Wajah Lain Kolonialisme dan Imprealisme dalam Neoliberalisme
Awal dari
kolonialisme Bangsa Barat (Spanyol, Portugis, dan menyusul Inggris serta
Belanda) terjadi sekitar akhir abad 15, yaitu antara lain ditandai dengan
ditemukannya benua Amerika oleh Colombus. Kolonialisme kemudian semakin gencar
dilakukan bangsa Barat kira-kira mulai awal abad 16. Sejak itu perlahan tapi
pasti dunia mulai berporos pada satu peradaban, yaitu Bunia Barat. Sementara
Dunia Timur dianggap kafir, bodoh dan terkebelakang. Padahal, di dunia Timur
ini jauh sebelum kelahiran peradaban Barat itu, telah lebih dulu lahir beragam
kebudayaan dan agama, misalnya Hindu dan Budha di India dan Tao dan Kong Hu Cu
di Cina. Kelahiran agama-agama itu sekaligus juga menandai adanya peradaban
maju di Dunia Timur sejak berapa abad SM. Di Dunia Timur inilah terdapat
beragam sumber daya alam yang kemudian diincar oleh bangsa Barat.
Kolonialisme
dan Imprealisme Bangsa Barat kepada Bangsa Timur berjalan bersamaan dengan Misi
Kristen (lihat David J. Bosch, Tranformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi
Misi yang Mengubah dan Berubah. Jakarta:
BPK, 1999, hlm. 353-357). Pemahaman teologis gereja Barat, bahwa agama Kristen
sebagai satu-satunya wadah keselamatan dunia seolah-olah melegitimasi bangsa
Barat untuk menjajah dan mengeksploitasi Bangsa Timur sampai kira-kira
pertengahan abad 20. Penjajahan oleh Bangsa Barat ini kemudian berjalan
bersamaan dengan kapitalisme, yang antara lain dimungkinkan dengan menguatnya
rasionalisme, dan pola pikir subjek-objek di abad Pencerahan. Bangsa Timur
akhirnya menjadi objek selama berabad-abad untuk dieksploitasi tenaga manusia
dan sumber daya alamnya. Selama ini,
misi Kristen terus menjadi semangat bagi usaha penaklukan itu. Soal korelasi
antara pemahaman teologis Kristen, khusus aliran teologi Calvin telah dikaji
oleh Max Weber dalam bukunya Die protestantische Ethik und der 'Geist' des
Kapitalismus. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi Etika Kristen Protestan dan Kapitalisme yang diterjemahan
dari terjemahan bahasa Inggris The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism. Weber menulis bahwa kapitalisme berevolusi ketika etika
Protestan (terutama Calvinis) mempengaruhi sejumlah orang untuk bekerja dalam
dunia sekuler, mengembangkan perusahaan mereka sendiri dan turut beserta dalam
perdagangan dan pengumpulan kekayaan untuk investasi. Dalam kata lain, etika
Protestan adalah sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi masal tak terencana
dan tak terkoordinasi yang menuju ke pengembangan kapitalisme. Pemikiran ini
juga dikenal sebagai "Thesis Weber".
Soal kaitan misi Kristen di beberapa abad
lampau itu dengan kolonialisme dan imprealisme Bosch berkata: “Dengan datangnya
puncak era imprealisme, setelah 1880, tidak dapat lagi keraguan mengenai
persekongkolan lembaga-lembaga misi dan usaha kolonial. Kesejajaran antara
perkembangan-perkembangan puncal imprealisme dan puncak misi menjadi semakin
jelas tampak (Bosch: 1999, 473).
Berabad-abad dalam suasana terjajah,
ternyata telah melahirkan semangat bagi bangsa-bangsa jajahan di dunia Timur
untuk memerdekakan diri. Sampai di jelang pertengahan abad 20, sejumlah negara
jajahan di Asia, misalnya Indonesia, berhasil melepaskan diri dari cengkeraman
kolonialisme dan imprealisme Barat. Sejumlah nation state kemudian
lahir di Asia. Bahkan R.A.D Siwu juga menjelaskan bahwa sejak itu negara-negara
bangsa baru bekas jajahan itu kemudian giat melakukan pembangunan yang antara
lain dengan cara modernisasi dan industrialisasi (Siwu dalam Exouds
No. 16, Tahun XII, 2005. Tomohon: Fakultas Teologi UKIT, 2005, hlm. 34). Tapi
itu ternyata belum akhir cerita penaklukan Barat terhadap sebagian bangsa yang
baru lahir di Asia.
