Saturday, April 27, 2013

POTENSI VEHICLE DARI MINYAK DAN MSG (MONOSODIUM GLUTAMATE)


I.       PENDAHULUAN
Kekurangan zat gizi mikro merupakan masalah yang sudah lama terjadi dan tak kunjung selesai. Di indonesia sendiri kekurangan zat gizi mikro merupakan masalah yang berlarut-larut dan sedang diusahakan penyelesaiannnya. Dalam hal kekurangan zat gizi mikro, ada tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient) yaitu iodium, besi,dan vitamin A yang secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari kekuarangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian. Beberapa negara menetapkan target untuk menghilangkan kekurangan zat gizimikro pada tahun 2000. Tujuan dasar dari semua program-program zat gizi mikro nasional adalah untuk menjamin bahwa zat gizimikro yang dibutuhkan tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk (terutama penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizimikro tersebut). Strategi-strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi. Intervensi ini memperlihatkan dua pendekatan utama terhadap perbaikan masalah kekurangan zat gizi mikro yaitu suplementasi dengan ‘pharmacological preparations’ yang berarti intervensi yang berbasiskan medis, dan fortifikasi pangan/perbaikan makanan, yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbasiskan pangan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizimikro.
Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.
Dalam program fortifikasi pangan itu sendiri perlu diperhatikan hal yg pokok yaitu pangan pembawa atau vehicle. Vehicle adalah makanan yang dipilih untuk difortifikasi. Vehicle yang dipilih akan menentukan kesuksesan dari program fortifikasi. Pemilihan vehicle haruslah disesuaikan dengan pola makan masyarakat yang menjadi sasaran fortifikasi.




















