Paham separation of
power[1] atau pemisahan
kekuasaan berasal dari pemikiran Baron de Montesquieu, seorang filsuf politik
dari masa pencerahan (reinnasance), diambil dari model pemerintahan
demokratis.
Model yang dikemukakan
oleh Montesquieu berupa negara dengan pemerintahan bercabang-cabang, dimana
setiap cabang akan memiliki kekuasaan terpisah dan independen terutama dalam
kewenangan. Pemisahan kekuasaan dari konsep Trias Politica ini
berpandangan bahwa cabang pemerintahan yang utama berdasarkan pada tiga bagian:
eksekutif, legislatif, dan judicial.
Tujuan dari
pemisahan kekuasaan adalah untuk melindungi kepentingan demokrasi dan
menghindarkan terjadinya pemusatan kekuasaan yang berakibat pada tirani. Tirani sangat tidak diharapkan dalam
pemisahan kekuasaan. Sejauh ini,
Profesor Charles M. Hardin berpendapat bahwa apapun tujuan akhir dari pemisahan
kekuasaaan telah terbukti melambatkan proses terjadinya pemerintahan dictator
yang sewenang-wenang, cenderung mengabaikan keberadaan lembaga legislatif
sebagai perwakilan rakyat.
Pemerintahan demokratis sangat anti
pemusatan kekuasaan yang bersifat absolut.
Dan tidak ada satupun pemerintahan yang menganut prinsip pemisahan
kekuasaan secara kaku. Walaupun begitu,
beberapa negara cenderung mengaplikasikan pemisahan kekuasaan sebagai dasar
merancang sistem pemerintahan mereka.
Berbeda dengan pemisahan
kekuasaan yang cenderung dimiliki oleh sistem pemerintahaan presidensiil,
peleburan kekuasaan atau difussion of power cenderung dianut oleh sistem
pemerintahan parlementer. Salah satu
negara yang mengadopsi sistem peleburan kekuasaan adalah republik kelima
perancis. Selain itu, Walter Bahegot memberikan contoh di Inggris, dimana rakyat
memilih anggota legislatif dan untuk selanjutnya anggota legislatif memilih
eksekutif.
Beberapa contoh negara yang Contoh
negara dengan 3 cabang pemerintahan:
1.
PRC (Cina)
2.
Costa Rica
3.
Amerika Serikat
Negara dengan 4 Cabang pemerintahan:
1. Uni Eropa
· European Commission -
eksekutif
· European Parliament
& Council of the European Union - legislatif
· European Court of
Justice - Judicial
· European Court of
Auditors – Auditory
2. Perancis
Negara dengan 5 cabang pemerintahan:
1. Taiwan
·
Eksekutif yuan
·
Legislatif yuan
·
Judicial yuan
·
control yuan - auditory
·
Examination yuan
2. Inggris
· United Nations
· General assembly -
legislatif
· Security council
· economic and social
council
· International court of
justice - judicial
· Secretariat - executive
Negara dengan 6 Cabang
pemerintahan:
1. Jerman
· Federal President
· Federal cabinet -
eksekutif
· Federal diet -
legislatif
· Federal assembly -
presidential electoral college
· Federal constitutional
court
2. Jepang
Mekanisme Checks dan
Balances
Demi menghindari terjadinya pemusatan
kekuasaan pada satu cabang diterapkanlah mekanisme checks and balances. Terminologi ini mengacu pada konsep separatio
of power Montesquieu, dimana peraturan akan membatasi kewenangan satu cabang
pemerintahan untuk campur tangan dalam urusan cabang pemerintahan yang
lain. Contoh di Amerika Serikat,
kewenangan presiden untuk memveto legislasi yang dikeluarkan kongres dan
kekuasaan kongres untuk mengganti komposisi dan kewenangan dari federal courts
(pengadilan federal).
untuk menghindari satu cabang
pemerintah menjadi terlalu berkuasa, maka sistem pemerintahan
Sedangkan penerapan
balances ditujukan agar tercipta independensi dari eksekutif dan legislatif
dengan mekanisme pemilihan umum yang terpisah.
