Oleh: Sutia Budi *
Permasalahan utang luar negeri (ULN) merupakan masalah
serius bangsa Indonesia.
Bahkan ketegangan sosial-politik sejak beberapa tahun terakhir, sangat terkait
dengan persoalan ini. Penguasa pembuat dosa di masa lalu seakan lepas
tangan dengan mewariskan “utang najis” itu kepada rakyat. Perlu waktu puluhan
tahun untuk menyelesaikan utang tersebut, dan itu pun jika pemerintah tidak
menciptakan utang baru.
ULN adalah derita rakyat. Pembayaran utang luar negeri
pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade
terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat
anggaran pembangunan, dan memakan lebih dari separuh penerimaan pajak
dari rakyat. Rakyatlah pada kenyataanya yang menanggung beban utang
tersebut. Sementara, alokasi untuk pendidikan dan kesehatan selalu jauh
lebih kecil dibanding pembayaran bunga utang dalam negeri.
Harapan rakyat tentunya dengan pergantian tampuk
kepemimpinan nasional akan memberikan harapan perubahan langkah, khususnya
terkait masalah ULN. Sayangnya, Program 100 Hari Pemerintahan Yudhoyono seakan
“bungkam” terhadap masalah ini.
JERATAN UTANG
Rachbini (2002) mengemukakan bahwa negara-negara Amerika Latin, yang
dianggap sebagai model kelompok negara yang terjebak utang (“debt trap”), hanya mempunyai rasio
utang terhadap PDB antara 30-40 persen. Angka ini sudah dianggap gawat dan
pemerintah di negara-negara ini sudah merasa perlu melakukan langkah-langkah
politik terhadap anggarannya. Indikator utang Indonesia pasca krisis lebih buruk
dari kelompok negara Amerika Latin tersebut. Negeri ini memiliki sudah rasio
utang terhadap PDB sampai 130 persen. Utang luar negeri ini dilakukan dengan
mengaitkan dimensi utang yang sudah menjadi jebakan (debt trap”) dalam kaitannya dengan anggaran publik dan
ekonomi rakyat yang lebih luas. Utang yang besar telah menjadi beban anggaran,
yang pada gilirannya menjadi beban publik, termasuk di dalamnya adalah ekonomi
rakyat.
Saat ini tingkat utang luar negeri sekitar US$ 67 milyar,
atau kurang lebih Rp 600 trilyun. Kemampuan pemerintah membayar cicilan utang
luar negeri antara Rp 15-20 triliun per tahun. Dengan asumsi bahwa pemerintah
tidak wajib membayar bunga dan tidak menambah utang baru, diperlukan 30-40
tahun lagi agar seluruh utang tersebut lunas (Wibowo, 2003).
PEMBANGUNAN TANPA UTANG
Bagi bangsa Indonesia,
pernyataan kemerdekaan 1945 adalah suatu ''Manifesto Politik''. Dari situ kita
bertekad ''berdaulat di dalam kehidupan politik, berdikari di dalam kehidupan
ekonomi dan berkepribadian di dalam kehidupan budaya''. Namun, dalam perjalanan
sejarah nasional kita, tekad politik sering mengendor atau bahkan dikorbankan
(Swasono & Sritua Arief, 1999).
Jumlah utang luar negeri Indonesia tetap
terus bertambah dari tahun ke tahun. Indonesia saat ini mengalami
situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam
hubungannya dengan utang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan
utang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi utang luar negerinya. Ini
disebabkan cicilan plus bunga utang luar negeri secara substansial dibiayai
oleh utang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga utang luar negeri lebih
besar dari nilai utang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari
Indonesia
ke pihak-pihak kreditor asing. Situasi Fisher
Paradox dapat ditunjukkan misalnya dengan membandingkan nilai
kumulatif pertambahan utang luar negeri sektor Pemerintah (jangka menengah dan
panjang).
Kewaspadaan terhadap utang luar negeri sangat diperlukan
seperti yang dikemukakan oleh Krauss (1983) tentang ''Development Without Aid''. Pinjaman luar
negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara
penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan
keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan.
Maksud dari pembangunan ekonomi tanpa utang adalah
pembangunan yang berprinsip kemandirian nasional, tidak harus diartikan secara
harfiah utang yang sama sekali nol. Pembangunan tanpa utang lebih merupakan
proses perubahan substansial untuk melepaskan keterjebakan utang, dari
dependensi menuju self-sufficiency
dan independensi.
