
tertentu di dalam angkatan kerja pada waktu t1. peluang ini bergerak
dari 0-1 untuk setiap jumlah anak.
Teknologi mempengaruhi mobilitas
secara lebih langsung melalui dua pengaruh utamanya: meningkatkan skala dan
diferesiansi fungsional. Data yang berasal dari industri manufaktur AS dan
Inggris, mendukung hipotesis bahwa proporsi buruh yang tidak terlibat langsung
dalam proses produksi meningkat bersamaan dengan meningkatnya ukuran organisasi.
Temuan yang sama dilaporkan untuk distrik sekolah di California. Tetapi hasil
studi yang lebih kemudian, rupanya tidak mendukung hipotesis itu. Bagaimanapun,
peningkatan skala sukar dapat meninggalkan hirarki status yang berbeda karena
kekuasaan yang lebih besar cenderung terkonsentrasi di tingkat puncak.
Dengan meningkatnya diferensiasi
fungsional, secara tersirat berarti bertambah luas jarak bakat yang dapat
diberi ganjaran. Dalam masyarakat buta huruf tertentu, seseorang yang tidak
mampu berburu, berdasarkan fakta itu, pada dasarnya tidak berguna. Bahkan di
beberapa bangsa Eropa yang lebih kecil, orang yang bakatnya hanya diketahui
oleh segelintir orang saja, akan berhadapan dengan berbagai kesukaran. Dalam
masyarakat modern, kesempatan untuk mencapai ganjaran sosial yang tinggi,
bermacam-macam.
Stratum yang gagal mereproduksi
dirinya sendiri, atau tidak mampu mereproduksi dirinya sendiri secepat yang
dilakukan stratum lain, harus menerima pendatang dari luar untuk mempertahankan
ukuran relatifnya. Demikianlah, Glass menaksir bahwa 30% angkatan kerja
non-manual penduduk Inggris tahun 1950, hanya mempunyai indek reproduksi netto
1,07. Ini berarti bahwa peluang untuk naik dari stratum manual yang mencapai
kenaikan 0,064, hanya karena perbedaan tingkat reproduksi, atau jika dinyatakan
sebaliknya, 5% populasi total akan bergerak (mobile) karena faktor reproduksi ini. Hasil perkalian ini sesuai
dengan taksiran Kahl untuk AS yang menunjukkan bahwa 7% angkatan kerja AS harus
bergerak untuk mengimbangi perbedaan fertilitas, dan tidak semua yang bergerak
ini mengalami mobilitas vertikal.
Mobilitas-cateris paribus-adalah
menguntungkan jika pendidikan anak-anak yang menyimpang dari pendidikan
orangtua mereka. Korelasi sebenarnya antara pendidikan ayah dan anak dalam
masyarakat industri, agaknya sama teraturnya dengan korelasi antara kecerdasan
ayah dan anak, yakni r = 0,5. Tetapi penulis belum dapat menemukan data
kuantitatif yang relevan. Analisis pendahuluan atas dasar dikhotomi yang
penulis punyai sendiri menghasilkan koefisien korelasi r = 0,4.
Setelah melampaui satu generasi,
pengaruh perubahan pendidikan terhadap mobilitas sosial mungkin berkurang
sejauh persyaratan pendidikan untuk posisi sosial tertentu meningkat sama
cepatnya dengan pertumbuhan hasil pendidikan yang dicapai (Carlsson dalam
Svalastoga, 1965). Lagi pula, pendidikan berbeda peranannya antara orang yang
berasal dari stratum atas dan dari stratum bawah. Bagi orang yang berasal dari
stratum atas, pendidikan membantu mencegah atau mengurangi peluang mobilitas ke
bawah (penuruna status sosial). Bagi stratum bawah, pendidikan berperan
meningkatkan gerak jarak sosial. Glass dan Hall melaporkan rata-rata perubahan
jarak ke bawah 1,7 bagi orang yang berasal dari stratum atas dan berpendidikan
tinggi (9% teratas). Penurunan serupa bagi orang yang stratum atas yang hanya
berpendidikan SD adalah 2,5. orang yang berasal dari 2 strata terendah,
meningkat statusnya rata-rata 2,3 unit jika memiliki pendidikan tinggi seperti
yang didefinisikan di atas, tetapi hanya 1,3 unit jika mereka hanya
berpendidikan setingkat SD.
Rangkuman
Mobilitas
sosial yang dibahas dalam bab ini adalah mobilitas yang bersifat vertikal.
Mobilitas sosial tersebut akan mudah atau sulit terjadi dalam masyarakat
tergantung bagaimana ketembusan (permeability) struktur sosialnya. Struktur sosial
dengan tingkat ketembusan yang tinggi akan memudahkan anggota masyarakat
melakukan mobilitas dari pada di struktur sosial yang tingkat ketembusannya
rendah. Atas dasar itu, maka masyarakat dapat dibagi ke dalam 5 macam yaitu model
kasta, strata, kelas, kontinum, dan model sederajat.
Daftar Pustaka
Kahl,
J.A. 1957, The American Classs Structure,
Rinehart, New York.
Svalastoga,
K, 1965, Social Differentiation,
David McKay Company, Inc, Van Rees
Press, New York.
MOBILITAS SOSIAL
No comments:
Post a Comment