Mekanisme ini akan menjamin cabang pemerintahan eksekutif dan legislatif
untuk bertanggung jawab terhadap pemilihnya.
Sedangkan independensi judicial terbentuk dengan pengangkatan hakim
agung seumur hidup atau sampai yang bersangkutan menyatakan mundur ataupun
pensiun secara suka rela. Demikian pula
dengan keanggotaan lembaga legislatif yang tidak dapat diberhentikan serta
merta bila belum memenuhi ambang batas (threshold) yang ditetapkan.
Beberapa bentuk
konsep pembatasan kekuasaan:
1. Federalisme,
pemisahan kekuasaan secara vertikal
2. Supremasi
hukum
3. Demokrasi dan
civil society
4. Pemisahan
negara dan agama
5. Bank Sentral
yang independen
6. Pemisahan
tugas dan tanggung jawab dalam organisasi
7. Pegawai negeri
yang independen, bebas campur tangan politik
Di Indonesia,
konsep pemisahan kekuasaan baru diakui setelah amandemen UUD 1945 ke-4. Sebelumnya Indonesia tidak menganut pemisahan
kekuasaan akan tetapi pembagian kekuasaan.
Pembagian kekuasaan terjadi karena pada masa orde lama terjadi pemusatan
dan peleburan kekuasaan dari cabang eksekutif, legislatif, dan judikatif di
tangan Soekarno. Begitu pula pada masa
orde baru, kekuasaan eksekutif yang dominan membuat cabang legislatif hanya
sebagai rubber stamp atau membebek terhadap keinginan pemerintah
Soeharto kala itu. Legislatif tidak
berdaya, ketika kekuasaan eksekutif dapat berjalan selama 7 periode tanpa
batasan yang jelas. Ironisnya, dalam
masa orde baru telah ditegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensiil
yang semestinya tercermin dari pemisahan kekuasaan ketiga cabang
pemerintahan. Akan tetapi, presiden
harus memberikan pertanggungjawabannya terhadap anggota legislatif di MPR.
Oleh karena itu, dapat penulis
sampaikan bahwa Indonesia mengalami proses jatuh bangun dalam menerapkan sistem
presidensiil murni. Sampai saat tulisan
ini diturunkan, sistem pemerintahan Indonesia sedang mengalami ketidakjelasan,
terutama dalam menerapkan mekanisme checks and balances di dalam pemisahan
kekuasaan antara ketiga cabang pemerintahan.
Belum jelasnya kewenangan dari ketiga cabang pemerintahan diakibatkan
oleh butir-butir amandemen konstitusi yang cenderung ambigu, dibongkar pasang
sesuai dengan kepentingan elit politik di lembaga legislatif (MPR). Lebih konyolnya lagi, sejak amandemen
konstitusi ke-4, MPR memiliki letak sejajar dengan DPR dan DPD, membuat
pertanyaan selanjutnya mengenai keberadaan kamar ketiga di dalam badan
legislatif.
Tuntutan kejelasan akan sistem
ketatanegaraan Indonesia tidak dapat ditawar-tawar lagi. Salah satu cara adalah melalui amandemen
kembali konstitusi. Namun, perlu digaris
bawahi bahwa perubahan yang terjadi tidak boleh karena kepentingan sesaat,
misalnya pemilu yang akan datang. Akan
tetapi, perubahan sepenuhnya dilakukan karena memperhatikan tujuan dari negara
dalam pembukaan UUD 1945.
Jatuh Bangun Separation of Power di Indonesia
Indra J. Piliang (2006) mengemukakan tahapan perkembangan Republik Indonesia
ke dalam 5 kategori:
1.
Republik Pertama: 18 Agustus 1945 – Masa peralihan status
kedaulatan Indonesia ke tangan Mohammad Hatta
2.
Republik Kedua: 27 Desember 1949 masa Republik Indonesia
Serikat, dimana RIS membagi Indonesia ke dalam 7 negara bagian dan 9 lainnya
negara sendiri
3.
Republik Ketiga: 17 Agustus 1950, masa demokrasi
parlementer
4.
Republik Keempat: 5 Juli 1959, dekrit presiden memasuki
masa demokrasi terpimpin
5.