Kolonialisme
dan imprealisme kemudian tampil dalam wajah lain, yaitu kapitalisme
dan neoliberalisme. Dari sekian masalah di negara bekas jajahan di Asia, yang masih ada hingga sekarang adalah kemiskinan.
Ini menjadi sangat kontras dengan sumber daya alam melimpah yang dimiliki oleh
sebagian besar bangsa bekas jajahan itu. Meski berkorelasi langsung dengan
masalah jumlah penduduk yang tinggi, serta urbanisasi, tapi kapitalisme dan
neoliberalisme yang antara lain dimungkinkan oleh globalisasi yang digalakkan
oleh Amerika juga harus dipertimbangkan sebagai faktor penting penyebab
persoalan tersebut. Mansour Fakih (dalam Jurnal Wacana, Yogyakarta: Insist, 2000) sangat fasih mengulas “monster”
kapitalisme dan neoliberalisme sebagai faktor penting penyebab sejumlah
persoalan di masyarakat Dunia Ketiga.
Fakih
menjelaskan, globalisasi sebagai pengganti pembangunan yang
bercorak kapitalis (yang telah gagal itu), ditandai lewat mendunianya sistem
pasar, investasi dan produksi perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs).
Ketiga aktor utama globalisasi menurut Fakih adalah World Trade Organization
(WTO) atau organisasi perdagangan global, IMF (International Monetary Fund)
atau Dana Moneter Internasional, dan World Bank atau Bank Dunia. Dua lembaga
keuangan terakhir tersebut adalah lembaga-lembaga pemberi utang di Dunia
Ketiga, yang sangat dipengaruhi oleh Amerika.
Mengenai
istilah Dunia Ketiga ini, mengutip Peter Worsley, Noer Fauzi, dalam bukunya Memahami
Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Yogyakarta: Insist, 2005),
menjelaskan: “Istilah ‘Dunia Ketiga’ pertama kali diperkenalkan pada Agustus
1952 oleh Alfred Sauvy, seorang ahli demografi Perancsi untuk menggambarkan
negara bangsa yang baru bermunculan di akhir Perang Dunia ke-2 terutama Asia
dan Afrika. Istilah “Dunia Ketiga” kian popular setelah konsolidasi
Negara-negara anti kolonialisme dan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung,
yang kemudian dalam golongan ini kemudian masuk pula Negara-negara Amerika
Latin.
Soal istilah kapitalisme, Samir Amin
(dalam Jurnal Wacana, Yogyakarta: Insist, 2000) mengatakan: “Revolusi
Industri, 1800-1920 merupakan tahap panjang pertama kapitalisme, sekaligus
merupakan periode mekanisasi industri. Mengenai istilah “Neoliberalisme” oleh
sejumlah pakar mengkaitkannya dengan fenomena kebangkitan kembali liberalisme
lama di masa yang baru. Menurut Fakih, “Para
penganut faham ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai
sebagai hasil wajar dari adanya ‘persaiangan bebas’.” Sementara Globalisasi
dalam bidang ekonomi di abad 21 lebih dipahami sebagai proses kegiatan ekonomi
dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan
pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara.
Pentingnya Gerakan Rakyat Berbasis Kultural Bagi
Tou Minahasa
Pegelaran
kuasa-kuasa Neoliberalisme yang tampak dalam sejumlah perubahan pengaturan
politik dan ekonomi global telah memberikan dampak bagi Indonesia. Indonesia bahkan menjadi negara
yang mempraktekan sistem kapitalisme atau menjadi kaki tangan dari
negara-negara kapitalis. Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken dalam buku
yang disunting mereka, Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: KITLV, 2007) mengulas pengaruh kapitalisme dan
neoliberalisme bagi tata politik dan ekonomi Indonesia. Nordhot dan Klinken
dalam buku itu bahkan mengatakan, kondisi ini membuka ruang yang lebar untuk
terjadinya korupsi. Selama 30 tahun rezim Orde Baru berkuasa, 30 % dari bantuan
asing yang mencapai 30 miliar dolar AS dikorupsi oleh penguasa dan
kroni-kroninya.