II.    ISI
A.     Fortifikasi dan Manfaatnya
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke dalam pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan dan untuk meningkatkan status gizi populasi. The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan. Istilah double fortijication dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atan campuran pangan.
Manfaat fortifikasi dilihat dari tujuan pengadaannya adalah mengurangi tingkat defisiensi zat gizi., memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan, mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan, meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi, menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain.
Program fortifikasi memiliki peranan yang sangat penting, tentunya tidak sebatas pemenuhan gizi masyarakat tapi juga mempunyai arti peningkatan kualitas perekonomian suatu negara. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam perencanaan program fortifikasi :
1.      Identifikasi masalah kurang gizi, mikro dari penelitian gizi.
2.      Identifikasi pola makanan masyarakat dari survey konsumsi makanan rumah tangga.
3.      Pilih makanan pembawa untuk difortifikasi dari butir 2 dan fortifikannya.
4.      Lakukan uji stabilitas fortifikan dan daya terima konsumen.
5.      Lakukan uji manfaat biologis (bioavailability).
6.      Lakukan uji manfaat bagi kesehatan dimasyarakat (uji efektifitas).
7.      Lakukan uji manfaat bagi kesehatan secara eksperimental (uji efikasi).
8.      Siapkan perangkat peraturan dan perundangan.
9.      Laksanakan program fortifikasi.
10.  Lakukan sosialisasi dan promosi ke masyarakat.
11.  Lakukan monitoring mutu dan efektifitas secara berkala.
B.     Syarat Pangan Pembawa (Vehicle)
Vehicle merupakan unsur penting dalam program fortifikasi selain fortifikan atau zat gizi yang ditambahkan. Pemilihan vehicle yang tepat bagi sasaran program fortifikasi akan mensukseskan program fortifikasi. Setiap masyarakat yang menjadi sasaran fortifikasi kemungkinan mempunyai potensi vehicle yang berbeda-beda, misalnya pada masyarakat Indonesia bagian timur beras merupakan vehicle yang buruk karena masyarakat Indonesia bagian timur tidak terbiasa mengkonsumsi beras. Pemilihan vehicle berdasarkan pada kebiasan, adat istiadat dan budaya masyarakat yang menjadi sasaran fortifikasi.  Berikut ini adalah syarat-syarat dalam pemilihan vehicle :
1.      Makanan yang Umumnya Selalu Ada di Setiap Rumah Tangga dan Dimakan Secara Teratur dan Terus Menerus oleh Masyarakat Termasuk Masyarakat Miskin.
Vehicle harus merupakan makanan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat sasaran fortifikasi dan vehicle haruslah pangan yang dikonsumsi secara teratur dan terus menerus karena apabila vehicle tidak dikonsumsi secara terus-menerus maka fortifikan yang ditambahkan hanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi tersebut atau dengan kata lain bila produk fortifikasi tidak dikonsumsi secara terus menerus dan teratur maka hanya dapat mengurangi tingkat defisiensi zat gizi tersebut sehingga tidak tersedianya cadangan zat fortifikan bagi tubuh.
2.      Diproduksi dan Diolah Oleh Produsen yang Jumlahnya Terbatas dan Terpusat Agar Lebih Mudah Diawasi Fortifikasinya.
Untuk memastikan kelancaran program fortifikasi yang dijalankan perlu adanya pengawasan. Untuk mempermudah proses pengawasan tersebut maka produsen yang memproduksi dan mengolah vehicle haruslah dalam jumlah yang terbatas dan terpusat.
3.      Tersedianya Teknologi Fortifikasi Untuk Makanan yang Dipilih.
Untuk menghasilkan produk fortifikasi yang berkualitas yang dapat diterima oleh masyarakat memerlukan teknologi yang tepat dan sesuai serta dapat diterapkan pada produk pangan pembawa.
4.      Tidak Berubah Warna, Rasa dan Konsistensi Setelah Difortifikasi.
Perubahan warna, rasa dan konsistensi yang terjadi setelah difortifikasi tidak boleh terjadi pada produk yang difortifikasi, karena ditakutkan merubah penerimaan konsumen terhadap produk tersebut.
5.      Aman dan Tidak Membahayakan Kesehatan.
Vehicle yang digunakan dalam program fortifikasi tidak boleh menimbulkan efek yang buruk bagi kesehatan konsumen atau masyarakat, oleh karena itu program fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah.
6.      Harga Tetap Terjangkau, Daya Beli Konsumen Menjadi Sasaran.
`           Apabila harga produk yang telah difortifikasi meningkat maka daya beli konsumen akan rendah. Sehingga produk fortifikasi dapat dijangkau oleh konsumen. Karena dalam fortifikasi yang bukan fortifikasi sukarela daya beli konsumen merupakan hal yang urgent untuk mempertimbangkan harga produk yang difortifikasi.
C.     Potensi Minyak Goreng Sebagai Vehicle
Di banyak negara, fortifikasi merupakan program andalan untuk mencegah kekurangan zat gizi mikro, yaitu kekurangan vitamin dan mineral yang banyak diderita penduduk, terutama anak dan ibu hamil. Pemilihan produk yang akan difortifikasi atau pangan pembawa akan menjadi kendaraan fortifikasi dan merupakan kunci untuk menjamin  keberhasilan fortifikasi. Menurut Soekirman pangan berhubungan dengan budaya dan selera. Sehingga pemilihan vehicle harus memperhatikan budaya dan selera masyarakat yang menjadi sasaran program fortifikasi.
Jenis makanan pokok yang di fortifikasi di dunia adalah tepung terigu, tepung jagung, beras, minyak goreng, penyedap, seperti garam, MSG, kecap, dan gula pasir. Pemilihan makanan pokok yang difortifikasi tersebut berdasarkan pada tingginya tingkat penggunaan produk-produk tersebut dalam konsumsi keseharian masyarakat.
Minyak goreng adalah bahan pangan yang banyak mengandung lemak. Minyak goreng merupakan  minyak yang berasal dari lemak  tumbuhan  atau  hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, kedelai, dan kanola. Minyak goreng memiliki potensi yang sangat tinggi untuk menjadi pangan pembawa yang difortifikasi lantaran minyak goreng tersebut dominan digunakan oleh masyarakat luas. Selain itu, minyak goreng lebih banyak sebagai media memasak. Berdasarkan sumber data yang diperoleh oleh situs detik menunjukan bahwa kurang lebih 70% masyarakat Indonesia mengkonsumsi minyak goreng setiap harinya.