Republik Kelima, mulai dari masa orde baru sampai dengan
amandemen konstitusi ke-4
Untuk memahami lebih lanjut, bagaimana
proses jatuh bangun penerapan konsep pemisahan kekuasaan di Indonesia, akan
digambarkan secara runut mengadopsi tahapan perkembangan RI dari Piliang,
sebagaimana terdapat pada tabel berikut ini:
Republik Pertama: 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Eksekutif
|
Legislatif
|
Yudikatif
|
Birokrasi
|
Partai Politik
|
Kelompok Kepentingan
|
· Soekarno dan M. Hatta sebagai pimpinan eksekutif
· Pemimpin dengan figure
kharismatik tradisional berwawasan barat
|
· Lembaga perwakilan
baru diperkenalkan pada abad 20 dalam bentuk Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai
bagian dari politik etis tahun 1918.
· Pada awalnya Volksraad
hanyalah sekadar memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal.
· Sesuai dengan amanat
UUD yang ditetapkan PPKI, pembentukan lembaga perwakilan yang bersifat
sementara
· Komite Nasional Pusat
sebagai Parlemen Pertama di dalam sejarah Negara Republik Indonesia dan
dilantik Presiden Soekarno
|
Belum terbentuk
|
Konsep Pangreh Praja diplesetkan sekarang menjadi Pangreh Raja seterusnya
Pamong Praja menjadi Pamong Raja
|
Belum terbentuk
|
Organisasi politik yang mulai tumbuh dan berkembang yang dimotori oleh
putra-putri Indonesia, dibekukan
Bumiputera dipecah belah pemerintah kolonil Belanda “devide et impera”
clash antara pro-kemerdekaan dan pro-kolonial Belanda.
Muncul sentiment kedaerahan
|
Republik Kedua: 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Eksekutif
|
Legislatif
|
Yudikatif
|
Birokrasi
|
Partai Politik
|
Kelompok Kepentingan
|
·
Pemerintah Federasi: negara bagian (7) dan pemerintah
negara berdaulat (9)
·
Kepala Pemerintahan: Perdana menteri
·
Terdapat kerancuan di lembaga eksekutif karena perdana
menteri RIS dijabat oleh wakil presiden M. Hatta
|
·
UU RIS dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah
colonial Belanda difasilitasi Inggris
·
Ketidakjelasan akan penerapan sistem presidensiil dan
parlementer
|
· Konflik antara pegawai
didikan Belanda (priyayi) dengan pegawai yang tidak ber-skill rendah.
· Lahir budaya rent
seeking
|
·
Sentimen kedaerahan bertambah besar
·
Muncul bibit separatisme
·
Jawa dan luar Jawa
·
Aristokrat Jawa vs. Islam Jawa
|
Republik Ketiga: 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Eksekutif
|
Legislatif
|
Yudikatif
|
Birokrasi
|
Partai Politik
|
Kelompok Kepentingan
|
· Perdana Menteri
· Demokrasi liberal
menempatkan Presiden memiliki kekuasaan kuat
· Soekarno condong ke
haluan kiri (sosialisme).
