Monday, April 22, 2013

Genetika dan Ilmu Sosial


Oleh Dian R. Basuki
Dapatkah ilmuwan sosial masa kini mengabaikan perkembangan genetika? Dan apa yang terjadi bila demikian?
Pertanyaan ini mengemuka akhir-akhir ini sejak genetika berhasil mengungkap rahasia sandi yang terpatri pada gen-gen manusia: kejahatan, kekerasan, religiositas, kecakapan kognitif, kemampuan bersosialisasi, kebahagiaan, kecenderungan untuk bunuh diri (apakah klan Hemingway mewarisi gen ini dengan kecenderungan yang kuat?), dan seterusnya. Apa yang selama ini dianggap sebagai wilayah yang "dikuasai" oleh ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi dan psikologi, mulai diusik oleh sains, khususnya genetika.
Dengan berbasis gen, genetika mencoba melacak apakah kecakapan kognitif itu diturunkan dari induk kepada anak-anaknya, dan sejauh mana pewarisan itu termanifestasi dalam kecakapan kognitif keturunannya (apakah orang tua Albert Einstein hebat, dan mengapa keturunannya tidak sehebat pencetus Teori Relativitas ini?). Bagaimana pula dengan sifat-sifat jahat, kepintaran bermusik, atau kecondongan untuk bermabuk-mabukan? Ahli genetika yang berminat kepada persoalan sosial--kejahatan, depresi, homoseksualitas, untuk menyebut beberapa--berusaha mencari jawaban yang lebih memuaskan pada genetika.
Bagaimana dengan ilmuwan sosial?
Setelah jurnal sosiologi terkemuka, American Sociological Review, edisi Agustus 2008, menerbitkan artikel dengan perspektif genetika, tiga bulan kemudian American Journal of Sociology mengeluarkan edisi khusus yang mengangkat tema "Exploring Genetics and Social Structure". Terbitnya edisi khusus ini, menurut sosiolog Peter Bearman dari Columbia University, yang menjadi editor edisi ini, termotivasi oleh apa yang tampak sebagai paradoks yang asing. Setiap pekan, Science Times--salah satu acara temu muka antara ilmuwan dan publik di AS--melaporkan temuan baru yang menyingkap basis genetik bagi kecerdasan, kegemukan, depresi, altruisme dan egoisme, dan seterusnya. Fenomena yang dilaporkan sebagai "genetik" itu sebagian besar bernuansa sosiologis. Namun, para sosiolog jarang mendiskusikannya. Bahkan, di saat yang sama, penekanan pada ekspresi genetik sebagai penjelasan bagi perilaku manusia dan interaksi sosial dianggap, oleh sebagian sosiolog, akan menggerogoti perspektif sosiologis.
Di luar paradoks tersebut, publikasi tersebut merupakan sebuah pertanda bahwa sebagian sosiolog, agaknya, memperhitungkan revolusi genetika. Mereka tak bisa mengabaikan atau berpura-pura tidak tahu bahwa terjadi sesuatu di tetangga sebelah. "Kita akan rugi jika kita tidak terlibat dalam argumen-argumen itu," kata Jason Schnittker, associate professor di University of Pennsylvania, yang juga menjadi kontributor bagi edisi khusus American Journal of Sociology.
Bagi sebagian sosiolog, “sosiologi genetika”--istilah yang untuk sementara dipakai--adalah alternatif bagi “sosiologi tradisional”. Bahkan, bagi kelompok “garis keras”, perspektif sosiologis yang tidak melibatkan gen (see-no-gene perspective) kini dianggap sudah usang. Salah seorang pendukung arus ini ialah Guang Guo, ilmuwan yang bekerja di University of North Carolina, AS, yang melakukan kajian tentang gen dan kejahatan. Beberapa tahun yang lampau, di jurnal terkemuka Social Forces, Guo--pada mulanya ia seorang sosiolog--memaparkan pandangannya yang menghubungkan sosiologi dengan biologi ("The Linking of Sociology and Biology").
Jauh lebih awal daripada Guo, Edward O. Wilson telah menulis buku Sociobiology (1975). Wilson, yang kini berusia hampir 80 tahun, mendefinisikan sosiobiologi sebagai "studi sistematis mengenai basis biologis dari semua perilaku sosial”. Dengan menerapkan prinsip-prinsip evolusi untuk menjelaskan perilaku serangga sosial (dalam hal ini semut) untuk memahami perilaku sosial hewan lain, juga manusia, Wilson membangun sosiobiologi sebagai bidang ilmiah baru.