Ditinjau dari persyaratan dalam pemilihan pangan pembawa, minyak goreng sudah cukup memenuhi kriteria sebagai pangan pembawa. Minyak goreng merupakan produk yang selalu ada di setiap rumah tangga dan digunakan secara teratur dan terus menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin. Hampir setiap rumah tangga menggunakan minyak goreng dalam membuat atau memasak makanan untuk keseharian mereka, baik dalam jumlah sedikit maupun jumlah yang banyak. Selain itu produksi minyak goreng dilakukan dan dihasilkan oleh produsen yang jumlahnya terbatas, sehingga pengawasannya terpusat dan mudah dilakukan. Terhitung sampai saat ini pabrik minyak goreng di Indonesia jumlahnya terbatas ± 77 diantaranya 5 besar yang sudah mensupply kebutuhan minyak goreng 70 % penduduk.
Di tambah lagi telah tersedia teknologi fortifikasi khususnya untuk vitamin A secara universal yang dapat menjamin tidak merubah rasa, warna dan konsistensi minyak goreng. Keuntungan lainnya adalah fortifikasi minyak goreng terutama untuk vitamin A telah diteliti dibanyak negara dan ternyata tidak merugikan kesehatan bahkan sebaliknya. Fortifikasi minyak juga ternyata tidak menambah harga secara signifikan, sehingga masih terjangkau pembeli, khususnya untuk minyak curah yang banyak dikonsumsi keluarga miskin.
Dari sudut pandang diatas membuktikan bahwa minyak goreng memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dijadikan vehicle atau pangan pembawa. Dewasa ini sudah banyak dilakukan fortifikasi gizi mikro terhadap minyak goreng, terutama untuk vitamin A.
Masalah kekurangan vitamin A biasanya terjadi karena kandungan vitamin A dalam makanan yang dikonsumsi rendah, derajat absorbsi rendah, tingkat sosial ekonomi rendah, ketidaktahuan, serta akibat penyakit seperti infeksi cacing, diare, dan campak. Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Dengan fortifikasi vitamin A pada minyak goreng di sejumlah negara dapat menurunkan 25 % angka kematian bayi dan anak balita akibat infeksi.
Menurut Drajat, vitamin A bersifat stabil sehingga tahan panas hingga 160˚C, seperti saat menggoreng dan penggorengan hingga tiga kali masih menyisakan 60 persen vitamin A. Menurut Direktur Bina Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Minarto minyak goreng dianggap sebagai ”kendaraan” tepat mengingat vitamin A dalam minyak goreng fortifikasi baru akan habis setelah digunakan menggoreng sebanyak 12 kali. Dalam sebuah studi, masyarakat Indonesia ternyata menggunakan minyak goreng yang sama untuk empat kali menggoreng.
Namun fortifikasi vitamin A terhadap minyak goreng memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah tidak tahan sinar ultraungu matahari sehingga penyimpanan harus baik. Selain itu, vitamin A masih impor. Namun, dengan 3,5 juta ton konsumsi minyak goreng dalam negeri dan kebutuhan 1 kg vitamin A per 16 ton minyak goreng, diharapkan industri vitamin A dalam negeri akan tumbuh. Titik kelemahan lainadalah 70 % minyak goreng berbentuk curah, diproduksi banyak industri sehingga pengawasannya relatif sulit. SNI diharapkan mulai berlaku tahun depan dan Badan POM akan mengawasi kualitas vitamin A yang digunakan
D.    Potensi MSG Sebagai Vehicle
Monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium (sodium) dari asam glutamat, suatu asam amino yang terdapat dalam semua jenis protein. MSG (MonoSodium Glutamate) atau biasa disebut micin atau vetsin adalah penyedap rasa sintetis yang biasa digunakan sebagai penyedap rasa masakan sejak tahun 1940.
Yang menjadi sorotan sebenarnya adalah dosisnya yang sudah sangat melebihi batas. Mega dosis yang digunakan sebagian besar masyarakat inilah yang mencetuskan penyakit hipertensi, serangan jantung, stroke, sakit kepala, gangguan ginjal, dan kanker, gangguan kesehatan tersebut suatu saat tiba-tiba saja muncul dan meledak layaknya bom waktu setelah 10 – 20 tahun terus-menerus mengkonsumsi MSG tanpa control.
MSG telah lama beredar bebas dan hampir semua makanan baik yang dalam kemasan, di warung dan restoran, maupun yang di masak sendiri di rumah menggunakan MSG. Semua merek yang ada pasar adalah 100% MSG, dan tak satu merek pun yang mencantumkan petunjuk takaran/dosis yang aman dikonsumsi. Sehingga konsumen semaunya sendiri menerapkan takarannya, tak perlu diukur-ukur segala, dan kecenderungannya ialah berlebihan. Inilah yang berbahaya, Karena MSG itu mengandung natrium/sodium (garam),yang jika dikonsumsi terlalu banyak dapat menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi). Selain itu jika dipanaskan, MSG akan pecah menjadi dua zat baru yakni Glutamic Pyrolised-1 (Glu-P-1) dan Glu-P-2. Kedua zat ini bersifat mutagenik (menyebabkan kelainan genetik) dan karsinogenik (menyebabkan kanker).
Berdasarkan syarat vehicle yang baik maka potensi MSG sebagai vehicle adalah :
1.      Berdasarkan konsumsi masyarakat akan pangan pembawa termasuk masyarakat miskin.
MSG dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sangat banyak dijumpai, baik dalam makanan ringan, maupun makanan olahan rumah tangga, terutama pada makanan yang mengandung bahan penyedap. Hal ini menunjukan bahwa MSG rutin dikonsumsi oleh seluruh masyarakat baik kalangan ekonomi menengah ke atas dan menengah ke bawah secara terus-menerus setiap harinya.
2.      Berdasarkan jumlah produsen dan keterpusatannya.
Jumlah produsen MSG yang ada di Indonesia sangatlah banyak misalnya masako, royco, dan lainnya dan kurang terpusat, Sehingga untuk melakukan  pengawasan program fortifikasi sangatlah susah. Dan pengawasan program fortifikasi merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan suatu program fortifikasi.
3.      Berdasarkan ketersediaan teknologi .
Dalam pembuatan MSG banyak perusahaan yang telah menerapkan teknologi penunjang pembuatan MSG yang sangat baik, sehingga MSG yang dihasilkan mempunyai kualitas yang tinggi.