· Konflik antara
ideology liberalis vs. sosialis
· Kegagalan kerja dewan
konstituante memunculkan demokrasi terpimpin
|
· Parlementer: MPRS dan
DPRS
· Demokrasi
liberal/konstitusional, anggota legislatif berdebat dengan santun dan
intelektual
· Dewan Konstituante
tidak mampu menuntaskan pembahasan konstitusi aspek ideology, HAM tidak
bermasalah sama sekali
|
· Kekuasan Mahkamah
Agung sangat besar
· Hukum menjadi
primadona
· DPAS
|
· Birokrasi warisan
feudal – patronage kepada parpol
· Terjadi perpecahan
dalam tubuh birokrasi
· Intervernsi militer
kuat
|
· Partai politik menjadi
figure kunci politik
· 1955 kontes pemilu
pertama yang paling demokratis di Indonesia, diikuti lebih dari 200 partai
politik
|
· Nasionalis
· Agama
· Militer
· Sosialis Komunis
|
Republik
Keempat: 5 Juli 1959, Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru
Eksekutif
|
Legislatif
|
Yudikatif
|
Birokrasi
|
Partai Politik
|
Kelompok Kepentingan
|
· Demokrasi Terpimpin
· Poros Jakarta-Peking
· Proyek mercu suar
· Eksekutif menjadi
sentral sistem politik
· Hegemonisasi kekuasaan
otoriter militer
· Soekarno menyerahkan
kekuasaan dengan Supersemar kepada Soeharto
· Berlakunya sistem
presidensiil oleh Presiden Soeharto pasca G30S/PKI
|
· Sangat lemah terhadap
eksekutif. Patron-client eksekutif-legislatif: MPR dan DPR
· Masa orde baru: MPR,
DPR, DPRD Tk. I, DPRD Tk. II, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah
· MPR sebagai lembaga
tertinggi negara
|
·
Lembaga peradilan lemah
·
MA berada di bawah kekuasaan eksekutif (dalam
kementerian)
·
Masa orde baru, penunjukan ketua MA oleh Presiden
·
Masalah netralitas lembaga yudikatif
|
· Penetrasi militer
dalam tubuh birokrasi
· Perpecahan di tubuh
militer, politik dan professional
· Cikal bakal Lahir dwi
fungsi ABRI di masa orde baru
· Munculnya cikal bakal
birokrasi sebagai alat pemenangan pemilu (Golkar)
|
· Marginal (ditekan oleh
eksekutif)
· PKI menjadi patron
Soekarno
· Di masa orde baru
militer pro Golkar
· Floating mass/massa
mengambang pada masa orde baru
· Kebijakan partai
tunggal (single party): Golkar
· PDI dan PPP hanya
sebagai hiasan belaka
|
· Konflik ideology
antara komunis, nasionalis, agama, dan militer
· Masa orde baru
ditandai dengan penekanan terhadap lahirnya kelompok kepentingan yang
berseberangan dengan pemerintah
· Pemberangusan hak
kebebasan pers, berserikat, dan hak asasi manusia
|
Republik Kelima: – Amandemen Konstitusi Ke-4
Eksekutif
|
Legislatif
|
Yudikatif
|
Birokrasi
|
Partai Politik
|
Kelompok Kepentingan
|
· Posisi Lebih lemah
ketimbang legislatif
·
Tidak memiliki hak veto
perundangan legislatif
·
Terbentuknya komisi-komisi
· Sistem
pemerintahan presidensiil
· Presiden
dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh MPR
· Presiden
tidak bertanggung jawab secara politis kepada MPR, tidak juga kepada DPR
karena kedudukannya yang sejajar.
· Namun,
Presiden memiliki pertanggungjawaban hukum apabila terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
· Mekanismenya
melalui sebuah proses impeachment yang diawali oleh peran DPR untuk menilai
apakah benar telah terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden RI.
|
·
Legislatif heavy
·
MPR menjadi lembaga tinggi negara
·
Kedaulatan berada di tangan
rakyat dilaksanakan sepenuhnya menurut undang-undang (bukan MPR lagi)
·
MPR, DPR, DPRD, dan DPD sejajar
·
MPR sebagai joint session DPR dan
DPD (kontroversi) trikameral dan bicameral)
·
Perundangan legislatif dapat
terbit tanpa persetujuan eksekutif
· Dewan memiliki kewenangan
dalam pencalonan Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan Anggota Komisi Yudisial.
· rakyat
(kewenangan terbatas menjadi persoalan kesejajaran dengan DPR)
· Selain
itu, terdapat satu penegasan bahwa DPR adalah lembaga perwakilan yang seluruh
anggotanya dipilih langsung oleh rakyat.