Selama
berkuasa, rezim Orde Baru yang tunduk pada pola dan sistem neoliberalisme
secara sistematis melakukan upaya penyeragaman kultur, pemusatan kekuasaan, dan
eksploitasi atas kekayaan alam masyarakat daerah. Pola manajemen pemerintahan
yang kapitalistik bisa dikatakan sebagai faktor penting penyebab terberangus dan
terpinggirnya nilai-nilai masyarakat adat. Kearifan local sebagai modal social masyarakat adat perlahan-lahan
terkikis oleh terjangan kapitalisme. Negarapun akhirnya dengan sengaja lebih
memilih pola kapitalisme dalam melaksanakan usaha pembangunannya. Tapi kita
lihat sendiri, selama 30 tahun Soeharto dengan pola manajemen pemerintahan yang
seperti itu tidak berhasil membawa rakyat Indonesia ke era tinggal landas,
malahan yang didapat kandas di tengah jalan. Negarapun akhirnya mengorbankan
keragaman kulturnya termasuk mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya
alam demi capaian pembangunan yang kuantitas itu.
Atas nama modernisasi, pemerintahpun
membuat kebijakan yang kebanyakan di antaranya tidak berpihak pada keragaman
kultur dan rakyat. Tarikan modernisasi ternyata lebih kuat dari pada usaha
menjaga dan melestarikan identitas bangsa. Industrialisasi yang tampil
bersamaan dengan modernisasi, dan itu yang dulunya Soeharto bilang sebagai
pembangunan Indonesia, pada akhirnya hanya meminggirkan rakyat kecil. Akhirnya,
ketika globalisasi yang memakai perangkat modernitas telah menjadi keniscayaan,
maka tersentaklah kita. Apa kekuatan kita menghadapinya?
Fakih mengatakan: “…sesungguhnya
globalisasi tidak ada sangkut paut dengan slogan kesejahteraan rakyat atau
keadilan social di Negara-negara Dunia Ketiga, melainkan lebih didorong oleh
kepentingan modal berskala global milik Negara-negara kaya dan perusahaan
raksasa.”
Bahkan
menurut Fauzi, neoliberalisme di Dunia Ketiga merupakan babak kelanjutan dari
pembangunisme. Namun, menurut Fauzi, neoliberalisme yang menggelar
kuasa-kuasanya dengan cara yang berbeda dengan pembangunanisme, telah menjadi
konteks baru dari gerakan-gerakan rakyat berbasis kultural di Dunia Ketiga.
Maksudnya, kuasa-kuasa neoliberalisme yang hanya mengeksploitasi dan
memiskinkan itu mendapat tantangan dengan lahirnya suatu kesadaran baru yang
berwujud dalam gerakan-gerakan rakyat.
Agaknya,
meski kondisi kita, rakyat dan masyarakat adat ibarat anak manusia yang kondisi
tubuhnya lemah akibat perang, tapi, revolusi, kebangkitan peradaban dan
pembebasan selalu datang dalam kondisi yang hampir rusak seperti ini. Kondisi
yang menyengserakan seolah-olah mendorong kita untuk memaksimalkan semua
potensi dalam melakukan gerakan perlawanan. Maka, sebuah gerakan rakyat
berbasis kultural bagi Tou Minahasa adalah harga mati untuk sebuah perjuangan
membebaskan diri dari cengkeraman totaliterianisme negara dan neoliberalisme
global.
Gerakan
rakyat berbasis kultural mari kita pahami sebagai cara untuk menemukan makna
sebenarnya menjadi manusia dengan maryarakatnya yang merdeka. Gerakan rakyat
berbasis kultural adalah gerakan pembaruan pemikiran dan aksi dalam merespon
atau bahkan melawan kuasa-kuasa yang menindas, termasuk kuasa penyeragaman oleh
negara yang masih berlanjut dan kuasa neoliberalisme yang telah menghancurkan
kearifan lokal Tou Minahasa.