4.      Berdasarkan  perubahan sifat sensoris setelah difortifikasi
Tidak ada perubahan sifat sensoris seperti warna, aroma, rasa, konsistensi, dan lainnya yang terjadi pada MSG setelah difortifikasi. Sehingga hal tersebut tidak merubah penerimaan konsumen akan produk MSG tersebut.
5.      Berdasarkan keamanan, dan bahayanya terhadap  kesehatan.
MSG merupakan bahan tambahan yang kurang baik, terlebih apabila dikonsumsi secara berlebihan. Bahaya yang paling buruk yang dapat ditimbulkan oleh mengkonsumsi MSG adalah timbulnya penyakit kanker.
MSG mengandung natrium/sodium (garam) yang jika terlalu banyak termakan bisa menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi). Selain itu jika dipanaskan, MSG akan pecah menjadi dua zat baru yakni glutamic pyrolised-1 (glu-p-1) dan glu-p-2. kedua zat ini bersifat mutagenik (menyebabkan kelainan genetik) dan karsinogenik (menyebabkan kanker).
6.      Berdasarkan harga dan daya beli konsumen akan produk fortifikasi.
Harga MSG yang difortifikasi dan yang belum difortifikasi mempunyai harga yang tidak berbeda jauh sehingga daya beli masyarakat akan MSG tidak akan berkurang.