· DPD
keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat
|
· Pada
sisi kekuasaan yudikatif, UUD 1945 dan perubahannya menetapkan (tiga) lembaga
yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan yudikatif, yaitu Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial Yudisial
·
Konflik kelembagaan antara MA,
MK, dan KJ.
|
·
Reformasi birokrasi belum
maksimal
·
Budaya rent-seeking (KKN) masih
banyak
·
UU Nomor 43 Tahun 1999 melarang
PNS untuk berpolitik (menjadi pengurus partai politik)
·
Konflik antara netralitas PNS dan
campur tangan politik dalam jabatan PNS
|
·
Multi-partai
24 parpol pada tahun 2004, 6 yang
lolos electoral threshold pemilu 2009
·
Munculnya wacana calon independen
yang tidak diusung oleh parpol memaksa parpol berbenah diri
·
Penetapan electoral threshold
lebih rendah (3-5%, tergantung daerah pemilihan) bagi calon independen
dipertentangkan partai besar
|
·
Tumbuhnya NGO’s internasional
yang beroperasi di daerah konflik
·
LSM loka sudah banyak memihak
rakyat
·
Kontroversi intervensi asing
melalui NGO’s internasional untuk mendestabilitasi politik dan keamanan
wilayah Indonesia
·
Munculnya organisasi-organisasi
masyarakat dan profesional
|
Sumber: Diadaptasi dari Indra J. Piliang (2006) dan
Pidato Ketua DPR-Ri, 29 Agustus 2006.[2]
Rancunya Sistem Kelembagaan Eksekutif,
Legislatif, dan Yudikatif Pasca Amandement Konstitusi Ke-4
Menurut
Bintan Saragih (1988)[3],
pengertian bentuk negara, bangunan negara, dan bentuk pemerintahan perlu diletakan
pada tempat semestinya. I Made Leo
Wiratma (2006) mengatakan bahwa bentuk negara ditinjau berdasarkan siapa kepala
negara dari negara tertentu. Kepala
negara seorang presiden berarti bentuk negara tersebut republik. Sedangkan bila kepala negara seorang raja
atau ratu, berarti bentuk negara adalah monarki atau kerajaan.
Sedangkan
bangunan negara di dunia ada 3 macam berdasarkan pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dan daerah. Bangunan
negara pertama disebut sebagai kesatuan (unitary), kedua negara serikat
(federasi), dan ketiga serikat negara-negara.
Bentuk pemerintahan seringkali disebut
sebagai sistem pemerintahan, terbagi dua yaitu: presidensiil dengan kepala
negara seorang presiden merangkap kepala negara. Presiden memiliki periode jabatan dan tidak
bertanggung jawab kepada parlemen.
Parlemen sendiri tidak memiliki kewenangan untuk menurunkan di dalam
masa jabatannya. Sedangkan sistem
parlementer, kepala pemerintahan adalah perdana menteri yang penunjukannya
bergantung pada parlemen. Parlemen dapat menjatuhkan perdana menteri, akan
tetapi perdana menteri dapat pula membubarkan parlemen (kewenangan setara).
Menurut Wiratma (2006) ada 3 ukuran
yang dapat digunakan untuk menentukan suatu negara menganut sistem presidensiil
atau parlementer, yaitu:
1. Sistem
parlementer, kepala pemerintahan dijabat perdana menteri (kanselir di jerman
termasuk di dalamnya) bergantung pada mosi kepercayaan parlement, dapat turun
dari jabatannya melalui mosi tidak percaya.
Sistem presidensiil, kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan
tertentu yang tercantum dalam konstitusi.
Dalam keadaan normal, seorang presiden tidak dapat diturunkan oleh badan
legislatif.
2. Kepala
pemerintahan sistem presidensiil dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui badan pemilihan, kepala pemerintahan parlementer dipilih
oleh parlemen.
3. Sistem
pemerintahan parlementer memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial
sedangkan sistem presidensiil memiliki eksekutif non-kolegial (satu orang).
Setelah amandemen
konstitusi ke-4 muncul masalah baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintah
presidensiil mengalami distorsi kewenangan terutama pada lembaga eksekutif dan
legislatif. Pertentangan memuncak ketika
parlemen memposisikan dirinya sebagai lembaga super power yang berasumsi dapat
menjatuhkan presiden di masa jabatannya.
Berbagai intrik politik diluncurkan oleh DPR semisal interpelasi Iran
dan Lapindo. Sayangnya, intrik tersebut
dicurigai sebagai manuver para anggota DPR untuk memperjuangkan kepentingan
pemenangan pemilu yang akan datang.
Figur presiden dibuat sebagai
pihak bersalah dalam pengambilan keputusan yang sebenarnya saja merupakan hak
prerogatif seorang presiden.