Apa yang harus kita buat dalam konteks
gerakan rakyat berbasis kultural itu? Pertama, menurut saya adalah
dengan cara memaknai kembali budaya kita Minahasa. Ini terkait dengan usaha
pembaruan pemikiran kebudayaan kita. Interpretasi baru terhadap sejumlah sistem
nilai peninggalan leluhur, seperti mapalus, prinsip “Si Tou Timou
Tumou Tou”, semangat egaliter dan demokratis yang khas Minahasa perlu
dilakukan. Kedua, semua elemen masyarakat Minahasa mestinya memiliki
kesadaran bersama yang berwawasan nasional dan global yang berpijak dari
perspektif lokal untuk memahami fenomena-fenomena yang sedang berlangsung.
Misalnya, kita barangkali perlu bertanya, kenapa kita tiba-tiba menjadi
konsumtif dan hedonis dengan gemar menikmati produk-produk kapitalis yang
sebenarnya hanya mengeyangkan perut kita sesaat, tapi memiskinkan kaum kita? Kenapa kita kemudian berkelahi dengan
kehadiran perusahaan-perusahaan milik asing seperti PT. MSM di Likupang? Tidak
bisa kah kita sepahaman untuk menolak kuasa-kuasa ekonomi yang berbahaya bagi
keselamatan Tanah ini? Kita juga perlu bertanya, apakah desentralisasi yang
kita maknai antara lain dengan melakukan pemekaran di sana-sini, memang adalah
kebutuhan kita? Berikut kita juga perlu mencermati fenomena korupsi yang
dilakukan oleh kepala-kepala daerah atau pejabat-pejabat di daerah kita. Apakah
mereka itu (yang diduga atau telah terbukti melakukan korupsi) memang rakus
adanya, atau jangan-jangan otonomi daerah ini adalah perangkap yang sengaja
dirancang oleh rezim untuk menghancurkan persatuan dan kesadaran kultural kita?
Ketiga, gereja-gereja atau agama-agama lain di Tanah
Minahasa perlu melakukan evaluasi terhadap model berteologi yang sedang
dijalankan sekarang. Sebab, pendahulu kita, telah cukup melakukan beberapa
pencitraan negatif terhadap Tanah Minahasa dengan mengkafirkan sejumlah
kearifan lokalnya. Berteologi dengan memperhatikan kekhasan dan kesakralan
Tanah Minahasa adalah upaya teologis gereja atau agama-agama dalam ikut serta
pembaharuan kehidupan peradaban Tanah Minahasa. Keempat,
perguruan-perguruan tinggi, negeri atau swasta mestinya menjadi basis bagi
(calon) pemikir-pemikir Minahasa untuk usaha kebangkitan Minahasa bersama. Di
UKIT (YPTK), khususnya Fakultas Teologi, saya tahu memiliki kepedulian yang
tinggi bagi usaha kemajuan Tanah Minahasa. Sejumlah hasil penelitian dosen
maupun mahasiswa, menunjukkan semangatnya untuk memaknai Injil dalam konteks
Tanah Minahasa. Usaha ini positif karena dengan begitu kita kemudian tidak
mensubordinasi kebudayaan Minahasa di atas Injil. Pengalaman lalu, dengan masih
kuatnya dominasi teologi Barat gereja tak lebih dari sebuah lembaga “sakral”
yang kerjanya hanya medikte kebudayaan.
Kita memang akhirnya tak lagi harus
berharap banyak dari negara untuk kemajuan tanah kita. Sebab, negarapun ada
dalam penderitaannya sendiri akibat dikoyak-koyak oleh kuasa neoliberalisme
sebagai bentuk kolonialisme dan imprealisme yang baru.
Inilah tantangan
Tou Minahasa di abad globalisasi dan postmodern ini.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Komentar Edisi 28 dan 29
November
No comments:
Post a Comment