Wilson berpendapat, seluruh perilaku hewan, juga manusia, adalah produk hereditas dan stimuli lingkungan maupun pengalaman masa lampau. "Kehendak bebas itu ilusi," kata Wilson. Ia merujuk kepada basis biologis perilaku sebagai “genetic leash” (pengendali genetis). Bagaimana gen membentuk hidup manusia, berinteraksi dengan daya lingkungan, atau dikuasai oleh kekuatan-kekuatan itu? Ini soal yang kompleks, dan perdebatan di seputar nature (baca, faktor gen) atau nurture (baca, faktor lingkungan) yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan seseorang tidak akan selesai dalam waktu dekat ini.
Di lingkungan bahasa, pada 1950-an Noam Chomsky termasuk yang menentang linguistik--dan semua ilmu sosial--yang di masa itu didominasi oleh behaviorisme, yang bertumpu pada pandangan John Locke bahwa pikiran bermula sebagai tabula rasa, sebuah papan tulis kosong yang kemudian pengalaman dituliskan di atasnya. Tak mungkin anak-anak belajar bahasa melalui induksi, atau secara trial and error. Chomsky berpandangan, beberapa prinsip penting dalam bahasa--semacam tata bahasa universal--pasti tertanam dalam otak manusia.
Di samping sosiolog yang mau menengok genetika, edisi khusus American Journal of Sociology juga memuat kritik terhadap pendekatan genetis tersebut. Sebuah artikel yang ditulis Allan Horwitz dan Sara Shostak, mengambil pendekatan yang disebut sosiologi tradisional, membahas konstruksi sosial dari depresi dan homoseksualitas. Apa pun basis genetis kondisi-kondisi ini, menurut mereka, seseorang telah sangat "dimedikalisasi" (medicalized), meskipun yang lain--berkat perjuangan kaum aktivis--dianggap sebagai bagian dari variasi manusia normal.
Di kalangan ilmuwan sosiologi Amerika, dengan demikian, dua kubu pemikiran mengenai peran gen saling beradu: yang berpandangan bahwa “genetika adalah penyebab setiap hal”, dan yang “menolak gagasan bahwa apa pun yang terkait dengan ekspresi genetika sungguh bernilai untuk dipelajari”. Kendati berseberangan, keyakinan pada penjelasan genetis dan ketakutan terhadap penjelasan itu memperlihatkan fenomena yang sama: penekanan yang berlebihan terhadap peran gen. Sebagian besar sosiolog menampik penjelasan genetis karena mungkin membayangkan bahwa gen sangat digdaya sehingga bakal melemahkan perspektif sosiologis. Sementara itu, sebagian ahli genetika cenderung bersikap reduksionistis.
Kelompok jalan tengah menawarkan pandangan yang lebih kompromistis bahwa kemajuan dalam ilmu genetika memberikan landasan yang lebih kukuh bagi ilmuwan sosial, misalnya dalam mengaitkan gen dan kelompok gen dengan penyakit dan kekacauan perilaku (behavioral disorders). Sosiologi-genetika, menurut Bernice A. Pescosolido (Under the Influence of Genetics), akan menciptakan kesempatan bagi ilmu sosial untuk menunjukkan betapa digdayanya lingkungan.
Hasil-hasil riset yang memetakan gen yang terkait dengan kesehatan, perilaku, dan sejenisnya memang tidak akan serta-merta mengubah seluruh pemahaman kita saat ini mengenai masyarakat. Apa yang kerap menjadi perhatian ilmuwan sosial, seperti tema-tema klasik ketidakadilan, ketertiban, kemiskinan, konflik etnis dan agama, masih belum tersentuh oleh wawasan baru yang diungkap oleh riset genetika. Namun, ini tidak berarti bahwa kemajuan di masa mendatang dalam genetika tak akan mampu menjamah tema-tema itu. Studi mengenai gen yang melekat di tubuh orang Indonesia, Melayu, dan Thailand, misalnya, mungkin dapat menjelaskan peta penyebaran bangsa-bangsa ini dan memperkuat studi yang sudah ada dari perspektif budaya.
Bagaimana di sini? Saya percaya, pengenalan genetika molekuler ke dalam analisis sosial akan memperkaya pemahaman kita atas persoalan-persoalan yang dihadapi individu maupun masyarakat kita. Jadi? Yah, kereta belum beranjak terlalu jauh.

No comments:

Post a Comment