Masyarakat sangat tidak diuntungkan
dari konflik kelembagaan tersebut.
Pendidikan politik menjadi tidak efektif, karena anggota dewan dan
lembaga kepresidenan menginterpretasikan konstitusi menurut selera
masing-masing. Akibatnya, kasus seperti
pengangkatan duta besar merupakan hak dari presiden kemudian dipermasalahkan di
ruang sidang DPR. DPR merasa perlu
campur tangan dalam fit dan proper tes dalam penempatan wakil negara tersebut.
Kerancuan sistem pemerintahan di dalam
lembaga legislatif memunculkan kebingungan politik karena adanya
ketidakseragaman istilah antara trikameral dan bicameral. Sejatinya pasca amandemen konstitusi ke-4,
sistem parlemen diarahkan ke dalam bicameral.
Akan tetapi, badan legislatif memiliki 3 cabang yaitu: MPR, DPR, dan
DPD. Belum lagi bila melihat fungsi
masing-masing yang sama sekali tidak mencerminkan independensi ketiga lembaga,
kewenangan saling tumpang tindih, bahkan DPR disinyalir sengaja menihilkan
peran DPD. Terbukti dari niatan MPR yang
notabene keanggotaannya berasal dari DPR dan DPD tidak dapat bertindak tegas
dalam pengajuan proses amandemen konstitusi ke-5 yang akan menaikan bargaining
power dari DPD.
Berikut ini, ulasan mengenai
trikameralisme di dunia. Bahan ini dapat
menjadi pertimbangan mengapa sistem ini lahir dan daya hidupnya
(survivalibility) dalam satu negara, mengingat negara kita belum bisa
memutuskan apakah bicameral ataukah
trikameral yang paling sesuai dengan semangat sistem pemerintahan Indonesia. Jangan sampai, parlemen kita terus menerus
dicap sebagai lembaga “banci.”
Trikameral Afrika Selatan
Pada
tahun 1983, rejim pemerintahan apartheid di Afrika Selatan mengajukan
konstitusi yang memiliki legislatif tiga kamar (trikameral). Pada tanggal 2 November 1983, sekitar 70%
populasi kulit putih memberikan suara, menyetujui perubahan konstitusi tersebut
tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan penduduk kulit hitam Afrika Selatan,
dan selanjutnya keberadaan perwakilan suara kulit hitam dalam rancangan
konstitusi tersebut diabaikan sama sekali, karena secara teori mereka merupakan
warga negara independen Bantustans (penduduk asli Afrika Selatan berbahasa
Bantu).
Parlemen trikameral Afrika Selatan
terdiri dari kamar-kamar yang terbagi berdasarkan ras warna kulit:
Ø
House of Assembly —
178 anggota, sengaja diperuntukan untuk kulit putih
Ø
House of Representatives —
85 anggota, diperuntukan bagi orang-orang kulit berwarna atau ras campuran
Ø
House
of Delegates — 45 anggota, khusus diperuntukan bagi bangsa Asia
Parlemen trikameral tidaklah memiliki landasan
kuat. Konstitusi 1983 secara signifikan
melemahkan peran parlemen, dan menghapuskan posisi dari perdana menteri. Hampir
keseluruhan kekuasaan kemudian dipindahkan ke tangan presiden sebagai kepala
negara, termasuk menunjuk anggota kabinet.
Usaha ini disinyalir banyak pihak sebagai upaya untuk membatasi
kekuasaan kulit berwarna dan suku Indian.
Tidak hanya anggota parlemen berkulit berwarna lebih rendah kekuasaannya
dibandingan kulit putih, tetapi secara keseluruhan parlemen terletak di bawah
kekuasaan presiden berkulit putih.
Trikameral
ala Bolivar
Simon Bolivar, pemimpin besar revolusi dari Amerika
Selatan, memasukan legislatif trikameral dalam pengajuan rancangan model
pemerintahannya. Bolivar menggambarkan trikameral sebagai berikut:
Ø Chamber
of Tribunes, memiliki kekuasaan yang berkaitan dengan keuangan
pemerintah, luar negeri, dan peperangan.