Berdasarkan keenam hal diatas MSG mempunyai potensi yang cukup baik karena dikonsumsi secara teratur dan terus menerus; tersedianya teknologi penunjang produksi MSG; tidak adanya perubahan sifat sensoris MSG setelah mengalami fortifikasi seperti rasa, aroma, warna, dan lainnya; dan harga MSG yang telah difortifikasi sangat terjangkau dan tidak membuat daya beli masyarakat akan MSG menurun.
Akan tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan program fortifikasi sulit untuk sukses yakni karena terlalu banyaknya jumlah produsen yang ada di Indonesia, dan tidak terpusatnya produksi MSG sehingga menyebabkan sulitnya melakukan pengawasan. Selain itu MSG merupakan bahan penyedap yang berbahaya bagi kesehatan, bahkan dapat menyebabkan timbulnya penyakit kanker.

III. PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.      MSG mempunyai potensi sebagai pangan pembawa (vehicle) fortifikasi akan tetapi mempunyai efek samping yang kurang baik bagi tubuh.
2.      Minyak goreng mempunyai potensi sebagai pangan pembawa (vehicle) fortifikasi yang baik akan tetapi masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan yang perlu diantisipasi.
B.     Saran
Dalam melakukan fortifikasi, pangan pembawa yang dipilih harus memenuhi persyaratan dan tidak memiliki efek samping bagi kesehatan tubuh bila dikonsumsi secara terus menerus atau berlebihan. Selain itu kelemahan-kelemahan yang tidak mendukung program fortifikasi harus diantisipasi. Dalam hal ini peranpemerintah sangatlah diperlukan untuk mencapai kesuksesan program fortifikasi.









DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Dialog Fortifikasi Minyak Goreng Dengan Vitamin A Dan Fortifikasi Dengan Taburia. Http://Www.Dwp.Or.Id/Desain2010/Index.Php?View=Article&Catid=4:Sosbud&Id=5:Art879&Tmpl=Component&Print=1&Page=. Diakses Pada Tanggal 12 Maret 2011.

Anonim. 2011. Minyak Goreng Fortifikasi Vitamin A Untuk Atasi Kurang Gizi. http://teknologitinggi.wordpress.com/2011/01/24/minyak-goreng-fortifikasi-vitamin-a-untuk-atasi-kurang-gizi/. Diakses Pada Tanggal 12 Maret 2011.

Dwi, Tonang Ardyanto. 2007. MSG dan Kesehatan : Sejarah, Efek dan Kontroversinya. http://pantangpulangsebelumpadam.blogspot.com/2007/09/msg-dan-kesehatan-sejarah-efek-dan.html. Diakses Pada Tanggal 13 Maret 2011.

Kristianto, Ary. 2011. Fortifikasi vitamin A Pada Minyak Goreng. http://arkafoodtech.blogspot.com/2011/02/fortifikasi-vitamin-pada-minyak goreng.html. Diakses Pada Tanggal 12 Maret 2011.

Kus Anna, Lusia. 2011. Fortifikasi Minyak Goreng dengan Vitamin A. Kompas: Jakarta.

Soekirman. 2008. Fortifikasi Pangan Program Gizi Utama Masa Depan?. Koalisi Fortifikasi Indonesia.
Siagian, Albiner. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah
Kekurangan Zat Gizimikro. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Sumatera Utara.

No comments:

Post a Comment