Oleh Dian
R. Basuki
Dapatkah ilmuwan sosial masa kini mengabaikan
perkembangan genetika? Dan apa yang terjadi bila demikian?
Pertanyaan ini mengemuka akhir-akhir ini sejak
genetika berhasil mengungkap rahasia sandi yang terpatri pada gen-gen manusia:
kejahatan, kekerasan, religiositas, kecakapan kognitif, kemampuan
bersosialisasi, kebahagiaan, kecenderungan untuk bunuh diri (apakah klan
Hemingway mewarisi gen ini dengan kecenderungan yang kuat?), dan seterusnya. Apa
yang selama ini dianggap sebagai wilayah yang "dikuasai" oleh
ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi dan psikologi, mulai diusik oleh sains,
khususnya genetika.
Dengan berbasis gen, genetika mencoba melacak
apakah kecakapan kognitif itu diturunkan dari induk kepada anak-anaknya, dan
sejauh mana pewarisan itu termanifestasi dalam kecakapan kognitif keturunannya
(apakah orang tua Albert Einstein hebat, dan mengapa keturunannya tidak sehebat
pencetus Teori Relativitas ini?). Bagaimana pula dengan sifat-sifat jahat,
kepintaran bermusik, atau kecondongan untuk bermabuk-mabukan? Ahli genetika
yang berminat kepada persoalan sosial--kejahatan, depresi, homoseksualitas,
untuk menyebut beberapa--berusaha mencari jawaban yang lebih memuaskan pada
genetika.
Bagaimana dengan ilmuwan sosial?
Setelah jurnal sosiologi terkemuka, American
Sociological Review, edisi Agustus 2008, menerbitkan artikel dengan
perspektif genetika, tiga bulan kemudian American Journal of Sociology
mengeluarkan edisi khusus yang mengangkat tema "Exploring Genetics and
Social Structure". Terbitnya edisi khusus ini, menurut sosiolog Peter
Bearman dari Columbia University, yang menjadi editor edisi ini, termotivasi
oleh apa yang tampak sebagai paradoks yang asing. Setiap pekan, Science
Times--salah satu acara temu muka antara ilmuwan dan publik di
AS--melaporkan temuan baru yang menyingkap basis genetik bagi kecerdasan,
kegemukan, depresi, altruisme dan egoisme, dan seterusnya. Fenomena yang
dilaporkan sebagai "genetik" itu sebagian besar bernuansa sosiologis.
Namun, para sosiolog jarang mendiskusikannya. Bahkan, di saat yang sama,
penekanan pada ekspresi genetik sebagai penjelasan bagi perilaku manusia dan
interaksi sosial dianggap, oleh sebagian sosiolog, akan menggerogoti perspektif
sosiologis.
Di luar paradoks tersebut, publikasi tersebut
merupakan sebuah pertanda bahwa sebagian sosiolog, agaknya, memperhitungkan
revolusi genetika. Mereka tak bisa mengabaikan atau berpura-pura tidak tahu
bahwa terjadi sesuatu di tetangga sebelah. "Kita akan rugi jika kita tidak
terlibat dalam argumen-argumen itu," kata Jason Schnittker, associate
professor di University of Pennsylvania, yang juga menjadi kontributor bagi
edisi khusus American Journal of Sociology.
Bagi sebagian sosiolog, “sosiologi
genetika”--istilah yang untuk sementara dipakai--adalah alternatif bagi
“sosiologi tradisional”. Bahkan, bagi kelompok “garis keras”, perspektif
sosiologis yang tidak melibatkan gen (see-no-gene perspective) kini
dianggap sudah usang. Salah seorang pendukung arus ini ialah Guang Guo, ilmuwan
yang bekerja di University of North Carolina, AS, yang melakukan kajian tentang
gen dan kejahatan. Beberapa tahun yang lampau, di jurnal terkemuka Social
Forces, Guo--pada mulanya ia seorang sosiolog--memaparkan pandangannya yang
menghubungkan sosiologi dengan biologi ("The Linking of Sociology and
Biology").
Jauh lebih awal daripada Guo, Edward O. Wilson
telah menulis buku Sociobiology (1975). Wilson, yang kini berusia hampir
80 tahun, mendefinisikan sosiobiologi sebagai "studi sistematis mengenai
basis biologis dari semua perilaku sosial”. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
evolusi untuk menjelaskan perilaku serangga sosial (dalam hal ini semut) untuk
memahami perilaku sosial hewan lain, juga manusia, Wilson membangun
sosiobiologi sebagai bidang ilmiah baru.
