SEJAK proklamasi tahun 1945, Indonesia muncul sebagai negara kebangsaan yang
ditata dengan sistem modern. Sebagai negara modern, birokrasinya difungsikan
sebagai instrumen teknis administratif sedang pembagian kekuasaan menganut asas
Trias Politika; eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Dalam perkembangannya, dinamika budaya politik
yang muncul tidak hanya dipengaruhi oleh watak dasar tata nilai modern saja.
Juga sistem tata nilai dari tradisi yang ada di Indonesia. Pada akhirnya
walaupun secara kelembagaan ditata secara modern, budaya politik di Indonesia
lebih merupakan manifestasi dari sistem tata nilai dan kepercayaan yang dianut
oleh masyarakat.
Secara makro ada dua karakteristik pokok ajaran
kekuasaan Jawa. Pertama, kekuasaan bersifat memusat [sentralistik], tidak
memancar, tidak berkurang maupun bertambah, terkonsentrasi pada satu pihak dan
berkencenderungan menghisap kekuasaan yang lain. Karenanya tidak menghendaki
adanya kekuasaan lain yang otonom dan lepas dari kontrol pusat kekuasaan.
Kedua, kekuasaan berasal dari alam adikodrati atau
alam ialahiah, bukannya berasal dari rakyat sebagaimana teori kedaulatan
rakyat. Maka kekuasaan tidak memerlukan keabsahan dan justifikasi dari rakyat.
Karakteristik di atas sangat mempengaruhi perilaku
elite politik yang ada di Indonesia. Karakteristik pertama bahwa kekuasaan itu
sentralistik, bisa kita lihat pada masa Presiden Soekarno dengan konsep
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan hal-hal lain yang serba terpimpin.
Pada waktu itu hampir tidak ada kekuatan lain di luar Presiden Soekarno.
Orba di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto juga
tidak banyak berbeda dengan Orde Lama yang diperbaharuinya. Pada masa ini,
faham kekuasaan Jawa justru semakin dihidupkan. Kekuasaan menjadi sangat
sentralistik dan secara kelembagaan terpusat pada eksekutif yang notabene di
bawah kendali presiden.
Sebagai imbas, kekuasaan-kekuasaan di luar
eksekutif menjadi terkebiri [dihisap] dan kemudian mengalami kooptasi
habis-habisan sehingga justru menjadi kekuatan yang mendukung eksekutif. Misalnya
kekuatan ormas PWI, MUI, KORPRI, KNPI dan sebagainya. Lebih tragis ketika hal
yang sama terjadi pula pada lembaga yudikatif maupun legislatif yang hanya
berfungsi sebagai legitimasi terhadap eksekutif.
Eksekutif akhirnya berkembang tidak sekadar sebagai
instrumen teknis yang bersifat administratif tetapi telah melebarkan peran
sebagai mesin politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Kondisi seperti ini semakin parah ketika oposisi
dianggap tabu dan tidak sesuai dengan budaya bangsa. Partai-partai yang ada pun
tidak mempunyai kekuatan yang berarti untuk mengontrol birokrasi. Keberadannya
dibutuhkan oleh pemegang kekuasaan sekadar pertanda, seolah-olah demokrasi itu
ada. Tiadanya kontrol yang efektif seperti ini merupakan prakondisi tumbuh
suburnya arogansi dan penyelewengan kekuasaan.
Budaya politik di atas seakan mendapat angin segar
dari karakteristik kedua, bahwa kekuasaan merupakan wahyu atau pemberian yang
berasal dari alam adikodrati sehingga tidak membutuhkan legitimasi rakyat.
Faham ini menyebabkan tiadanya ikatan moral dalam diri pemegang kekuasaan untuk
mempertanggungjawabkan segala kebijakan, keputusan dan tindakannya terhadap
rakyat.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa faham
kekuasaan Jawa yang dimanifestasikan para elite kedalam budaya politik di atas
punya kontribusi cukup besar bagi terhambatnya proses demokratisasi, merebaknya
KKN, arogansi kekuasaan dan orientasi pembangunan yang kurang memperhatikan
kepentingan rakyat banyak.
Kini, ketika Jenderal Soeharto telah mengundurkan
diri dari kekuasaannya dan seluruh lapisan masyarakat menuntut reformasi,
bangsa Indonesia perlu merefleksikan kembali budaya politik yang dipengaruhi
oleh faham kekuasaan Jawa yang berkembang dan terbukti telah melibatkan hal-hal
yang buruk.
No comments:
Post a Comment