QUO VADIS YUDHOYONO
Bagaimana dengan pemerintahan baru?. Nampaknya,
pemerintahan Yudhoyono kebingungan tatkala digiring untuk berbicara masalah
ULN. Tingkat ULN pemerintah Indonesia
memang sudah pada tingkat yang sulit dikelola. Lantas cukupkan strategi
penjadwalan ulang? Jelas tidak. Penjadwalan ulang hanya memindahkan persoalan
ke waktu yang lebih lama. Tapi bebannya tetap saja sama. Sebagai misal, Jepang
setuju menjadwal ulang utang senilai US$ 2.8 milyar, hingga setidaknya
tahun 2016. Padahal, selama 2016-2018 terdapat beban utang dalam negeri sekitar
Rp 140 triliun/tahun. Jelas ini membuat beban hutang APBN tahun tersebut akan
membengkak. Oleh sebab itu, diperlukan strategi lain yang lebih radikal agar
manajemen ULN dapat lebih optimal.
Persoalan mendasar yang perlu dijawab adalah, apakah upaya
yang harus ditempuh agar manajemen utang luar negeri pemerintah bisa lebih
optimal? Optimal di sini dilihat dari tiga tolok ukur utama. Pertama adalah dari sisi tingkat utang.
Tolok ukurnya, apakah tingkat utang sudah dikurangi sedemikian rupa, sehingga
utang luar negeri Indonesia
menjadi lebih terkendali (sustainable)?.
Kedua, dari sisi distribusi
manfaat dan biaya ekonomi APBN. Maksudnya, apakah tingkat utang dan term pembayarannya sudah diupayakan
sedemikian rupa sehingga beban pembayaran utang (debt service) tidak menimbulkan ketimpangan distribusi
sosial dalam APBN?. Ketiga,
dari sisi efektifitas pemanfaatan utang. Artinya, apakah utang luar negeri
memang benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan sektor-sektor yang mempunyai multiplier output, pendapatan dan
kesempatan kerja yang terbesar? Dan, apakah kebocoran utang sudah ditekan
semaksimal mungkin?
Selama ini pemerintah memakai manajemen utang klasik dalam
menangani masalah utang, tolok ukurnya adalah debt ratio. Konsepnya, jika debt ratio terlalu tinggi, maka utang lama dijadwal ulang.
Tapi untuk menutup defisit fiskal, dibuat utang baru lewat forum CGI. Kesalahan
pandangan tersebut adalah tidak memperhatikan efek distribusi sosialnya.
Kondisi demikian diperburuk oleh kekacauan para pendukungnya yang menafikan
alternatif lain. Sikap fanatik terhadap manajemen utang klasik membutakan
mereka terhadap langkah alternatif. Padahal, langkah tersebut pernah diterapkan
di negara lain dan di dalam kasus utang swasta.
Dengan beban pembayaran utang luar negeri Pemerintah Indonesia yang
demikian tinggi, maka penjadwalan ulang tidak akan menyelesaikan persoalan.
Kenyataan ini menunjukkan perlunya solusi yang radikal dan baru dalam
menyelesaikan persoalan beban utang luar negeri. Pengurangan jumlah utang (debt stock) merupakan pilihan
satu-satunya. Penghapusan jumlah utang atau debt cancellation, sebagaimana yang didesakkan oleh
kelompok organisasi masyarakat sipil di sejumlah negara, patut ditempuh
Pemerintah. Hal ini
dapat dilakukan melalui pengadilan internasional (arbitrase internasional) dan
proses politik di tingkat internasional bersama dengan negara-negara berkembang
lainnya. Adanya “utang haram” (odious debt)
pada setiap utang yang kini dibebankan kepada rakyat merupakan dasar hukum dan
moral dari tuntutan ini. Utang yang dikorupsi dan merusak yang dibuat oleh
rezim otoriter terdahulu dilakukan dengan sepengetahuan kreditor internasional.
Kreditor internasional juga harus bertanggung jawab atas utang-utang tersebut
dengan cara penghapusan utang. Pilihan ini harus ditempuh pemerintah dan
bukan membebankan kepada rakyat Indonesia
seluruhnya.
Langkahnya, pemerintahan Yudhoyono harus berani untuk menekan lembaga
donor seperti IMF yang mempunyai andil menyengsarakan negeri ini. Bukan sekedar
meminta maaf, tetapi “wajib” membantu Indonesia dalam melakukan negosiasi
kepada negara donor (Jepang, misalnya) agar memperoleh keringanan pembayaran ULN.
Akhirul Kalam, jeratan utang telah menghancurkan-leburkan negeri ini dan
menjadikan rakyat semakin miskin. Utang luar negeri menjadi ancaman
serius bagi stabilitas ekonomi Indonesia,
baik melalui tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN
maupun tekanan atas cadangan devisa. Jika bangsa ini
mau berubah, maka memunculkan kreatifitas alternatif dengan berbagai strategi
brilian-radikal adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaan kemudian, apakah
pemerintahan Yudhoyono berani mengambil langkah tersebut? Mungkin itulah yang
ditunggu. Wallahu a’lam [ ]
No comments:
Post a Comment