Tribun tersebut tidak seperti kedua kamar lainnya, dipilih dalam
pemilihan umum
Ø Senate,
suatu badan apolitis yang memegang kekuasaan untuk mengeluarkan perundangan,
melakukan supervisi yuridis, dan menunjuk pimpinan daerah. Bolivar percaya bahwa keanggotaan senat
haruslah berdasarkan garis keturunan, sebagai jalan satu-satunya menjamin
kenetralan. Ada satu garis parallel
antara senate ala Bolivar dengan British House of Lords.
Ø Censors,
merupakan kelompok yang akan bertindak sebagai penge-cek kedua kamar
tersebut. Bolivar melukiskannya sebagai
“jaksa penuntut melawan pemerintah dalam mempertahankan konstitusi dan hak
rakyat.” Ia juga mengatakan bahwa mereka
bertugas untuk memastikan bahwa pemerintahan berfungsi memuaskan, melalui
kekuasaan untuk meng-impeach.
Bolivar bermaksud memasukan model ini ke dalam sistem
presidensial, dan parlemen trikameral bukanlah badan berwenang untuk
memerintah. Legislatif tidak memiliki
peran aktif di dalam tugas-tugas administratif hanya membuat hukum dan
memberikan saran pada cabang pemerintahan lainnya.
Penerapan model
trikameral di Amerika Selatan mengalami kegagalan. Kepopuleran Bolivar tidak membuat Bolivia,
yang mencoba bentuk ini di awal pemerintahan, berhasil mengatasi chaos di
negaranya.
Trikameral Perancis
Beberapa sejarawan menggolongkan French States-General
sebagai contoh dari legislatif tiga kamar.
State-General berkembang perlahan seiring perubahan waktu, dan
memberikan saran untuk aneka permasalahan (termasuk isu mengenai lembaga legislatif)
kepada raja. Ada tiga area yang disebut
sebagai pertama (kaum rohaniwan), kedua (kaum bangsawan), dan ketiga
(masyarakat awam).
Permasalahan
terjadi ketika States-General menjadi legislatif tiga kamar. Pertama, States-General tidak pernah memiliki
kekuasaan resmi untuk menjalankan peran legislatifnya, walaupun, pada masa itu
memainkan peran dalam aktifitas legislatif Raja. Kedua, pembagian antara ketiga
area tersebut tidak dapat dipertahankan – area kekuasaan tersebut secara terang-terangan
memisahkan diri, akan tetapi ada juga di lain waktu, mereka menjadi satu badan,
sehingga ide mengenai trikameral menjadi rancu.
Dengan
demikian, pentingnya amandemen konstitusi ke-5 bukan hanya sekedar omong kosong
ataupun intrik politik belaka. Kita
harus berbenah diri, karena rakyat sudah semakin pintar, bisa menilai
pengelolaan negara baik atau buruk.
Pengetahuan kognitif mereka tentang politik sudah sampai taraf ‘melek
politik’ bahkan sebagian sudah memasuki taraf afektif dan evaluatif. Mereka tidak segan-segan turun ke jalan
melihat ketidakbecusan pengelolaan negara yang dilakukan pemerintah pusat
maupun daerah. Jangan sampai, proses
meredefinisikan ketatanegaraan kita hanya berakhir dalam secarik kertas yang
teronggok di tong sampah. Jangan sampai
pula, kekuatan people’s power menyemuti jalanan kembali seperti Mei 1998. Sesungguhnya, parlemen jalanan hanyalah
sebagai alternatif terakhir bila parlemen sebenarnya, sebagai kekuatan
penyeimbang dan oposisi pemerintah, sudah tidak dapat diharapkan lagi dalam
membela kepentingan rakyat.
[2] http://www.dpr.go.id/pidato/artikel.php?aid=1507
[3] Lihat
di I Made Leo Wiratama, “Purifikasi Sistem Presidensiil,” dalam Desain Baru
Sistem Politik Indonesia, diedit oleh Indra J. Piliang dan T.A. Legowo,
(Jakarta: CSIS, 2006), hal. 27. Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan
Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988), hal. 40-41.
[4] Sumber
lihat di wikipedia tricameralism
No comments:
Post a Comment