Wilson berpendapat, seluruh perilaku hewan, juga
manusia, adalah produk hereditas dan stimuli lingkungan maupun pengalaman masa
lampau. "Kehendak bebas itu ilusi," kata Wilson. Ia merujuk kepada
basis biologis perilaku sebagai “genetic leash” (pengendali genetis). Bagaimana
gen membentuk hidup manusia, berinteraksi dengan daya lingkungan, atau dikuasai
oleh kekuatan-kekuatan itu? Ini soal yang kompleks, dan perdebatan di seputar nature
(baca, faktor gen) atau nurture (baca, faktor lingkungan) yang lebih
berpengaruh terhadap perkembangan seseorang tidak akan selesai dalam waktu
dekat ini.
Di lingkungan bahasa, pada 1950-an Noam Chomsky
termasuk yang menentang linguistik--dan semua ilmu sosial--yang di masa itu
didominasi oleh behaviorisme, yang bertumpu pada pandangan John Locke bahwa
pikiran bermula sebagai tabula rasa, sebuah papan tulis kosong yang kemudian
pengalaman dituliskan di atasnya. Tak mungkin anak-anak belajar bahasa melalui
induksi, atau secara trial and error. Chomsky berpandangan, beberapa
prinsip penting dalam bahasa--semacam tata bahasa universal--pasti tertanam
dalam otak manusia.
Di samping sosiolog yang mau menengok genetika,
edisi khusus American Journal of Sociology juga memuat kritik terhadap
pendekatan genetis tersebut. Sebuah artikel yang ditulis Allan Horwitz dan Sara
Shostak, mengambil pendekatan yang disebut sosiologi tradisional, membahas
konstruksi sosial dari depresi dan homoseksualitas. Apa pun basis genetis
kondisi-kondisi ini, menurut mereka, seseorang telah sangat
"dimedikalisasi" (medicalized), meskipun yang lain--berkat
perjuangan kaum aktivis--dianggap sebagai bagian dari variasi manusia normal.
Di kalangan ilmuwan sosiologi Amerika, dengan
demikian, dua kubu pemikiran mengenai peran gen saling beradu: yang
berpandangan bahwa “genetika adalah penyebab setiap hal”, dan yang “menolak
gagasan bahwa apa pun yang terkait dengan ekspresi genetika sungguh bernilai
untuk dipelajari”. Kendati berseberangan, keyakinan pada penjelasan genetis dan
ketakutan terhadap penjelasan itu memperlihatkan fenomena yang sama: penekanan
yang berlebihan terhadap peran gen. Sebagian besar sosiolog menampik penjelasan
genetis karena mungkin membayangkan bahwa gen sangat digdaya sehingga bakal
melemahkan perspektif sosiologis. Sementara itu, sebagian ahli genetika
cenderung bersikap reduksionistis.
Kelompok jalan tengah menawarkan pandangan yang
lebih kompromistis bahwa kemajuan dalam ilmu genetika memberikan landasan yang
lebih kukuh bagi ilmuwan sosial, misalnya dalam mengaitkan gen dan kelompok gen
dengan penyakit dan kekacauan perilaku (behavioral disorders). Sosiologi-genetika,
menurut Bernice A. Pescosolido (Under the Influence of Genetics), akan
menciptakan kesempatan bagi ilmu sosial untuk menunjukkan betapa digdayanya
lingkungan.
Hasil-hasil riset yang memetakan gen yang terkait
dengan kesehatan, perilaku, dan sejenisnya memang tidak akan serta-merta
mengubah seluruh pemahaman kita saat ini mengenai masyarakat. Apa yang kerap
menjadi perhatian ilmuwan sosial, seperti tema-tema klasik ketidakadilan,
ketertiban, kemiskinan, konflik etnis dan agama, masih belum tersentuh oleh
wawasan baru yang diungkap oleh riset genetika. Namun, ini tidak berarti bahwa kemajuan di masa
mendatang dalam genetika tak akan mampu menjamah tema-tema itu. Studi mengenai
gen yang melekat di tubuh orang Indonesia, Melayu, dan Thailand, misalnya,
mungkin dapat menjelaskan peta penyebaran bangsa-bangsa ini dan memperkuat
studi yang sudah ada dari perspektif budaya.
Bagaimana di sini? Saya percaya, pengenalan
genetika molekuler ke dalam analisis sosial akan memperkaya pemahaman kita atas
persoalan-persoalan yang dihadapi individu maupun masyarakat kita. Jadi?
Yah, kereta belum beranjak terlalu jauh.
No comments:
Post a Comment